33. It's Still Not Over, Jeon Wonwoo

Apa masih ada yang pantas kugaluti harapan,

kalau sekotak harap itu saja sudah menguap entah kemana?

MIMPI ini gila. Ia ingin segera dibangunkan, ingin seseorang meneriaki kupingnya hingga pekak, tak peduli seberapa sakit yang akan ditanggung asalkan dunia mimpinya hancur. Kemudian, kembali ke kenyataan yang lebih manisーdi mana nantinya alur akan berubah, senyuman akan terulas alih-alih air mata. Kebahagiaan yang menguar. Bukan emosi dan kesedihan, itu yang ia inginkan.

Iya, ini pasti hanya mimpi. Ia yakin semua yang terjadi hari ini hanyalah bagian dari mimpi buruk. Ia yakin kini imaji serta ketakutannya yang berlebih berhasil menyeret sebagian jiwanya untuk masuk dalam dunia fantasi otak; di mana semua karakter nampak nyata, semua suasana serta latar yang terbentuk benar-benar persis seperti aslinya. Figur yang menarik, kemudian isi mimpi yang menguras emosi.

Wonwoo menggeleng lemah, denyut pada kepalanya perlahan memudar saat pemuda itu tiba-tiba menghantam paha sendiri dengan tinju terkepal kuat. Rasa sakitnya masih terasa, tidak berubah kendati berkali-kali lagi ia hantam bagian tubuh yang lainnya. Sakitnya masih sama, tentu ini realita.

Hatinya lantas mencelus, semua emosi luruh; bahagia, sedih, marah, bingung, dan gelora gelombangnya mampu menenggelamkan semua asa yang tak tercapai. Pemuda itu menyenderkan kepala pada senderan sofa, memejamkan mata seraya melepas lelah. Namun bahkan di saat-saat melelahkan seperti ini, pikirannya tak berhenti berkontraksi, suara hatinya saling menentang satu sama lain dan sial sekali, sebab Wonwoo juga tidak dapat berbuat apa-apa selain duduk dan bergeming. Kepalanya tetap berkedut, pemuda itu memijat pelipis pelan.

Kenapa malah begini? Wonwoo tidak memperhitungkan hal ini untuk terjadi sebelumnyaーwell, sebelumnya ia memang merasa ibunya akan marah sebab membawa gadis lain alih-alih Soo Ri. Namun reaksi yang tadi terlalu berlebihan. Bahkan dari iris ibunya yang berkilat, Wonwoo dapat menebak ada keterkejutan yang hebat juga amarah yang menguar. Ini di luar batas

Padahal keinginannya sederhana, Wonwoo sendiri tidak menjejalkan hatinya untuk mengharapkan hal-hal muluk lain yang mungkin mampu ia dapatkan. Tidak, tidak perlu. Sesuatu yang muluk hanya akan membunuhmu perlahan saat kau gagal memperolehnya. Tetapi ini keinginan sederhana, yang terlintas dalam benak hanyalah keinginan 'tuk bertahan pada sebuah hubungan mesra yang dijalin berdua. Ia ingin merajut tali baru, membina hubungan baru, memulai hari esok dengan bahagia yang ditabur. Berdua, bersama Hyun Ji.

Sederhana, iya, sederhana.

Namun kau tahu, bahkan sesuatu yang sederhana pun, bila itu menyangkut bahagia juga cinta, ia akan menjadi gulungan benang rumit yang tak mampu diselesaikan akal. Sebab berbicara soal rasa, terkadang realita juga tak menghendaki untuk berjalan bersama.

"Kau senang sekarang?"

Pemuda itu membuka mata secara paksa, mendongak sebentar dan kenyataan getir seketika kembali menghantam angannya yang tadi telah berlabuh jauh. Wonwoo menghela napas, sadar bahwa kini dirinya tengah terperangkap dalam sebuah momen krusial tatkala netranya menemukan ibunya berdiri persis di hadapannya dengan mata berkaca-kaca, jemari yang bergetar juga wajah yang penuh akan kerutan keluh kesah.

Air mata ibunya tumpah, Wonwoo menggeleng putus asa.

"Jawab ibu, Nak. Kau senang sekarang?!"

Pemuda itu menunduk, tak kuasa menatap ibunya lebih lama lagi. Jari-jarinya saling bertaut, dengkusnya terembus dan setetes peluh menjadi ungkapan lelah fisiknya sekarang. Sebab jauh di dalam sana, hatinya bekerja lebih berat. Jantungnya memompa lebih cepat sementara tekanannya terus bertambah.

"Ibu kecewa denganmu, Wonwoo." Kalimat yang terucap lirih, namun mampu menikam hati putranya dengan sadis. "Ibu tidak menyangka kau berteman dengan dia. Soo Ri mencarimu, Nak! Soo Ri membutuhkanmu!"

Teriakan ibunya menggema, menjadi iringan sempurna yang menusuk gendang telinga dengan linu. Namun kebingungan melayang-layang di atas semua reruntuhan asa, di atas kepul harap yang agaknya sudah kehilangan makna.

Kenapa ibu begitu membenci Hyun Ji?

"Kau tahu, ibu menaruh harap banyak padamu. Ibu kira kau bisa menikah dengan Soo Ri, kau bisa membuat keluarga kecilmu sendiri dan memberi ibu cucu. Kau bisa membuat ibu melupakan semua hal buruk pada masa lalu dan membuat ibu bahagia-kita bahagia," kata ibunya pelan, nyaris seperti bisikan namun Wonwoo dapat mendengar semuanya dengan jelas. "Ibu sudah kehilangan kehormatan ibu dengan orang asing, ibu sudah ditipu lelaki yang ibu cintai, ibu pernah diseret ke pengadilan oleh kepungan masa, dan sekarang kau masih ingin melihat ibu menderita?!" Wanita itu kembali berteriak, memelotot namun yang terlihat hanya pahit frustrasi hati.

Wonwoo mengangkat kepala, kali ini menatap ibunya dengan kerutan kening. "Tidak, Ibu. Tidak, bukan begitu."

"Lalu apa?!"

Ia bungkam mendadak, kehilangan kata-kata saat emosi kemudian merenggut kembali akalnya. "Aku sudah melakukan yang terbaik," ucapnya lirih, "tetapi kenapa harus Soo Ri?"

Pertanyaan bodoh. Pertanyaan orang dungu yang tak pernah tahu rasa terima kasih setelah diselamatkan orang lain. Ibu Wonwoo memelotot penuh, sisa-sisa air mata pada pipinya mengering dan merah pada wajah menunjukkan seberapa marah ia sekarang. Tatkala itu Wonwoo sadar, ia sudah mengatakan hal yang salah.

"Kau lupa siapa yang membantu ibu sembuh dari depresi?! Kau lupa siapa yang mengeluarkan ibu dari penjara?! Semudah itu Soo Ri melakukan semuanya dengan tulus, lalu kau malah membuang gadis sebaik dia dan mendekati gadis lain! Gadis yang kau tak tahu asal-usulnya dengan jelas!"

Wanita itu berusaha mengatur napas. Tangannya menyentuh dada, mencoba untuk meredakan emosi namun air matanya sama sekali tak dapat berkompromi. Lajunya semakin deras, peluhnya ikut menetes, kepalanya berkedut pelan sampai wanita itu sadar, ia tak pernah semarah ini sebelumnya. Tidak dengan putranya sendiri.

Jeon Wonwoo hanya diterpa hening. Raganya bergeming, persis seperti buronan yang akhirnya tertangkap dan ditanyai hakim mengenai alasan berbuat jahat. Mulutnya seolah terkunci rapat, tak bisa berkata walau hanya sepatah kata. Ia pernah mengaku bahwa dirinya payah, inilah buktinya. Tatkala kini ibunya terisak sebab kecewa, setengah pikirannya malah tertuju pada Hyun Ji, setengah jiwa serta batinnya malah menyerukan nama gadis itu; apa yang ia lakukan sekarang? Bagaimana keadaannya? Bagaimana perasaannya? Akankah ia baik-baik saja?

Mungkin jawabannya sudah terpapar di depan mata; sama seperti ibunya yang menangis dan berteriak, seperti ibunya yang kini terduduk lemas di sofa dengan bahu merosot dan mata memerah, mungkin seperti ini juga yang Hyun Ji lakukan. Keadaan yang sama, sebab rasa kecewa yang diterima pun sama.

Keheningan lantas mengambil ahli untuk masuk, kedunya kini merangkup diri dalam kekecewaan masing-masing, terus mencoba 'tuk menepis rasa sesal yang mencekik.

"Tetapi kenapa ..." Suara serak itu memecah atmosfir hening. Kedengaran payah dan terlalu rendah, mungkin hampir tak terdengar namun Wonwoo bersikukuh untuk tetap melanjutkan kalimatnya, "kenapa ibu membenci Hyun Ji?"

Ibunya tak langsung menjawab. Ditodong pertanyaan demikian sebenarnya tidak susah. Perihal alasan mengapa kau membenci orang sebenarnya tak membutuhkan waktu lama hanya untuk memikirkan jawabannya. Membenci itu mudah dilakukan, sangat mudah sebab kecenderungan manusia adalah mencari celah keburukan orang, kalau-kalau orang itu lebih buruk darinya. Itulah sebabnya, membenci kontras dengan mencintai. Sebab dengan mencintai kau menerima semua kelemahan dengan kasih, namun membenci berarti menganggap semua kekurangan sebagai musuh yang harus dijauhi.

Jadi soal alasan kebencian, Wonwoo yakin ini bukan pertanyaan susah. Ibunya pasti punya alasan. Dan ia harus tahu alasannya.

Tetapi bahkan dalam tiga menit awal, ibunya tak kunjung menjawab.

Wonwoo hanya bisa mendengkus pasrah. Irisan pedih semakin menyayat hati tatkala melihat ibunya masih menangis tanpa suara, membekap mulut sendiri demi meredam suara isakan yang semakin lama semakin kuat.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Pemuda itu menyahut lirih.

Ibunya menyeka air mata. "Apaー" Tenggorokannya tersekat, wanita itu tetap memaksa berbicara, "apa kau sungguh ingin tahu alasannya?"

Putranya mengernyit. Tanda tanya terus meneror hati, rapuhnya bukan main, bingungnya setengah mati.

Namun belum sempat ia dengar penjelasan ibunya, belum sempat ada kata terlontar sebagai jawaban, belum sempat rasa penasarannya ditumbas sampai tuntas, nyatanya pemuda itu harus menelan bulat-bulat keingintahuannya dan kembali pada realita menyesakkan tatkala denting bel dibunyikan. Barangkali hidup memang senang mempermainkan takdirnya sekarang, bahkan saat Wonwoo berdecak keras, saat pemuda itu bersumpah akan menumbas siapa saja yang berani mengacaukan saat-saat genting seperti sekarang, pada akhirnya semua rutukan kemudian kembali ke diri sendiri saat telinganya mendengar suara wanita.

Suara itu. Tak salah lagi.

"Permisi, Bibi! Apa ada orang di rumah? Aku membawakan sup kacang merah kesukaan Bibi."

Napasnya tertahan. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Darahnya membeku dan tubuhnya ikut terpaku.

Kenapa Soo Ri datang tiba-tiba begini?

***

Tidak ada satu pun kata yang mampu mendeskripsikan bagaimana rupa hubungan mereka sekarang; antara Wonwoo yang memutuskan pergi, Soo Ri masih berharap lebih, juga ibu Wonwoo yang sudah terlebih dulu memberi restu namun apalah daya, putranya memiliki jalan lain.

Sehelai benang terbelah, seutas tali diputus paksa. Anehya kendati demikian, salah satu sumbu masih berusaha untuk bangkit, masih mencoba 'tuk mencari pasangannya yang pergi. Sayang sekali, Jeon Wonwoo tidak menemukan perekat sempurna yang dapat menyambung hubungan itu lagi. Semua sudah selesai, kandas di sini.

Tetapi Soo Ri dengan segala keinginannya itu memang tidak terbantahkan.

Kini, ruang tamu yang tadinya dilingkupi gerah terganti oleh ketegangan. Ketiganya duduk di atas sofa; sama-sama bungkam tanpa berani menatap satu sama lain. Atau mungkin, hanya Wonwoo yang merasa demikian. Sebab ketika ia mendongak, irisnya lantas menatap iris Soo Ri.

Gelap nan kelam, namun ada bara api di dalam sana.

"Kau datang di waktu yang tepat, Soo Ri."

Hening terpecah, Wonwoo menatap ibunya dengan tatapan bertanya-tanya.

"Ah, sungguh, Bi?" Soo Ri menggaruk tengkuk canggung, tersenyum enggan dengan kepala sedikit tertunduk. Nampak sopan dan manis, namun Wonwoo sadar, semua hanyalah kepura-puraan belaka. "Aku tidak merasa hal yang sama. Ah, bukankah ini waktu ibu dan anak?" Gadis itu melirik Wonwoo, "tak apa, aku bisa pulang dan kembali besok. Suー"

"Tidak, jangan pergi." Ibu Wonwoo menggenggam jemari Soo Ri dengan cepat, mencegah kepergian gadis itu agar ia tak beranjak seinci pun. "Bibi mohon, tetaplah di sini."

Soo Ri nampak terkejut, wajahnya menunjukkan keengganan namun jauh di sana, terselip seulas senyum sinis yang kasat mata.

"Bibi masih membutuhkanmu, Nak," Suaranya bergetar, ada getir yang bercokol pada lidah tatkala wanita itu memaksa bibirnya berucap, "tolong, bantu Bibi memberitahu Wonwoo, siapa sebenarnya Lee Hyun Ji itu."

Soo Ri bungkam. Matanya melebar, mulutnya terbuka dengan keterkejutan besar. "Bibi sudah menemui gadis itu?" Pandangannya bergulir pada Wonwoo. "Won? Serius?"

Namun yang ditatap hanya menggeleng pasrah.

Ibu Wonwoo mengangguk lamat-lamat. Wanita itu menengadah sebentar, berharap air matanya berhenti tumpah. "Katakan semua kebenarannya, Soo Ri. Katakan saja, semuanya."

"Tetapi, Bi, akuー"

"Katakan saja, Nak. Wonwoo harus tahu semuanya."

Wonwoo mengerutkan kening. Gulungan sesak sudah menaungi hatinya sedari tadi, kini bertambah dengan beban kenyataan bahwa sebenarnya Soo Ri tahu alasan di balik kebencian ibunya terhadap Hyun Ji. Pemuda itu mengepal tangan, alisnya bertaut lebih dalam tatkala ia menatap Soo Ri dan menemukan gadis itu tengah tersenyum miring. Sinis dan licik. Emosi lantas merambat pada kepala. Wonwoo bangkit dengan cepat. "Kau benar-benar keterlaluan," katanya tajam, mampu membat keriuhan sebab setelahnya ibunya ikut bangkit dan berteriak.

"Wonwoo! Apa-apaan kau?!"

Wonwoo tak peduli lagi. Ia mengibas surai kasar, menggeleng seraya membekap mulut tak percaya. "Dan di saat seperti ini pun, ibu masih percaya padanya?"

Soo Ri hanya dapat memperkeruh keadaan dengan tangisan.

Ibu Wonwoo memelotot marah. "Apa maksudmu?! Kau tidak tahu siapa yang membantu kita selama ini? Ini caramu membalas budi?! Iya?!"

"Dia tidak tulus, Bu," Wonwoo berusaha menjelaskan, "Dia ingin aku membayarnya dengan cinta. Menjadi tunangannya, ibu kira aku melakukan itu untuk apa?!"

Soo Ri ikut berdiri, menatap Wonwoo dengan irisnya yang berkaca-kaca seraya menggeleng tak percaya. "Won? Kau lupa lamaranmu hari itu? Jadi ini semua ..." Isakannya ditahan, Wonwoo benar-benar mual sekarang. "Jadi ini semua hanya karena Hyun Ji?"

Pemuda itu ternganga.

Sejak kapan ia pernah melamar Soo Ri?

Ibunya melempar tatapan menusuk, penuh amarah, dan kini Wonwoo yakin ia sudah melakukan kesalahan besar. Ah, tidak, bukan dirinya. Soo Ri yang membuatnya nampak seolah-olah sedang melakukan kesalahan besar.

"Jauhi dia, Wonwoo! Lihat pengaruh buruk apa yang gadis itu bawa padamu! Lihat bagaimana iaー"

"Tidak, Bu. Hyun Ji tidak demikian!" balas Wonwoo penatーlelah terus-terusan mengutarakan fakta yang selalu dibantah.

"Kau bahkan berani memotong kalimat ibu sekarang!"

Soo Ri menghela napas, memegangi pundak Nyonya Jeon dengan sabar. "Bibi, sudah, tidak apa-apa. Mungkin Wonwoo memang dibutakan oleh cinta, ia hanya belum tahu semua kebusukan dari gadis yang ia suka."

"Jaga mulutmu, Soo Ri. Hyun Ji tidak pernah mengganggu hidupmu dan ini yang kau lakukan untuknya? Keterlaluan."

PLAK

Soo Ri menahan napas, refleks membekap mulut sendiri sampai bahunya bergetar tak karuan. Suasana bertambah tegang seketika. Gadis itu diam-diam merasa puas. Rencananya berjalan sempurna. Ya, tepat sekali.

Wonwoo memegangi pipinya yang memerah. Rasa panas menjalar dengan cepat, rasanya bahkan tak sebanding dengan rasa pedih yang ikut menyayat hati. Pemuda itu menatap ibunya tak percaya. Kini bukan hanya rasa penasaran yang menggantung dalam benak, namun juga kekecewaan serta ketakutan. Ketakutan untuk kembali berharap, kekecewaan sebab yang digantungkan harapan kini malah memalingkan wajah.

"Kau yang keterlaluan, Wonwoo."

Wonwoo berdiri terpaku.

"Kau benar-benar mengecewakan ibu."

"Bibi, tenanglah. Aku bisー"

"Tidak, Soo Ri. Masalah ini harus diselesaikan dengan cepat," potong ibu Wonwoo tegas. Ia menarik napas, melayangkan kedua netra menatap Wonwoo yang masih bergeming kaku di tempat. Tanpa secuil pun keraguan, wanita itu dengan mantab mengatakan, "Baiklah, sekarang biar ibu yang memberimu pilihan."

Tangannya didekap di depan dada. Momen krusial itu nyatanya tak berhenti di sana. Jeon Wonwoo tahu ia pantas mendapat semua, tetapi tetap, satu hal yang tidak ia mengerti perihal kejutan dalam kehidupanーdalam hidupnyamengapa selalu diberi bumbu getir alih-alih manis?

Sebab lima detik setelahnya, Wonwoo masih dapat mendengar suara ibunya yang lirih bergema pelan di telinga, "Apa kau masih mau mengencani gadis yang jelas-jelas merupakan anak dari seorang penipu?"

Kening Wonwoo mengernyit.

Soo Ri tersenyum licik di tempat.

"Lee Hyun Ji," ucap ibunya penuh penekanan kendati bibirnya bergetar, "adalah putri tiri Joon Hang Shi, pria berengsek yang telah menghancurkan hidup ibu."

Tatkala itu, Wonwoo ingin sekali bangun dan sadar bahwa apa yang dilewatinya hari ini hanyalah sebuah mimpi. Tatkala itu Wonwoo benar-benar berharap seseorang memberitahunya bahwa semua yang dikatakan ibunya hanyalah pura-pura, hanya kebohongan yang tak 'kan pernah menjadi realita.

Namun tatkala itu pula, Wonwoo sadar, satu-satunya sisa harapan yang ia punya sudah musnah. Tanpa sisa.

Bukan lagi kepingan, bukan lagi tinggal puing-puing yang berhamburan di tanah. Sebab semuanya sudah sirna, sudah luput dari genggaman, sudah menghilang dari pandang. Tanpa bekas.

Dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu terakhir, Wonwoo merasakan bulir hangat menuruni wajahnya yang kaku.

"Tidak," lirihnya putus asa, "katakan padaku, ibu sedang bercanda sekarang." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top