( WaF - 11. Bukan Waktu yang Singkat )
Seminggu lebih memang bukan waktu yang singkat, tetapi juga bisa dibilang lama. Selama itu pula, hubungan Seva dan Jevin merenggang. Semenjak pertemuan di T'Sky kemarin, hati Seva sakit. Ia masih marah dengan dugaan Jevin. Itu membuatnya terus menangis selama tiga hari. Seva tak bilang masalah ini pada Deon. Ia tak mau Deon dan Jevin bertengkar karena dirinya. Namun, Seva tetap menaruh nama Jevin di daftar hitam. Tujuan Henri memberi permintaan ini agar Seva bahagia. Akan tetapi, belum juga berada di depan garis start, Jevin sudah membuat Seva menangis. Oleh karena itu, ia yakin Jevin bukan pemuda yang cocok untuknya.
Henri sudah keluar dari rumah sakit. Pria itu tak pernah berbicara tentang permintaannya, tetapi Seva tahu Henri menunggu. Sebenarnya, Henri memang tidak memaksa dalam waktu dekat. Namun, Seva tak enak, juga bimbang. Ia ingin melihat ayahnya tenang dan tak banyak pikiran. Andai saja ada laki-laki baik yang tiba-tiba datang padanya, lalu bersedia menjadi tunangannya, maka Seva akan langsung menerima.
"Kita mau makan siang di mana?" tanya Bia, membuat Seva terjenggut dari lamunannya.
Orlin bertanya balik, "Kalian mau di mana?"
"Gue ikut kalian aja," sambung Seva.
"Um ..., di kantin fakultas gue aja, ya? Gue males ke tempat lain," usul Bia. Kebetulan mereka memang ada di daerah kekuasaannya.
Orlin mengangguk setuju. "Oke, deh."
Mereka bertiga melangkah bersama ke kantin. Berbincang tentang hal acak lalu tertawa setelahnya. Para mahasiswa di universitas menyebut mereka Tiga Serangkai, Si Kembar Tiga, atau yang paling sering: Powerpuff Girls. Itu karena mereka selalu bersama, kendati mengeyam pendidikan di fakultas yang berbeda: Seva jurusan desain komunikasi visual; Orlin jurusan administrasi perkantoran; dan Bia jurusan psikologi.
"Habis kuliah, ngumpul dulu, yuk," ajak Bia. Ia menarik salah satu kursi setelah mereka sampai.
"Ayo aja. Gue juga free hari ini." Seva mengangguk. Ia butuh penyegaran otak. "Mau di mana?"
"Er ..., gue nggak ikut deh," ucap Orlin.
Kedua sahabatnya menoleh ke arahnya, tetapi Seva yang bersuara, "Kenapa?"
Orlin tersenyum tipis. "Ada ... urusan di rumah."
"Kalau gitu, kapan-kapan aja deh. Tunggu Orlin bisa. Gimana, Sev?" tanya Bia sembari menatap Seva untuk meminta pendapat.
Sebenarnya, Seva mau sekarang, tetapi ia rasa juga tak akan enak hanya berdua. Jadi, ia mengangguk setuju.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Seva segera merogoh tasnya. Ia terkejut bukan main ketika melihat nama penelepon. Dengan gerakan cepat, ia mengarahkan layar ponselnya pada Orlin dan Bia.
"Om Rey?! Masnya Bia?!" tanya Orlin. Ia tak bisa menahan keterkejutan hingga suaranya sangat nyaring.
"Kok telepon lo sih, Sev?" Bia ikut mengambil ponselnya. "HP gue aktif kok. Nggak di-silent juga."
Seva menggeleng. "Nggak tahu."
"Ya, udah, coba angkat dulu."
Seperti anak kecil, Seva menurut. Ia segera menerima panggilan itu. Benda persegi panjang tersebut ditempelkannya di telinga. "Halo."
"Halo. Ini saya, masnya Bi─"
"Om Rey, kan? Iya, tahu. Seva save nomornya kok."
"Oh ..., bagus." Rey terdengar berdeham. "Kamu di mana sekarang?"
"Kantin fakultasnya Bia." Seva melirik ke arah Bia yang penasaran. "Kenapa? Mau ngomong sama Bia? Padahal HP-nya aktif, lho. Nggak di-silent lagi."
"Bukan. Saya mau ngomong sama kamu. Jangan ke mana-mana. Saya ke sana sekarang."
"Hah?!"
Tak ada jawaban, hanya nada sambungan telepon yang terputus. Seva menarik ponselnya dan mengernyit. Ia menatap ke arah dua sahabatnya yang bertanya-tanya.
"Katanya, bukan mau ngomong sama lo, tapi ... sama gue."
Alis Bia menukik. "Kalian ada apa lagi?"
Seva kembali menggeleng. "Nggak tahu. Perasaan gue, nggak ada apa-apa deh."
Tepat semenit setelah Seva mengatakan kalimatnya, Rey datang. Pria itu berdiri tegap di samping meja mereka. Para gadis tampak masih tak percaya. Namun, sosok Rey benar-benar nyata.
"Cepet banget!" seru Seva, heran.
"Saya udah ada di depan kampus pas nelepon kamu," jawab Rey dengan santai.
"Mas, ngapain ke sini?" tanya Bia.
"Mau ketemu Seva," jawab Rey secara gamblang. Matanya menatap Seva, sementara yang ditatap masih melongo, tak percaya apa yang didengarnya di telepon tadi memang benar.
"Sevarina Lallita Putri, Mas?" tanya Orlin memastikan.
"Iya." Rey masih memperhatikan Seva. "Jadi, kamu bisa ikut saya?"
Kelopak mata Seva mengerjap sebelum menjawab, "Ih, mau ke mana? Seva mau makan siang."
"Saya juga. Nanti kita makan sama-sama."
Muncul garis-garis pertanda bingung di kening Seva. "Ngomongnya di sini aja nggak bisa?"
"Nggak."
Kening Seva semakin menunjukkan garis-garisnya. "Penting banget?"
Rey menaikturunkan kepalanya. "Menurut saya, iya."
"Kalau Seva ikut─" Seva menimang, "─nanti siapa yang antar Orlin ke fakultasnya?"
Rey tampak berpikir. Kemudian, ia menatap Orlin. "Kamu bisa pakai mobil?"
"Bisa, Mas," jawab Orlin.
"Seva, kamu pergi pakai mobil saya aja. Biarin Orlin gunain mobil kamu. Nanti saya antar lagi ke sini."
Akhirnya, Seva mengangguk setuju. Ia menyerahkan kunci kendaraannya pada Orlin.
"Nanti chat kapan kelas lo selesai, biar gue bisa langsung jemput," kata Orlin seraya menerima kunci dari Seva.
"Oke," sahut sang empu kendaraan.
Kemudian, Seva dan Rey meninggalkan dua gadis lainnya. Sulit mengikuti langkah Rey mengingat Seva yang jauh lebih pendek. Apalagi pria itu tampak tak berniat memelankan kecepatan sama sekali. Entah karena memang tak tahu atau benar-benar tidak peduli. Hal itu membuat Seva jadi mendengus-dengus sendiri.
( ⚘ )
Seva terbilang anak yang pintar. Namun, sekarang, ia tak bisa menghitung sudah berapa kali mengubah posisi. Itu karena Rey yang memperhatikannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Momen ini persis seperti di rumah sakit kemarin; saat Jevin terus memandanginya.
Jika ini adalah novel fantasi, Seva berharap mempunyai kekuatan teleportasi, ia ingin menghilang sekarang. Andai, saat ini, Seva berada dalam salah satu acara TV uji nyali, ia akan melambaikan tangan ke kamera, tak kuat menerima tatapan Rey yang memacu adrenalin, menurutnya seperti itu. Seva memang berlebihan dan ia sendiri pun mengakuinya. Namun, ia serius merasa sedikit terintimidasi karena Rey.
Bibir Seva mengurva terbalik. Ia tampak seperti anak kecil. "Kenapa sih mandangin Seva kayak gitu? Takut tahu─takut Om sebenarnya kesambet genderuwo yang mau nyulik Seva," jujurnya. Sejak sampai di restoran, mereka belum berbicara sama sekali, kecuali saat memesan makanan. "Katanya, Om mau ngomong, tapi kenapa diam aja?"
Sedikit tawa Rey terdengar setelah mendengar kejujuran Seva. Ia membenarkan posisinya terlebih dahulu. "Ayo, kita tunangan."
Kontan Seva tersedak liurnya sendiri. Untunglah pelayan datang di waktu yang tepat. Setelah makanan dan minuman di letakkan, Rey segera mengulurkan jus melon pesanan Seva.
Seva mengambil gelas berisi jus dari tangan Rey. Ia langsung menyedotnya. Sedikit terbatuk-batuk saat bilang, "Om bercanda, ya?"
"Saya nggak bercanda," jawab Rey santai. Pelayan sudah pergi. Ia mulai sibuk mengayunkan sendok untuk menyuap makanannya.
Seva ingat, kalau dua puluh menit yang lalu ia sempat berpikir, akan menerima siapa saja yang bersedia bertunangan dengannya. Namun, tak menyangka bahwa laki-laki yang datang adalah seorang Gaufrey Wahid Amaelo, kakak dari sahabatnya; sekaligus lelaki yang pernah ia tampar di rumah sakit.
Alis Seva bertaut. "Kenapa?"
Rey tampak tak mengerti. "Apanya?"
"Kenapa mau tunangan sama Seva?"
"Mau saya jujur atau bohong?" tanya Rey tanpa menatapnya. Pria itu fokus dengan makanan.
Keraguan mengerumuni Seva. Bahkan, ia berdoa pada Tuhan agar mengirimkan pria lain. Ia ingat, kalau Henri memberikan permintaan agar hatinya tak pernah hancur lagi. Ia sangsi bahwa Rey bisa menyanggupi itu. Selama ini, mereka tak punya hubungan yang baik.
"Jujur dong," jawabnya.
Rey meletakan sendok dan garpu. Lalu, meminum airnya sebelum kembali menatap Seva. "Kamu disuruh Om Henri untuk tunangan, kan?"
Seva membelalak. "Kok Om tahu?"
"Kemarin, saya dengar pemb─"
"Om nguping?" tanya Seva lagi. Jelas ia tak terima.
"Nggak sengaja dengar. Saya, kan, ada di luar ruangan, ngangkat telepon." Rey mencoba menjelaskan. "Saya mau masuk tapi kalian masih ngomong. Makanya saya nunggu dulu."
Dada Seva terlihat kembang-kempis. Ia sedikit marah. "Sama aja nguping dong."
"Oke, saya minta maaf. Saya lanjut, ya?"
Seva tak memberi tanggapan. Masih jengkel.
Rey menganggap itu lampu hijau. Ia menjelaskan tentang paksaan menikah dari Tami. Lalu, tentang perempuan bernama Siska. "Bukannya mau jual mahal, tapi saya emang nggak tertarik sama yang lebih tua. Karena saya nolak, ibu saya malah nyuruh bawa perempuan yang narik perhatian saya. Harus dilakuin dalam waktu empat hari. Kalau nggak, saya bakal dijodohin sama Mbak Siska itu."
"Jadi, Om tertarik sama Seva?" Suara Seva sudah terdengar stabil. Ia tak lagi marah karena Rey menguping.
"Mau saya jujur atau bohong?" tanya Rey, lagi.
"Jujur."
"Jujur aja, menurut saya, kamu ... cantik tapi arti tertartik di sini, bukan berarti saya suka sama kamu. Ngerti, nggak?"
"Maksud Om, cuma tertarik doang?"
Rey mengangguk.
Seva menghela napas. "Nggak mau, ah."
Rey kelihatan kecewa. "Kenapa?"
"Om ngajak Seva tunangan, supaya Om bebas dari desakan Tante Tami aja, kan?"
"Juga bantu kamu ngabulin permintaan Om Henri," timpal Rey.
Seva segera menggeleng cepat. "Kalau gitu, Seva nggak mau deh."
( WaF - 11. Bukan Waktu yang Singkat )
Kesulitan chapter ini, ngegambarin gimana perasaan Seva tentang permintaan dan ajakan dari Om Rey. M ngerti gitu apa yang dia rasain ..., cuma susah dijelasin. Duh. Semoga kalian bisa paham deh.
The simple but weird,
MaaLjs.
3 September 2019 | 00:47
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top