14. Am I Still Worth It?

Pada akhirnya semua usaha terbendung dalam kesia-siaan, luruh perlahan bersama emosi dan rasa sesal yang mencekik. Deru napas pun lenyap, bulir keringat terhenti dan mengering dalam kaku yang menyergap. Mungkin ini akhir dari segala rasa, mungkin pula ini puncak dari harap yang tak pernah tercipta. Saat itu pun, dengan naifnya aku mengira bahwa semua akan baik-baik saja, aku pikir esoknya masih ada bahagia yang dapat kucicip meski tanpa dia. Namun saat aku membuka mata dan menepis jauh-jauh niat dan hasrat yang merangkup dalam kepala, saat itulah semua rahasia terbuka gamblang.

Baik cinta, maupun asa, keduanya tak layak kugenggam.

Aku, si pecundang yang hanya bisa bersembunyi dalam bayang, apa masih pantas untuk berharap?

WONWOO membuang napas yang sedari ia tahan susah payah, menutup perlahan buku yang barusan ia baca dengan sentuhan pelan dan bermakna. Hatinya luluh tiba-tiba, mencelus perlahan bersama getir dan pahit yang menyiksa. Saat-saat dimana kaku merambati tangannya dalam sekejap mata, saat itulah di mana perih ikut bercokol pada matanya hingga menghasilkan rasa panas yang luar biasa. Udara di sekitarnya seolah menipis, mendadak pudar dan pertahanannya runtuh dalam sekejap.

Kenapa kalimat dalam buku ini persis dengan apa yang ia rasakan sekarang?

Benar perkiraannya, untaian kata dan balutan aksara selalu dapat menenangkan hati dan pikiran.

Selalu, setiap pikirannya berat dan rasanya tak ada satu hal pun yang ia ingin lakukan, Wonwoo tak akan mengambil pilihan lain selain pergi ke toko buku, membaca-baca sedikit sinopsis yang ada atau sesekali mengintip isi buku di dalam—bila ada plastik yang terbuka, tentu saja.

Tiap aksara rasanya seperti awan, membawanya terbang melayang dan akhirnya jatuh di rawa-rawa, membasahinya dengan campuran rasa kesal berbalut emosi yang biasa ikut menggelayuti hatinya begitu erat.

Pemuda itu lantas mengembalikan buku tadi pada tempatnya semula, kemudian memasukkan telapak tangan dalam saku celana sebelum kembali menjelajahi satu rak khusus dimana seluruh buku yang dijejer berisi puisi dan sajak. Namun tepat tatkala langkahnya menepak dan bola matanya berkeliling melihat-lihat isi bangunan yang penuh dengan rak buku dan pengunjung yang bermacam-macam, tiba-tiba dadanya sesak seketika. Irisnya lantas membulat cepat. Tenggorokannya tercekat.

Apa itu benar-benar dia?

Wonwoo langsung berbalik badan, mengambil buku yang ada di dekatnya asal lantas menutupi wajah dengan harapan Hyun Ji tidak menemukannya. Astaga, ini gila. Benar-benar tak dapat dipercaya. Pemuda itu bahkan tak pernah berpikir untuk kembali bertemu Hyun Ji di sela-sela waktunya yang merenggang. Gadis itu tidak sendiri ternyata, seseorang menemani. Kalau tidak salah namanya Ara, sahabat Hyun Ji dari lama.

Namun di samping semua itu, Wonwoo diam-diam mengembuskan napas lega.

Syukurlah, Hyun Ji tidak sendiri.

Pemuda itu berbalik sebentar, mengintip hati-hati melalui sela buku yang ia pegang. Tak ada tanda-tanda Hyun Ji ataupun Ara, mungkin mereka sudah hilang ditelan belokan. Jadi setelah membuang napas pelan, menyadari bahwa situasi berubah aman dan ini adalah kesempatan langka untuk melarikan diri, Wonwoo meletakkan kembali novel yang tadi ia pilih asal dengan cepat, lantas melangkah tergesa menuju pintu keluar.

Tidak, tidak. Tidak boleh. Ia sudah berjanji pada Soo Ri untuk tidak dekat-dekat lagi dengan Hyun Ji. Menyimpan semua kenangan lama dengan mantan saja rasanya sudah tak benar, apalagi mengikuti kehidupannya lebih jauh dan—

Tapi, tunggu. Tunggu dulu.

Langkah Wonwoo refleks terhenti mendadak, sesaat matanya menatap lurus dengan pandangan kosong. Emosi luruh di sana; pada mata coklat indah tempat bertenggernya sebuah kehangatan dan kelembutan saat tiba-tiba benaknya kembali terbayang ekspresi Hyun Ji tadi.

Mata sayu, kulit pucat serta lingkaran hitam tipis pada mata. Apalagi reaksi gadis itu ketika masuk dalam toko buku dan melihat tumpukan novel terjejer rapi di sampingnya tidak membuat ia nampak bersemangat. Tidakkah itu sesuatu yang aneh?

Wonwoo mendadak berubah resah. Kalau kembali diingat-ingat, tidak ada secercah senyum sedikit pun merekah pada wajah Hyun Ji, tak ada rasa bahagia padahal dulu semenjak pacaran, Wonwoo masih ingat dengan jelas betapa bahagianya Hyun Ji saat di bawa dalam toko buku dan bertatapan langsung dengan tumpukan buku pada rak-rak besar.

Apa gadis itu memiliki masalah? Atau justru, Wonwoo penyebab semua keresahan dan pikiran beratnya?

Pemuda itu menjilat bibir dengan getir.

Setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini, apa masih pantas baginya untuk memedulikan Hyun Ji?

Tangannya terkepal kuat tanpa sadar. Kendati toko buku ini ramai dan pengunjung tak henti keluar-masuk dengan membicarakan banyak hal menarik dalam volume keras—entah itu mengenai buku yang baru dirilis atau harga alat tulis murah hasil diskonan—telinga Wonwoo rasanya lebih terpusat pada satu hal yang berdengung dari lubuk hatinya paling dalam; sebuah suara yang mendesis tajam, Kalau memang kau adalah penyebab dari ketidaktenangannya, maka kau harus bertanggung jawab atas semua hal yang membuat ia resah. Bukankah semua ini disebabkan oleh kelakuanmu? Hyun Ji tak akan pernah merasa terganggu, bila kau tidak menyuruhnya datang pagi itu.

Jadi dengan sebersit rasa keraguan, setengah hati dikuasai kepedulian yang bercampur dengan penasaran dan sisanya adalah nekat, Wonwoo membalikkan tubuh cepat, mengabaikan suara-suara pada sisi hati lain yang mampu menghentikan niatnya kapan saja. Biarlah ia disebut plin-plan, tidak tegas, lelaki pengecut yang hanya bisa memberi simpati dalam diam.

Ia tidak peduli.

Wonwoo mencoba mengingat arah arah dimana Hyun Ji melangkah. Kalau tidak salah kedua gadis itu berbelok ke arah rak buku filosofi tadi. Jadi dengan kewaspadaan dan siaga penuh dari kedua mata, pemuda itu ikut melangkah ke arah yang sama.

"Ayah tirimu yang berengsek itu meminta uang lagi? Hah, dia bahkan tak bisa hidup tanpa songkongan uang anaknya. Pria macam apa itu?" sungut Ara kesal. Gadis itu kemudian menjeda, mendengkus keras entah tanda emosi atau sedang mencoba bersabar. "Lalu kau turuti begitu saja?"

Langkah Wonwoo refleks terhenti mendadak saat telinganya menangkap sebuah suara yang kedengaran familiar. Pemuda itu menyandarkan diri pada ujung tembok putih tempat belokan mengarah pada rak-rak buku filosofi, dan mengintip diam-diam ke belakang. Benar dugaannya, Hyun Ji dan Ara tengah berdiri di sana, membelakangi Wonwoo dan nampak sedang bercakap-cakap dengan wajah Ara penuh emosi sementara Hyun Ji lemas tanpa tenaga. Sedikit pucat.

Tapi, apa yang tadi ia dengar tak salah? Ayah tiri berengsek? Apa-apaan ini? Bukankah ayah tiri Hyun Ji sudah pergi?

Dadanya bergemuruh tak karuan, ludahnya tersendat di tenggorokan dan saat itu ia dapat mendengar napas Hyun Ji berembus pelan.

"Aku tak punya pilihan lain, Ra. Memangnya apa yang dapat dilakukan kepada orang yang telah menyelamatkan nyawamu sebelas tahun lalu selain menolongnya dengan uang?"

Batin Wonwoo semakin dilanda kebingungan. Jadi masalah Hyun Ji berhubungan dengan ayah tirinya sendiri? Hiruk pikuk pengunjung yang datang membuat suara Ara jadi terdengar samar, setengah hilang ditelan keramaian, namun pemuda itu masih dapat menangkap intinya dengan jelas. "Iya, tapi dua juta won? Serius? Kau benar-benar tak bercanda dengan jumlah yang kau berikan?"

Dua juta won?!

Hyun Ji mengangguk pelan.

"Itu berarti kau menyerahkan semua uang jajanmu bulan ini, ditambah setengah dari simpananmu?"

Dengkus pasrah terdengar. Wonwoo sempat melihat Hyun Ji menunduk lelah. "Aku tak punya pilihan lain, Ra. Semua itu tergolong bantuan kecil kalau dibandingkan dengan pengorbanannya sebelas tahun lalu. Setidaknya, dengan itu, kami impas. Dia menolongku dan aku membantunya. Itu sudah cukup."

"Tapi jangan lupakan juga fakta bahwa dia seorang pria berengsek yang dulu pernah membuat hidupmu hancur berantakan. Dia si penipu akut yang hobinya bersenang-senang. Kau serius masih ingin membantunya?" tanya Ara tak percaya.

Wonwoo mendadak berubah kaku di tempat. Napasnya tertahan tanpa sadar. Jadi selama ini ayah tiri Hyun Ji seorang ...

Pantas saja dulu semasa pacaran, gadis itu selalu berkata bahwa ayah kandungnya telah meninggal, dan ayah tirinya telah pergi. Sekarang Wonwoo baru sadar, ada perbedaan arti antara kata meninggal dan kata pergi yang ia gunakan.

Jelas berbeda.

"Iya, aku mengerti. Sangat mengerti." Hyun Ji mengembuskan napas, nampak sangat putus asa saat kembali melanjutkan, "Tapi bagaimana lagi?"

Ara akhirnya menghela napas pendek, kelihatannya menyerah dengan keputusan yang Hyun Ji buat. "Baiklah, sekarang bagaimana dengan hidupmu bulan ini? Kau sudah menyerahkan uang jajanmu sepenuhnya pada pria itu, jadi bagaimana caramu untuk bertahan hidup?"

"Ah, soal itu ..." Hyun Ji sempat ragu sejenak, menyelipkan helai rambut di belakang telinga. Gadis itu memutar otak sebentar—Wonwoo dapat melihat gerak-geriknya yang dipenuhi keraguan sebelum menyahut, "aku masih ada tabungan, ya setidaknya cukup untuk membeli kebutuhan makan bulan ini."

"Kalau kau membutuhkan pinjaman uang, beritahu aku saja, ya," balas Ara tulus.

Wonwoo tak dapat menahan hatinya yang mencelus perlahan. Perih. Sesak. Bernanah. Pemuda itu menyandarkan kepala pada dinding di belakang dengan ngilu tertahankan. Tepat saat napasnya berembus pelan, saat itulah matanya juga mengerjap lambat. Pemuda itu jelas paham betul status keluarga Hyun Ji, pekerjaan ibunya di luar kota yang jarang pulang hanya untuk mencukupkan kebutuhan hidup putri semata wayangnya yang sedang berkuliah.

Tidakkah kejam, bila pemuda itu hanya diam dan tidak berbuat apa-apa sementara gadis itu sedang kesusahan?

Lagi-lagi, ia mengembuskan napas sembari menepis surai kasar. Kali ini lebih keras, lebih menyiksa, dan jelas digelayuti sesak berlebih. Namun bukan itu masalah utamanya, ada hal yang jelas lebih membuat Wonwoo risau. Pertanyaan yang kini berputar dalam benaknya masih sama dengan yang tadi menghantui hatinya; apakah masih pantas baginya untuk memedulikan Hyun Ji?

***

Hyun Ji menatap nanar pada isi dompet yang naas, lantas mengerutkan kening tak percaya sebelum kemudian mendengkus pelan. Ini sudah ketigakali dalam pagi ini semenjak perutnya melilit dan berbunyi nyaring, hingga akhirnya membuat gadis iru mendesah tak karuan. Padahal sebentar lagi kelas akan dimulai, tapi semenjak bangun tadi, gadis itu belum mengisi perutnya selain menenggak tiga gelas air mineral.

Tidak, tidak. Tahan saja, ini tidak akan lama.

Gadis itu merogoh tas slempangnya untuk menemukan satu tempat makan plastik berisi puding sisa semalam. Mungkin sudah tidak dingin lagi, mungkin juga sudah berair mengingat sudah tiga jam semenjak ia mengeluarkan puding itu dari kulkas, namun hanya itu yang bisa ia temukan. Hanya itu yang bisa ia makan.

Setidaknya ini bisa mengganjal, pikirnya. Jadi tanpa sebersit keraguan, Hyun Ji langsung menyendok beberapa suap puding dalam mulutnya untuk dikunyah dalam waktu lambat. Sengaja memang, kalau terlalu cepat kenyangnya tidak akan kerasa. Tak peduli walau mahasiswa-mahasiswa lain berlalu-lalang di sekitarnya, gadis itu sama sekali tidak merasa malu telah membawa bekal.

Hyun Ji mengembuskan napas pelan, mendesah lega saat perutnya sudah tak lagi meraung-raung layaknya orang kesetanan. Ya, mungkin tidak mengenyangkan, rasanya pun berbeda dengan onigiri yang biasa dibeli di supermarket, atau bibimbap dan jjajangmyun favoritnya. Namun setidaknya, hanya untuk kelas pagi yang sebentar lagi dimulai, ia bisa bertahan.

Berada dalam situasi krisis yang menyesakkan begini jelas membuat Hyun Ji teringat kalimat Ara semalam. Kalau kau membutuhkan pinjaman uang, beritahu aku saja, ya. Sungguh, Hyun Ji berani bersumpah demi apa pun tawaran itu sangat menggoda. Bayangkan saja, di tengah krisis dompet dan saat-saat dimana kau harus terus berhemat agar dapat tetap membeli buku materi untuk kuliah dengan sisa uang jajannya yang tidak seberapa, tiba-tiba saja ada orang yang menawarkan pinjaman uang. Siapa yang dapat menolak?

Tapi tetap saja, ia tidak mungkin menjadi beban bagi sahabatnya sendiri. Hyun Ji tidak mungkin menjadi benalu yang menempel, sementara gadis itu tahu betul Ara juga sedang banyak kebutuhan. Jadi dengan mengumpulkan tekad juga sebersit keraguan, Hyun Ji berjanji dalam hati dengan diri sendiri, apapun yang terjadi, aku tidak boleh melibatkan Ara di dalam. Tidak boleh.

Hyun Ji berusaha menepis bayangan akan sarapan enak yang mengenyangkan dalam benak, lantas menutup bekal setelah berhasil memakan habis makanannya. Hah, bahkan hanya dengan puding instan buatannya semalam, perutnya masih belum puas. Mau bagaimana lagi? Hanya itu yang tersisa.

Gadis itu memasukkan kembali tempat makan dalam tas, lantas berdiri dan melangkah menuju kelas. Tadi pagi-pagi sekali Ara memberinya pesan, katanya ia akan sedikit terlambat untuk kelas pagi karena ada urusan mendadak. Entah apa, sahabatnya tak memberitahu.

Jadilah sekarang Hyun Ji berjalan sendirian menuju kelas. Namun tepat saat langkahnya sampai pada pintu utama dengan ekspresi datar dan benak tanpa suara, gadis itu bahkan tak bisa menahan dirinya sendiri untuk tak mengernyit heran, matanya membelalak dengan sebongkah keanehan bergantung dalam kepala.

Ia tak tahan untuk berjalan mendekat, mencari-cari apakah semua yang ia lihat bukan halusinasi atau sekedar ilusi karena dilanda lapar.

Tapi ,nihil.

Satu bungkus roti sobek itu memang benar-benar ada.

Hyun Ji menoleh pada sekitar. Belum banyak mahasiswa yang datang, hanya beberapa pemuda yang tengah duduk bersama di sudut ruangan untuk membicarakan game semalam.

"Em, permisi, maaf mengganggu. Tapi aku mau bertanya soal roti di atas mejaku, apa itu milik kalian?"

Beberapa dari mereka menggeleng acuh tak acuh. Hyun Ji sempat membuang napas pelan, nyaris putus asa, sebelum salah seorang dari mereka menyahut dengan nada datar, "Tadi ada orang yang meletakkannya di atas bangkumu. Entah siapa, ia datang diam-diam dengan masker pada wajah dan keoalanya ditutupi tudung jaket hitam."

Gadis itu terkesiap, mengerjap dalam keterkejutan. Apa?

Dan saat tangannya meraih sebungkus roti sobek coklat dengan penasaran berlebih, Hyun Ji baru menyadari ada secarik kertas kuning kecil yang tertempel pada bungkusnya. Semacam note yang ditulis dengan tulisan manis.

To: Hyun Ji

Eat well, sleep well, study well. Fighting.

Mata Hyun Ji membulat perlahan. Dadanya bergemuruh kencang. Perutnya bergejolak.

Siapa ini? []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top