( WaF - 7. Mendengar Pernyataan Cinta dari Seseorang )

Jika seseorang baru mendengar pernyataan cinta dari lawan jenis dan masih ragu untuk menerimanya, maka jawaban pun akan digantungkan. Namun, menurut Seva, hal tersebut malah semakin memperbesar kebingungan.

Setelah Jevin mengungkapkan perasannya malam itu, Seva tak langsung menjawab. Jevin juga tak keberatan kalau Seva memilih untuk memikirannya terlebih dahulu, asal jangan terlalu lama.

Tempo itu Seva benar-benar terkejut. Bahkan ia sempat salah tingkah dan menjatuhkan tas kertas berisi komik hingga tepat mengenai kaki Jevin. Seva bersumpah, ia tak sengaja. Itu adalah refleks. Ia sendiri pun terkejut saat melihat Jevin menjerit kecil karena kakinya dihantam buku. Kejadian tersebut membuat Seva terus meminta maaf. Untunglah Jevin dengan manisnya menenangkan Seva agar tak merasa bersalah.

Melupakan memori tentang malam itu, Seva kembali menatap ke arah papan tulis yang sudah dipenuhi coretan oleh dosennya. Tatapannya kosong. Pikirannya juga terbang pada pernyataan Jevin. Ia benar-benar tak tahu harus memberi jawaban yang seperti apa. Dirinya tak memiliki rasa sama sekali pada Jevin. Mau menolak pun, rasanya tak enak. Bila saja Seva boleh menggantungkan Jevin untuk selamanya atau setidaknya sampai ia mempunyai rasa, Seva pasti akan lebih tenang.

Anggaplah Seva berlebihan tetapi ini adalah pengalaman pertamanya ditembak oleh lelaki yang tak menarik perhatiannya. Sejauh ini, laki-laki yang menembak Seva adalah mereka yang ia sukai. Sehingga tanpa perlu pikir panjang Seva pun akan mengiyakan. Walaupun pada akhirnya hubungan mereka kandas dengan akhir yang sama, yaitu putus.

Seva sudah meminta saran pada Bia dan Orlin, tetapi kedua sahabatnya itu tak bisa membantu banyak. Mereka juga belum pernah merasakan hal yang sama, bahkan Orlin saja belum pernah pacaran. Satu-satunya nasihat yang mereka berikan adalah memikirkannya dengan baik agar ia tak mengambil pilihan yang salah.

"Sev," panggil Orlin dengan tangan yang berkibas-kibas di depan wajah Seva, membuat Seva beranjak keluar dari lamunan.

"Iya, Lin?" tanya Seva dengan alis yang tertaut. Ia baru sadar Orlin dan Bia berada di sini, mengingat mereka beda fakultas.

"Dari tadi lo bengong aja. Pasti pas kita datang, lo nggak sadar."

"Mikirin apa sih, Sev, sampai nggak sadar gitu? Kayaknya kelas kelar lo juga nggak tahu nih," tebak Bia, seakan menjadi cenayang yang dapat membaca pikiran Seva.

"Bukan apa-apa kok," jawab Seva seraya bangkit dan menggendong tasnya.

"Beneran?" tanya Bia, mencoba memastikan.

"Jujur aja lo mikirin jawaban untuk Jevin. Iya, kan?" Kali ini Orlin yang menebak dan tebakannya memang benar.

Seva tak menjawab pertanyaan kedua sahabatnya. Gadis itu hanya menarik mereka berdua untuk keluar dari ruangan itu bersama-sama.

"Pasti tebakan gue benar deh!" seru Orlin cukup keras. Gadis itu memanglah yang paling berisik di antara mereka bertiga.

"Diam!" tegas Seva, malas untuk membahas hal tersebut.

Orlin mengangkat kedua bahunya. "Iya, iya, oke."

Bia bertanya, "Lin, lo tetap pulang sama gue?"

"Siapa aja dari kalian yang bisa nganterin gue," jawab Orlin dengan senyum lebar.

"Sama gue aja, ya? Seva kayaknya bakal langsung ke rumah sakit, iya, kan?"

Seva mengangguk mengiyakan.

"Oke," setuju Orlin tanpa berniat membantah. Ia cukup tahu diri untuk tidak melakukannya karena mengingat statusnya hanyalah seorang penumpang.

"Seva," panggil seseorang dari belakang mereka.

Kontan ketiga gadis itu menoleh dan menemukan Jevin berdiri tegap dengan senyum yang mengembang. Tak hanya Jevin, bibir Bia dan Orlin pun ikut terukir. Mereka menangkap Seva yang menjelarkan mata sebelum gadis itu kembali memasang ekspresi awal.

"Sev, gue sama Orlin cabut duluan, ya. Nggak apa, kan?" tanya Bia.

"Emangnya kalian mau ke mana?" Seva balik bertanya sebelum menyetujui.

"Ya, pulang. Udah dulu, ya." Orlin melambaikan tangannya, begitu juga dengan Bia. "Dadah, Sev, Vin."

"Dah," sahut Jevin, sedangkan Seva hanya menatap kedua sahabatnya dengan wajah masam. Ia tahu jelas mereka ingin Seva berduaan dengan Jevin.

"Kenapa, Vin?" tanya Seva setelah Bia dan Orlin tak tampak lagi.

"Lo ada acara malam ini?

"Nggak sih. Emang kenapa?"

"Gue mau ngajak lo dinner."

"Oh." Seva menganggukan kepalanya; bukan karena menerima, tetapi mengerti kenapa Jevin bertanya jadwalnya malam ini. "Maaf, lho, sebenarnya gue mau tapi gue mau jagain Bokap."

"Oh, gitu, ya."

"Iya, maaf." Seva tersenyum tipis, tak enak. "Lain kali aja, ya."

Sekarang Jevin yang menganggukan kepalanya. "Oke."

"Kalo gitu, gue cabut, ya, Vin."

"Ada yang ngantar?" tanya Jevin sebelum Seva pergi.

"Gue pakai mobil sendiri." Seva menunjukkan kunci kendaraannya.

"Oh, oke. Hati-hati."

( ⚘ )

Seva tak tahu kenapa Rey selalu ada di sekitarnya sejak pria itu pulang dari Italia. Seperti sekarang, mereka harus duduk berhadapan. Bahkan Rey sudah memasang wajah kusut. Padahal ia belum berbicara sama sekali setelah tiba di kamar inap Henri. Hanya memberi anggukan sebagai respons nonverbal kala Yana dan Tami pamit untuk pergi membeli makanan.

Seva juga heran. Setiap Tami datang, ibunya pasti selalu pergi untuk membeli makanan. Dan ketika itu terjadi, ia pasti akan tertinggal bersama pria di depannya. Untunglah kali ini Henri tak terlelap.

"Deon bakal pulang jam berapa?" tanya Henri, memecah kesunyian.

Badan Seva berbalik untuk menghadap sang ayah yang sedang berbaring di ranjangnya. "Seva juga nggak tahu. Deon nggak bilang. Intinya sih dia bakal datang ke sini nanti malam."

Kepala Henri berjengit. "Seva nanti chat Deon, bilang sama dia, pastiin datang malam ini. Ada yang mau Papa omongin."

"Iya, Pa."

Arah tubuh Seva sudah kembali mengarah ke arah Rey. Pria itu masih memandangnya dengan tatapan yang sama. Seva jadi kesal sendiri.

"Om kenapa sih?"

"Saya harus bilang berapa kali supaya kamu nggak manggil saya kayak gitu?" Rey balik bertanya. Suaranya terdengar sangat dingin.

Seva mendengus. "Nggak usah ngajak berantem gitu deh, Om. Seva lagi nggak mood."

Rey pun memilih tak menjawab. Mungkin ia juga berada di dalam suasana hati yang tak mengingkan perdebatan.

"Kok Seva manggil Mas Reynya pakai sapaan Om?" tanya Henri. "Mas Rey, kan, lebih muda dari Mbak Bey, Nak."

Tak seperti tadi, kini hanya kepala Seva yang menoleh ke arah Henri. "Seva tahu kok, Pa, tapi Om ini kelihatannya jauh lebih tua dari Mbak Bey. Lebih cocok dipanggil Om daripada Mas."

Henri menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum tak enak pada Rey yang langsung dibalas pria itu dengan ramah. "Apanya yang keliha─"

"Pokoknya tua," potong Seva sebelum ayahnya menyelesaikan ucapan. Gadis itu benar-benar emosional sekarang.

Lalu, tak ada yang berbicara. Keheningan melingkupi mereka, kecuali suara televisi yang menayangkan berita sore. Semuanya berfokus pada pikiran masing-masing hingga suara ponsel dari kantung Rey terdengar. Seluruh atensi pun jatuh pada pria itu.

"Saya keluar dulu, Om. Mau angkat telepon dari tempat kerja," pamit Rey pada Henri.

Tanggapan Henri adalah mengangguk. Pria paruh baya itu kemudian menatap anak gadisnya bersamaan dengan waktu Rey mengeluari ruangan. Terlihat Seva masih bergeming. Hanya bahunya saja yang turun-naik karena bernapas.

"Seva." Henri memanggil setelah Rey tak kunjung memasuki ruangan selama tiga menit.

Anak perempuan itu kembali berbalik. Tatapannya penuh tanya.

"Sini. Ada yang mau Papa bicarain."

Ia menurut. Seva beranjak dari sofa dan duduk di kursi sebelah brankar Henri. Lantas sang Ayah menggenggam tangannya.

"Seva udah punya pacar?" tanya Henri seperti seorang ayah yang sudah lama tak bertemu anaknya.

"Belum. Kenapa Papa nanya kayak gitu? Biasanya juga Seva yang lebih dulu ngenalin mereka sebelum Papa tanya." Suara Seva yang memang lembut menjadi semakin lembut ketika berbicara dengan Henri.

"Masih belum bisa lupain Fadian, ya?" tanya Henri.

Jawaban Seva tak langsung keluar. Ia menatap ayahnya dengan cebikkan. Bukan sedih. Namun, menyaratkan ketaksukaan karena Henri membahas tentang lelaki tersebut. "Nggak. Papa, kan, tahu sendiri Seva udah lama move on dari cowok itu," katanya mantap.

"Bagus." Sebuah kurvaan tipis terukir di bibir Henri. "Sekarang lagi ada yang deketin, nggak?"

"Papa kenapa ngomongin ini sih? Aneh banget." Seva mencoba mengalihkan topik.

Kemudian, Henri mengusap kepala Seva. "Papa boleh minta sesuatu?"

"Sesuatu? Apa?"

"Ini terbilang permintaan yang gila. Bahkan mamamu sempat nggak terima tapi setelah Papa beri pengertian, akhirnya Mama setuju." Henri menjeda ucapannya. Hal itu sanggup membuat Seva menjadi sangat penasaran. "Kamu baru mau menginjak umur dua puluh tahun tapi ... Papa nggak tahu sampai kapan Papa bisa bertahan. Kamu dengar sendiri, kan, nggak menutup kemungkinan Papa bakal kena─"

"Papa jangan ngomong kayak gitu." Lagi-lagi Seva memotong kalimat ayahnya. Mata Seva berkaca-kaca. Isakan pilu mulai terdengar dari bibirnya. "Langsung ke intinya aja," kata Seva dengan suara yang terdengar bergetar.

"Nikah terlalu dini buat kamu .... Jadi, tunangan masih bisa ditoleransi, kan?"

Kelopak Seva mengerjap, membuat air yang menggenang di pelupuknya berjatuhan. "Tu-tunangan?"

Henri menaikturunkan kepalanya.

"Pa ..., kenapa?"

"Papa udah rentan kena serangan jan─"

"Bukan, bukan itu. Maksud Seva, alasan yang sebenarnya." Seva menepis air matanya secepat mungkin sehingga membuat blush on yang ia pakai luntur. "Papa ... punya janji atau ... utang sama orang?"

Kini, Henri menggeleng. "Nggak ada sama sekali, Sayang. Kalau pun faktanya kayak gitu, Papa nggak mungkin ngorbanin kamu." Pandangan Henri sangat lamat. "Alasan yang sebenarnya memang apa yang mau Papa bilang tapi terus kamu potong. Sakit yang sekarang Papa alami, nggak seberapa dibanding ngelihat kamu ngurung diri di dalam kamar karena laki-laki nggak berguna kayak Fadian. Dia pergi sama perempuan lain dan ninggalin kamu yang nangis setiap hari. Kamu emang nggak cerita sama Papa atau Mama tapi kami sebagai orang tua tahu semua itu. Kamu anak kami, kami bisa sadar semuanya.

"Kamu tahu, kenapa waktu itu Papa tiba-tiba ngajak kamu makan diemperan jalan padahal Papa nggak suka tempat makan yang nggak sehat kayak gitu? Itu karena kamu. Papa tahu kamu suka dan kamu butuh hiburan. Papa takut di masa depan, di saat Papa nggak ada, kejadian kayak dulu kembali terulang. Nanti siapa yang bakal ngehibur kamu? Makanya, Papa mau kamu tunangan, sebagai cara untuk nentuin siapa laki-laki yang siap mempertanggungjawabkan kamu dengan atau tanpa Papa. Senggaknya, kalau itu berhasil, Papa bisa lebih tenang."

Air mata Seva sudah membasahi hampir seluruh wajahnya. Riasan gadis itu berantakan tapi ia tak peduli dan terus menangis sejadi-jadinya. Terharu dengan apa yang dikatakan oleh Henri. Namun, ia masih belum bisa menyetujui permintaan itu. "Se-Seva nggak punya pacar."

"Tapi kamu ada yang deketin, kan?" tanya Henri lagi.

"Seva ... nggak yakin dengan dia."

"Kenapa?"

Kedua bahu Seva terangkat. "Cuma nggak yakin aja." Seva mengambil tisu di nakas dan mengelap wajahnya. "Kalau tertanya laki-laki yang kita kira cocok buat Seva juga nyakitin Seva gimana?"

"Papa bakal beri dia pelajaran, kalau Papa masih bisa."

Rasanya sakit ketika mendengar empat kata terakhir sang ayah. "Sama aja .... Seva bakal sakit."

Henri menghela napas. "Papa udah bilang, Seva anak Papa. Papa bakal pilih laki-laki yang pas buat kamu karena Papa tahu apa yang terbaik untuk kamu."

"Dan ... kalau nggak ada yang mau tunangan sama Seva yang masih umur segini?"

Kekehan Henri keluar. "Pasti ada yang mau. Papa nggak maksa dalam waktu dekat yang penting kamu laksanain permintaan ini. Bawa siapa aja dan Papa bakal seleksi dia."

"Lalu, setelah diseleksi ternyata dia nyakitin Seva?"

"Cukup sampai di sana permintaan Papa. Selanjutnya, terserah kamu asal Papa bisa kasih pelajaran sama laki-laki itu, kayak yang Papa bilang tadi."

Seva diam seribu bahasa selama beberapa menit sebelum mengatakan, "Oke."

WaF - 7. Mendengar Pernyataan Cinta dari Seseorang )

Chapter ini, scene di rumah sakit yang harusnya ada di chapter selanjutnya, M pindahin ke sini. Jadi, mungkin chapter depan itu pendek but ... idklah.

Oke. See you. ✨

Oh, ya, cover baru. Hehe. Cantik nde MinariQ!

The simple but weird,
MaaLjs.

28 Agustus 2019 | 01:16

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top