( WaF - 12. Selalu Ditunggu Oleh Orang Banyak )

Akhir pekan selalu ditunggu oleh banyak orang. Pada saat itu, mereka dapat beristirahat, juga mengadakan acara kumpul keluarga. Akan tetapi, Rey tak mendambakannya sekarang. Biasanya ia akan senang karena punya banyak waktu tidur. Musababnya adalah batas waktu yang ditentukan Tami semakin sedikit.

Hasil makan siang kemarin benar-benar gagal total. Seva menolaknya mentah-mentah. Katanya, ia merasa dimanfaatkan walaupun Rey bilang, ini juga untuk kebaikkanya. Namun, gadis itu tetap tak yakin. Ia tak percaya pada Rey.

Rey jadi pusing sendiri. Ia akui dirinya egois, alasan utamanya memang agar terlepas dari Tami. Namun, sekarang sudah genting. Otaknya buntu dan ia hanya berharap pada Seva. Oleh karena itu, Rey sempat meminta Seva memikirkannya terlebih dahulu. Untunglah Seva ingin mempertimbangkan─kendati itu karena kata-kata manis.

"Gimana Rey?" tanya Tami yang entah datang dari mana. Ibunya itu langsung bergabung bersamanya di ruang keluarga. "Besok, hari terakhir, lho."

"Iya, aku tahu," jawab Rey.

"Mau nyerah, nggak? Supaya semuanya berjalan lebih mudah gitu."

Rey menggeleng.

"Mami udah lihatin kamu ke Siska kok. Dia kelihatannya tertarik."

"Tapi aku nggak."

Tami menampilkan senyum satire. "Emangnya udah ketemu perempuan yang narik perhatian kamu?"

Rey melirik Tami sebentar, lalu kembali menatap layar televisi. "Belum tapi aku lagi usaha."

"Usaha apa? Dari tadi cuma gonta-ganti siaran TV." Mulut Tami terdengar menahan tawa. "Atau jangan-jangan ... kamu nunggu bidadari jatuh dari langit? Kayak di iklan-iklan?"

Rey menghela napas. Kepalanya benar-benar menoleh ke arah Tami. "Dari tadi aku emang cuma di sini tapi otak aku nggak cuma diam. Mami, kan, tahu aku. Kalau emang aku nggak bisa nyelesain tantangan ini, aku siap dijodohin sama anak teman Mami itu."

Tami tersenyum lagi. Kali ini sarat akan kepuasan. "Bagus. Semoga aja kamu berhasil atau kalau nggak, juga nggak pa-pa. Siska masuk kriteria menantu idaman Mami kok."

"Mbak Bey nggak ke sini?" Rey mengalihkan pembicaraan.

"Biasanya kalau mau ke sini bakal nelepon dulu. Mungkin nggak."

"Kalau Bia?" tanya Rey lagi.

"Di kamarnya. Habis sarapan tadi nggak kelihatan lagi," jawab Tami. Kemudian, mengambil remote control televisi dari tangan Rey. Dengan seenaknya, ia mengganti siaran. "Mami mau nonton infotainment dulu. Belakangan ini beritanya seru-seru: yang jelek-jelekin mantan istrinyalah, ada juga yang habis keluar penjara nggak tobat."

Rey bergeming. Lebih tepatnya, tak tahu harus memberikan tanggapan apa. Ia jarang menonton televisi. Apalagi mencari tahu berita-berita terbaru tentang artis.

"Nah, itu tuh Rey, kampret banget, kan, dia ngomong kayak gitu tentang mantan istrinya. Kalau Mami ketemu, udah Mami cabein tuh mulutnya." Tami memandang Rey dengan serius. "Kalau kamu cerai─semoga aja nggak, amit-amit─jangan kayak gitu, ya, atau Mami masukin lagi ke dalam perut."

Rey mengangguk-angguk. "Aku samperin Bia dulu," kata Rey setelah mencoba menonton, tetapi tak mengerti apa yang sedang dibahas.

"Iya."

Selanjutnya, Rey beranjak ke kamar Bia. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah mendapat jawaban dari dalam, ia segera membuka pintu. "Bi," panggil Rey saat memasuki kamar adiknya.

"Hm?" tanya Bia. Mata dan jarinya asyik bersama ponsel.

Rey duduk di pinggir ranjang Bia. "Lagi ngapain?"

"Chatting dengan Seva sama Orlin."

Kemudian, hening. Mata Rey menerawang ke lantai kamar Bia. Otaknya kembali memikirkan perbincangan dengan Tami tadi. Sejujurnya, Rey berdusta. Ia tak siap sama sekali jika dijodohkan dengan Siska.

"Kenapa, Mas?" tanya Bia, penasaran apa yang membuat Rey ke kamarnya. Di detik selanjutnya, gadis itu duduk. Bantal disimpan di atas kakinya sebagai tumpuan siku.

Rey mengalihkan perhatian pada Bia. Menelan ludah terlebih dahulu sebelum bertanya, "Seva punya pacar?" Rey mencoba memastikan, meski ia mendengar jelas saat di rumah sakit bahwa, Seva tak memiliknya.

Tatapan Bia sarat akan selidik. Ia menurunkan ponsel. "Kenapa Mas nanyain Seva?"

"Nanya aja."

Rey menutupi tentang ajakan tunangannya untuk Seva. Bahkan, sebelum pulang dari restoran kemarin, ia menyuruh Seva melakukan hal yang sama. Bukan karena antisipasi sebab Seva menolaknya, tetapi tak mau gosip aneh menimpa dirinya dan Seva.

"Mas naksir sama Seva, ya?" tebak Bia.

Sontak mata Rey terbuka lebar. "Kok kamu mikir gitu?"

"Nebak aja. Soalnya, waktu itu, Mas ngajak Seva makan siang berduaan aja, tanpa ngajak aku. Terus sekarang, nanya apa Seva punya pacar atau nggak."

"Emangnya kalau kayak gitu artinya suka?"

Bia mengangkat bahunya. "Mungkin. Dulu, Mas nggak pernah nanya-nanya tentang temen aku."

"Ya, udah. Orlin punya pacar?" tanya Rey.

"Formalitas." Bia mencibir dengan senyum geli. "Seva nggak punya pacar."

"Dan Orlin?"

Bia tertawa. "Nggak punya juga dan sebenarnya Mas nggak peduli, kan?"

Rey tak menanggapi, membuat Bia semakin tergelak.

"Mas mau tahu tentang Seva? Nanti aku ceritain," tawar Bia setelah berhenti tertawa.

"Kalau kamu mau ..., ya, cerita aja."

Bia memutar matanya. Mungkin muak dengan acting-sok-tak-peduli Rey. "Kayak yang aku bilang tadi, Seva nggak punya pacar. Terakhir kali, setahun yang lalu."

"Kenapa putus?" tanya Rey. Yang dikatakan Henri waktu itu cukup jelas, tapi ia ingin mendengarnya sekali lagi. Siapa tahu cerita versi Bia lebih terperinci.

"Nama cowok itu Fadian. Cerita awalnya, sikap Fadian berubah. Jadi, Orlin usulin supaya ngusut alasannya. Setelah diusut, ternyata Fadian selingkuh sama teman SMA-nya. Seva nggak terima dong, dia labrak cewek itu. Aku sama Orlin ikut juga, mau bantuin karena nggak suka temen kami digituin. Kejadian itu, ketahuan Fadian. Lalu, Seva sama Fadian berantem hebat dan mereka putus. Fadian lebih milih selingkuhannya." Bia memasang raut sedih. "Terus Seva jadi nangis hampir setiap hari. Dia nggak sedih ditinggalin Fadian, tapi karena sakit dikhianatin."

Rey penasaran, "Fadian itu tampangnya kayak gimana?"

"Nggak ganteng sih. Masih gantengan Mas kok, tapi dia manis. Nggak bosen gitu lihatnya. Hm ..., mirip Noah Centineo delapan persen," jawab Bia lalu tertawa selam beberapa detik. Kemudian, berhenti setelah dirasanya Rey tak menangkap leluconnya lucu.

"Dan sekarang ada yang deketin dia?" tanya Rey tanpa sadar. Ia teringat saat di rumah sakit, Seva pernah bilang, ada yang mendekatinya. Namun, anak perempuan itu juga ragu.

"Ada, si Jevin, temennya Deon. Cuma udah seminggu lebih nggak teguran. Jevinnya keterlaluan sih."

"Keterlaluan gimana?"

Bia mengatakan, Jevin menduga Seva hamil di luar nikah, karena mau menerima Jevin asalkan lelaki itu berani melamarnya. "Seva jadi nangis tiga hari. Keterlaluan banget, kan, Mas? Aku aja emosi dengernya."

"Seva kuat, ya," ujar Rey─bermaksud pujian.

Senyum bangga Bia tampilkan. Ia tampak seperti seorang Ibu yang senang dengan anaknya. "Banget walaupun banyak nangis. Aku salut sama dia."

Bibir Rey ikut melengkung tipis. "Mas mau ke kamar dulu."

Bia menjengitkan kepala. "Kalau mau tahu tentang Seva lagi, aku siap kok jadi bank informasi."

Lagi, Rey tak menanggapi. Ia segera pergi ke kamarnya. Tak lupa juga mengunci pintu, setelah memasuki ruang kuasanya itu. Rey duduk di bibir ranjangnya. Ia mengeluarkan ponsel. Lalu, menelepon orang yang tadi ia bicarakan.

"Halo." Terdengar jawaban setelah beberapa detik.

( WAF - 12. Selalu Ditunggu Oleh Orang Banyak )

Nggak mood nulis sih tapi pengen. Awokawok. Hari ini sibuk banget ngedit sama nonton WayV Dream Plan Variety Show. Kenapa sih mereka itu lucu betul? Bikin ketawa terus. Gemesin banget. Pengen gigit satu-satu jadinya.

The simple but weird,
MaaLjs.

4 September 2019 | 00:11

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top