35. The Truth We Can't Deny

LEE Hyun Ji tidak pernah menyalahkan siapa-siapa untuk semua hal yang bergulir dalam hidupnya. Untuk dirinya yang terlahir bukan dari kalangan sosialita, untuk ibunya yang harus bekerja keras demi kelangsungan hidup, sampai untuk Wonwoo yang memilih pergi lalu tiba-tiba kembali kendati hubungan mereka sudah resmi tak berstatus lagi. Gadis itu percaya, seburuk-buruknya jalan yang ditempuh, pada akhirnya akan ada satu titik dimana kebahagiaan dapat dituai; dimana semua afeksi dan kesabaran yang terus dipendam akhirnya menghasilkan buah ranum yang menyejukkan mulut. Dan di sanalah, penantian akan berujung bahagia.

Ia percaya pada harapannya yang sudah tumbuh subur dalam lapangan hati.

Namun untuk sebuah kejujuran dalam hidup, gadis itu ingin menangis tersedu-sedu. Harapannya tidak seperti ini. Semua terjadi di luar kehendak, hidup seolah-olah sedang mengangkutnya dalam kapal sementara badai bergelora dahsyat, mengombang-ambing perasaan dan membuat tumbang semua asa.

Hyun Ji barangkali tak akan pernah lupa ekspresi ibu Wonwoo yang menatapnya terkejut, kilat amarah juga sepercik kesedihan dalam bola mata gelap itu. Bagaimana makian dilayangkan, bagaimana air mata tumpah, bagaimana hati menjerit dengan rasa malu yang tak tertahankan kendati ia sendiri tak paham di mana letak kesalahannya.

Baiklah, tenang dulu. Wonwoo pasti membelanya, bukan?

Iya, pasti begitu. Tak dapat dipungkiri, Hyun Ji sendiri berharap Wonwoo akan datang, ia kira Wonwoo akan menghubunginya dan berkata bahwa ini hanyalah salah paham belaka, bahwa makian-makian tadi dilayangkan tanpa maksud apa-apa.

Namun berjam-jam gadis itu menunggu, tatkala bel berdenting dan Hyun Ji tersenyum semringah, tatkala jantungnya berdegup kencang dan mengharapkan wajah Wonwoo terpapar, tatkala tangannya sudah siap membuka pintu, hatinya lagi-lagi mencelus oleh kekecewaan.

Rasa sakit menguar, gadis itu meringis bersamaan dengan terlepasnya pedih.

Sebab alih-alih Wonwoo, yang ia temukan berdiri tepat di depan pintu apartemennya adalah Lee Chanーsahabatnya yang terkasih.

Tidak, ia tidak menyalahkan Dino sebab mengetuk pintu rumah di saat gadis itu mengharapkan Wonwoo untuk datang. Kedengarannya egois sekali, padahal kalau dipikir-pikir, sudah lama sejak terakhir kali Hyun Ji dan Dino bertukar sapa. Hubungan teman tetap harus dijaga, bukan? Jadi gadis itu berusaha memaksakan senyum, mengikuti alur basa-basi singkat yang Dino berikan.

Tetapi alur kehidupan juga tak ada yang menyangka. Siapa tahu Dino yang penuh lawakan dan menyebalkan itu dapat berubah menjadi melankolis tatkala tahu masalahnya?

Bagaimana bisa ...?

Namun apapun itu, ia bersyukur memiliki Lee Chan di sisinya. Bukan sebagai seorang pria, melainkan sebagai seorang sahabat. Dan untuk itulah ia memiliki kekuatan tatkala siang ini ponselnya berdenting, menampilkan satu notifikasi singkat yang membuat jantungnya bertalu-gila-gilaan, kelegaan merangsek masuk dalam hati, namun anehnya kebahagiaan serta rasa sakit juga menguar hingga perutnya mendadak mulas.

Dari Wonwoo.

Jeon Wonwoo

Ada hal penting yang harus kita bicarakan sore ini.

Kita bertemu di café biasa dekat perpustakaan pukul 6 tepat.

Singkat. Tanpa basa-basi yang biasanya pemuda itu lontarkan sebelum masuk pada inti pembicaraan. Hyun Ji menggenggam ponselnya lebih erat, lidahnya mendadak berubah kelu dengan getir yang mengiris. Semua berbaur menjadi satu, menjadi kudapan misteri yang mencekik lambung. Gadis itu menahan napas tanpa sadar.

Ada apa ini?

Apapun itu, Hyun Ji harap bukan hal buruk yang harus mengikis afeksi lagi. Harapnya sudah tumpul, tinggal secuil yang belum pasti. Lagipun, hubungannya dengan Wonwoo benar-benar baru diperbaiki, ia tak mau merusak itu untuk yang kedua kali.

***

"Semakin cepat semakin baik, bukan begitu, Wonwoo?"

Jeon Wonwoo tak menyahut apa-apa, tak bereaksi dan hanya bergeming hingga kopinya dingin. Namun ia sendiri tak peduli. Hatinya beku, air matanya kaku, lidahnya diserbu kelu. Agaknya fatamorgana yang terbayang lebih indah, lebih menggoda dan pemuda itu ingin menampik seluruh realita agar tak ada lagi yang terluka. Sesederhana itu, sebenarnyaーhanya menampik fakta, hanya menampar kenyataan sebab harapan memang harus diwujudkan. Jemarinya saling terkait erat satu sama lain, napasnya diembuskan perlahan sementara pikirannya berkelakar jauh.

Soo Ri tersenyum puas. Melihat bagaimana netra Wonwoo menatap hampa, melihat bagaimana Wonwoo dilanda kecewa dan ini menandakan bahwa tak lama, hubungan Wonwoo dengan Hyun Ji akan kandas, lalu pemuda itu akan kembali di sisinya. Soo Ri tak dapat menahan luapan bahagia dalam dada. Rasanya agak tak adil kalau harus melibatkan Hyun Ji dalam perkara yang ditimbulkan ayah tirinya dan barangkali Hyun Ji sendiri tak tahu menahu soal ini, tetapi, oh, siapa peduli? Soo Ri tak peduli, memangnya siapa yang ia pedulikan selain dirinya sendiri? Ini akibat karena berani merebut milik pribadiku--Hyun Ji layak mendapatkannya.

Intinya mudah, Jeon Wonwoo dan Lee Hyun Ji tak akan bisa bersatu. Boom. Keinginannya terwujud.

Wonwoo berkata cinta tak dapat dibeli dengan uang.

Cih, omong kosong. Lantas kalau begini siapa yang hendak disalahkan? Toh kini Jeon Wonwoo hanya bisa terduduk pasrah, bergeming bermenit-menit kendati café semakin ramai.

Well, patut diakui, lelaki itu punya selera bagus dalam memilih tempat makan yang seru. Terutama kerincing bel yang kerapkali berbunyi menandakan seseorang masuk melalui pintu utama café, bunyinyaーwalau terdengar sedikit menyebalkan sebab tiap ia berbunyi, Soo Ri tak tahan untuk tak menoleh demi melihat siapa yang datangーmampu membawa kebahagiaan entah mengapa. Sekelilingnya pun dikelilingi oleh dekor berbahan kayu warna terang, beberapa buah lampu gantung yang berjejer rapi dan cerah, juga lantai konkrit dari kayu dan bata putih. Sederhana, tetapi indah.

Aroma woodie yang kental lantas merangsek masuk dalam indra penciuman. Gadis itu mendengkus, mengamati sekeliling dan melihat banyak hiasan kayu beserta furniture vintage yang dipamerkan. Memang bukan café mewahーtempatnya saja terletak di ujung perempatan dekat gang sempit, bahkan mungkin keberadaannya tertutup oleh toko besar lain. Namun, hei, tempat tak menjadi masalah tatkala kau nyaman dengan suasana yang ada.

Soo Ri berdecak pelan. Kendati dekor nyaman dan ia suka aroma woodie yang diberikan, tetap saja tujuannya bukan duduk, menikmati kopi dan mengoborol santaiーkalau saja ia bisa bersantai alih-alih larut dalam masalah (mantan) kekasihnya dengan gadis lain. "Ck, ayolah, Wonwoo."

Pemuda itu mengerjap.

"Kau tahu ia bukan gadis yang baik. Ia berbohong padamu; Hyun Ji telah membohongimu. Gadis itu sengaja mengarang nama palsu untuk ayah tirinya sebab ia sudah tahu bahwaー"

"Aku tak percaya Hyun Ji benar-benar melakukan itu."

Oh, ayolah. Perdebatan penuh drama ini lagi. Soo Ri mendengkus, berusaha sabar sebab Wonwoo terlalu keras kepala. Peduli setan dengan kebenaran apa Hyun Ji tahu fakta jahat tentang ayah tirinya iniーtoh tahu atau tidak, tidak ada pengaruh apa-apa bagi Soo Ri. Namun menghasut dan membuat Wonwoo benar-benar berpikir Hyun Ji tega melakukannya adalah hal yang menguntungkan sebab dengan ini ia dapat membawa Wonwoo kembali ke pelukannya.

Jadi kenapa tidak?

Gadis itu meraih tangan Wonwoo dengan lembut, meremasnya sebentar dan berusaha memberi kekuatan sebelum beralih menatap mata (mantan) kekasihnya lekat. Ada afeksi serta kepedulian yang ia ingin tunjukkan lewat pandangan mata. "Apa yang mendasarimu percaya pada gadis itu? Dengar, Wonwoo, kau sendiri yang pernah berkata bahwa kita tak bisa melihat hati orang berdasarkan rupanya. Kalau fakta yang terpapar memang demikian, lantas bagaimana?"

Wonwoo menghela napas pendek. Bahunya terangkat lemah, dalam matanya terpancar keputusasaan juga rintihan kelu yang disingkap dalam bisu. Genggaman Soo Ri sama sekali tidak membawa pengaruh, hanya membuat suasana hatinya semakin keruh. "Tidak," sahutnya serak, "aku masih tidak percaya."

"Kalau begitu tanyakan lagi kepada Hyun Ji," sahut Soo Ri ketus, kali ini benar-benar tak dapat menahan kesal sebab Wonwoo selalu menolak kenyataan yang ada. Gadis itu menarik napas, menghelanya pendek sebelum kembali menggenggam tangan Wonwoo dan berbicara lebih hati-hati lagi, "Wonwoo, dia penipu. Kau tidak bisa percaya kepada orang begitu saja, itu sebabnya kau mudah dikecewakan."

Wonwoo menarik tangannya dari genggaman Soo Ri. Ia tak menyahut, hanya menenggak latte hangatnya beberapa teguk. Matanya masih menerawang, kendati café semakin padat oleh beberapa pasangan, pemuda itu tetap merasa sepi menginterupsi hati. Hyun Ji tidak akan melakukan itu, kan? Batinnya bertanya-tanya, namun semua hanya menjadi gumpalan resah yang membendung dalam jiwa. Kedengarannya mudah untuk bersatu lagi, untuk melupakan semua kesalahan lama dan berbalik pada Hyun Ji kembali, untuk membangun hubungan yang dulu runtuh akibat ulahnya sendiri.

Tetapi, realisasinya?

Terkadang tak semua estimasi akan masa depan adalah seratus persen kebenaran. Spekulasinya soal harap dan cinta, semua benar-benar menjadi angan yang tersangkut dalam benak.

Soo Ri akhirnya mendengkus pasrah, memilih untuk menyeruput kembali Almond latte yang dipesan. Hening merayap. Mungkin background musik café serta obrolan dari meja lain yang melambung di udara yang kemudian menjadi peramai suasana. Soo Ri memilih mengecek media sosial, terkadang juga mengecek kuku yang baru didandani di salon semalam. Sementara Wonwoo masih larut dalam heningnya sendiri.

Bahkan tatkala kemerincing bel pintu café berbunyi dan pelayan menyambut pengunjung yang baru datang, keduanya masih sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Sampai sebuah suara diluncurkan, seseorang mendekat ke meja mereka, baik Wonwoo dan Soo Ri lantas mendongak.

Kemudian ketiganya tercengang.

Jeon Wonwoo sudah memikirkan ini barangkali dalam dua belas jam lebih, namun saat ia menatap secara langsung netra Hyun Ji, semua adrenalinnya hancur dalam hitungan detik.

Soo Ri mengukir senyum sinis.

Sementara Lee Hyun Ji, lagi-lagi gadis itu hanya dapat menggigit bibir demi menahan pedih.

Soo Ri?

***

Melebur dalam hening yang mencekik, bahu merosot putus asa juga dengan hati menjerit kecewa, kini aroma kayu dan suasana damai yang selalu ia dapatkan dalam café favoritnya benar-benar sirna. Hyun Ji jelas sudah hafal semua perasaan yang adaーsoal keringat dingin yang menetesi kening, soal campuran rasa yang menghasilkan rasa mulas, soal perasaan sakit setelah ditusuk oleh jarum yang sama berkali-kali. Ini persis seperti kudapan makan malam yang terlalu awalーtapi memuakkan.

Gadis itu bergeming di tempat, merasa semua usahanya sore tadi sia-sia.

Untuk apa polesan bedak serta make up dan hiasan rambut yang terpasang kalau sekarang alih-alih berbicara berdua, Wonwoo malah membawa seorang gadis yang dulu pernah menjadi perusak dalam hubungan mereka untuk ikut serta sore ini?

Suasana menjadi canggung. Meja bundar yang penuh ukiran kayu juga berhias renda ini hanya dikelilingi oleh tiga kursi yang sama-sama dikabung hening. Barangkali ketiga insan di sana masih suka bermain-main dalam pikiran mereka sendiriーmenciptakan pertanyaan-pertanyaan rumit tanpa mau melontarkan langsung melalui mulut, pada akhirnya hanya bertemu jalan buntu.

Lee Hyun Ji memainkan jemari resah, berkutat dalam batin tentang alasan Wonwoo mengajaknya kemari bersama Soo Ri.

Jeon Wonwoo hilang kata-kata dan hanya bisa mendengkus pasrah.

Sementara Soo Ri menekuk alis, dalam hati berharap agar Wonwoo cepat mengatakan maksudnya mengajak Hyun Ji bertemu bukanlah sebab date biasa. Oh, ayolah! Soo Ri saja berusaha mati-matian menahan tawa tatkala melihat pita imut menghiasi kepala Hyun Ji. Ah, lalu bibir mungil yang dilapisi velvet ink lip tint, apa gunanya berdandan manis kalau akhir-akhirnya ia akan pulang dengan air mata meleleh pada pipi?

"Oh, baiklah. Kurasa kita sudah terlalu lama duduk dengan pikiran masing-masing." Suara Soo Ri melambung di udara, seketika berhasil menarik atensi Wonwoo dan Hyun Ji untuk menatap asal suara, membubarkan semua lamunan bercabang dalam benak. Gadis itu memaksa menarik kedua sudut bibir membentuk senyum, menatap sinis Hyun Ji kemudian beralih pada Wonwoo.

"Jeon? Bukankah tadi kau bilang ada hal yang ingin disampaikan pada Hyun Ji?" Soo Ri melipat tangan di depan dada, terlihat acuh tak acuh saat menggerakkan dagu ke arah Hyun Ji. "Dia sudah sampai, sekarang sampaikanlah."

"Kukira kau akan diam sebab yang seharusnya berbicara hanyalah aku sekarang," tukas Wonwoo dingin, menatap tajam pada Soo Ri dan seketika membuat atmosfer pada meja itu lebih keruh lagi. Ia tidak pernah membentak sebelumnyaーoh jangankan membentak, berbicara kasar saja nyaris tak pernah, namun tatkala hatinya sudah tertekan dan Soo Ri malah menekannya lebih lagi, pemuda itu tak punya pilihan selain membela diri.

Terkadang Soo Ri itu harus belajar cara menahan mulut agar tidak semena-mena mengatur orang. Wonwoo tak paham mengapa gadis itu dapat merebut hati ibunya dengan mudah.

Hyun Ji berdeham. "Won?" cicitnya serak, "sebenarnya ada apa?"

Wonwoo menatapnya sebentar, kendati samar namun Hyun Ji dapat melihat netra itu berkaca-kaca, tampak seolah tengah menyamarkan luka. Tak lama, suara rendah itu akhirnya terdengar, "Jawab sejujur-jujurnya, Ji." Pemuda itu menjeda, nampak tengah bersusah-payah menelan saliva, kemudian rahangnya bergetar. "Siapa nama asli ayah tirimu?"

Hyun Ji mengerutkan kening, benar-benar tak mengerti arah pembicaraan ini. Ia melirik ke arah Soo Ri, namun sama sekali tak membantu sebab gadis itu malah melipat tangan di depan dada dan tersenyum penuh kemenangan, seolah-olah drama barusan adalah pertunjukan yang hebat. "Kim Wan Soo, bukankah aku pernah mengatakannya padamu?"

"Kau dengar, Wonwoo?" Soo Ri mengangkat dagu angkuh, kedua alisnya terangkat dan Hyun Ji semerta-merta ingin berteriak mengapa Wonwoo membiarkan gadis ini untuk ikut serta dalam acara makan malam mereka.

Wonwoo menatap Hyun Ji dengan eskpresi yang susah dideskripsikan. Kekecewaan menghantam hatinya saat itu juga, tepat mengenai sasaran dimana secuil harapan yang menggantung sudah hancur. Ia pikir Hyun Ji akan mengaku, atau setidaknya memberi penjelasan soal kebenaran ayah tirinya. Tetapi dia nampak jujur, satu sisi hatinya menyahut. Pemuda itu lantas membuang muka, tangannya terkepal tanpa sadar.

Kalaupun Hyun Ji benar-benar tak tahu, lantas bagaimana cara untuk memberitahu?

"Ada apa sebenarnya? Ini benar-benar aneh. Kau mengajakku bertemu dan tiba-tiba saja bertanya soal ayah tiriku." Hyun Ji masih menggeleng tak paham, kini nadanya terdengar tak sabar sebab memang ia tidak mengerti mengapa Wonwoo menghubunginya untuk bertemu kalau-kalau hanya membicarakan soal keluarga begini. Toh, sebenarnya ia juga enggan mengungkapkan fakta keluarganya di depan Soo Riーwalau gadis itu jelas tampak tak peduli sebab sedari tadi Hyun Ji melihat Soo Ri memutar bola mata bosan.

Wonwoo tak menjawab, rahangnya mengeras semerta-merta untuk menahan air mata yang hendak tumpah. Kim Wan Soo, katanya.

Soo Ri tertawa sinis. "Pembohong licik," sindirnya halus. "Kau tak tahu bahwa ayah tirimu itu penjahat kelas kakap? Tak heran kau berbohong pada Wonwoo, tak ada buah yang jatuh jauh dari pohonnya."

"Apa maksudmu?" Hyun Ji menyahut tak terima. "Penjahat apa?"

Wonwoo menelan saliva. Bibirnya bergetar tatkala menyahut, "Apa kau benar-benar tak tahu semua fakta soal ayah tirimu?"

Fakta? Fakta apa?

"Fakta apa? Kami bahkan jarang bertemu."

"Ayah tirimu itu kriminal, bodoh!" Soo Ri menyahut tak sabar, Wonwoo menatapnya tajam.

Hyun Ji mengerutkan kening lebih dalam. Mendengar fakta bahwa ayah tirinya adalah seorang kriminal mungkin tak mengejutkanーtoh memang itu yang ia curigai akhir-akhir ini. Namun apa urusannya dengan Wonwoo dan Soo Ri? Dan bagaimana bisa Soo Ri berbicara demikian seolah ia tahu semuanya?

"Ji, apa benar ..." Wonwoo menjeda, suaranya yang serak lagi-lagi bergetar dan itu membuat Hyun Ji curiga. "Apa benar ayah tirimu pernah melakukan tindak kiminal?"

Hyun Ji menggeleng. "Aku sudah pernah mengatakan ini padamu; aku tidak tahu. Berdasarkan rumor, mungkin iya tetapi aku tak pernah tahu kebenaran yang pas—"

"Sudahlah, kita buat ini cepat saja!" sentak Soo Ri tak sabar, mengeluarkan sebuah map plastik dari dalam tas dan melempar itu pada Hyun Ji dengan kasar. "Baca baik-baik, itupun kalau kau masih punya mata."

Wonwoo menatap Soo Ri tajam. "Kubilang aku yang berhak bicara di sini, kenapa masih tidak mengerti?!"

"Apa? Kenapa?!" Gadis itu membalas. "Kau mau marah? Kau masih mau membela anak tiri dari kriminal yang jelas-jelas memperkosa dan menipu ibumu? Iya?!"

Hyun Ji termangu. "Apa?" Suaranya bergetar. "Jangan sembarangan menuduh. Ayah tiriku memang cinta uang, tetapi aku yakin dia tidak setega itu untuk memperkosa dan menipu ibu Wonwoo hingga masuk penjara. Kau tidak tahu apa-apa jadi berhentilah bersikap sok tahu dalam masalah keluargaku."

Soo Ri tertawa sinis. "Kubilang buka mapnya kalau kau masih punya mata."

Keraguan menyerbu, namun Hyun Ji tak punya pilihan selain membuka map plastik yang Soo Ri berikan. Secarik kertas berisi sebuah data lengkap tercetak di dalam. Keningnya berkerut tatkala membaca semua informasi itu.

Tidak, tidak. Ini tidak benar.

Gadis itu mendongak, tak sadar air matanya telah tumpah. "Tidak ..." bisiknya tertahan, "ini tidak benar."

"Lalu kau mau menyalahkan siapa? Data itu data konkrit, Hyun Ji. Aku mengeluarkan banyak uang hanya untuk mencari pelaku sialan itu. Siapa sangka orangnya adalah ayah tirimu? Ayah tiri dari seorang gadis yang Wonwoo cintai setengah mati. Cih, bodoh sekali."

Mengabaikan lengkingan serta makian Soo Ri, Hyun Ji langsung beralih pada Wonwoo, diraihnya cepat tangan Wonwoo yang tergeletak di pangkuan, digenggamnya erat dengan wajah bersimbah air mata. "Won? Kau tahu aku tidakー"

Wonwoo menarik kembali tangannya tanpa melirik atau menatap Hyun Ji sedikitpun. "Buktinya sudah jelas," tukasnya dingin, kendati suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Buram. Pedar. Luka. Ia tidak seharusnya berkata demikian. 

Hyun Ji menepis sisa air mata. Sayatan dalam hatinya tak pernah pudar, menggambarkan semua rasa sakit yang patut ia dapatkan. Namun tetap, ketidakpercayaan akan fakta yang terpampang masih membuat hati resah. "Tetapi kau tahu aku tidak berbohong. Aku tidak tahu apa-apa soal itu, aku bahkan tidak tahu nama samaran yang dipakai ayah tiriku. Aku--"

"Itu bukti konkrit, Hyun Ji." Soo Ri memotong tajam, "Sekarang sudah jelas alasan mengapa ibu Wonwoo mengusir bahkan memakimu?"

Hyun Ji terisak lemah. Napasnya tersengal tak beraturan. Dadanya dibilit sesak.

"Karena kau tidak pantas berada di dekat Bibi Jeon, bahkan untuk mendekati Wonwoo saja, kau tak pantas."

Wonwoo menatap Hyun Ji tak tega, tetapi tetap tatkala mengingat air mata ibunya, pemuda itu menahan diri untuk membela. Maafkan aku, Ji. Maafkan aku.

"Dasar manusia tidak berotak! Benar-benar keterlaluan!"

Mendadak seruan keras itu mengacaukan semuanya, membuat tiga insan di sana lantas menoleh dan berdiri serentak, beberapa pengunjung di meja lain juga ikut menoleh untuk melihat drama yang terjadi.

Hyun Ji ternganga.

Wonwoo dan Soo Ri menahan napas dalam keterkejutan.

"Ayah tirinya yang berdosa, mengapa kau melampiaskan pada putrinya?!" Pemuda itu meraih kepalan tangan Hyun Ji, menggenggamnya erat tanpa sebersit keraguan. Irisnya menatap Soo Ri tajam, kemudian bergulir pada Wonwoo yang masih mematung di tempat. "Dari awal aku memang benar, Jeon. Kau masih tak pantas untuk menggenggam berlian berharga sepertinya. Bahkan untuk menjaga agar ia tak terluka, kau gagal."

Tangan Hyun Ji bergetar. Genggaman Lee Chan menguat.

Air matanya tumpah lebih deras. Gadis itu bahkan tak paham mengapa Lee Chan dapat muncul dan tetap membelanya kendati situasi benar-benar rapuh begini. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top