2. Miss You More Than You Know

"TIDAK mungkin, Ji! Ini benar-benar tidak masuk akal!"

Sekeras dan seheboh apa pun suara Ara saat ini, itu tidak menyulut emosi Hyun Ji sama sekali, juga tidak menyentakkan gadis itu dari lamunannya. Ia masih betah bergeming dalam diam, berjalan tanpa tenaga dengan tumpukan buku melekat pada genggaman.

"Jadi lelaki itu memutuskanmu hanya karena kekasih barunya itu? Ah, siapa tadi namanya? Sui? Sumi? Secantik apa pun ia, tetap saja terlihat menyebalkan!" Satu dengusan kasar lolos dari mulut Ara. Matanya membelalak kesal, lengkap dengan celotehan panjang yang sukses membuat sahabatnya meringis pelan.

"Soo Ri," Hyun Ji membenarkan, masih dengan tatapan kosong dan wajah pucat tanpa tenaga. Di tengah langkah kaki puluhan mahasiswa pada koridor, gadis itu justru merasa sepi dan asing. Ia tahu betul rasa asing itu bukan disebabkan karena kehadirannya yang baru setelah beberapa minggu libur dan membolos, sama sekali bukan. Asing ini berbeda, dengan luka tak berdarah yang entah kenapa terasa sekali perih nanahnya.

Gadis itu menghela napas pelan, sejenak menghentikan langkah dan memilih untuk mengempaskan pantat di atas bangku putih di pinggir koridor. Di tengah-tengah kekosongan hati yang terus melanda, bayang-bayang akan kejadian tiga puluh menit masih juga belum berlalu dari benaknya.

Masih terekam jelas—sangat amat jelas—saat netranya bertemu dengan netra Wonwoo, saat dimana percikan rindu bercampur keterkejutan yang sangat besar memabukkan hatinya dengan cepat. Tapi saat telinganya menangkap suara berat Wonwoo mengudara dengan kalimat singkat, Aku Wonwoo, kekasih Soo Ri, semua rindu langsung terbantai dengan kekecewaan.

Keterkejutan itu bertambah berat, kakinya sempat gemetar dengan wajah linglung. Hyun Ji masih mengingatnya dengan jelas. Untungnya Soo Ri sama sekali tidak bertanya apa-apa. Ia bersyukur dengan sikap Wonwoo yang dapat menutupi semuanya seolah mereka memang tidak pernah bertemu sebelumnya.

Tapi di satu sisi, itu menyakitkan. Sungguh.

Apa itu berarti Wonwoo sudah benar-benar melupakannya? Secepat itu? Hanya dalam hitungan hari? Kalau itu memang benar, maka semua yang Hyun Ji lakukan akhir-akhir ini sia-sia. Menangisi Wonwoo di saat pemuda itu bersenang-senang dengan gadis lain yang jauh lebih cantik darinya.

Lucu sekali, Wonwoo.

Benar-benar mengejutkan.

Sementara Hyun Ji larut dalam lamunan dan pikiran beratnya, Ara meneguk saliva lambat, meremas-remas ujung baju sementara netranya tak bisa berhenti memperhatikan Hyun Ji dengan tatapan prihatin. Bukan sebulan dua bulan mereka saling mengenal, dan Ara jelas tahu seperti apa sikap sahabatnya. Baru pertama kali berkencan, pertama kali mengenal pria, baru sekali jatuh cinta, ia harus dikecewakan.

Satu helaan napas berat mencelos dari mulutnya, Ara melangkah cepat menyusul Hyun Ji, mengempaskan pantat di sampingnya dengan lengan melingkar pada bahu. "Lelaki seperti Wonwoo tidak berhak untuk kaupikirkan." Baiklah, tekadnya sudah bulat sekarang. Tidak ada yang boleh melukai sahabatnya. Tidak ada, termasuk Wonwoo sekalipun.

Hyun Ji mengerjap pelan, dengan satu senyum tipis yang tersemat pada bibir, gadis itu berkata cepat, "Aku tahu."—tapi tidak bisa. Katakan, apa kau bisa menghapus bersih semua memori membahagiakan bersama pemuda yang kau cintai? Apalagi ketika melihat dia telah bahagia dengan gadis lain yang jauh lebih cantik. Tidak mungkin.

"Kalau kau belum puas, nanti aku akan bertemu dengan Wonwoo, akan kuberi dia pelajaran! Aku bersumpah tidak ak—"

"Tidak usah." Belum sempat Ara menyelesaikan kalimatnya, Hyun Ji terlebih dulu memotong, menggeleng cepat dengan kerutan tipis pada kening. Gadis itu menghela napas, menyelipkan poni ke belakang telinga setelah menoleh menatap Ara. "Kau sendiri yang bilang, lelaki seperti dia tidak berhak untuk kupikirkan," lirih gadis itu dengan tatapan kosong, tapi sepersekon kemudian senyumnya ia bangkitkan. "Jadi jangan pernah lagi berurusan dengannya."

Ara mendengkus pelan, memutar bola mata lambat sebelum menyahut, "Kalau begitu berjanjilah padaku."

Kening Hyun Ji berkerut samar. "Soal apa?"

Tatapan Ara berubah serius. Kedua bola matanya menatap lurus pada kedua bola mata Hyun Ji dan menguncinya cepat. "Jangan pernah berurusan lagi dengan Soo Ri. Ini satu-satunya cara supaya kau bisa melupakan Wonwoo. Jangan terlalu dekat dengan mereka, Ji, apapun alasannya."

Hyun Ji terkesiap, mengerjap pelan dengan hitungan sekon yang kelewat lambat. Secara refleks benaknya kembali memutar kejadian tiga puluh menit lalu, saat Soo Ri memperkenalkan dirinya dengan ramah, menarik pergelangan tangan Hyun Ji lembut seolah ingin terus tetap berteman akrab. Bahkan gadis itu juga sempat bertukar id line dengannya. Gadis sebaik itu ... secantik itu ... sesempurna itu.

Pantas Wonwoo berpaling padanya.

"Hei, Ji?"

Hyun Ji mengedipkan mata cepat, sedikit terperanjat saat suara Ara tertangkap telinga. Ditatapnya mata Ara, sebelum kemudian mengangguk lambat. "Aku akan berusaha."

"Apa kau yakin?"

Meski Soo Ri gadis yang cantik dan ramah, tapi statusnya sebagai kekasih baru Wonwoo merusak semua image baiknya. Hyun Ji tetap tidak akan merubah keputusannya. Gadis itu mengangguk mantab, membangkitkan senyum tipis. "Tentu saja. Bukankah memang sebuah keharusan untuk aku menjahui mantanku sendiri?"

Keharusan.

Kata itu terngiang dalam benak Hyun Ji. Senyum tipisnya berubah miris, sangat miris hanya untuk menahan perih yang menghampiri.

Ara menatap sahabatnya prihatin, hendak menyahut sebelum dering ponsel membungkam kembali mulutnya. Gadis itu merogoh tas untuk menemukan benda pipih yang terus melantunkan musik, membaca sekilas nama si penelepon sebelum kemudian menggeser ibu jari di atas layar. "Halo?" Suaranya memelan, tak enak dengan Hyun Ji yang tengah berduka.

"Apa? Hei, tidak bisa! Aku masih di kampus sekarang."

Hyun Ji melirik Ara, menekuk alis pelan sebelum dengan cepat menyadari siapa si penelepon. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya?

"Tidak bisa, oppa! Aku sedang—"

"Pergilah." Hyun Ji menatap Ara lembut, melantunkan satu kalimat pelan yang mampu membuat Ara bungkam. Ia bahkan menatap Hyun Ji dengan kening berkerut tak paham.

Hyun Ji menggeleng, berbisik cepat, "Pergilah, aku tak apa."

Ara menatap sahabatnya seolah bertanya 'apa-benar-tidak-apa-apa?', yang langsung dibalas anggukkan. "Iya, iya. Aku akan ke sana sekarang. Tunggu aku, oke?" Kalimat terakhir sebelum jempolnya dengan cepat mematikan panggilan. Tatapannya beralih pada Hyun Ji, nampak cemas dan penuh keraguan. "Apa benar kau tidak apa-apa?"

Berbalik jauh dari ekspresi Ara, Hyun Ji menarik senyum lebar. "Kim Mingyu?" sahutnya langsung, "ah, tak apa. Lagipula kelas sudah berakhir, 'kan? Aku akan langsung pulang sekarang."

Ara mengangguk lambat. "Yang benar?"

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa." Dengan cepat Hyun Ji merangkul tasnya, beranjak berdiri sebelum genggaman Ara menghentikannya.

"Ingat pesanku, Ji." Gadis itu menjeda beberapa saat, mengubah tatapannya lebih serius. "Jauhi Wonwoo, apapun alasannya."

***

Intinya, jaga jarak, Ji. Jaga jarak.

Beribu kali Hyun Ji mengulang-ulang kalimat perintah yang sama dalam hatinya. Ia mengerti nasihat Ara. Ia paham betul kalau nasihan itu bukan disebabkan karena kebencian semata pada Soo Ri karena telah 'mengambil' Wonwoo dari Hyun Ji. Itu jelas untuk kebaikannya sendiri.

Gadis itu mempercepat langkah menuruni tangga. Dalam diam tetap menjaga mata untuk berjaga, tidak boleh bertemu Wonwoo atau Soo Ri. Tidak satu pun. Sampai di depan pintu keluar universitas, langkahnya mulai diperlambat. Napasnya berembus lega, tidak bertemu Jeon Wonwoo untuk kedua kalinya adalah awal yang baik.

Baiklah, sekarang ia hanya tinggal memesan taksi online lalu pulang dengan selamat. Tidak akan ada lagi Jeon Wonwoo. Namun saat tangannya merogoh tas mencari benda berlayar pipih dengan case Winnie The Pooh, kegelisahan mulai menghampiri batinnya.

Dimana ponselku?

Hyun Ji menghentikan langkah, merogoh seluruh bagian tas bahkan sampai resleting terdalam sekalipun. Walau tahu ia tak akan bisa menemukan ponsel berlayar 5.5 inch dalam saku tas yang kelewat sempit itu, ia tetap melakukan demi meyakinkan diri sendiri bahwa ponselnya memang benar-benar hilang.

HILANG?! APA?!

Keringat membasahi kening Hyun Ji hanya dalam hitungan sekon cepat. Dengan penuh kecemasan tangannya merogoh saku, berharap menemukan ponselnya di sana. Tapi alih-alih menemukan benda persegi panjang itu, tangannya malah mendapati beberapa lembar uang yang telah kusut entah telah dibiarkan berapa minggu. Gadis itu menghela napas gusar, mengigit bibir bawah sementara otaknya berputar cepat untuk mengingat terakhir kali ia melihat benda itu.

Ah, ya. Perpustakaan.

Terakhir kali ia menggunakan di dalam perpustakaan, untuk meriset materi sebagai bahan tugas.
Bagaimana ini? Apa ia harus kembali ke perpustakaan untuk mengambil ponsel?

Atau justru membiarkan benda itu begitu saja dan berharap ada mahasiswa baik yang mengembalikannya padanya?

Tidak, tidak mungkin ia membiarkan ponselnya begitu saja. Hyun Ji tidak mau kehilangan benda pipih berharga itu. Masalahnya bisa panjang nantinya, semua tugas, bahan riset, bahkan beberapa materi ada di dalam ponsel. Tidak bisa, ia harus mendapatkan kembali ponselnya.

Tapi baru sesaat setelah gadis itu membalikkan tubuh untuk kembali melangkah ke perpustakaan, sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas dalam benaknya, sekejap menghadirkan gelisah bercampur keraguan yang menggetarkan hatinya.

Bukannya Wonwoo masih ada di sana? Bersama Soo Ri?

Refleks, kepalanya menggeleng pelan. Tidak, tidak bisa. Hyun Ji tak bisa kembali ke sana. Tapi bagaimana dengan ponselnya?

Diombang-ambingkan keraguan hingga hampir tumbang, kedua sisi hatinya berdebat pelan antara memilih menyelamatkan ponsel dengan bertemu kembali dengan Wonwoo dan mengingkari ucapannya pada Ara, atau membiarkan benda itu dan berharap ada mahasiswa yang berbaik hati mau mengembalikan—atau setidaknya menyimpankan ponsel itu untuknya.

Tapi opsi kedua terlalu beresiko. Memilih opsi itu maka sama saja dengan membuang-buang ponselnya.

Ah, bagaimana ini?

"Permisi."

Suara rendah yang terdengar familiar itu membubarkan semua lamunan Hyun Ji, membuatnya refleks menoleh. Matanya membulat dengan sekujur tubuh menegang, bahkan hatinya yang tadi penuh keraguan tergantikan dengan debaran tak berujung. Pemuda itu. Suara itu. Aroma mint yang masih belum berubah.

Jeon Wonwoo?

Kenapa ... kenapa bisa? Dari tadi Hyun Ji tidak melihat tanda-tanda kemunculannya, dan secara tiba-tiba pemuda itu sudah berdiri di depannya sekarang. Sendirian. Tanpa Soo ri.

Kemana Soo Ri? Apa tidak apa-apa melihat Wonwoo bertemu dengan perempuan lain? batin Hyun Ji bertanya-tanya, diam-diam memutar pandang untuk menemukan Soo Ri.

Dalam detik berisi kecanggungan yang mengudara bebas, tiba-tiba suara rendah Wonwoo memecah semuanya, kembali menyadarkan Hyun Ji pada kenyataan yang ada. "Maaf membuatmu terkejut." Pemuda itu mengusap tengkuk canggung, menyodorkan sebuah benda berlayar pipih dengan case Winnie The Pooh.

Mata Hyun Ji terbelalak menatap ponselnya. "Ba-bagaimana bisa?" gumamnya pelan.

Wonwoo menatapnya hangat, tersenyum kecil tapi entah mengapa tak terlihat tulus di mata Hyun Ji. "Kau belum berubah Ji, masih ceroboh seperti dulu." Tawa canggung mengudara, terdengar begitu menyedihkan.

Debaran jantung keras dengan beberapa kalimat rutukan dalam hati, Hyun Ji menyangkal kuat-kuat semua fakta yang dapat membuat pipinya bersemu merah. Sepersekon kemudian tangannya menyambar cepat ponselnya, membungkuk singkat dengan gumaman terimakasih yang terdengar tak begitu jelas.

Mungkin ini yang terbaik, mungkin memang benar kata Ara, menjauh adalah hal paling baik. Jadi setelah menggumamkan kata terimakasih, Hyun Ji langsung memaksa kakinya bergerak, tak peduli seberapa keras hatinya menjerit untuk tetap tinggal.

Mendengus pelan untuk menyembunyikan luka perih dalam hati, Hyun Ji sampai tak sadar bahwa tatapan mata Wonwoo masih mengarah padanya, masih melayangkan harap walau sadar semua sudah berakhir.

Wonwoo menatap punggung gadisnya—ah, salah, mantan gadisnya—yang diselimuti hoodie putih hangat itu menjauh begitu saja. "Aku merindukanmu, Ji. Sangat merindukanmu." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top