( WaF - 38. Menangkap Frekuensi Bunyi )
Indra pendengar yang dimiliki oleh manusia mampu menangkap frekuensi bunyi dari dua puluh hertz hingga dua puluh kilohertz. Seperti telinga Rey yang melakukan kerjanya saat ini. Kendati kondisi dapur yang berisik akibat dentingan alat masak, Rey masih dapat mendengar ponselnya yang berdering. Dengan cepat, laki-laki itu merogoh benda tipis tersebut. Sementara satu tangannya tetap sibuk mengaduk-aduk makanan di atas penggorengan.
"Halo?" sapa Rey. Suaranya kentara dengan tanda tanya, karena tadi ia tak sempat melihat nama kontak si penelepon.
"Halo, Om Rey ...."
Lirihan dari seberang telepon membuat Rey menghentikan kegiatannya. Pria itu mematikan kompor. Meminta asistennya untuk melanjutkan masakan yang tadi ia tangani. Kemudian, Rey memasuki ruang pribadinya agar menghindari keributan.
"Seva?" tanya Rey agak skeptis. Antara percaya dan tidak bahwa orang di seberang sana memanglah gadisnya.
Sejak hari di mana Seva menginap, Rey tidak pernah melihat dara itu lagi. Ia sudah mencoba menghubungi dan menanyai kabar. Namun, tak dijawab. Bahkan ketika Rey ke rumah Seva dan menunggu selama beberapa jam, batang hidung perempuan tersebut tetap tidak kelihatan. Seva benar-benar menghindarinya selama dua hari ini. Dan Rey masih belum bisa menebak alasannya.
"Iya, ini Seva." Suaranya masih terdengar pelan dan lemah.
Alis Rey seketika menukik. Kepanikan menyerangnya karena mendengar bagaimana Seva berbicara. "Kamu nggak pa-pa?"
Lama tak ada sahutan sampai gadis itu melempar pertanyaan alih-alih menjawab, "Om Rey lagi kerja? Bisa ketemu, nggak?"
Rey menghela napas pelan. Agak tak terima karena Seva tidak menjawab pertanyaannya. Akan tetapi, juga tak mau memaksa. "Bisa, tapi pekerjaan saya lagi banyak. Sekitar setengah jam lagi, sekaligus istirahat makan siang, gimana?"
"Oke, kita ketemu di gedung kosong, ya."
"Kenapa nggak di restoran?" tanya Rey seraya berjalan ke pintu ruangannya. Bersiap-siap keluar karena ia tahu sebentar lagi acara menelepon usai. "Nanti sekalian makan siang."
"Seva maunya di sana ...."
"Ya, udah." Rey menurut. "Mau saya bawain makanan?"
"Nggak usah."
( ⚘ )
Rey tak menepati ucapannya. Laki-laki itu terlambat hampir dua puluh menit dari yang ia janjikan. Ketika sampai di atap gedung, Rey sudah melihat Seva duduk di sofa. Dengan langkah lebar, Rey menghampiri dara tersebut. Sekaligus berharap Seva tidak marah kerena menunggu lama.
"Seva." Rey mendudukkan diri di sebelah Seva yang tampak tenang di tempatnya. Napas pria itu sedikit tersengal karena berlari menaiki tangga. "Maaf, saya telat. Tadi banyak pengunjung."
Sejurus kemudian, Seva menoleh dengan raut muka datar. Wajahnya sangat pucat walaupun ada sentuhan riasan tipis di sana. "Nggak pa-pa."
Menyadari bahwa keadaan gadis di depannya tidak baik-baik saja, Rey merangsek sangat dekat. Tangannya menyentuh kening Seva pelan. "Badan kamu panas banget," ucap Rey penuh kecemasan.
Tak ada jawaban dari Seva. Ia hanya menatap Rey yang khawatir dengan keadaannya. Ekspresi dara itu bahkan masih setenang tadi.
"Kamu sakit?" Rey menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Seva. "Kita pulang, ya ...."
Cepat sekali, Seva menggeleng. "Seva mau di sini."
"Nanti kamu makin demam."
"Seva mau di sini, Om." Seva masih kukuh dengan keinginannya.
"Seva, denger─"
"Seva mau di sini!" sergah Seva dengan suara yang agak nyaring. Ketenangan gadis tersebut seakan hancur ketika ia memberengut. "Seva nggak mau pulang!"
"Tapi nanti kamu makin demam," ulang Rey. Ia tak mau kalah. Rasa khawatirnya semakin mencuat dan membuncah.
"Biarin!" seru Seva dengan intonasi lebih keras dari yang sebelumnya. Bahkan warna muka anak perempuan itu sudah memerah. Hingga beberapa detik kemudian, sebulir air mata melesat begitu saja di wajah Seva. "Biarin Seva demam terus! Siapa tahu sakit yang lainnya jadi nggak terasa!"
Impuls Rey mengernyit dengan sikap Seva. Pertanyaan-pertanyaan mulai menggerayangi kepalanya karena air mata gadis itu semakin deras. "Kamu kenapa?"
Seperti tadi, Seva tidak menjawab barang selisan. Tangisannya semakin menjadi. Bahu dara tersebut bergetar hebat menahan isakan agar tak menyaring. Ia sama sekali tak memedulikan Rey yang mencoba menenangkan. Bahkan ketika pria itu hendak memeluknya, Seva segera menahan.
"Kamu kenapa?" tanya Rey lagi. Kecemasannya bersatu padu dengan rasa penasaran yang kian bergejolak.
Kepala Seva mendongak. Melontarkan sebuah tatapan lamat dari mata basahnya. "Seva boleh nanya sesuatu?"
"Tanya apa?" Rey dengan telaten menyelipkan rambut Seva ke belakang telinga.
Sebelum kembali bersuara, Seva memperhatikan pergerakan Rey. Lalu menyingkirkan tangan Rey dari tubuhnya. Bersamaan dengan setetes air yang keluar dari kedua matanya, Seva bertanya, "Apa Om udah bisa lupain ... mantan Om?"
Kontan tubuh Rey membeku. Lidahnya kelu. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Seva akan menanyakan hal itu. Kepala Rey tertunduk. Mencoba mencari jawaban yang tepat. Juga menebak-nebak apa yang membuat Seva mengangkat topik ini.
"Kenapa Om nggak jawab?"
Rey menengadah. Membalas tatapan Seva yang sarat kepiluan. Bahkan setelah berpikir selama beberapa menit, Rey tetap tidak menemukan jawaban yang pas. Atau lebih tepatnya, ia tak mampu menjabarkan semua yang ia pendam pada perempuan di depannya.
"Om belum bisa lupain perempuan itu. Seva bener, kan?" tanya Seva sekali lagi. Seolah tak sabar mendapat jawaban dari Rey.
Konteks dari pertanyaan Seva sudah diperkecil, tetapi Rey masih tak menyahut. Ia memilih untuk melengos. Mencoba memandang apa saja yang ada di sana, asalkan bukan kedua manik hitam Seva yang menuntut jawaban.
Isakan Seva pecah di detik selanjutnya. Mungkin sebal karena tak kunjung memperoleh jawaban; serta tahu bahwa pernyataan yang ia kemukakan tadi memang fakta.
Sedangkan di tempatnya, Rey masih tenggelam dalam geming. Tak berniat sama sekali menenangkan Seva karena ia takut menemukan kesakitan di netra gadisnya. Sebab Rey sadar, ia sudah menorehkan luka di hati Seva.
"Om, lihat Seva! Jawab! Jangan cuma diam!" pekik Seva yang mulai kehabisan kesabaran. Tangannya sekuat tenaga mengguncang lengan Rey agar beratensi padanya. "Jawab Seva, Om Rey!"
Hingga beberapa menit berlalu, Rey masih bungkam. Kepalanya tertunduk sangat dalam.
"Om Rey!" geram Seva penuh penekanan. Lengan Rey yang tadi ia guncang, langsung dicampakkannya begitu saja karena kesal. "Sebenarnya Om serius, nggak, sih sama hubungan kita?! Atau Om emang cuma manfaatin Seva doang supaya lepas dari desakan Tante Tami?!"
Dada Rey sesak akibat kalimat yang keluar dari mulut Seva. Perlahan tapi pasti ia mulai mendongak. Berusaha mengumpulkan nyali untuk menatap gadis yang tanpa sengaja ia lukai. "Saya serius sama kamu."
Tawa satire yang diikuti tangis Seva keluarkan. "Serius?! Tapi Om masih pikirin perempuan itu!"
"Saya emang belum bisa lupain Atika sepenuhnya, saya perlu waktu, tapi saya benar-benar serius sama kamu, Seva." Rey mencoba meyakinkan.
"Udah lima tahun .... Selama itu belum cukup juga?!" Seva bertanya sarat desakan seolah dengan begitu Rey dapat melupakan Atika begitu saja. "Kalau Om emang masih belum bisa lupain perempuan itu, Om nganggap Seva apa?! Terus perasaan Om untuk Seva apa?!"
Hidung Rey menghela napas pelan. "Kamu pasangan saya yang sekarang, Seva, dan untuk soal perasaan, saya emang udah ada rasa sama kamu tapi─"
"Tapi masih belum tahu, kan, itu rasa apa?" potong Seva. Suaranya mulai merendah. "Mungkin itu rasa kasihan doang," lanjutnya.
"Seva," tegur Rey karena tak terima. Ia yakin seratus persen bahwa rasanya bukan hanya seperti yang Seva bilang.
"Selama dua hari ini Seva udah pikirin semuanya, Seva ... nggak bisa lanjut, Om," lirih Seva tanpa memedulikan teguran Rey.
Kedua alis Rey sontak tertaut. Wajahnya menampilkan raut tak suka. "Maksud kamu?"
Seva menyugar rambutnya. Meraup napas sebanyak mungkin sebelum berkata dengan gamblang, "Kita udahan aja, ya."
Meski tahu arti dari kalimat Seva yang sebelumnya, hati Rey tetap mencelus ketika definisi yang sesungguhnya mengudara. Pasokan oksigen seolah tak tersedia di sekitar Rey. Sehingga untuk beberapa detik, napasnya tertahan. Rey kembali menunduk. Kemudian, memejamkan mata. Berharap bahwa ini hanyalah salah satu mimpi buruknya. Namun, ketika ia membuka kedua kelopak indra penglihatannya yang menangkap sosok seorang gadis penuh luka tak berdarah, Rey tahu, bahwa semua ini nyata.
Dengan susah payah, Rey menelan ludahnya sebelum berujar, "Seva, tolong beri saya waktu─"
"Om udah dikasih waktu lima tahun. Lima tahun, Om, tapi apa? Om masih belum bisa. Artinya Om belum siap mulai hubungan baru ... dan Seva juga belum siap untuk ngerasain sakit yang lebih dalam ...."
Rey frustrasi. Cepat dan kasar tangannya mengusap wajah. "Saya bakal berusaha, Seva. Saya janji. Tolong kasih saya waktu."
Seva menggeleng ketika matanya ikut terpejam. Membuat tetes-tetes air yang menggenang di pelupuk matanya berlinang. "Seva nggak bisa," cicitnya seraya membuka mata. "Seva terlalu pengecut, Om. Seva takut sakit lagi. Seva nggak bisa ...."
Otak Rey sudah buntu. Kekalutan di dalam dirinya semakin menjadi. Mengakibatkan mulutnya tak bisa memilah kata lain. "Saya bilang, saya bakal berusaha, Seva."
"Dan sekali lagi Seva bilang, Seva nggak bisa." Keteguhan hati Seva sudah mantap. Tatapan yang ia berikan pada Rey pun sangat kentara dengan itu. "Kalau Om minta Seva buat nerima Om yang masih mikirin dia, Om egois, nggak adil. Menurut Seva, Om secara nggak langsung udah ngekhianatin Seva. Mungkin Om pikir, mantan Om udah nggak ada, dia nggak bisa disebut sebagai ancaman, tapi nyatanya, dengan Om masih mikirin dia, berarti Om masih berharap banyak dari dia.
"Nggak menutup kemungkinan, kalau Om bakal cari tentang dia di diri Seva. Dan, pas Om nggak nemuin kesamaan di antara kami yang bikin Om nyaman, Om bisa aja ngebandingin kami berdua. Seva nggak suka dibandingin. Atau yang lebih buruk, Om cari orang lain yang bener-bener mirip sama dia," imbuhnya panjang lebar menggunakan suara superpelan, tetapi masih dapat Rey dengar.
Ego Rey melejit. Berasumsi bahwa semua antisipasi Seva tak akan pernah terjadi, karena menurut Rey, itu benar-benar bukan gayanya. Kalimat-kalimat yang penyudut yang melesat dari mulut Seva membuat emosi Rey menguap. Apalagi ketika memorinya mengingat bagaimana perubahan sikap Seva belakangan ini. Rey merasa upayanya untuk membuka hati tak dihargai.
"Saya juga nggak terima sama perubahan sikap kamu belakangan ini," ungkit Rey. "Setelah kamu ngomong sama si Jevin itu, kamu tiba-tiba selalu ngehindarin saya tanpa penjelasan apa-apa. Kalau menurut kamu saya nggak adil, kamu juga gitu."
"Seva tahu, Seva minta maaf. Dia emang berhasil ngehasut Seva dengan jelek-jelekin Om Rey. Seva coba nggak percaya, tapi Seva butuh waktu, sampai Seva nemuin kalau semua yang Jevin bilang emang bener."
Rey membuang muka. Tertawa hambar kemudian. Rasa sesaknya sudah terkontaminasi amarah. "Jadi, benar, ya, ini karena Jevin."
"Justru Seva sedikit berterima kasih sama dia," sahut Seva yang menimbulkan kepalan tangan Rey. Mata Seva melihat itu. Namun, ia memilih untuk tak peduli. Selanjutnya, Seva bangkit sambil mencangklong tasnya. "Untuk sekarang, kita tenangin diri dulu. Habis itu, kita sama-sama jelasin ini ke orang tua. Om tenang aja, Seva pastiin Papa nggak bakal apa-apain Om. Karena semuanya salah Seva, Seva yang salah milih orang."
( WAF - 38. Menangkap Frekuensi Bunyi )
Setelah M hitung lagi, ternyata ada yang salah soal tahun-tahun gitu. Jadi, umur Seva tahun ini itu pas 20, bisa dibilang 19 karena dia lahir bulan Desember. Ehehe. Dan, karena sering salah hitung umur Seva, M juga salah ngehitung lamanya Om Rey di Italy. Jadi, setelah M hitung bener-bener lebih teliti lagi─semoga nggak salah lagi, udah puyeng soalnya─ternyata Om Rey di Italy itu 5 tahun. Dan, itu artinya Mbak Atika metong umur 22. Huhuhu muda banget sih Mbak cantique:(
Ya, udah gitu aja. Udah M revisi juga sih yang keliru tadi tuh sampe ngantuk-ngantuk tengah malem.
Jodoh Langit yang mabok Om Rey,
MaaLjs.
31 Oktober 2019 | 03:22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top