( WaF - 27. Ratusan Kuman yang Melekat di Kulit )

Mandi bermanfaat untuk membersihkan tubuh dari ratusan kuman yang melekat di kulit setiap harinya. Selain itu, juga dapat menjadi kegiatan penyegar bagi manusia yang melakukannya. Makanya, sekarang Seva tampak seperti barang elektronik yang baru selesai dicas.

Dengan kulit yang masih dingin karena air, Seva meraih ponselnya. Sejak ia mandi tadi, benda persegi panjang nan tipis itu terus bedering. Ternyata Bey mengirimkannya beberapa pesan.

Gabbey

Hai, Sayang.

Apa kabar? Kangen kamu deh.

Maaf, ya, Mbak nggak bisa ikut acara tadi. Lagi di luar kota nih nemenin Mas Irfan.

Sevarina

Halo, mbakku. Seva baik nih.

Ih, Seva juga kangen sama Mbak. Mbak juga apa kabar?

Gpp kok. Santai aja.

Gabbey

Alhamdulillah, Mbak juga baik.

Gimana tadi?

Kamu terima si Rey?

Sevarina

Hehe. Iya, diterima.

Gabbey

Ih, nggak sabar banget sih nunggu nikahan kalian tuh.

Pengen cepet2 iparan sama kamu. Wkwkwk.

Sevarina

Masih lama, Mbak. Hehe.

Nunggu Seva gede dulu.

Gabbey

Ululu, cepat gede deh calon adparnya Mbak ini. ❤

Tapi Mbak boleh nanya?

Sevarina

Nanya apa, Mbak?

Harus menunggu enam menit untuk mendapat balasan pesan dari Bey lagi. Sehingga Seva memutuskan untuk membunuh waktu dengan menanggapi pesan yang dikirim oleh teman-temannya.

Gabbey

Kenapa kamu mau sama Rey? Maksudnya Mbak, selisih umur kalian, kan, jauh.

Kenapa nggak cari yang lebih muda?

Sevarina

Mungkin awalnya karena kasihan. :>

Gabbey

Kasihan?!

Gimana2?!

Mbak jadi kepo tingkat kecamatan nih.

Sevarina

Mbak tahu sendiri gimana momen Seva sama Om Rey ketemu di RS.

Pas Om Rey datang tiba2 ngajak pacaran, ya, Seva tolak.

Gabbey

Ya ampun! Terus?

Sevarina

Om Rey minta kasih kesempatan. Seva iyain aja.

Sampe 3 hari kemudian Om Rey nagih jawaban. Akhirnya Seva terima setelah kami punya kesepakatan.

Gabbey

Ih, si Rey udah kayak bucin. Wkwkwk.

Ngakak banget ini sumpah. 😭

Sevarina

Ngakak tapi emotnya nangis. Ajaib banget. :)

Gabbey

Ajaran Orlin ini. Wkwkwk.

Udah dulu, ya, Sayang. Joan udah rewel mau tidur nih. Kamu juga tidur, ya.

Semangat juga ngadepin Rey kalo lagi posesif. Awokawokawok.

Seva hampir tertawa melihat cara tertawa Bey yang mengikuti anak zaman sekarang. Namun, kalimat sebelumnya lebih menarik perhatian Seva. Membuat gadis itu dengan cepat mengetikkan balasan.

Sevarina

Om Rey posesif?

Gabbey

Banget.

Dia tuh tipe orang yang apa pun udah jadi milik dia, nggak boleh disentuh apalagi diganggu sama orang lain.

Tubuh Seva terpaku pada tempatnya. Tatapannya menerawang ke lantai pualam. Kalimat-kalimat Bey tadi menari di kepala Seva. Menciptakan dugaan-dugaan yang mengalun seperti alunan lagu.

Jadi, Rey posesif?

Rasanya Seva antara percaya dan tidak. Kemarin saat Jevin menemuinya, Rey malah bersedia menjadi wadah penampung cerita. Tak ada tanda-tanda kecemburuan. Membuat Seva bingung harus meyakini pernyataan Bey dan menganggap sikap Rey kemarin hanya kamuflase, atau Rey memang tak pernah cemburu karena ....

Seva dengan cepat menggelengkan kepalanya. Tak mau mempunyai pikiran yang aneh-aneh. Walaupun sebagian dirinya mulai terkontaminasi dan yakin pada dugaan kedua. Mengakibatkan timbulnya sedikit sesak di dada Seva.

Gabbey

Ya, udah, ya, Seva. Mbak Bey mau tidurin Joan dulu.

Pokoknya Mbak dukung kamu sama Rey seratus persen. Mbak yakin yang lain juga begitu.

Sevarina

Hehe. Iya, Mbak, makasih.

Titip salam sama Mas Irfan dan Joan, ya.

Seva melemaskan tubuhnya. Berbaring di ranjang dan menatap titik fokus tak kasatmata di langit-langit kamar. Helaan napas keluar dari hidung gadis itu tatkala mengingat beberapa pesan terakhir dari Bey. Dengan kaki yang bergelantungan di pinggir ranjang, pikiran Seva menyatukan gagasan tentang Rey yang posesif dan beban kepercayaan yang ia pikul.

Mungkin jika tak berpikiran negatif beberapa menit lalu, Seva tak akan merasa bimbang seperti ini. Bukannya ia tak senang diberi dukungan untuk menjalani hubungan. Namun, ketakutannya kembali menyerang. Melahirkan berbagai pertanyaan yang bersarang di batok kepala Seva.

Sudah banyak yang mendukungnya, bagaimana kalau hubungan ini tak berhasil?

Sudah banyak yang mendukungnya, bagaimana kalau ada masalah yang membuat mereka berjalan masing-masing?

Sudah banyak yang mendukungnya, bagaimana kalau dugaan kedua Seva tentang: Rey yang belum mempunyai rasa untuknya adalah fakta?

Seva tak mau ada yang kecewa. Terlebih ia juga tak mau dirinya merasakan luka lama. Membayangkan Rey yang masih belum membuka hatinya saja membuat dada Seva sakit.

Mengubah posisinya menjadi miring, Seva menatap seprai─bergambar karakter kartun Anna dari film Frozen─yang ia timpa. Seva tak mau terus terperangkap dalam katakutan dan dugaan yang entah apa kebenarannya. Oleh karena itu, ia mengotak-atik ponselnya lagi dan mencari nomor Rey.

Tanpa perlu menunggu lama, suara bas dari seberang telepon terdengar. "Halo."

"Ha-halo, Om Rey."

"Kenapa? Kamu kangen saya?" tanya Rey diikuti kekehan kemudian.

Seva ikut tertawa. "Iya .... Om Rey kangen Seva?"

"Kamu mau saya jujur atau bohong?"

"Bohong dulu deh," jawab Seva. Gadis itu terkikik kemudian.

"Saya kangen kamu."

Kedua pipi Seva lantas mengembung mendengar pernyataan Rey. Kikikannya juga hilang. "Jadi, kalau jawaban jujurnya, Om nggak kangen Seva?"

Tawa Rey kembali terdengar. "Kalau jawaban jujurnya ... saya kangen banget sama kamu."

"Ya, ampun." Kekehan Seva pecah, begitu juga dengan Rey di seberang sana. "Oh, ya, Om lagi ngapain?"

"Habis beres-beresin barang," sahut Rey dengan sisa tawanya.

"Ih, kok rajin?" canda Seva.

"Saya mau pindah─" terdengar suara decitan pintu dari dalam telepon, "─ke apartemen."

Spontan Seva mengerjap. "Apartemen? Om punya? Jadi, nggak bakal tinggal sama Tante Tami dan Om Ardi lagi?"

"Iya, saya udah rencanain ini sejak mutusin buat pulang ke Indonesia."

"Kapan pindahnya?"

"Besok. Sebenarnya sejak Kamis kemarin sebagian besar barang saya udah dipindahin ke sana. Jadi, sekarang tinggal bawa pakaian aja."

"Kenapa Om nggak bilang Seva sih?"

"Sebenarnya setelah beres-beres saya mau nelepon kamu. Mau ngasih tahu." Kini yang terdengar suara pintu ditutup. Seva menduga bahwa itu adalah lemari. "Tapi kamu udah nelepon duluan."

"Kalau gitu, besok pagi Seva bantu pindahannya deh," putus gadis itu.

"Nggak usah. Nggak pa-pa. Cuma sedikit."

Kepala Seva menggeleng walaupun ia tahu Rey tak dapat melihatnya. "Seva juga mau tahu di mana apartemen Om. Besok pagi Seva langsung datang ke rumah sana."

"Oke, terserah kamu."

Tiba-tiba Seva menepuk keningnya. Hampir saja ia lupa alasannya menelepon Rey. "Om masih sibuk beres-beres?"

"Baru aja selesai. Ini sekarang udah baring-baring," jawab Rey yang diekori embusan napas pelan. "Oh, ya, saya lupa. Kamu sendiri lagi apa?"

"Juga lagi baring-baring di kamar dan sedikit ... takut."

"Takut kenapa? Kamu sendirian di rumah?"

"Bukan, bukan gitu." Seva menelan salivanya dengan susah payah. "Seva takut sama kepercayaan yang keluarga kita kasih untuk hubungan kita. Seva takut ngecewain mereka."

"Ngecewain gimana?"

Pelan, Seva menggigit bibir merah mudanya. "Takut hubungan yang kita jalanin nggak bakal sesuai harapan mereka."

"Emangnya kamu tahu apa yang mereka harapin?" tanya Rey. Suaranya masih tenang.

"Nggak ... sih."

"Kalau gitu, kamu bukan takut ngecewain mereka tapi kamu takut sama hubungan kita. Kamu lagi mikirin apa?"

Ringisan Seva keluar. Kalimat Rey sangat telak. Pria itu dengan mudah dapat menebaknya. Seva akui, ia memang tak ingin orang yang berharap pada hubungan kecewa. Kadar kekhawatiran itu lebih sedikit dibanding ... bayang-bayangnya tentang hubungan mereka di masa depan. Seolah trauma lama mengajaknya kembali bersahabat. "Mungkin ... takutnya Seva masih karena kejadian yang dulu."

"Bukannya kita pernah bahas ini?"

"Iya ..., maaf, Om."

"Nggak pa-pa." Rey menjeda ucapannya selama beberapa detik. "Kita punya masa lalu masing-masing. Sebenarnya saya di sini juga takut, tapi kalau kita berjuang sama-sama, saya yakin, semuanya bakal baik-baik aja. Yang penting, sekarang jangan mikir yang aneh-aneh. Nanti jadi tersugesti."

Ukiran senyum Seva datang lagi. "Om buat Seva jadi lebih tenang."

"Alhamdulillah. Saya senang kamu selalu jujur. Kayak gini terus, ya."

"Iya. Om juga." Helaan napas lega Seva keluarkan. "Om tidur, ya. Udah malem."

"Harusnya itu dialog saya."

Untuk kesekian kalinya malam ini, Seva tertawa. "Seva juga mau perhatian sama Om."

"Calon istri yang baik."

Muka Seva kontan memerah. Seperti biasa, jantungnya juga ikut-ikutan berdegup kencang. Membuat bibir Seva mengerucut. "Om udah deh gombalnya. Sana tidur, ih."

Sekarang giliran Rey yang terkekeh. "Iya, saya tidur. Kamu juga. Biar cantiknya makin nambah."

"Om Rey!" geram Seva karena godaan pria itu. Mengakibatkan wajahnya semakin menghangat.

Di seberang sana, Rey masih terkikik geli. Setelah mengucapkan salam perpisahan dan ucapan selamat malam, dua sejoli itu akhirnya memutuskan sambungan telepon.

Seva turun dari ranjangnya. Ia ingin pergi ke dapur. Berbicara dengan Rey membuat kerongkongannya kering. Sembari menuruni tangga, Seva memutar kembali perkataan Rey menggunakan ingatannya. Ia memang jauh lebih tenang kendati sebagian dari dirinya masih khawatir. Sebab itu, Seva mencoba mengeluarkan pikiran negatif dari kepalanya karena mengingat peringatan Rey tadi.

Sesampainya di ruang tujuan, Seva mendapati Pipit menyeduh kopi di sebuah cangkir andalan Henri. Gadis itu mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas, menuangkannya ke gelas, lalu bertanya, "Untuk Papa, Bi?"

"Iya, Dek," sahut Pipit seraya menggerakkan sendok yang ada di dalam cangkir sesuai arah jarum jam.

"Papa di mana sekarang?" tanya Seva sebelum meneguk air mineralnya.

"Di halaman belakangan, Dek. Lagi duduk-duduk."

"Kalau Mama sama Deon?"

"Mbak Yana ada di ruang tengah, lagi nonton sinetron. Kalau Dek Deon masih belum pulang dari tadi."

Seva menaruh gelas yang dipakainya ke atas meja. Ia menghampiri Pipit. "Biar Seva aja yang nganterin kopinya."

"Eh, ndak usah, Dek. Ini, kan, tugas Bibi."

"Nggak pa-pa kok, Bi. Seva sekalian mau ngomong sama Papa."

"Beneran, Dek?"

"Iya," jawab Seva sambil mengambil cangkir berisi kopi─yang masih mengepulkan uap itu─dari tangan Pipit.

"Okelah."

Pasrahnya Pipit membuat Seva langsung bergegas ke halaman belakang rumahnya yang cukup luas dan begitu asri. Sangat pas jika dipergunakan untuk acara keluarga kecil-kecilan, atau hanya sekadar dijadikan tempat bersantai bersama keluarga.

"Pa," sapa Seva yang kini sudah berada di samping Henri yang duduk tenang di gazebo.

Pria paruh baya itu menoleh ke arah anaknya. "Lho? Kok kamu yang nganterin?"

Cengiran Seva keluarkan ketika mengulurkan cangkir kopi ke arah ayahnya. "Tadi kebetulan Seva lihat Bi Pipit nyeduh kopi buat Papa. Jadi, Seva yang anterin aja."

Henri menyeruput kopinya. "Tumben."

"Seva juga pengen berduaan sama Papa." Anak perempuan itu bergelayut manja pada lengan Henri. "Gantian gitu sama Mama."

Henri terkekeh. Indra penglihatannya menatap Seva lamat. "Nggak terasa anak Papa udah besar sekarang. Kemarin kayaknya baru bisa jalan." Tawa Seva ikut menghiasi atmosfer taman belakangan. "Bahkan sekarang udah punya tunangan."

Tangan-tangan Seva melingkar pada tubuh Henri setelah pria itu meletakkan cangkir kopinya di meja. "Tunangannya ganteng lagi."

Henri gemas. Dengan sengaja ia mengacak rambut anak gadisnya. "Serius, lho, Papa ngerasa baru jadi seorang ayah kemarin, tapi sekarang anak Papa udah bisa nilai rupa laki-laki lain."

Tawa Seva semakin nyaring. Pelukannya juga kian erat. "Seva sayang Papa."

"Papa juga sayang Seva," sahut Henri sembari membalas pelukan putrinya.

( WAF - 27. Ratusan Kuman yang Melekat di Kulit )

Lagu TWICE - Feel Special keputer terus kayak kaset rusak di kepala:( Apalagi pas bagian Nayeon Onni. Kenapa gitu cantik banget comeback kali ini? Bikin nggak sabar pengen buat cerita pake visual Nay Onni jadinya. Hufft. :(

The simple but weird,
MaaLjs.

12 Oktober 2019 | 02:13

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top