( WaF - 40. Mengeluarkan Seseorang Dari Hati )
Mengeluarkan seseorang dari hati tak semudah perkara memasukkannya. Rey sangat mengakui teori itu karena sudah merasakannya sebanyak dua kali, bahkan sebelum yang pertama benar-benar pergi. Perpisahan yang Rey alami kali ini berakibat sama seperti ketika Atika tiada. Membuat kosmosnya seolah terombang-ambing, kemudian jungkir balik sehingga pijakannya tak menetap.
Jadwal makan Rey tidak teratur. Tidurnya juga tak lelap. Kinerjanya pun menjadi tidak profesional. Terkadang ia akan kehilangan fokus sampai melakukan kesalahan berkali-kali. Mengakibatkan asistennya harus turun tangan membenahi setiap kekacauan yang Rey ciptakan. Oleh karena itu, ia putuskan untuk izin selama tiga hari─dengan alasan sakit─agar kembali stabil.
Namun, semua usaha tersebut tak membuahkan hasil. Saat Rey mencoba menenangkan diri, otaknya membangkang. Organ berwarna putih nan lunak itu terus memutar kilas balik momen seminggu lalu: di mana Seva memutuskan hubungan mereka. Mulai dari memori itu, pikiran Rey mengembara ke banyak hal. Beberapa bagian dari dirinya ingin melakukan aksi kabur seperti lima tahun lalu, tetapi urung karena Rey sadar, ia masih punya kewajiban untuk menjelaskan masalah ini pada orang tuanya. Meskipun sampai sekarang ia belum siap sama sekali.
Sebab tak kuat berdiam diri di apartemennya yang mendadak menjadi penyerap sepi, pagi ini Rey memilih untuk datang ke B&J HR lebih awal. Mungkin dengan menyiapkan beberapa bahan makanan dan alat masak untuk koki-kokinya, Rey dapat mendistrak setiap keping pikiran tentang Seva.
Tatkala hendak menghentikan mobilnya di daerah parkir khusus karyawan dan staf, netra Rey tak sengaja menangkap sosok gadis─dengan balutan jaket dan celana training─yang sedang berjalan sembari menerima telepon. Perempuan itu sangat familier di mata Rey. Namun, Rey agak skeptis karena penampilan gadis tersebut sangat berbeda dari waktu terakhir kali ia melihatnya.
Tak mau membuang kesempatan sekaligus penasaran, Rey segera memarkirkan kendaraannya. Ia turun dengan cepat dan berlari menghampiri sosok itu. Seraya berharap-harap bahwa perkiraannya akan gadis tersebut benar.
Mendengar langkah kaki yang mendekat, si gadis familier tadi langsung menoleh ke arah Rey dengan gerakan penuh antisipasi. Ketika pandangan mereka berserobok, perempuan berambut merah muda itu membeliak. Kekagetan yang kentara tergambar jelas di wajah rupawannya.
Sementara Rey mengeksistensikan senyum lebar. Menandakan kesenangan yang tak terkira karena dugaannya tak salah. Hingga dengan enteng, Rey menyapa, "Hai, Alika."
( ⚘ )
Sejak berkonfrontasi dengan Alika─si gadis berambut merah muda─senyum Rey tak pernah sirna. Perasaannya yang semula mendung, mendadak cerah karena kehadiran perempuan itu. Kendati membawa sedikit rasa sakit dari goresan luka lama, Rey tak masalah. Yang terpenting sekarang rindunya untuk Alika mulai terkikis.
"Gimana kabar Fiko?" tanya Rey setelah pelayan menyajikan minuman yang mereka pesan. Keduanya sepakat untuk mengobrol di kafe terdekat sampai waktunya Rey bekerja.
"Kelihatannya, anak itu selalu baik-baik aja."
Rey mencoba mendapatkan jawaban yang lebih spesifik, "Masih sering nutupin masalahnya?"
Sambil membenarkan letak tudung jaket dan kacamata hitamnya, Alika menjawab, "Iya."
Rey menganggut-anggut. "Titip salam sama Fiko. Tolong bilang ke dia, Mas bakal segera nemuin dia."
Alika bergumam sebagai tanggapan. Kemudian, gadis itu menyeruput tehnya, tanpa memedulikan pandangan Rey yang terlihat tak suka dengan tudung jaket dan kacamata yang ia kenakan.
"Harus banget pakai gituan?" Rey kembali memulai obrolan saat dirasanya Alika tak berupaya membangun topik.
"Just in case kalau Mas lupa atau kelamaan di Italia, aku model sekarang. Aku lagi nggak mau digosipin punya affair sama laki-laki mana pun─" Alika menempelkan punggungnya di sandaran kursi sembari bersedekap, "─apalagi mantannya mbakku sendiri."
Kekehan Rey keluar. Anak ke dua dari keluarga Sanjaya─adik Atika─yang dikenalnya memang tak pernah berubah. Gadis itu masih dingin dan arogan. Sangat kontras dengan kakaknya yang ramah dan lemah lembut.
Sebelum meneguk kopi di depannya, Rey kembali bertanya, "Kamu ngapain di B&J?"
"Ada kerjaan ... sekaligus nginap."
Sontak alis Rey tertaut. Cangkir kopinya ia letakkan ke tempat semula. "Kamu nggak pulang ke rumah?"
Lagi, Alika bergumam. Ekspresinya sangat datar sampai Rey tak bisa menebak apa yang sedang dara itu pikirkan.
"Kenapa?"
"Alasannya masih sama kayak yang dulu."
Untuk beberapa menit, Rey diam. Senyumnya lenyap. Tertohok karena mengingat masalah kedua orang tua Atika yang berimbas ke anak-anaknya. Dulu saat masih bersama Atika, Rey selalu membantu mereka sebisanya. Akan tetapi, setelah Atika tiada, Rey ikut pergi. Melupakan Alika dan Afiko yang mungkin masih membutuhkannya. Hal itu lantas menciptakan sebidang rasa bersalah dalam diri Rey. Sebab beranggapan bahwa ia telah melepas tanggung jawabnya.
"Maafin Mas nggak bisa jaga kamu sama Fiko."
"Nggak pa-pa. Kami, kan, bukan siapa-siapa sejak Ibu sama Mbak pergi," sahut Alika dengan intonasi datar kendati kalimatnya sarat kekecewaan.
Rey mengembuskan napas pelan karena gelagat Alika yang tenang seumpama air tak berombak. Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan. "Sekali lagi, Mas minta maaf. Harusnya Mas nggak ninggalin kalian. Kalian bakal selalu jadi adik Mas sampai kapan pun."
Alika berpongah dengan menjabarkan ketangguhannya, "Kami udah biasa berusaha sendiri selama lima tahun ini."
Rey sangat tahu dan akui bahwa Alika memang lebih kuat daripada Atika. Gadis itu selalu tegap dan kukuh menghadapi setiap masalahnya. Bahkan Rey tak pernah melihat Alika menangis, kecuali pada saat pemakaman Atika dan ibunya. Walaupun demikian, rasa bersalah Rey tetap tak pudar.
"Dan sekarang Mas udah balik. Mas bakal selalu ada buat kalian. Mas nggak akan ninggalin kalian lagi."
( ⚘ )
Tubuh Rey merebah di tempat tidurnya setelah melakukan ritual bersih-bersih usai bekerja. Pandangannya tertuju pada titik fokus tak kasatmata di plafon kamar. Memutar kembali setiap kata yang keluar dari mulut Alika ketika mereka makan siang bersama tadi.
"Selamat, Mas. Aku lupa ngucapin tadi pagi," kata Alika sebelum memasukkan suapan pertamanya.
Kening Rey lantas mengernyit. "Selamat untuk apa?"
Alika mengalihkan tatapannya dari makanan ke Rey. "Aku dengar, Mas mau tunangan."
Kelebat pikiran tentang Seva kembali menyeruak di kepala Rey. Pria itu bergeming beberapa saat. Menimang-nimang untuk memberitahukan semua masalahnya pada Alika. Hingga akhirnya ia berucap, "Kayaknya nggak jadi."
Alika melebarkan kedua matanya sebentar. Lalu mimik gadis itu kembali datar saat penglihatannya kembali ke makanan. "Kenapa?"
Napas Rey terhela pelan sebelum ia menjelaskan perpisahannya dengan Seva. Sekaligus menikmati atmosfer berdiskusi tentang curahan hati bersama Alika seperti dulu. Meskipun Alika selalu mendengar seraya melakukan suatu hal─contohnya saat ini; sambil makan─Rey tahu dara itu berfokus dengan ceritanya. "Gimana menurut kamu?" tanya Rey setelah usai berdongeng.
"Terlepas dari status aku sebagai adiknya Mbak, aku juga bakal ngelakuin hal yang sama kayak cewek itu. Mas emang nggak fair," jawab Alika dengan tatapan tertuju pada makanan.
"Tapi, kan, dia juga gitu."
Netra Alika akhirnya kembali jatuh pada sosok Rey. "Aku nggak bilang apa yang dia lakuin itu bener, tapi Mas emang lebih nggak fair. Mas terlalu terobsesi sama Mbak dari dulu."
"Terobsesi?"
"Nggak sadar?"
Rey bangkit dari posisinya. Ia meraih ponsel yang ditaruhnya di nakas. Mengotak-atik benda elektronik itu untuk menemukan artikel tentang obsesi. Kemudian, membacanya dengan saksama. Demi membuktikan gagasan yang dikemukakan oleh Alika.
Siang itu, di depan kelas, materi tentang fluida dinamis dijelaskan oleh guru fisika paling menyeramkan sesekolah. Rombongan anggota OSIS─yang bertujuan mengampanye para calon ketua OSIS baru─seolah menjadi penyelamat siswa-siswi yang berada di suasana mencekam.
Dari seluruh kandidat yang ada, mata Rey terpaku pada seorang siswi kelas sebelah yang selama ini selalu ia perhatikan. Gadis berwajah lembut dengan senyum yang menyejukkan. Seingat Rey, namanya adalah Atika Wiji Sanjaya.
Setibanya Atika menyampaikan visi-misi, perempuan tersebut terus tersenyum. Otak Rey yang tadinya penat karena rumus terasa lebih ringan, seakan lengkungan tanda kebahagiaan itu merupakan panasea. Suara Atika pun terdengar merdu di telinganya. Membuat bibir Rey tanpa sadar ikut mengurva kecil.
Sampai pada penghujung orasi Atika, gadis itu tanpa diduga membalas senyum Rey. Mengakibat timbulnya percikan-percikan aneh di dada Rey. Diikuti kehangatan yang nyaman, juga menenangkan. Dan mulai dari sana, Rey selalu mencari tahu tentang Atika. Kartu as untuknya karena dipermudah mengingat Atika adalah siswi aktif yang tak sulit dicari informasinya.
Kemudian, sebulan berlalu setelah kejadian yang menggetarkan hati Rey. Selama itu, banyak informasi yang ia dapat tentang Atika seperti: ekstrakurikuler yang diikuti, mata pelajaran favorit, makanan dan minuman yang paling sering dipesan di kantin, sampai artis idola dan nama-nama mantan pacar gadis itu. Hingga pada suatu siang yang terik, setelah Rey menyelesaikan salat zuhurnya di masjid sekolah, ia tak sengaja melihat sosok yang selama ini menarik perhatiannya tengah duduk di bangku dekat area parkir yang sepi. Awalnya, Rey ingin tak acuh karena jam masuk pelajaran selanjutnya sudah akan dimulai. Akan tetapi, saat mendengar isakan Atika, kaki Rey tak bisa berhenti untuk menghampiri.
"Lo nggak pa-pa?" tanya Rey hati-hati.
Si gadis mengusap air matanya. Lalu berbalik untuk menemukan si pemilik suara. Matanya membeliak kaget saat tahu bahwa orang itu adalah Rey, adik dari ketua klub pemandu sorak terpopuler sepanjang sekolah didirikan─Bey. "Nggak pa-pa," jawabnya pelan.
"Serius?"
Atika tersenyum simpul. "Iya, Rey."
Mendengar namanya disebut, Rey impuls mengangkat satu alisnya. "Lo tahu nama gue?"
Kedua netra dara itu membola karena ekspresi Rey. Seketika Atika bergerak tak nyaman di tempatnya. "Er ..., siapa yang nggak kenal sama adiknya Mbak Bey?"
Rey bergeming. Juga senang karena Atika mengetahui tentangnya, kendati mungkin tak sebanyak yang Rey cari mengenai gadis itu.
"Lagian lo cukup terkenal di kalangan cewek-cewek kok," imbuh Atika dengan senyum yang semakin lebar. Bahkan membuat Rey lupa bahwa perempuan tersebut baru saja menangis.
Semenjak obrolan pertama mereka, Rey dan Atika lebih sering bertemu sehingga membuat keduanya kian dekat. Mereka saling terbuka satu sama lain. Sampai akhirnya Rey tahu badai yang dialami keluarga Atika. Yang juga menjadi penyebab tangis Atika waktu itu.
Sosok Rey dalam hidup Atika bagaikan pangeran berkuda putih yang membawa kebahagiaan. Di saat gadis itu perlu tempat bersandar, Rey akan selalu ada untuknya. Menghibur dengan segala cara agar senyum indah Atika kembali terpancar dari wajah lembutnya.
Di semester kedua saat mereka duduk di bangku akhir SMA, Rey memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya yang terus tumbuh semakin hari. Beruntung baginya karena Atika juga menyimpan rasa yang sama, sehingga mereka mulai merajut kasih.
Hari demi hari berlalu sampai kisah kasih Rey dan Atika memasuki tahun keempat. Sudah banyak rintangan yang mereka lewati. Membuat rasa Rey untuk gadis tersebut mulai tak terbendung. Dengan alasan keposesifannya, ia ingin bersama Atika setiap waktu, serta selalu ingin mendapatkan kabar dari dara itu ketika mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Rey tak suka jika Atika melakukan sesuatu tanpa melibatkannya. Sebab akan memunculkan ribuan pertanyaan dan segumpal keraguan pada diri Rey. Hingga berlanjut pada kehancuran yang untungnya dapat diperbaiki.
Karena semua hasrat itu, Rey memutuskan untuk meminang Atika. Dengan maksud agar gadis itu selalu menjadi miliknya. Sekaligus berupaya menetralisir segala perasaan aneh yang mengungkungnya. Sebab Rey tak mau kehilangan Atika. Menurut Rey, titik kebahagiaannya hanya dapat mengembang saat bersama perempuan tersebut.
Beberapa hari sebelum pernikahan mereka, Rey menyadari ada yang aneh dengan Atika. Gadis itu selalu murung. Saat ditanya, Atika terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Sampai pada suatu sore, tatkala mereka sedang bersantai di balkon rumah Atika, perempuan tersebut tiba-tiba memeluk Rey sangat erat. Tangisannya pecah. Membasahi kaus yang Rey kenakan.
"Kamu kenapa?" tanya Rey bingung. Tangannya dengan telaten mengelus pelan punggung Atika.
Di dalam dekapannya, Atika mulai menengadah setelah ia meredakan tangisnya. "Aku cinta kamu, Rey," ucapnya pelan.
"Aku juga cinta sama kamu," Rey mengusap air mata yang membasahi pipi Atika, "tapi kenapa kamu nangis?"
"Aku cuma nggak nyangka kalau hubungan kita bisa sampai sejauh ini." Atika tersenyum sembari memegang tangan Rey yang menangkup pipinya. "Jangan pernah lupain aku kalau aku nggak ada di samping kamu. Dan tolong, jaga adik-adik aku, ya."
Kening Rey mengerut. "Maksudnya?"
Respons Atika hanya mengangkat bahu sambil menyengir. Lalu kembali meringsut masuk ke dalam pelukan Rey yang menghangatkannya.
Akhirnya, hari pernikahan mereka tiba. Rasa tegang dan gugup melingkupi Rey sejak malam sebelumnya. Ditambah keterlambatan mempelai wanita, membuat perasaan di dada Rey semakin campur aduk. Penghulu yang bertugas menikahkah Rey dan Atika memperkeruh suasana dengan terus bertanya, ke mana perginya sang calon pengantin, karena ia masih memiliki tugas menikahkah orang lain.
Rey mulai bimbang. Ia berbalik untuk menghadap Tami. "Mami udah coba telepon?"
"Udah, tapi nggak aktif," jawab Tami yang sepertinya juga tak kalah gelisah.
"Papi suruh Mang Udin cari di rumahnya aja, ya?" usul Ardi.
"Iya, gitu a─"
"Pak Ardi!" panggil Udin setelah menyelip beberapa tamu, sehingga ia dapat memosisikan dirinya di belakang Ardi.
"Iya, Mang?"
Udin gelagapan. Ia tampak takut. Beberapa bulir keringat sudah menetes dari keningnya. Mengakibatkan Rey, Tami, dan Ardi bingung dengan sikap yang ditunjukkan supir mereka.
"Ada apa, Mang?" tanya Tami yang tadi ucapannya dipotong oleh Udin. Wanita setengah baya itu tampak penasaran.
"Itu, Bu ...."
"Ada apa, Mang? Langsung bilang aja," sambung Rey yang juga tak sabar.
Udin memberikan senyum kecut untuk Rey. "Mbak Tika ..., Mbak Tika ...."
Mendengar nama calon istrinya disebut, Rey menegang di tempat. "Tika kenapa?"
Udin menghela napas. "Mbak Tika sama orang tuanya kecelakaan."
Rey tertegun. Ia merasa dunianya jungkir balik saat mendengar apa yang dikatakan Udin. Bulu kuduknya merinding. Tubuhnya mendadak lemah. Tak pelak kedua matanya memproduksi air yang mulai menggenang menjadi muara.
Tungkai Rey kontan bekerja. Laki-laki itu langsung berlari mengeluari gedung pernikahan, sampai langkahnya terhenti ketika melihat Alika dan Afiko─yang datang dengan mobil berbeda─tengah duduk di bangku khusus tamu. Ini pertama kalinya Rey melihat air mata Alika ketika gadis tersebut berkata: "Mobilnya meledak. Mbak sama Ibu nggak selamat."
Rey mengembuskan napas kuat-kuat usai membaca artikel di internet. Punggungnya tenggelam pada sandaran kasur. Rey tak ingin percaya dengan pendapat Alika, tetapi sebagian besar ciri orang yang terobsesi memang ada pada dirinya. Semua itu tergambar jelas dari bagaimana Rey yang terlalu posesif. Mengumpamakan Atika sebagai semestanya. Hingga pada saat wanita itu pergi, Rey seolah terdampar di ruang angkasa yang hampa gravitasi.
Banyak peluang yang ia dapatkan untuk membangun hubungan baru, tetapi Rey selalu menolak semuanya mentah-mentah. Tiap kali ia berhadapan dengan perempuan lain, maka bayang-bayang Atika akan menghantui. Kemudian, Rey akan bernostalgia dengan afeksi yang pernah ia nikmati. Membuatnya tanpa sadar menghancurkan kesempatan yang akan membebaskannya dari belenggu lubang kelam.
Hingga desakan Tami berhasil mendorongnya. Menekatkan Rey membentuk hubungan baru dengan Seva. Awalnya Rey ragu dan takut. Ia tak mau menciptakan harapan berbuah luka dengan hatinya yang juga masih cedera. Namun, seiring berjalannya waktu, Rey mulai terbiasa dan percaya diri.
Tak perlu menuntut selalu bersama, Rey menikmati setiap rindunya. Tak perlu menuntut selalu menghubungi, Rey percaya dengan Seva. Tak perlu menuntut selalu dilibatkan, Rey yakin dengan gadisnya. Dari kenyamanan-kenyamanan itu, Rey merasa senang dan bahagia. Rasa tertekan akan ketergantungannya tak pernah tercipta.
Dan dari semua itu, sekarang Rey tahu di mana kedudukan taraf rasanya untuk Atika dan juga Seva.
( WAF - 40. Mengeluarkan Seseorang Dari Hati )
Chapter ini, chapter terpanjang. Ya, iyalah chapter 40 digabung sama prolog versi sebelum revisi. Capek banget kelarin chapter ini. Apalagi alurnya maju-mundur kayak Syahroni, kalo kata Arunika dari seri sebelah:v Tapi karena nulis hobi M, asik-asik aja sih kayak biasa. Hehe.
Btw, M seneng banget ih si Mbak model─Alika─muncul. Secara dari seluruh tokoh semesta yang M buat, Alika termasuk salah satu favorit M! Dan ceritanya nanti bakal dirangkum dalam seri Broken Piece. Di sana juga bakal ada Mbak Atika sama Om Rey. Tungguin, ya.
Btw, lagi, M juga seneng ternyata setelah dihitung-hitung If I Could Fly bisa digarap tahun depan. Hikhiks!
/peluk manjahh si Orlin
And FYI, chapter depan tamat. 🙃
The simple but weird,
MaaLjs.
6 November 2019 | 23:15
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top