5. Jealous? I Have No Reason For It
SUDAH lebih dari empat kali Hyun Ji menepis keringat yang mengaliri keningnya dengan deras, pada akhirnya sukses membuat gadis itu terduduk kewalahan di bangku teras apartemen dengan desah lelah mengudara. Ternyata angin malam tidak buruk juga. Setelah dihujani keringat, Hyun Ji mendadak sadar dan mensyukuri hadirnya semilir angin yang membelai halus kulitnya.
Hah. Malam yang melelahkan.
Tidak, ia tidak menyalahkan siapa-siapa untuk semua ini. Setidaknya semua rasa lelah dan tetes keringat yang ia keluarkan berguna; bukan hanya bagi Dino yang sekarang dapat bernapas lega karena semua kardus berat berisi barang-barang pribadinya telah dipindahkan ke kamar baru, perasaan Hyun ji yang tadi uring-uringan perlahan mulai membaik.
Sementara gadis itu mengatur napas yang naik turun tak teratur, bayangan sosok Dino tiba-tiba hadir di depannya, mengukir senyum dan menyerahkan satu kaleng soda sebelum kemudian mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. "Ini. Minumlah."
Hyun Ji menatap kaleng dengan kedua alis terangkat, perlahan tersenyum lebar dengan mata membulat cerah. "Wah, terima kasih."
Mungkin saat itu tenggorokkannya tengah berteriak untuk cepat-cepat dialiri cairan basah dingin yang menyegarkan. Jadi tanpa basa-basi lagi, gadis itu langsung meneguk cepat soda pemberian Dino, kelewat asyik untuk menikmati minuman berkaleng itu sampai tak sadar pemuda di sampingnya kini memperhatikan wajahnya dengan senyum geli yang terulas pada wajah.
Diperhatikan begitu selama tujuh detik penuh tentu mengundang rasa jengah pada diri Hyun Ji. Gadis itu melirik Dino sembari menghentikan aktivitas minumnya, mengerutkan kening samar saat bertanya, "Kenapa memperhatikanku seperti itu? Apa ada yang salah?"
"Ah, tidak." Tawa Dino mengudara bebas. "Tak ada yang salah pada seorang gadis yang tengah kehausan hingga meneguk minumannya begitu cepat, nyaris mirip vampir yang haus darah." Pemuda itu mengangkat kedua bahu dan menarik senyum miring sebelum kembali melanjutkan, "Tapi mungkin, di mata pemuda tertentu yang berniat mengajakmu berkencan akan berpikir itu menjijikkan, Ji. Sungguh. Kalau tiba-tiba kau tersedak dan mati mendadak, bagaimana? Konyol sekali, bukan? Pelan-pelan saja minumnya, nikmati dan resapi tiap cairan yang turun ke tenggorokan. Tidak usah terburu-buru begitu, minumannya juga tidak akan kabur, kok."
Dikatai seperti itu tentu membuat Hyun Ji refleks memukul bahu Dino pelan, tapi tak dapat menyangkal tawanya untuk tak mengudara bebas. "Kau ini memang tidak pernah berubah, ya."
Dino tebahak begitu keras dengan mata menyipit lucu. "Pukulanmu juga tidak berubah, Ji. Masih sangat lemah." Ada nada meremehkan bercampur dengan gurauan yang dibuat-buat, Hyun Ji masih sangat mengenal sifat teman lamanya dengan baik.
"Kau mengesalkan, Chan, serius." Walau nada bicaranya mengandung rasa jengkel, Hyun Ji tetap mengembangkan tawa kecilnya. Nampak manis dengan surai coklat yang diikat ke belakang menjadi satuーsejenak mampu membuat Dino tertegun, tak menyangka seorang anak perempuan pendiam yang nampak cupu di sekolah dasar dulu kini bertransformasi menjadi gadis manis yang murah senyum. Ah, waktu berjalan begitu cepat ternyata.
Pemuda itu meneguk sodanya untuk beberapa tegukan pendek sebelum kemudian kembali menyahut dengan topik obrolan baru, "Ngomong-ngomong terima kasih, ya. Kau tahu, awal aku bertekad untuk pindah, aku tak menyangka akan bertemu orang baik yang rela mengangkut barang-barang beratku ke kamar secara gratis."
Hyun Ji sempat mengernyit menatap Dino yang sekarang terkekeh puas. Gadis itu mendengkus menahan tawa sekaligus sebal yang bercampur menjadi satu sebelum menyahut, "Tak apa, santai saja."
"Tapi aku masih tidak habis pikir dengan kelakuanmu, Ji." Kini Dino mengubah posisi duduknya dengan mengangkat kaki kanan untuk ditekuk di atas kaki kiri. Matanya menyipit menatap lawan bicaranya heran. "Kau bahkan membantuku mengangkat barang tengah malam begini. Aku baru tahu kau selalu tidur larut malam. Mau jadi apa nantinya? Teman burung hantu yang berkeliaran subuh-subuh?"
Dino terbahak, kali ini lebih keras dan bebas sementara Hyun Ji hanya tersenyum samar. Tipis dan nyaris tak kelihatan, namun pemuda di hadapannya ini kelewat peka untuk dapat memperhatikan perubahan-perubahan kecil pada wajah lawan bicaranya.
"Kau receh sekali, Chan. Menyebalkan."
"Bukannya receh itu suatu kelebihan? Tak semua orang selera humornya rendah tahu."
Hyun Ji akhirnya ikut tertawa juga walau hanya sebatas kekehan pelan yang berujung dengus lelah. Terlalu lama mendengar ocehan Dino membuatnya tak tahan untuk terus bergeming dengan ekspresi datar sementara teman lamanya itu sudah berkali-kali mengukir senyum dan tawa yang entah kenapa sukses menyelipkan rasa hangat dalam hatinya.
Seperti yang ia katakan sebelumnya, pengaruh teman lama.
"Iya, iya. Terserah."
Keheningan kembali menyelimuti setelah keduanya sibuk memperhatikan langit malam dengan taburan bintang indah. Walau tahu semua ini di luar batas-karena Hyun Ji tak biasa akrab dengan lelaki sebelumnya, gadis itu tetap tidak berusaha menjauh. Sebaliknya, menikmati sisa malam yang hanya tinggal beberapa jam lagi dengan duduk berdua bersama Dino adalah opsi terbaik yang bisa ia dapatkan.
Diam-diam Hyun Ji memutar memori lama bagaimana ia bisa mengenal sosok Lee Chan. Bertahun-tahun lalu, semuanya berbeda. Lee Chan bukan lelaki manis yang baik hati, bukan pula si genius yang menjadi bahan pembicaraan guru-guru di sekolah. Cukup dengan kenakalan dan sikap usilnya sebagai anak SD, Hyun Ji tak menyangka, Lee Chan bisa menjadi begitu populer di kalangan para gadis.
Meski dulu terkenal sebagai anak pemalu yang jarang sekali membuka diri untuk bergaul, Hyun Ji tak dapat menyangkal keinginan hatinya untuk mengenal sosok Chan lebih dalam. Dan entah keberuntungan apa yang memihaknya hari itu, tepat saat langkahnya hendak memasuki kelas dengan pikiran terbayang wajah tampan Chan, tiba-tiba pemuda itu sudah berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat pongah.
Entah harus mengkategorikan masa lalu buruk atau indah pada kejadian itu, karena di sana Dino berdiri bukan untuk mengajaknya berkenalan seperti yang Hyun Ji kira. Pemuda itu malah menarik paksa buku PR Hyun Ji dengan satu kalimat singkat yang masih ia ingat, "Hei, serahkan buku PR-mu kalau kau masih ingin hidup."
Saat itu, satu-satunya yang terlintas dalam benak Hyun Ji adalah, Memangnya PR dan nyawa itu berhubungan, ya?
Tapi karena terlalu takut untuk mengucapkan penolakan, akhirnya Hyun Ji kecil yang dilingkupi kegugupan itu memilih pasrah dan menyerahkan buku PR yang telah ia buat semalaman pada Dino.
Hah, masa kecil yang mengerikan.
Siapa sangka Dino cilik yang menyebalkan itu bertransformasi menjadi pemuda tampan dengan tawa manis yang mampu membuat pipimu memanas?
Jangan salah sangka. Semua yang Hyun Ji sebutkan di atas hanya sebatas kagum semata. Tidak lebih.
Semlir angin malam sontak membubarkan lamunannya. Hyun Ji berdeham pelan, memainkan kedua ibu jari di atas mulut kaleng sebelum kemudian membuka suara untuk membahas topik pembicaraan yang sedari tadi mengundang tanya dalam benaknya. Baiklah, enyahkan pikiran tentang bocah cilik menyebalkan itu. Setidaknya ada satu bahasan penting yang sekiranya dapat menyingkirkan kecanggungan di antara mereka.
"Ehm, kau tidak kuliah?"
Dino mengernyit, melirik sekilas jam yang melingkar pada pergelangan tangan dengan satu kerut tipis. "Ya ampun, Ji. Ini baru pukul tiga pagi dan kau sudah menyuruhku pergi kuliah? Yang benar saja."
"Tidak sekarang juga, Dino!" Menahan dengkus sebal yang membuatnya tergiur untuk menjambak surai hitam kawannya itu, Hyun Ji sempat menghela napas sebelum kembali berkata, "Maksudku keseharianmu. Kau kuliah atau tidak?"
Tawa Dino melayang dibawa embusan angin mengudara. Kendati hampir pagi dan mereka bahkan belum meluangkan waktu untuk memejamkan mata melepas penat, Dino yakin duduk pada bangku di taman apartemen berhadapan dengan Hyun Ji akan jauh membuat harinya akan jauh lebih baik.
"Tentu saja. Kau tidak percaya kalau aku kuliah?"
"Dimana universitasmu? Seingatku di daerah sini memang ada banyak tempat kuliah. Itu mengapa apartemen kita banyak dihuni orang-orang muda. Nah, kalau tempat kuliahmu sendiri ada dimana?"
"Di sekitar Cheongdam-dong."
"Apa?" Hyun Ji mengernyit sebagai refleks dari keterkejutan. "Itu jauh sekali. Bukannya lebih dekat dengan rumahmu yang lama, ya? Kenapa malah memilih pindah ke apartemen?"
Dino tergelak, seketika membuat Hyun Ji mengerutkan kening heran. "Tidak, tidak. Rumahku tidak lagi di sana." Namun dalam beberapa sekon yang berlabuh cepat, pemuda itu kembali bungkam, menelan ludah tatkala kedua sudut bibirnya yang tadi mengembang lebar turun perlahan. Hyun Ji masih menatap Dino dengan kerut samar, hendak kembali bertanya namun lelaki itu sudah terlebih dulu melanjutkan ucapannya, "Ibuku menikah lagi. Dengan pria yang sangat kubenci. Bukankah itu cukup jelas sebagai alasan untuk aku pergi dari rumah?"
***
Mata kuliah yang membosankan. Sungguh, rasanya Hyun Ji ingin segera pulang dan berbaring di atas kasur untuk membalas dendamnya semalam yang tak dapat tidur lelap. Karena membantu Dino untuk pindahan dadakan, gadis itu jadi harus menunda waktu tidurnya bahkan setelah sadar hari ini ada kelas pagi Tuan Kim.
Gadis itu kira, tidak tidur semalaman tidak akan berpengaruh banyak pada kondisi fisiknya pagi ini. Toh bukan menjadi perkara lagi baginya untuk bergadang semalaman seperti yang biasa ia lakukan saat musim ujian tiba.
Tapi hari ini, matanya tak dapat diajak kerjasama. Kantuk menggerayahi netranya begitu cepat dalam waktu yang singkat, nyaris membuat gadis itu terlelap sebelum kemudian suara Ara menyentakkannya.
"Kau terlihat lelah, Ji."
"Ah, ya." Hyun Ji menghela napas panjang, mengucek kedua mata yang sedari tadi ingin terkatup rapat. Gadis itu mendesah sembari memukul-mukul keningnya pelan, sebelum kemudian menyambar tas dan bangkit untuk melangkah keluar kelas.
"Apa kau benar tidak apa-apa? Matamu terlihat bengkak." Ara menatap lebih lekat wajah Hyun Ji dengan jarak yang tak lebih dari lima belas senti. Ada yang tidak beres di sini, Ara yakin betul dengan itu. Gadis itu bahkan sudah terlebih dulu menatap Hyun Ji dengan mata menyipit curiga lengkap dengan dengus tak percaya saat sahabatnya itu masuk kelas dengan mata sayu.
Apa ini karena masalah kemarin?
Ah, Ara bahkan tak yakin Hyun Ji rela menghabiskan waktu semalam berharganya itu untuk menangisi Wonwoo yang bahkan tidak memikirkannya.
Tapi, bisa jadi, 'kan?
Bukannya memang, Hyun Ji sudah benar-benar menyayangi Wonwoo?
"Ji, katakan padaku." Tak tahan dengan sikap aneh Hyun Ji, Ara akhirnya meraih lengan Hyun Ji paksa, secara tak langsung memberhentikan langkah mereka yang sekarang mengarah ke koridor. "Kau ini kenapa? Seharian aku melihatmu tidak memperhatikan kelas dengan baik. Matamu juga bengkak begitu." Memberi jeda beberapa detik, Ara sempat merendahkan nada bicaranya tatkala melanjutkan, "apa semalaman ini kau tidak tidur karena sibuk menangis?"
Kejadian kemarin. Ya, tentu saja. Menangis memang hanya satu-satunya cara untuk meluapkan kesedihan yang saat itu menelannya dalam. Tapi, menangis selama semalaman penuh? Tidak.
Hyun Ji menatap lembut manik Ara, berusaha membangkitkan senyum tipis yang nampak dipaksakan. "Aku tidak apa-apa, Ra. Sungguh." Menghela napas pelan, gadis itu sempat tersendat ludahnya sendiri saat melanjutkan, "Aku memang kurang tidur, tapi itu tak ada hubungannya sama sekali dengan Wonwoo."
Ara mengerutkan kening dalam. Baiklah, kali ini ia mengakui ada yang aneh dengan Hyun Ji. Apa yang semalaman ini Ara lewatkan? "Tidak ada hubungannya dengan Wonwoo? Lantas apa? Tugas? Kuis? Atau apa?"
Terlalu banyak pertanyaan Ara. Terlalu banyak introgasi dan mungkin kekhawatiran gadis itu telah menggunung. Tak apa, kali ini Hyun Ji dapat memakluminya. Bagaimana bisa Ara merasa tenang sementara sudah lebih dari sepuluh kali panggilannya diabaikan oleh Hyun Ji semalam?
"Kau mirip ibu-ibu kosan, Ra." Tawanya mengudara, terdengar pelan dan sedikit mengesalkan di telinga Ara.
Tapi begitu melihat sahabatnya dapat kembali tergelak santai dengan satu kerut samar pada ujung mata, sejenak Ara dapat bernapas lega. "Lalu apa? Katakan, Ji. Kau membuatku tak bisa tidur semalam hanya karena memikirkanmu! Harusnya mataku yang bengkak sekarang!" protesnya.
Hyun Ji lagi-lagi terkekeh. Gadis itu membuka mulut hendak menyahut namun tiba-tiba dering ponsel menghentikan gerakan mulutnya. "Sebentar, sebentar."
Walau terlihat Ara mengerutkan kening kesal, berkacak pinggang bahkan sampai menahan dengus kerasnya, Hyun Ji tetap merogoh tas hanya untuk sekedar menemukan benda pipih yang dibalut case Winnie The Pooh, membaca sekilas nama yang tertera pada layar.
Keningnya berkerut samar seketika. Gadis itu memberi kode dengan mata pada Ara dan menyuruh gadis itu untuk menunggu sebentar sementara ia menggeser jempol ke atas layar. "Halo, Dino?"
Ara tak dapat menyembunyikan kerut samar pada kening ketika mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sahabatnya itu. Dino? Dinosaurus? Atau siapa?
"Apa? Makan siang bersama? Tidak mungkin."
Makan siang bersama?!
Tidak, tidak mungkin. Benar-benar tidak masuk akal. Setahu Ara, teman laki-laki Hyun Ji hanya sedikit. Paling-paling, yang paling dekat hanya Mingyu. Tak ada lagi. Lantas siapa si Dino ini? Tidak mungkin 'kan nama panggilan keren begitu menjurus pada seorang gadis?
Apa Hyun Ji memang sudah menemukan pengganti Wonwoo?
"Hei, tapi-"
Tit. Mati. Ara dapat melihat kening sahabatnya berkerut heran dengan tangan yang menurunkan ponsel perlahan, sedikit terkesiap saat tahu teleponnya diputus tiba-tiba. Segera--tanpa disuruh atau menunggu, Ara langsung menyentuh lengan Hyun Ji dan menyuarakan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi mengganggu benaknya.
"Kau berhutang banyak penjelasan padaku, Ji. Sekarang katakan, siapa si Dino itu? Kenal dimana? Bagaimana kalian bisa mengobrol begitu akrab?"
Hyun Ji menghela napas, terkekeh pelan sementara tangannya kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. "Intinya, dia teman lamaku. Teman masa kecil yang tiba-tiba muncul semalam."
Kening Ara berkerut samar. Mencoba menghubungkan kepingan teka-teki dalam benaknya, gadis itu hendak menyahut tapi tiba-tiba ucapan Hyun Ji menghentikan gerakan mulutnya.
"Ah, maaf, Ra. Sepertinya aku tak bisa menemanimu bertemu Mingyu. Dino bilang ia sudah ada di depan kampus untuk mengajakku makan siang. Aku harus menemuinya sekarang."
Tunggu. Apa? Makan siang berdua? Dino menjemputnya sekarang?
Sebenarnya apa hubungan mereka?
"Tapi, Ji-"
"Aku tidak apa-apa, sungguh. Dino lelaki yang baik, percayalah."
Dan semua teka-teki dalam benak Ara tak dapat terjawab dengan tuntas saat sahabatnya itu melangkahkan tungkai ringan melintasi koridor sampai akhirnya hilang dari pandangan matanya.
Sementara itu, Hyun Ji tak dapat menahan keningnya untuk tak berkerut dalam saat melihat Dino melambaikan tangan ke arahnya dengan berdiri bersandar di depan mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu masuk. Ah, bahkan dengan kaos putih dibalut jaket jeans abu-abu serta bawahan celana panjang hitam, Lee Chan nampak begitu sempurna.
"Bagaimana kau bisa tahu universitasku? Aku bahkan tidak pernah mengatakannya padamu," ucap Hyun Ji curiga, menyipitkan mata menatap Dino yang sekarang tersenyum puas.
"Kau masih ceroboh persis seperti bocah SD ingusan yang pernah kukenal." Dino tersenyum miring saat merogoh sakunya, mendapati sebuah dompet pink panjang bermotif bunga, dalam sekejap sukses membuat mata Hyun Ji membelalak cepat.
Dompetnya. Bagaimana bisa?
"Itu-"
"Bagaimana mungkin kau melupakan benda berharga ini begitu santai? Kartu mahasiswamu lengkap dengan kartu tanda penduduk juga ada di sana. Kau ini benar-benar, ya ..." Pemuda itu mendengkus setengah tertawa saat menyerahkan dompet merah jambu dengan pin kelinci kecil di ujung kirinya pada Hyun Ji. "Aku melihatmu menjatuhkan ini di tengah lorong apartemen. Untung aku yang melihat, bukan anak muda lain yang berniat jahat. Aku yakin kau akan menangis seminggu penuh kalau sampai dompet ini hilang."
Benar juga. Gadis itu bahkan tak sadar telah menjatuhkan dompetnya sendiri di lorong apartemen. "Terima kasih sudah menemukan dompetku."
Dino tersenyum kecil. "Kalau begitu kau tak akan keberatan untuk ikut makan siang denganku, 'kan?"
Lambat, sangat lambat untuk akhirnya Hyun Ji melirik netra Dino sebentar, menyunggingkan senyum tipis pada wajah sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban. Keduanya lalu berjalan santai memasuki mobil dengan tawa kala Dino kembali mengucapkan leluconnya.
Tapi tak disangka, di balik kelegaan hati Hyun Ji karena dompetnya jatuh ke tangan yang tepat, di balik senyum lebar Dino yang menyiratkan kebahagiaan tak terkatakan, sepasang mata tajam mendadak berubah sendu saat harus menatap terang-terangan kejadian itu.
Wonwoo harus mengukuhkan hatinya lebih kuat lagi, bersusah payah menelan ludah yang tersendat di tenggorokan dengan kepalan tangan pelan saat mobil hitam yang membawa mantan kekasihnya itu melaju jauh bersama seorang lelaki lain. Laki-laki tampan lain, yang mampu mengukir senyum lebih baik dari yang dulu pernah Wonwoo lakukan.
Tangannya gemetar seketika, memberikan getaran yang sama dengan yang hatinya rasakan. Dua detik berlabuh, dan pemuda itu tetap bergeming di tempatnya dengan keterkejutan hebat.
Cemburu? Memang apa haknya untuk cemburu?
Bukankah harusnya ia bersyukur karena Hyun Ji telah bahagia bersama pemuda lain?
Pemuda itu menghela napas pelan. Hatinya tetap tak bisa berhenti bergetar meski sentuhan tangan Soo Ri merangsang kulitnya begitu lembut.
"Kau lihat sendiri, Won. Ternyata mudah bagi mantan gadismu itu untuk menemukan pengganti yang lebih baik darimu."
Benar.
Pengganti, yang lebih baik dari dirinya.
Setidaknya kau sudah bisa mengukir senyum, Ji. Setidaknya kau bisa melupakan aku di sini.
Tapi Wonwoo tak pernah tahu, semua yang ia simpulkan dalam dua detik singkat setelah melihat pemandangan tadi tidak berjalan benar sesuai dengan kenyataan yang ada.
Karena jauh, jauh dari semua dugaan-dugaan bodoh itu, Wonwoo tak pernah tahu berapa lembar tisu yang Hyun Ji habiskan hanya untuk menghapus ingusnya sendiri. Wonwoo tak pernah paham, sesering apa gadis itu menangis dalam diam saat harus menahan jerit batinnya sendiri karena tak mampu menepis semua memorinya dengan Wonwoo.
Ia masih mencintai Wonwoo. Begitu dalam, begitu lekat, sampai tak dapat terpisahkan.
Tidak bisa, walau ia sangat ingin melakukannya. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top