Bab 1 | Mango

“Tugas besok udah lo catet, ‘kan? Sekarang lo gantiin gue piket.”

Kilith mengembalikan buku tugas milik Bata. Ia menggerakkan tangannya ke depan dan ke samping, seperti sedang menata sesuatu. Seiring dengan itu, meja dan benda-benda lain di kelas bergerak, melayang, dan kembali ke posisi yang lebih rapi. Sapu bergerak dengan sendirinya, dan kelas pun bersih tanpa sampah.

"Wow!" Bata bertepuk tangan. Meskipun ia sudah sering melihat sahabatnya melakukan itu, ia masih saja takjub.

Pertama kalinya Bata mengetahui kemampuan psikokinetik milik Kilith ketika mereka berdua bertukar contekan sewaktu ujian. Kilith menjatuhkan pulpen pengawas ujian sebagai pengalih perhatian, lalu menukar kertas jawaban mereka berdua dengan cepat. Semua itu terjadi tanpa sentuhan. Jari Kilith hanya bergerak, kemudian benda-benda yang menjadi targetnya mulai bergerak sesuai keinginannya. Kilith sendiri baru menyadari bakat ini sejak berada di bangku sekolah menengah.

Bata berjalan membuka jendela kelas dan melongok keluar. Angin sore menerpa wajah dan memainkan rambut hitamnya. Kilith mengikuti Bata. Di jam seperti ini, seharusnya mereka sudah pulang.

Kedua pasang mata mereka menelaah halaman belakang yang tepat di bawah mereka. Tanpa diduga, kedua iris Bata mendapati hal mengejutkan.

"Kil, liat," bisik Bata, menyuruh Kilith mengikuti arah pandangnya, "di pohon mangga."

"Dia mau bunuh diri?" Kilith membelalak. Bukan tanpa sebab mereka cukup terkejut melihat Elise—teman sekelas mereka—duduk di dahan pohon mangga sembari memegang pisau lipat. Wajahnya tampak seperti tak mempunyai semangat hidup, membuat kedua cowok itu berpikiran negatif.

Kilith menggunakan kemampuannya untuk menjatuhkan pisau lipat di tangan Elise. Pisau itu terjatuh ke tanah. Kemudian, ia berteriak, "Elise! Turun! Mati itu bukan jalan keluar!”

Kepala Elise mendongak, matanya mendapati dua teman sekelasnya berteriak-teriak meminta agar ia turun. Karena enggan memperpanjang kesalahpahaman, ia pun turun dari pohon, dan bergegas ke lantai dua—tempat Kilith dan Bata berada.

Wajah Kilith terlihat khawatir saat melihat ekspresi suram Elise di depan pintu.  Elise memang memiliki wajah datar dan mata sayu. Itu sebabnya, ia terkesan suram seperti itu.

"Ya ampun, Lis! Kalau lo ada masalah, bisa cerita ke kita!" 

"Iya!" sahut Bata.

Walau mereka tidak begitu dekat sebelumnya, tetap saja mereka ingin membantu Elise jika diperlukan.

"Gue, tuh, nyuri mangga, bukan mau bunuh diri," ketus Elise. Dengan wajah sebalnya, ia duduk di salah satu meja kosong. Diraihnya sesuatu dari dalam ranselnya lalu dijejerkan di meja.

Beberapa buah mangga telah masak yang tampak menggiurkan.

Pisau lipat tadi, sudah dibersihkan dan digunakan untuk memotong mangga. Entah ada angin apa, Elise membagikan hasil curiannya pada kedua temannya itu.

Kilith dan Bata menyengir, sedikit merasa tak enak telah salah sangka. Namun, pada akhirnya mereka memakan mangga yang dibagikan Elise.

Saat sedang asyik menikmati mangga sambil berbincang ringan sedikit, terdengar suara gaduh dari arah bawah. Kompak, ketiga siswa itu melihat ke arah jendela. Lantas buru-buru turun saat menyadari ada sesuatu yang tak beres.

"Ngapain kalian ke sini?!" Bata bersuara marah.

Ada tiga orang yang terlihat seperti preman sambil membawa tongkat kayu yang diketuk-ketukan ke tanah. Serta, tampaknya mereka memiliki urusan dengan Bata.

"Nyariin lo, lah!"

"Udah gue bilang, jangan samperin gue ke sekolah!"

"Lo nggak ada di rumah. Ya, kita cari," dengkus salah satu preman. "Eh, ketemunya di sekolah. Yah, bisa apa kita?"

Sambil merasa kesal, Bata merogoh saku celananya. Diberikannya beberapa lembar uang pada preman-preman itu. Mereka tampak senang sampai berseru, “Nah! Gitu, dong!"  

Tak lama setelahnya, mereka pergi. Menyisakan Bata dengan wajah yang tampak sedih.

"Mereka masih ngejar?"

"Kami dijebak. Karena nggak ada bukti lunas, mereka masih terus minta angsuran."

"Berapa, sih? Biar gue bayar," ucap Kilith enteng.

"Nggak ada gunanya. Nanti lo malah ikut-ikutan diperas."

Kilith mengacak rambutnya. Ia merasa frustasi karena tidak bisa membantu sahabatnya itu.

"Bikin aja mereka nggak berani dateng lagi."

Mereka menoleh ke arah Elise. Cewek itu pun menjelaskan rencananya dengan sukarela. Kilith sempat terkejut saat mendengar Elise menyebutkan tentang kemampuannya.

"Kalian pikir selama ini gue ga tau kalo Kilith punya kemampuan aneh kayak gitu?"

***

Keesokannya, tiga siswa itu selalu berkumpul sepulang sekolah. Mereka menyiapkan berbagai jenis benda tajam, dan mengumpulkannya di area belakang sekolah. Hingga minggu berikutnya, preman-preman itu kembali datang ke sekolah. Kali ini, Kilith bersembunyi di atas pohon mangga bersama Elise yang memegang sebuah speaker.

"Kenapa lo ngundang kita ke sini? Nantangin?"

"Kalian dapat pesan dari orang tua gue." 

"Halah! Lo kan yatim piatu."

"Tepat sekali."

Sesaat kemudian benda benda tajam mulai melayang di sekitar preman-preman itu. Mereka pun merapat dan gemetar kebingungan.

"Jangan membuat kami jadi arwah penasaran ...." ucap Elisa dengan suara dibuat-buat melalui speaker-nya. 

"Kalian mau menyusul kami?" tambah Kilith.

Menyadari senjata tajam semakin mendekat ke arah mereka, preman-preman itu pun memohon ampun.

"Kami tidak akan mengulangi lagi."

"Bohong Pak, Buk." Bata berimprovisasi.

Preman itu merogoh kantung celananya. "In-ini tanda lunasnya!"

"Jadi selama ini kalian bohong?" Suara Elise meninggi. 

"AMPUUUN." 

Bata meraih selembar kertas yang sudah lusuh itu, dan mengeceknya.

"Oke."

Kilith meregangkan jarinya. Logam tajam yang awalnya tampak tegang mulai bergerak menjauh dari target.

"Jangan pernah ganggu kami lagi," ucap pemuda itu melalui speaker.

Preman-preman itu lari tunggang-langgang meninggalkan area sekolah.

Setelah situasi aman, Elise dan Kilith keluar dari tempat persembunyian.

"Sukses, ‘kan?"

Bata mendekat ke arah Elise. "Iya, makasih ... Elise geulis."

"Hati-hati cowok modus," sahut Kilith sembari menjewer Bata agar menjauh.

Bukannya marah, ia justru tersenyum ke arah Kilith. 

"Apa?" 

"Timakaci, besfen!" Bata membuka kedua tangannya, bermaksud untuk memeluk Kilith.

"Hiii ... jijik, woi!" Kilith berlari menghindar. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top