20. Finally. A Freedom-and Some New Hope(less)

Definetely a loser. Completely an anger.
Love or hope,
both of them are useless right now.

LEE Hyun Ji tahu ada beberapa hal yang ia pikir masih belum benar tatkala kedua matanya mengamati langit biru cerah berubah oranye perlahan, semburat indah yang terlukis pada garis-garis atas cakrawala seolah memberi kesan muram entah untuk siapa. Harusnya ia senang, harusnya semua yang terjadi hari ini berjalan lancar dan memuaskan. Ia bisa bertemu dengan ribuan tumpukan buku yang bertengger manis di atas meja, siap untuk dibawa pulang kapan saja tanpa batasan jam. Tiket masuk gratis, mengambil buku sepuasnya tanpa takut dompetnya menipis. Sementara Dino, sahabatnya itu akan selalu setia menunggu tak peduli sampai dua puluh empat jam sekalipun.

Siapa yang tidak mau?

Tapi, berdasarkan seluruh fakta yang ditenggak mentah-mentah, berdasarkan seluruh rasa yang mampir dalam hati dan kegusaran tanpa makna yang bertengger setia, samar-samar Hyun Ji dapat merasakan batinnya meringis pelan saat sebuah suara mampir dalam gendang telinganya tanpa henti; sebuah pernyataan perasaan dengan suara tegas tanpa grogi yang merambat. Untuk dirinya. Benar-benar untuk dirinya seorang.

Apa Lee Chan serius mengatakan hal itu? Di tempat umum? Bazaar buku? Hah?

Gadis itu menghela napas, mengusir jauh-jauh pikiran serta dugaan nyeleweng dalam kepala. Pipinya pun sempat bersemu merah tadi, jantungnya pun berdebar lengkap dengan rasa resah yang menghampiri. Untungnya hanya bertahan sesaat sebelum keheningan merambat dan ia sadar bahwa semua memang sudah direncanakan. Ajakan kencan itu, dandanan Dino, tiket bazaar buku, foto berdua, semuanya.

Tak salah lagi.

Dino memang memiliki perasaan khusus padanya.

"Hei, melamun saja. Ini sudah kupesankan Ice Hazelnut Latte favoritmu."

Hyun Ji mengerjap, mendongak untuk dapat menatap lawan bicaranya yang baru datang dengan dua gelas kopi di genggaman tangan. Lee Chan lantas mengambil posisi duduk di hadapannya dengan santai, kelewat santai malah seolah yang tak ada hal yang terjadi sebelumnya. Gadis itu tersenyum tipis, memperbaiki posisi duduk entah untuk apa. Mungkin untuk sebersit rasa tak nyaman yang mampir tiba-tiba tanpa permisi. Tapi kenapa? Kenapa ia mendadak merasa tak nyaman padahal hari-hari kemarin tubuhnya tak pernah sekalipun mempersalahkan kehadiran Dino yang terlalu dekat dengannya?

Kenapa?

"Ah, ya. Terimakasih." Hyun Ji tersenyum tipis, memilih untuk mengalihkan pandang dari Dino yang terus menatapnya. Entah itu prasangka atau betulan tapi sungguh, gadis itu merasa risi oleh tatapan lekat yang seolah-olah tak memberinya kesempaan untuk mengelak.

Jadi untuk mengalihkan perhatian dan melakukan penghindaran, Hyun Ji buru-buru mengambil segelas kopi miliknya dari atas nampan, hendak menyesap cairan itu perlahan setelah berkata, "Diminum dulu kopinya. Berjalan mencari buku seharian tentu membuat lelah."

Dino tertawa. Pemuda itu sering sekali tertawa. "Baiklah, baiklah. Tapi kau tahu, berjalan mencari buku seharian denganmu tidak melelahkan."

Gadis itu mengernyit.

"Justru menyenangkan. Berjalan berdua? Memangnya siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas seperti itu?"

Hyun Ji nyaris tersedak, benar-benar nyaris sampai gadis itu berusaha untuk mengendalikan diri dan tidak membuat Dino kecewa dengan memuntahkan kembali cairan yang habis ditenggak. Tidak, tidak. Apa itu benar-benar gombalan yang dikatakan untuknya? Astaga, rasanya sungguh aneh. Mendengarnya bahkan menggelitik kerongkongan hingga ulu hatinya, bukan untuk mendebarkan rasa melainkan memuntahkan gejolak perut karena mual. Astaga, memalukan sekali.

Gadis itu mengulum senyum simpul tanpa membalas. Suasana sudah menjadi canggung dan ia sudah merasa tidak nyaman, jangan tambahkan lagi dengan kalimat macam-macam yang dapat memperburuk suasana.

Namun rasanya Dino tak pernah puas dengan kebungkaman. Pemuda itu malah mencoba untuk membuka kembali pembicaraan dengan satu kalimat yang diucapkan riang, "Bagaimana buku-bukumu tadi? Sudah ada perkiraan mau membaca yang mana dulu?"

Hyun Ji menggaruk tengkuk yang tak gatal, berusaha sebisa mungkin meredakan rasa tak nyaman yang lagi-lagi melanda. Kemana Lee Chan konyol dengan mulut pedas yang mampu membuat orang kesal? Kenapa mendadak berubah begini, sih? keluhnya dalam hati saat Dino menatapnya lekat dengan seulas senyum makna sembari menumpukan kedua siku di atas meja.

Gadis itu memaksakan sebuah cengiran lebar, tak peduli meski kedua sudut bibirnya terasa pegal. "Belum tahu."

"Kenapa tidak cerita jatuh cinta antar sahabat? Yang sampul kuning tadi itu, ah, aku lupa judulnya. Tapi sepertinya cerita itu menarik."

"Hah? Jatuh cinta antar sahabat?"

Dino mengangguk antusias. "Iya. Kau tahu, aku selalu suka cerita cinta remaja. Tapi malas kalau disuruh membaca novel tebal. Terlalu banyak kata. Bikin sakit mata." Tawanya mengudara, dan Hyun Ji mendadak merindukan tawa renyah yang selalu mengisi hari-harinya itu.

Tapi bukan sebagai teman kencan.

Melainkan sebagai sahabat. Sahabat menyebalkan yang selalu dapat membuat seulas senyum mengembang menjadi tawa.

"Iya," sahut Hyun Ji seadanya, "tidak apa, aku mengerti. Tidak banyak anak lelaki suka membaca."

Dino mengangguk setuju, menyeruput sedikit latte-nya sebelum kembali berbicara, "Novel itu fiksi. Tidak nyata. Aku lebih suka realistis, yang benar-benar nyata dan terjadi di kehidupan. Bukankah lebih menyenangkan? Lebih menantang."

Meski tak ada yang lucu dan gadis itu sendiri tak mengerti mengapa ia harus mengembangkan tawa, ia tetap melakukan.

"Membicarakan buku jadi membuatku teringat ponselmu, Ji." Dino merogoh sakunya cepat, lantas membuat Hyun Ji membulatkan pupil mata saat yang ada di genggaman pemuda itu adalah ponselnya—benar-benar ponselnya dengan case Winnie The Pooh favoritnya. Gadis itu langsung mengulurkan tangan, hendak meraih barang yang menjadi haknya namun tangan Dino lebih dulu menghindar dengan gesit.

"Eits, nanti dulu, dong. Kau lupa tadi kita sempat mengambil beberapa foto? Aku mau mengirimnya dulu ke ponselku."

Hyun Ji memutar bola mata, mendengkus pelan tapi mencoba untuk kembali tertawa. "Iya, iya. Pakai dulu saja."

Dino tersenyum penuh kemenangan. Langsung cepat setelah diberi persetujuan oleh si pemilik ponsel, tangannya bergerak menuju galeri untuk melihat beberapa foto hasil jepretan di kamera. Namun ketika ibu jarinya memencet satu album berisi foto-foto hasil jepretan kamera, keningnya mendadak berkerut saat matanya menangkap satu foto yang benar-benar janggal. Bukan, bukan foto dirinya dengan Hyun Ji saat tadi di bazaar. Foto ini janggal karena ada lelaki lain di sana.

Tidak ada keraguan, mungkin rasa penasaran menguasai lebih cepat dari sekedar kekhawatiran karena berani membuka privasi orang. Dino sama sekali tak peduli. Pemuda itu tetap menggerakkan ibu jarinya untuk menekan foto itu, melihat lebih jeli dan di saat itu ia dapat merasa genggamannya pada ponsel menguat.

Ada Hyun Ji dalam foto. Tersenyum lebar dengan tangan seorang pria yang merangkulnya erat. Terlampau dekat, namun gadis itu tak merasa risi apalagi sampai menyingkir. Nampak seperti ... sepasang kekasih.

Tapi itu bukan bagian yang paling janggal meski hatinya sempat teriris perih.

Lelaki ini nampak tak asing.

Dino mengerutkan kening lebih dalam, berusaha mengambil potongan memori kecilnya yang hilang untuk menyambungkannya lagi dalam kepala. Pria dengan rambut hitam, hidung mancung, serta kedua iris coklat yang menawan. Senyum lebar dengan gigi rata terpampang. Wajahnya sangat familiar.

Siapa ya ...

Dan ini bagian paling mengejutkan.

Ketika pemuda itu mendadak tersadar, bahwa pemandangan di depannya ini memang benar-benar janggal.

Wonwoo? Ini Wonwoo, 'kan? Tunangan si Medusa Soo Ri?

Jantungnya seolah berhenti berdetak. Detik terasa lambat, namun jelas menyisakan getir dalam kerongkongan saat ia harus meneguk saliva yang tersendat. Napasnya bahkan sempat tersekat, dan itu jelas menyesakkan.

Apa hubungan pria itu dengan Hyun Ji?

***

"Apa? Kau tidak main-main, 'kan? Kau—kau serius?"

Soo Ri mengangkat kedua sudut bibir lebar dengan penuh kebanggaan. Tangannya terlipat angkuh di depan dada, sementara matanya menatap nyalang tanpa keraguan. "Kalau aku bercanda, lantas untuk apa aku menyuruh orang untuk menjemput ibumu pulang dari penjara?" Gadis itu mendengkus geli saat melihat kekasihnya bersorak kegirangan. "Kau tahu, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku sendiri."

Wonwoo mengangguk cepat. Terlalu antusias. Terlalu merasa senang hingga tanpa sadar tangannya sudah terulur untuk mendekap Soo Ri dalam pelukan erat—sempat membuat gadis itu terperangah karena perlakuan romantis yang tiba-tiba. "Terimakasih, aku sangat berterimakasih padamu! Sungguh, kalau tidak ada kau, mungkin aku memang tidak akan pernah melihat ibuku bebas dari penjara."

Soo Ri tergelak. Di saat yang bersamaan senyumnya bangkit lebar, senyum bangga tanda kemenangan. Gadis itu mengecup singkat pipi Wonwoo, sempat membuat pemuda itu terbujur kaku namun setelahnya langsung kembali mengulum senyum walau hanya seulas tipis. "Aku sudah bilang, aku selalu memegang ucapanku sendiri. Perjanjian kita, masih ingat ?"

"Iya." Wonwoo menyahut riang. Pemuda itu menengadah sembari memejamkan mata, mengusap wajah dengan rasa syukur melimpah. "Akhirnya, ibu bebas juga."

Namun yang ada dalam pikiran Soo Ri saat itu adalah koar kebanggaan; rasa senang berlebihan akibat menganggap bahwa yang ia lakukan berharga. Jauh lebih berharga dari yang sebelumnya dapat dibayangkan. Jeon Wonwoo, kekasihnya itu tersenyum lebar, sebuah hal langka yang tak akan Soo Ri sia-siakan. Memang benar, uang bisa membeli segalanya. Semua derita terbayar, senyum terulas, serta ikatan cinta yang disatukan dengan paksa. Sempurna.

"Ngomong-ngomong, aku ingin tahu, apa ini kejutan yang kau maksud di kantin kemarin?"

Soo Ri mengangkat kedua alis, melirik Wonwoo yang menatapnya penasaran. Gadis itu tersenyum miring, memberi jeda dua detik sebelum kemudian menggeleng pelan sembari menyahut, "Ini bukan yang utama, Jeon. Ada kejutan lain yang benar-benar akan membuatmu ternganga."

Jeon Wonwoo mungkin akan terus bertanya, keningnya saja sudah berkerut dan matanya menyipit curiga, dalam benak menerka-nerka kejutan lain apa yang dimaksud oleh kekasihnya. Namun baru mulutnya terbuka untuk kembali melontarkan pertanyaan, suara mesin di depan rumah lantas membuyarkan pikirannya. Benar-benar membubarkan semua yang saat itu terjabar dalam benak. Pemuda itu segera beranjak, dengan cepat keluar rumah diikuti oleh Soo Ri di belakang. Ibunya sudah datang.

Ada rasa bahagia tak tertahankan; luapan girang dan senang tiada tara, saat-saat dimana tubuh terasa segar dan mata kembali membuka cerah, jiwanya terasa lebih ringan. Sudah lama ia tak merasakan jeritan dada tanpa sesak, melainkan membawa kelegaan yang memuaskan raga serta menjernihkan benak. Ternyata memang benar, hidup persis seperti roda yang berputar. Ada waktu untuk kau menjerit kesakitan di bawah, merasa lemas karena menganggap semua usaha sia-sia namun percayalah, setelahnya Tuhan akan mengganti air matamu dengan senyuman oleh rasa manis madu yang disajikan ketika kau berada di puncak. Tidak terus menderita, tidak terus sengsara.

Saat-saat ketika matanya menangkap pandangan langka yang selama ini diidam-idamkan, yang selama ini diharapkan dan digantung dalam doa. Diam-diam pemuda itu mengeraskan rahang untuk menahan luapan air mata karena rasa haru yang berkuasa. Sungguh, tiada satu hal yang lebih membahagiakan ketika melihat ibunya benar-benar bisa bebas. Wanita itu bahkan dapat kembali mengulas senyum, menatap manik coklat anaknya lekat tepat saat kakinya menapaki tanah setelah pintu mobil dibukakan oleh sopir suruhan Soo Ri.

Wonwoo tak tahu lagi, bagaimana cara untuk mendeskripsikan rasa syukurnya sekarang.

Pemuda itu lantas berjalan menghampiri ibunya, merengkuh wanita itu dalam dekapan hangat lengkap dengan senyum merekah. Ibunya kembali. Ibunya benar-benar telah kembali. Wanita itu pun membalas dekapannya tak kalah erat, mengusap punggung anaknya dengan gelegak rindu yang berminggu-minggu dipendam.

"Ibu bebas, Won." Ada bahagia terselip dalam kalimat itu, ibunya memejamkan mata sekali lagi saat kembali menekankan kalimatnya, "ibu bebas."

Wonwoo mengangguk, menggigit bibir kuat-kuat saking senangnya. "Berterimakasihlah pada Soo Ri, Bu. Berkat usahanya dan ayahnya, ibu bisa bebas dengan cepat."

Wanita itu melepaskan pelukannya pada Wonwoo, melirik Soo Ri dengan senyum lebar sebelum ikut mendekapnya erat—reaksi yang mudah untuk diduga, jadi tanpa terkejut atau sedikit pun tersentak, Soo Ri langsung membalas dekapan ibu Wonwoo. Rasanya hangat, dekapan seorang ibu selalu terasa hangat.

"Terima kasih atas kebaikanmu pada keluarga kami. Kalau bukan karenamu, barangkali bibi masih mendekam dalam penjara sekarang."

"Bibi berlebihan." Soo Ri tertawa kecil. "Aku melakukannya karena aku tahu, bibi memang tidak bersalah."

"Kau baik sekali." Wanita itu melirik Wonwoo yang memperhatikan percakapan mereka sedari tadi. "Kau beruntung mendapatkan gadis sepertinya, Won. Ibu bangga padamu."

Beruntung. Ya, beruntung.

Wonwoo tersenyum miris, berusaha sebisa mungkin menyembunyikan getir saat kelu menguasai lidah dan kerongkongannya bergetar oleh ketidak berdayaan untuk berkoar. Jadi pemuda itu hanya memaksakan tawa canggung, yang akhirnya disudahi oleh ajakan masuk dari Wonwoo sendiri. Mungkin ada baiknya mengalihkan topik sejenak, dibanding harus tetap membuka suara namun hasilnya semakin membuat hati terkikis oleh rasa perih.

"Ibu benar-benar merindukan rumah." Terdengar helaan napas lega, Wonwoo menoleh tepat saat ibunya mengempaskan tubuh di sofa.

"Bibi mau istirahat? Aku bisa membantu membawakan koper ke kamar Bibi," kata Soo Ri.

"Ah, tidak usah, tidak apa-apa. Bibi mau mandi sekaligus berganti baju, kalian ngobrol berdua dulu saja."

Wonwoo menyematkan senyum diam-diam melihat perubahan yang signifikan pada ibunya. Wanita itu tak lagi lemas, sorot matanya cerah dan ada binar yang menyejukkan—jauh berbeda dengan kondisinya saat di penjara. Ada semangat yang kembali hidup di dalam sana apalagi saat ia berjalan masuk dalam kamar dengan semangat.

Syukurlah.

"Won."

Wonwoo menoleh, pikirannya bubar dan langsung tergantikan oleh lembar baru saat menatap Soo Ri yang tersenyum lebar ke arahnya.

"Kau tahu, aku ikut bahagia saat melihat ibumu bahagia. Ia terlihat lebih sehat dari yang sebelumnya."

Wonwoo mengangguk setuju. "Ini karenamu."

Soo Ri tertawa, mengibaskan tangannya tatkala menyahut, "Kau tidak cocok mengucapkan kalimat romantis seperti itu, tidak enak didengar, tahu."

Meski pada akhirnya harus mengerutkan kening karena tak mengerti dengan kata romantis yang Soo Ri maksudkan, toh pemuda itu tetap bungkam dan tak melawan. Ia malah memilih untuk membereskan barang-barang bawaaan ibunya dan memasukkannya ke area rumah lebih dalam agar tak menghalangi jalan. Namun baru tangannya terulur hendak meraih tas tangan yang tergeletak di atas lantai, Wonwoo sudah keburu berdiri saat namanya kembali diserukan oleh Soo Ri—kali ini dengan sorot mata menatap lurus dan penuh keseriusan, sempat membuat pemuda itu mengernyit penasaran.

"Hei, masih ingat yang tadi aku bilang, kalau kebebasan ibumu ini bukan kejutan utama yang layak kau hebohkan?"

Pemuda itu mengangguk lambat, berusaha mencerna arah pembicaraan. "Lalu?"

Soo Ri tersenyum sinis. Meski tipis, namun dapat tertangkap dengan sangat jelas oleh mata Wonwoo. Pemuda itu mulai memiringkan kepala, menyipit curiga saat Soo Ri kembali berkata, "Apa kau siap untuk kejutan kedua?"

Wonwoo bergeming, masih tak dapat mencerna yang dimaksudkan sebelum tiba-tiba Soo Ri menunjukkan layar ponselnya tepat di depan mata Wonwoo, memberikan satu gambar yang membuat tubuhnya kaku mendadak. Matanya terpaku pada layar. Entah harus berkata apa, namun batinnya menjerit tak terima. Meski berharap yang dilihat salah namun jelas, tak ada yang salah. Layar itu jelas-jelas menunjukkan foto Hyun Ji yang tengah tertawa riang, berjalan di tengah himpunan buku dengan gembira yang dilukiskan di wajah.

Tapi ia tidak sendirian.

Bukan dengan Ara, bukan pula dengan teman perempuannya yang lain. Ia bersama seorang lelaki, lelaki yang sama yang saat itu pernah menjemputnya di kampus beberapa hari lalu setelah kelas usai--Wonwoo masih mengingat wajahnya dengan jelas.

Pemuda itu menahan napas. Jantungnya terasa lemas, meski detaknya terus berpacu cepat.

Astaga, ini serius ...? Dari mana Soo Ri mendapatkan foto itu?

Soo Ri mendengkus pelan, tertawa sinis meski hanya sebentar. "Pemuda yang dikencani Hyun Ji itu adalah adik tiriku. Ia mengirimkan fotonya dengan Hyun Ji padaku siang tadi. Kau lihat? Mantan kekasih yang kau bangga-banggakan itu ternyata sudah berkencan dengan pemuda lain."

Wonwoo meneguk ludah lambat, sementara napasnya diburu dengan kesesakan yang meluap. Baru tadi ia dapat tersenyum bahagia, belum genap dua puluh empat jam, sesuatu kembali menjatuhkan harapannya yang terbangun separuh.

Pada akhirnya, harapan itu kembali hancur menjadi sepintas angan yang tak akan mampu digenggam.

Pikirannya berubah kalut. Tangannya bahkan sempat mengepal dengan kecemburuan yang membuncah saat tiba-tiba suara Soo Ri tertangkap telinga, "Sekarang katakan padaku, Jeon Wonwoo, apa masih ada alasan lain untuk kau berdalih padanya?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top