24. The Best Will Always Stay

Remember that I'm still here.

And you never be alone.

SESEORANG pernah berkata, sebuah akhir yang indah harus melewati hambatan dan rintangannya dahulu, melalui jalan berpaku yang membuat kaki penuh luka dan berlumuran darah, mengumpulkan puing rasa yang hancur berhamburan di lantai serta kembali mengambil sisa-sisa perih tatkala harus menyambung kasih. Bukankah hubungan seseorang sering digambarkan dengan perumpamaan seutas tali? Tali yang sudah renggang akan susah untuk kembali dipererat. Sama halnya dengan tali yang sudah lama putus, tak akan dapat disatukan kendati kau mencoba semua lem terbaik yang pernah ada di dunia. Tinggal menunggu masa, dan semua hanya akan menjadi sampah.

Sampah yang tetap kau simpan lewat secuil memori dalam kepala.

Kendati demikian, hidup tak pernah mengajarkan bahwa semua perpisahan akan berakhir pada ujung menyedihkan dengan pedih dan sedih yang terus meneror hati. Hidup itu singkat, kemunculannya saja sudah sering digambarkan layaknya sebuah asap hasil uap memasak air yang mengepul di udara, sebelum kemudian terbang terbawa angin hingga lenyap.

Jadi dibanding mengisi waktu dengan hal-hal tidak penting, bukankah lebih baik bila menciptakan damai dan menyebar cinta dengan semua orang? Membuang benci dan mempererat kasih, membina bahagia bersama-sama.

Teorinya sesederhana itu sebenarnya.

Tali yang putus memang tidak dapat disambungkan kembali.

Tetapi, itu tak berarti kau tidak dapat merajut tali yang baru, bukan?

Membuang semua luka lama, membuang seutas tali putus yang meresahkan dalam benak. Kemudian, rajutlah memori yang lebih baik lagi, sibuklah untuk mencari benang terbaik yang nanti akan menjadi bahan dalam membuat tali yang baru-hubungan yang lebih harmonis lagi. Kau tak akan rugi, kau tak akan kena sial kendati awalnya memang susah untuk membuang luka begitu saja dan memilih jalan pengampunan. Tapi setelah semua selesai dan kau berhasil melawan benci, percayalah ada bahagia yang menanti di ujung sana. Nantinya, akan banyak memori indah yang bisa dikenang bersama, yang akan kaugantungkan pada tempat paling indah dalam sekat benak.

Karena perpisahan tidak berarti kesudahan.

Setidaknya begitu yang Hyun Ji ingat, meski ia sendiri tak tahu, apa masih pantas untuknya membuang tali lama yang telah putus, kemudian merajut hubungan baru dengan Wonwoo? Tidak sebagai kekasih, tidak pula sebagai dua orang yang saling mencintai.

Hanya sebagai teman, yang tak lebih baik dari sekadar kenalan belaka. Wonwoo pernah menanyakan hal yang sama, untuk tetap menjadi teman dan melupakan semua yang terjadi di belakang. Saat itu Hyun Ji saja uring-uringan, pusing memikirkan apa jawaban yang tepat kendati si Jeon itu nampak baik-baik saja.

Well, menjadi teman tidak sesusah itu, bukan?

Tidak susah. Hyun Ji tersenyum miris. Kalau dulu saja, sebelum kebenaran terkuak dan Wonwoo menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya, mungkin Hyun Ji akan mengangguk tipis, diam-diam menguatkan hati untuk tetap tegar dan berpikir positif.

Tetapi, sekarang?

Setelah fakta diutarakan dan Lee Chan berkata bahwa si berengsek itu hanya menginginkan harta, Hyun Ji tak yakin hatinya dapat memasang tampang tegar dan menyebar pikiran positif dalam kepala.

Pantas saja, Wonwoo berkata ia tidak pernah mencintai Soo Ri.

Toh hanya harta yang dikejar.

Namun meskipun otaknya penuh akan sisi negatif dari seorang mantan yang dulu ia kenal penuh kasih dan kesederhanaan itu, pertanyaan yang bertengger di kepala Hyun Ji ternyata masih sama; masih meresahkan dan membuat dada sering digelayuti sesak. Semua seolah terngiang dalam telinga dan berdasarkan teori yang ada, hati dan otak memang tak akan pernah berhenti untuk saling menentang satu sama lain.

Logikanya menyerukan untuk berhenti, namun hati kecilnya yang rapuh tak henti bergetar tatkala menjerit kata rindu. Dengan satu pertanyaan menggantung dalam benak; Apa masih pantas bagi mereka untuk kembali menjalin kasih, setelah salah satu memutuskan untuk berhenti pada satu titik dan meneruskan nasib masing-masing?

***

"DOOR!"

"AAK!"

Hyun Ji terperanjat, terkejut begitu hebat sampai sekujur tubuhnya menegang. Bahunya bergetar ketika tiba-tiba suara keras disertai tepukan pada bahu itu menusuk gendang telinganya secepat kilat. Lantas ia menolehkan kepala, memelotot pada Dino yang kini tertawa terpingkal-pingkal di sampingnya. Gadis itu melayangkan beberapa tinju terbaiknya pada lengan kiri Dino, menggerutu kesal sebab pemuda iseng itu telah mengganggu semua lamunan dan membubarkan begitu saja rentetan pikiran yang tadi sudah berkelana panjang.

"Hei, aw! Ya ampun, sudah, Ji. Aw, astaga sakit." Pemuda itu meringis pelan, berusaha sebisa mungkin menghindari pukulan Hyun Ji yang datang bertubi-tubi.

Hyun Ji mendengkus keras. Wajahnya masih terlihat kesal dengan alis tertekuk rapat tatkala ia menghentikan semua gerakan tangannya dan memilih untuk kembali diam dan duduk menghadap jendela kotak kaca di depan wajah yang gordennya sudah ditepikan. Kendati kacanya tidak terlalu lebar, namun setidaknya masih ada pemandangan yang dapat Hyun Ji lihat. Apalagi ketika sinar matahari menembus kaca dan menerpa kulit, kehangatan menyerbak dan membuat gadis itu tak berhenti merasa nyaman.

"Hei." Lee Chan tertawa, menoel gemas pipi Hyun Ji tatkala berkata, "apa kau marah? Astaga, aku hanya bercanda tadi."

Hyun Ji melirik sahabatnya dengan lirikan datar. "Bercandaanmu selalu menguji kesehatan jantung orang. Tidak lucu, tahu." Ia lantas menangkis tangan Dino sebelum leluasa mengitari seluruh bagian wajahnya.

Dino terbahak makin keras. Gemas dengan wajah Hyun Ji yang tertekuk masam membuat lelaki itu tak dapat menahan diri untuk tidak mengacak-ngacak rambut gadisnyaーah, sahabatnya ini. "Jangan marah terlalu lama. Kau terlihat makin menggemaskan." Ia tergelak. "Memangnya lihat apa, sih, di kamar siang-siang sampai seserius itu? Aku jadi curiga, Lee Hyun Ji yang biasa sibuk oleh tugas mendadak menjadi pengangguran. Apa jangan-jangan kau bolos kuliah siang, ya?"

Mendengar tuduhan tak beralasan langsung membuat Hyun Ji melempar tatapan tajam pada Dino, sempat tergoda untuk menjitak kepala sahabatnya itu namun buru-buru teringat bahwa orang yang duduk di sampingnya merupakan lelaki menyebalkan dengan mulut yang tak punya kendali baik. "Aku tidak ada kelas siang ini," sahutnya datar, "kau sendiri kenapa tidak kuliah? Malah masuk ke kamar apartemen orang seenaknya."

"Hei, aku sudah meminta ijin padamu lewat SMS tadi. Kau bahkan langsung menyuruhku masuk dengan alasan pintu kamar apartemenmu tidak dikunci. Tidak ingat?" sahut Dino tak terima, membuat Hyun Ji tertawa pelan.

"Iya, iya. Aku hanya bercanda tadi."

Keduanya kini sama-sama menatap hamparan jalanan kota Seoul dan segala kesibukannya dengan matahari yang menggantung di langit-langit atas. Tak ada yang berubah, masih banyak pejalan kaki yang lewat, kendaraan berlalu lalang, serta gelak tawa yang pecah dan melebur di udara. Jendela kaca di bagian ujung ruang tamu memang selalu menjadi tempat favorit Hyun Jiーmereka pernah membicarakan topik ini berdua dan Dino yakin ia tak pernah salah dalam mengingat fakta tentang gadis yang ia suka.

Well, tidak heran saat Hyun Ji memilih tempat ini sebagai tempat favoritnya selain kasur, tentu saja. Pantulan cahaya matahi yang datang, pelukan kehangatan serta pemandangan yang menyejukkan mata sebenarnya cukup untuk menggambarkan semua alasan mengapa spot ini difavoritkan.

Dino memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman, meraih satu bantal sofa yang dimiliki Hyun Ji dan menaruh di pangkuan sebelum kembali memusatkan pandang pada jendela kaca.

Diam-diam pemuda itu melirik ke arah Hyun Ji, tersenyum pelan saat berhasil menemukan beberapa perubahan pada teman baiknya itu. Mata yang sudah tidak terlalu kelihatan bengkak akibat sering mencucurkan air mata akhir-akhir iniーwell, Dino tahu persis kapan gadis itu menangis kendati ia tidak pernah bercerita apa-apa dan berusaha menyangkal saat Dino bertanya. Wajahnya juga tidak pucat, senyumnya dapat kembali merekah meski pemuda itu mendapati Hyun Ji sering termenung entah memikirkan apa.

Namun bukankah ini adalah kemajuan?

Setelah sebelumnya nampak pucat dan uring-uringan saat harus memaksa diri ke kampus demi mempertahankan beasiswa yang entah apa untungnya, Dino tak paham. Gadis itu bahkan sempat menunda makan beberapa kali. Ah, menceritakan ini membuat Dino teringat kejadian dua hari lalu, mungkin Hyun Ji tidak akan makan kalau saja Dino tidak memaksa untuk masuk ke apartemennya dengan membawa semangkuk sup hangat.

Hyun Ji sering memendam perasaannya sendiri. Dan itu membuat Dino khawatir setengah mati.

"Hei, Chan, apa kau tahuー"

Hening. Suasana mendadak canggung saat Hyun Ji tiba-tiba menoleh, mempertemukan kedua maniknya dengan senyum merekah lebar pada mata Dino yang saat itu belum berpaling dari wajahnya. Pemuda itu sempat terkejut, mendadak salah tingkah karena tak menyangka Hyun Ji akan menatapnya saat itu juga. Hyun Ji sendiri langsung mengalihkan pandang, tak lagi melanjutkan kalimatnya hingga membuat hening mengambil alih dengan cepat.

Lima detik diisi keheningan, Dino tentu tak mau memperparah suasana. Jadi pemuda itu berdeham pelan, menggaruk tengkuk canggung sebelum membuka suara, "Tadi mau bilang apa? Tidak jadi?"

Hyun Ji tersenyum tipis. "Aku mendadak lupa. Lain kali saja kalau ingat. Ah, jalanan mulai ramai lagi."

Dino tersenyum tipis, dalam hati tertawa getir. Ia tidak buta dan jelas-jelas memiliki tingkat peka di atas rata-rata, jadi tak heran saat melihat reaksi Hyun Ji barusan, hatinya langsung teriris pedih.

Hyun Ji menghindar. Gadis itu menghindar.

Ada rasa tak nyaman pada manik Hyun Ji, nampak begitu jelas ditambah reaksi selanjutnya saat gadis itu langsung membuang tatapan pada jendela di depan dan tak lagi menatap mata Dino. Senyumnya juga pudar, hanya seulas samar dan tak lagi lebar seperti yang sebelumnya ia tunjukkan. Bukan hal yang bagus. Sama sekali bukan. Bagaimana bila nantinya pada satu titik krusial Hyun Ji berubah dan memutuskan untuk membentang jarak?

Tak akan ada senyum dan tawa. Kehangatan menguap.

Kalau seseorang yang kausuka memergokimu telah menatapnya berlama-lama dan ia menjadi resah lalu membentang jarak yang luas agar kau tak lagi mengganggunya, lantas masih bisakah kau tertawa kendati hati tertusuk pedih?

Kira-kira seperti itulah yang Dino rasakan.

***

Lee Hyun Ji tidak buta.

Matanya masih berfungsi normal, kendati kemarin sempat bengkak dan gadis itu harus menutupi kantung mata tebal dengan concelear milik Ara, namun kedua benda bulat itu masih dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Jadi jelas, sangat amat jelas dan ia rasa tak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya saat ia menoleh ke samping dan melihat Lee Chan sedang menatapnya dengan seulas senyum samar.

Lee Chan menatapnya dengan seulas senyum samar.

Bukan tatapan curiga, bukan pula tatapan nakal yang membuatmu bergidik ngeri dan langsung ingin menjitak kepalanya keras-keras. Tidak, sama sekali tidak. Mata bulat coklat itu justru menatapnya dalam, ada kasih dan kehangatan yang tersalurkan. Tetapi rasanya aneh. Sangat aneh sebab pipinya tidak memerah, irama jantungnya masih sama dan hatinya tidak bereaksi apa-apa.

Padahal sebelumnya Hyun Ji yakin tubuhnya tidak semati rasa ini. Gadis itu bahkan masih ingat saat darahnya berdesir cepat ketika pemuda itu menatapnya begitu dalam dan intens. Ia masih dapat merasa jantungnya berdetak sangat keras karena sebuah kejutan tak terduga dari Lee Chan.

Meskipun memang, hatinya tidak merasa tanda yang berbeda.

Ia masih mengharapkan Lee Chan berdiri di sisinya sebagai seorang sahabat, teman menyebalkan yang akan membuat senyummu terulas. Itu saja, sesusah itukah?

Hyun Ji mendadak resah, bayangan akan ketakutan tak berdasar mulai memenuhi kepala dan membuat gadis itu menggigit bibir bawah tanpa sadar. Bagaimana bila nantinya perasaan Lee Chan padanya terus bertumbuh, berakar semakin kuat sementara ia sendiri tidak dapat merasakan apa-apa? Lantas rasa itu bagaimana?

Lalu, hubungan pertemanan mereka merenggang.

Atau bahkan, selesai begitu saja.

Tak akan ada lagi tawa, sebab sudah tergantikan oleh canggung yang melintas.

Tidak, tidak. Jangan sampai itu ter-

"Ji? Hei, are you okay?"

Hyun Ji mengerjap, menoleh pada Dino yang menatapnya khawatir. Tatapan itu lagi. Gadis itu menyematkan senyum tipis sebelum menyahut, "Tentu saja tidak apa-apa. Kenapa kau berkata seolah aku terlihat pucat dan sedang sakit?" Ia tertawa pelan. "Aku tidak apa-apa, Chan. Sungguh."

Dino tersenyum. Matanya yang teduh masih berpusat pada wajah Hyun Ji yang entah kenapa selalu nampak cantik setiap harinya. Pemuda itu berusaha untuk mengusir seluruh pikiran akan ketakutan tak berdasar yang tadi sempat bertengger dalam kepala tatkala kembali berkata, "Well, kau sudah nampak jauh lebih baik hari ini daripada kemarin. Kemarin aku bahkan tidak dapat membedakan secara spesifik antara mata panda dengan matamu."

Hyun Ji tergelak, memukul bahu Dino pelan. "Jahat sekali! Kau tidak tahu seberapa banyak concelear yang kuhabiskan untuk menutupi kantung mata."

Dino ikut tertawa sembari menghindari pukulan Hyun Ji. "Astaga, tidak usah ditutupi juga tidak apa-apa. Nanti orang-orang kampus bisa heboh setelah melihat ada seekor panda berkeliaran di sekitar mereka."

Hyun Ji membelalak, lantas menoleh menghadap Dino dengan kerutan alis kesal. "Astaga, kau barusan mengataiku seperti panda? Jahat sekali!"

"Hei, astaga! Jangan memukul la-hei! Ampun, ampun. Aw, sakit, Ji." Dino tak dapat menahan tawa sekaligus ringisan saat Hyun Ji malah mencubit lengannya tanpa ampun.

"Biar saja! Aku sudah terlalu banyak memberimu ampun. Sekali-sekali kau harus kena batunya, Chan," sahut Hyun Ji tanpa melepaskan cubitannya. Bibirnya terus melengkungkan senyuman, sekali-sekali terkekeh tanpa suara. Sebenarnya ia sendiri tidak tersinggung dengan perkataan Dino, tidak sama sekali malah.

Namun kesempatan untuk tertawa lepas berdua seperti ini kapan lagi akan didapat?

Jadi menit berikutnya dihabiskan tawa, ringisan, kemudian adu mulut manis yang membuat Dino harus mengalah sebab ingin cubitan pada lengannya cepat-cepat dilepas. Hyun Ji tertawa penuh kemenangan saat Dino mengaku dirinya kalah.

Detik penuh makna. Menit diisi bahagia. Jam dihadapkan pada waktu ketika semesta cemburu. Tidak mesra memang, keduanya bukan pasangan dan kejadian yang terpapar barusan bukan sesuatu berkaitan dengan cinta sepasang kekasih.

Hanya sebatas sahabat, dan hubungan itu indah luar biasa.

"Ji, tahu satu hal penting tidak?"

Hyun Ji menoleh, masih memasang tampang sengit yang dibuat-buat. "Apa? Fakta bahwa cubitanku naik level sampai membuat kulitmu merah? Aku tahu, aku tahu. Seharusnya kubuat sampai biru saja tadi."

Dino terkekeh. "Bukan itu. Fakta lain yang lebih mengharukan. Tahu tidak?"

Gadis itu mengernyit, memiringkan kepala tak mengerti. "Tidak, memangnya apa?"

Dino tak langsung menjawab. Pemuda itu malah menyematkan senyum kecil, menatap teduh penuh makna hingga membuat Hyun Ji semakin kebingungan. Dan baru gadis itu membuka mulut hendak bertanya, Dino sudah terlebih dulu menjawab, "Apa pun yang sebelumnya pernah terjadi, apa pun yang esok dan lusa waktu siapkan untuk bergulir, selama kau dapat mengukir senyum dan menepis air mata yang jatuh, selama aku dapat melihatmu tertawa lebih keras tiap hari, percayalah bahwa aku tak akan pernah pergi. Meski jarak membentang dan waktu menghalang, ingatlah bahwa aku selalu ada di sampingmu, mendorongmu maju dan terus mendukung semua keputusan yang akan kau ambil demi mencapai bahagia."

Hyun Ji termangu. Dino menyematkan senyum getir semanis yang ia bisa.

"Meskipun itu berarti, kita tidak bersama lagi." []

---
This part remind me of my little old friend. I missed him so much since he decided to go for no reason :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top