27. The Untold Truth [Jeon Wonwoo's Vibe]
Jujur pun akhirnya harus menyingkap topeng wajah.
Aku termenung dalam duka;
Apa aku masih dapat mengutarakan fakta yang jelas adalah sebuah kepahitan terpendam?
MENGHITUNG hari dan menimbang angka dalam tanggalan, melafal aksara pada buku pelajaran dengan susah-payahーsemerta-merta hanya untuk menghentikan putaran peristiwa yang melekat dalam memori dengan bumbu getir, pada akhirnya merusak semua rasa manis dari imaginasi yang pernah ditenggak dengan naifーmungkin sudah menjadi kebiasaan Wonwoo dalam beberapa minggu terakhir ini. Pemuda itu tahu, hidup tengah memberi lelucon dengan melempar dadu asal di atas takdirnya tanpa memberi kesempatan untuk ia dapat bertindak. Kini, setelah semua beban dilimpahkan, Wonwoo tak mengerti mengapa senyum sebagai pengganti lelah tak ia dapat meski hanya untuk satu detik singkat?
Hanya rasa lelah yang merayap, itu pun harus dibayar dengan luka dan pedar tatkala matanya kembali bertemu mata Hyun Ji di universitas.
Datar tanpa rasa.
Wonwoo jelas mengingat semua yang terjadi selama dua minggu terakhir. Pencarian pelaku, ibunya yang sempat histeris pada satu sesi wawancara dengan pengacara yang dibawa Soo Ri, tangisan dan kelabu menyelimuti rumahnya seminggu penuh.
Saat itu pun, Wonwoo tetap harus berpura-pura tegar tatkala melihat Hyun Ji tertawa dengan Dino di parkiran universitas.
Gadis itu bisa tertawa, padahal sekarang ia uring-uringan setengah mati, nyaris gila dengan semua konflik dan tangis ibunya sendiri.
Kini, asupan gizi terabaikan, bahkan permen serta segala macam gula tak dapat membantu meningkatkan mood selain menambah rasa muak. Sebab apakah yang dapat meredakan beban pikir dari benak dan adu mulut oleh hati? Semua gula manis bermacam warna yang kau temukan di pasar hanyalah sebuah kesia-siaan.
Wonwoo sampai meringis, terpaksa menelan sisa butiran permen yang belum larut secara utuh dalam mulut, namun sudah terlebih dulu diluncurkan ke kerongkongan. Em, terlalu kecut. Bahunya bahkan bergidik sendiri dengan mata menyipit masam. Tadi ia hanya sekadar iseng, penasaran ingin mencoba permen yang semalam ibunya beli di salah satu stall di alun-alun kota, katanya itu toko terlaris yang menjajakan permen dengan varian rasa unik.
Ternyata tidak semua permen didominasi rasa manis. Tidak semua jalan dalam kehidupan didominasi bahagia serta tawa.
Pemuda itu membuang napas. Pelan dan berat. Rasanya sedikit lega ketika sesuatu bisa terlepas dari dirinya bahkan ketika dua jam terduduk lemas tanpa tenaga bak orang bodoh yang tak mampu melakukan apa-apa.
Desahannya mengudara, Wonwoo menelan saliva dengan susah-payah.
Hidup ternyata tak lebih dari jenaka saat bermain ular tangga.
Melempar dadu, menunggu giliran singgah dan pergi, kemudian harus kembali turun untuk kembali pada orang yang dulu pernah kau singgahi.
Sayang sekali, kita tak diberi kuasa untuk leluasa melempar dadu dan menentukan arah melangkah terlebih dulu.
Jeon Wonwoo tersenyum miris. Matanya yang panas dipaksa untuk melirik sudut belakang ruang tamu, tepat pada pintu putih minimalis dengan gagang kayu; ruangan di mana kamar ibunya ditempatkan. Wanita itu pasti lelah, semalam setelah pulang dari alun-alun kota, ibunya tidur pulas kemudian bangun pagi sekali untuk menyiapkan sarapan sebelum kemudian kembali bergelut pada kehangatan kasur. Terakhir kali Wonwoo melihat ibunya keluar kamar pada pukul setengah 4 sore, itu pun sebab wanita itu haus dan hendak mengambil sebotol air putih dingin dari kulkas.
"Ibu masih merasa lelah, badan ibu pegal semua. Ibu rasa karena semalam kita jalan kaki berdua di alun-alun kota sampai belasan kilometer lebih." Dijeda dengan tawa, kemudian kembali dilanjutkan, "kau tidak istirahat? Ah, pasti tidurmu nyenyak semalam."
Wonwoo hanya dapat tertawa mendengar pernyataan barusan. Ia sempat menawarkan pijat, tetapi ibunya menolak dengan alasan ingin tidur siang saja. Jadi Wonwoo sendiri tidak memaksa. Namun kalau ditanya alasan mengapa ia tidak langsung mengiyakan ucapan ibunya dan memilih mengganti topik pembicaraan, sederhana saja jawabnya.
Karena Wonwoo sendiri tidak dapat tidur semalam.
Ia tidak dapat menutup mata untuk sekadar mengistirahatkan otak dan berpikir tenang. Benaknya hanya dipenuhi beribu kekhawatiran yang samar-samar namun tak kunjung hilang, bahkan setelah lelaki itu mencuci mata di alun-alun kota bersama ibunya. Berdua bersama ibu, berdua menikmati wahana seru, berdua pula berbagi cerita dengan berbagai pengalaman lucu. Rasanya luar biasa.
Ibu memang wanita yang luar biasa. Terlepas dari semua fakta menyakitkan tentang masa lalu kelam, pemborosan yang akhirnya berujung pada penipuan, atau tindak kriminalitas yang sebenarnya merupakan sebuah jebakan.
Wonwoo tahu, ibunya tetap yang terbaik.
Namun bukan itu yang menjadi alasan atas semua kegelisahannya sekarang.
Apa kau dapat tenang setelah seharian dihantui oleh pikiran bahwa esok adalah hari penyelesaian?
Matanya terasa bengkak, kepalanya berdenyut sakit namun tetap tak ada yang dapat mengalahkan rasa bimbang dan gundah yang bergelora dalam hati tatkala benaknya kembali menyambung pada satu rangkaian kalimat tanya;
Harus dengan kalimat apa ia ceritakan semua rahasianya pada Hyun Ji?
Dan kegelisahan itu membuncah, ketika alarm ponselnya berdering tepat saat matahari naik ke atas awan.
June, 25th 2018
REMINDER.
[SWIPE FOR TURN IT OFF]
05.00 PM
***
Yeouido Park bukanlah taman biasa yang dapat kau lewati begitu saja.
Jeon Wonwoo paham betul mengenai keindahan alami dari alam yang jarang didapat di era modern seperti sekarang; bukan hanya pandangan mata menjemukan berisi bangunan apalagi asap kendaraanーkendati ia sendiri jarang menemukan asap sebab lebih sering menggunakan kereta bawah tanah, namun bukannya hal seperti itu tak ada di Seoulーdisertai semua bising akibat kesibukan penduduk kota tanpa henti, seolah bekerja adalah hal paling menyenangkan di seluruh semesta.
Tetapi memang pada satu waktu kala kau ingin menenangkan pikiran dan menghibur mata dengan pemandangan alam dan udara sejuk penghilang penat, berjalan kaki di Yeouido Park adalah pilihan terbaik.
Jalanan lurus beraspal yang dilalui di sini bukan jalanan biasa yang membuat kaki pegal bila harus diinjak terus-menerus selama beberapa jam. Namun di Yeouido Park, ada keindahan memanjakan pada sisi kanan-kiri jalan; berbagai macam pohon rindang dengan ranting menjulang ke arah jalanan, lengkap dengan mahkota berupa jutaan bunga mungil berwarna putih cerah serta merah jambu indah.
Pada satu bagian utama taman, tertanam berbagai jenis pohon tradisional Korea, diatur begitu cantik dan rapi, warna hijaunya yang asri sampai menyejukkan tiap mata yang menilik. Bangku-bangku disusun pada pinggir taman, di depannya sebuah kolam dengan paviliun kayu berbentu segidelapan terletakーberdiri kokoh bersama satu pohon di sampingnya.
Di tempat inilah, Wonwoo bertemu Hyun Ji untuk pertama kalinya.
Senyumnya terulas tanpa sadar, Wonwoo lantas menggeleng pelan dan mempercepat langkah menyusuri jalan.
Tidak, tidak. Ini bukan saatnya untuk mengenang kenangan manis yang sempat terjadi.
Namun kalau kembali mengingat awal ia pergi ke taman ini, Yeouido Park nyatanya bukan wilayah kecil yang luasnya hanyalah sebesar kepalan tangan sehingga mudah dijelajah. Dulu saja untuk dapat mengelilingi semua area taman, Wonwoo sampai rela menghabiskan uangnya untuk menyewa sepeda berdua dengan Hyun Ji (saat itu hari kencan pertama mereka dan Wonwoo tak mau mengecewakan gadisnya begitu saja), agar keduanya tidak penat dan berakhir dengan penyesalan. Namun setelah melewati empat area utama taman, Wonwoo mendadak dapat merasa buncahan lega menggelayuti dada dengan sebuah fakta bahwa yang berakhir pada wajah Hyun Ji adalah sebuah senyuman.
"Indah sekali! Terima kasih karena sudah membawaku kemari. Kau tahu bagian favoritku dari seluruh area taman?"
Wonwoo saat itu hendak menebakーjawabannya sudah terlintas di kepala, tinggal dilontarkan sajaーnamun gadisnya sudah terlebih dulu melanjutkan dengan semangat menggebu, "Yunjuro Street, tempat dimana jutaan bunga bermekaran indah. Kau tahu tidak, itu cherry blossoms pertama yang kulihat seumur hidupku. Ah, ternyata lebih indah dari gambar yang ada di drama, ya."
Hati Wonwoo menghangat tatkala gadisnya dapat tersenyum lebar dan tulus. Indah. Senyumnya indah.
Bukankah sesederhana itu untuk melukis bahagia?
Namun dalam lima belas menit terakhir, mendadak semua pandangan baik mengenai taman itu pudar. Sirna tanpa sisa. Habis dimakan oleh ketakutan dalam benak.
Sejak kapan, Yeouido Park menjadi tempat yang membuat hati gentar?
Wonwoo tak dapat mengelak, jantungnya berdetak tak karu-karuan. Hatinya disengat hebat setiap kali matanya mendengar suara tawa orang-orang. Kepalan tangan dalam saku jaketnya dipererat, dengkusan terus diloloskan tepat tatkala tungkainya melangkah melewati sekujur jalan lurus di mana pohon menyapa dengan ranting-rantingnya yang gundul. Ah, tidak gundul juga ternyata. Beberapa masih ditumbuhi bunga bekas musim semi lalu.
Matahari yang menggantung di langit rasanya mulai bosan, perlahan pudar dan menyembunyikan diri di balik awan. Wonwoo mengecek ponsel, hatinya teriris pelan ketika melihat tak ada satu pun notifikasi yang terulas atau panggilan masuk dari Hyun Ji.
Pemuda itu mencoba untuk tidak peduli, namun lagi-lagi gagal sebab hatinya dikuasai gundah sekejap. Perutnya mendadak mulas ketika matanya mulai menatap ujung jembatan kayu di sebrang kolam, tempat di mana hubungannya bersama Hyun Ji diresmikan untuk pertama kali, di mana janji mengudara dan sekarang hanya menjadi sampah.
Dua menit berlalu, hatinya membeku.
Sebab pada sudut mata di ujung sana, ia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Hyun Ji di sana, atau di sudut mana pun di taman.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top