( WaF - 21. Barang yang Baru Dibeli )

Pagi merupakan bagian awal dari hari, di mana semuanya terasa segar seperti barang yang baru dibeli. Mentari sudah menempatkan diri di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang menghangatkan beberapa belahan bumi. Seva turun dari lantai dua rumahnya tak secerah matahari. Pasalnya Deon sudah pergi setelah sarapan karena ada urusan penting, sementara Bia masih tak mengangkat teleponnya sampai sekarang. Seva jadi bimbang sendiri. Hingga satu pesan diterimanya.

Gaufrey

Kamu pergi sama siapa?

Sebelum mengetikkan balasan, Seva duduk di kursi makan. Tadi ia memutuskan untuk bangun agak siang. Membuat Seva tak ikut sarapan bersama keluarganya.

Sevarina

Bia ke mana sih, Om?

Kok nggak angkat telepon Seva, ya?

Daripada menjawab, ia memilih untuk bertanya terlebih dahulu. Seva bersungguh-sungguh tak ingin merepotkan Rey hari ini. Ia yakin, Rey akan segera pergi bekerja. Jelas Seva tahu bagaimana integritas B&J HR. Ia hanya tak mau pekerjaan Rey jadi bermasalah karena dirinya.

Gaufrey

Bia sakit. Deon bisa antar kamu, nggak?

Sevarina

Deon udah pergi setelah sarapan tadi.

Di detik selanjutnya, Seva menggeram. Tangannya bergerak untuk memukul kepalanya sendiri. Di dalam hati, Seva merutuk karena kebodohan yang ia lakukan. Harusnya ia tak menjawab seperti itu. Harusnya ia berbohong saja. Harusnya .... Seva tak mengerti kenapa otaknya jadi berpikir lama pagi ini.

"Kamu ngapain?"

Pertanyaan itu mengejutkan Seva. Ia langsung menoleh ke asal suara. Yana berdiri di ambang sekat yang memisahkan ruang makan dan dapur. Memandangi Seva dengan bingung karena memukul dirinya sendiri.

"Nggak ... pa-pa."

Yana mendekat. Mendudukkan dirinya di hadapan Seva. "Kok mukul diri sendiri?"

Seva kontan saja membuat tampang polos yang tak alami. "Nggak kok. Mama pasti salah lihat."

Kepala Yana menggeleng. "Mama nggak salah lihat."

Tatapan Seva beralih ke arah lain. Ia tak pandai berbohong dan sekarang otaknya sedang beku. "Papa udah pergi?" tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.

"Udah dari tadi. Kamu aja yang bangunnya siang."

Seperti biasa, bibir Seva mengerucut. "Ngantuk ...."

"Tapi tadi salat, kan?"

"Iya," jawab Seva sembari mengangguk mantap. Kali ini ia tak berbohong.

Ponselnya bergetar kemudian. Bahunya langsung merosot ketika membaca sederet kata balasan dari Rey.

Gaufrey

Saya langsung ke sana sekarang.

Seva benar-benar tak ingin merepotkan Rey. Akan tetapi, ia juga yakin Rey tak akan menerima penolakannya. Pria itu pasti kukuh dengan keputusannya mengantar Seva. Kemarin mereka sudah sepakat tentang masalah antar-jemput ini.

"Kamu tuh kenapa sih? Nggak ada yang antar ke kampus apa gimana?" tanya Yana. Ibunya itu memang memperhatikan setiap gelagat Seva sejak tadi.

Jawaban Seva tak langsung keluar. Gadis itu malah membungkuk dan menempelkan dagunya di meja makan. Bibirnya mencebik ketika membalas tatapan penasaran Yana. "Ma, wajar, nggak, kalau ngerasa nggak enak karena terus-terusan ngerepotin pasangan?"

Gumaman Yana keluar sebentar sebelum menjawab, "Wajar aja tapi kalau pasanganmu nggak keberatan, ya, nggak pa-pa. Kenapa? Kamu ngerasa terus-terusan ngerepotin Rey?"

Seva mengangkat dagunya. Ia kembali duduk dengan posisi normal. Lalu merengek pelan. "Iya .... Mama tahu, kan, Seva suka nangis karena hal-hal kecil? Seva udah beberapa kali nangis di depan Om Rey kayak gitu. Sekarang juga, Om Rey mau antar-jemput Seva sampai mobil Seva selesai dibetulin. Padahal Seva tahu, Om Rey bakal kerja sebentar lagi. Nanti pas Seva pulang juga, Om Rey pasti perlu izin dulu buat keluar jemput Seva. Ribet." Seva menghela napas. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kemudian menatap sendu ibunya. "Seva jadi ngerasa kalau Seva itu beban baru untuk Om Rey."

Yana mengangguk-angguk. Matanya memandang Seva intens. "Apa Rey keberatan?"

"Om Rey sih bilangnya nggak. Asalkan Seva juga bisa lebih dewasa lagi. Seva udah coba, tapi kayaknya ... nggak ada yang berhasil sama sekali."

Bibir Yana melengkungkan senyuman. Sangat hangat dan penuh afeksi yang kental. Tangannya tergeser ke arah Seva untuk menggengam jari-jemari gadis itu. "Senggaknya, kamu udah mencoba, Nak. Orang nggak bisa secepat itu berubah. Kamu tahu, kan, kupu-kupu bisa jadi indah butuh waktu yang panjang, banyak proses yang harus dia lewatin. Begitu juga dengan manusia, butuh waktu untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik, lebih indah. Kalau Rey memang nggak keberatan, dia pasti ngerti. Apa Rey pernah nunjukin sikap kalau dia nggak suka sama sifat kamu─walaupun dia pernah bilang yang sebaliknya?"

"Nggak, Om Rey selalu nunjukin sikap yang terbaik buat Seva."

Senyuman Yana semakin lebar. "Nah, itu artinya Rey jujur. Jadi, kamu nggak perlu khawatir." Dengan pelan, wanita separuh baya itu melepaskan tangan anaknya. Ia mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai coklat kesukaan Seva di sana. Kemudian, mengulurkan makanan itu pada si gadis. "Makan dulu sebelum Rey datang. Mama lupa nyuruh Bi Pipit buat jus melon."

Seva mengambil roti yang Yana berikan. "Nggak pa-pa. Aku minum air mineral aja. Makasih, Ma," sahut Seva dengan bibir mengurva. Lalu, ia segera menyantapnya.

Bertepatan setelah Seva menandaskan roti cokelatnya, suara bel pintu menggelegar. Pipit dari arah dapur berjalan cepat membukakan pintu. Seva yakin, yang datang adalah Rey. Ia segera mengecek barang-barangnya, sekadar memastikan tak ada yang tertinggal.

"Dek Seva, ada Mas Rey di luar." Pipit memberi tahu setelah kembali ke dalam.

Tanggapan yang Seva beri adalah anggukan dan ucapan terima kasih. Ia berpamitan dengan Yana, tetapi ibunya memilih untuk ikut keluar. Wanita itu beralasan ingin menyapa Rey.

Sosok Rey yang berpakaian rapi mengambil perhatian mereka sesampainya di ruang tamu. Sepasang ibu dan anak itu tersenyum ke arah laki-laki di depan mereka. Rey langsung membalasnya saat bangkit dari duduk. Pria itu menghampiri Yana dan menyalamnya.

"Apa kabar, Rey?" tanya Yana.

"Alhamdulillah, saya baik. Tante gimana?"

"Alhamdulillah, Tante juga baik." Yana menepuk bahu Rey. Matanya menatap ke arah Seva yang sejak tadi memilih diam. "Kalian mau langsung pergi?"

Daripada menjawab pertanyaan Yana, Seva memberi pertanyaan untuk pacarnya, "Om Rey udah sarapan? Kalau belum, nanti Seva buatin roti cokelat."

Tatapan Yana langsung beralih ke arah Rey. Kepalanya mengangguk-angguk karena sepakat dengan Seva. "Kamu makan aja dulu, Rey."

Rey menggeleng. "Nggak usah. Saya udah makan tadi. Makasih."

"Beneran?" Seva mencoba memastikan.

"Iya."

Pandangan Seva lalu jatuh pada Yana. Ia berpamitan, begitu juga dengan Rey.

( ⚘ )

Seva tahu dan sadar kalau dirinya sudah beberapa kali tak konsentrasi dalam kelas hari ini. Sebagai mahasiswi yang terbilang rajin, Seva memang merasa terganggu karena fokusnya tidak bisa diajak kompromi. Pikiran-pikiran gadis itu berkelana mengeluari ruangan dan membuat otak Seva membuncah. Seperti kendaraan yang bergerak di jalan tanpa rambu-rambu lalu lintas, potongan ide itu berlalu-lalang dan tak beraturan. Kemudian, macet yang merupakan nama lain dari pusing.

Dalang dari semua yang Seva pikirkan adalah Rey. Bagaimana bayangan pria itu bersedia mengantar Seva selama mobilnya diperbaiki terputar di otak Seva. Kepala Seva jelas ingat kalau Rey merasa terganggu dengan teleponnya kemarin. Namun, pacarnya itu justru berbaik hati, menerima jika direpotkan lagi.

Premis Seva tentang dirinya adalah beban kembali menguap. Membuatnya sempat berpikir, mungkin Rey memang merasa keberatan tapi pria itu menganggap ini adalah kewajibaan sebagai seorang pasangan. Akibatnya perasaan bersalah Seva semakin menjadi.

Semangat belajar Seva seolah patah berkeping-keping. Fokusnya pada dosen yang menjelaskan semakin hilang ketika sadar bahwa dugaannya bisa saja fakta. Hidung Seva menghela napas berat. Ia menoleh ke arah jendela kelas.

Seva tak mau terus-terusan menjadi beban untuk Rey. Memang Rey tak pernah mengungkapkan itu. Akan tetapi, Seva cukup sadar diri. Ia ingin menjadi pasangan yang dapat mengimbangi Rey. Yang selalu Rey andalkan, bukan selalu mengandalkan.

Anggapan yang ia ciptakan bahwa dirinya bukanlah pasangan yang baik, berakibat pada suasana hatinya. Perasaan melankolis menjadi peran utama. Membuat Seva ingin menitihkan air mata jikalau tidak ingat sedang berada di mana.

"Sevarina!"

Bentakan dari depan kelas menyentak Seva dari lamunannya. Tubuh Seva menegang saat menyadari semua pasang mata di kelas menjadikannya sorotan. Namun, yang paling mengintimidasi ialah tatapan sinis dari dosennya. Wanita berumur sekitar tiga puluh tahun itu memancarkan aura tak seronok.

"Kamu lihat apa di luar sana?" tanya dosennya.

Seva diam seribu bahasa. Tak menemukan ilham untuk menjawab kalimat interogatif tersebut.

"Jawab saya, Sevarina!"

Pelan sekali Seva mengembuskan napas. Keinginannya untuk menangis tadi semakin menjadi. Kepalanya tertunduk dalam, "Maaf, saya nggak fokus, Bu."

"Kalau gitu saya akan beri kamu tantangan."

Tangan Seva bergetar hebat. Ia segera menyembunyikannya di bawah meja. "Tantangan apa, Bu?" tanyanya, masih tak berani menatap sang dosen.

"Coba jelaskan secara singkat apa yang saya terangkan tadi atau kalau nggak bisa, kamu keluar dari kelas saya sekarang. Selain itu, tugas terakhir yang kamu kumpulkan juga akan saya beri nilai setengah dari aslinya."

Jika diperbolehkan, Seva ingin langsung pingsan di tempat. Tantangan tadi jelas tak akan bisa ia selesaikan. Seharusnya Seva tidak bermain-main dengan dosen galak ini. Gadis tersebut tahu jelas bahwa wanita bergincu tebal itu tak suka jika tidak diperhatikan. Sudah banyak korban sebelum Seva. Namun, dengan bodohnya, Seva malah masuk ke lubang kesalahan yang sama.

( WAF - 21. Barang yang Baru Dibeli )

Tetiba nggak semangat nulis seri MITAM pas sadar, ternyata MITAM: If I Could Fly nggak bisa langsung digarap setelah MITAM: WAF selesai. o(╥﹏╥)o Padahal M udah siap jatuh cinta sama Deon.ggg

The simple but weird,
MaaLjs.

6 Oktober 2019 | 01:20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top