13. You Like Her, Don't You?
SOO Ri telah bersiap selama kurang lebih tiga puluh menit untuk menghadiri kelas pagi yang akan dimulai dua jam lagi. Ia telah memoles make up tipis pada wajah; membalutnya dengan foundation, menaburkan bedak dengan rata, lalu memberikan eye shadow tipis pada mata. Setelah menyelesaikan tahap akhir yaitu membalut bibir dengan liptint merah muda yang selaras dengan warna kulitnya, gadis berambut panjang coklat itu sudah siap keluar rumah dengan percaya diri, diam-diam tersenyum samar kala kembali terpikir niatnya untuk mampir sebentar ke rumah Wonwoo sebelum kemudian berangkat kuliah bersama.
Namun saat langkahnya sampai pada pintu utama, tangannya terangkat hendak meraih gagang pintu dan mendorongnya dengan tenaga, tiba-tiba sebuah suara mengudara, pelan namun menginterupsi, pada akhirnya sukses membuat semua gerakan serta imajinasinya terhenti dalam sekejap. "Mau kemana pagi-pagi begini?"
Tidak terdengar dingin, hanya seuntai kalimat yang diucap datar namun sukses menyita atensi. Soo Ri nyaris tersentak saat mendengar suara berat milik ayahnya. Pria itu tengah berdiri di ruang tamu, berjalan ke arahnya lengkap dengan jas hitam yang terbalut rapi pada tubuh serta tas kantor berbahan kulit di genggaman. Jelas ini sesuatu yang mengejutkan, tak biasa ayahnya menyapanya pagi-pagi begini, pula bertanya layaknya seorang detektif yang mencurigai tersangkanya.
Gadis itu berbalik dengan satu gerakan cepat. "Ke rumah Wonwoo, lalu berangkat kuliah bersama." Ia memiringkan kepala, sedikit menyipitkan mata kala bertanya, "Ada apa? Apa ayah ingin berangkat bersama?"
"Ah, tidak." Pria itu menghela napas, seperti ingin mengutarakan sesuatu tapi tak kunjung mengatakan. Ia memutar bola mata sejenak, nampak berpikir beberapa saat sebelum kemudian menatap manik putrinya lekat. Ada keseriusan tak terbantahkan di dalam sana. "Jangan pergi dulu pagi ini."
Soo Ri mengernyit.
Apa?
Baiklah, ini aneh sekali. Memang ia akui, hubungan keluarganya sedang kacau sekarang. Tidak ada lagi sarapan bersama seperti dulu, tak ada lagi canda tawa hangat tiap malam, atau foto bersama dengan senyum lebar memperlihatkan deret gigi putih tanda bahagia. Basa basi yang mengudara saat sarapan pun sudah lenyap tanpa sisa. Soo Ri bahkan sudah tak pernah lagi menggiring percakapan ringan pada ayahnya sebagai rutinitas keluarga tiap malam--terakhir kali mereka berbicara, Soo Ri hanya bertanya seperlunya tentang perkembangan kasus ibu Wonwoo.
Setelah itu, tidak ada.
Semua jelas berubah, saat wanita itu datang.
Lalu, tanpa diduga-duga, tanpa pernah sekalipun dipikirkan, diam-diam di sela waktu yang dipakai ibu tiri serta ayahnya untuk bersenang-senang, mereka bahkan tak sadar seseorang mencoba untuk melarikan diri jauh dari keluarga. Satu malam, tepat seminggu setelah pernikahan itu diselenggarakan, lelaki yang secara sah menjadi saudara tiri Soo Ri pergi tanpa mengatakan sepatah kata. Hah. Rumit. Jelas membuat pusing hingga rasanya Soo Ri ingin ikut minggat saja. Tiap hari di rumah yang ia dengar hanyalah keluhan serta tangis ibu tirinya, mengkhawatirkan anak lelakinya yang pergi entah kemana. Memang dari awal, tidak ada yang setuju dengan pernikahan ini.
Namun demi kepentingan serta egois yang didasarkan atas nama cinta itu, toh akhirnya ayah Soo Ri tetap menikah dengan wanita pilihannya. Meski tahu, tak semua memberi restu.
"Kau harus pergi ke alamat ini." Pria itu menjeda, menyerahkan secarik potongan kertas lusuh bertuliskan sebuah nama gedung serta alamat lengkapnya. Samar-samar, Soo Ri menekuk alis bingung. "Apartemen? Apa? Memangnya untuk apa aku ke sana? Tidak, jangan bilang untuk ..."
Belum selesai gadis itu menyelesaikan kalimat, ayahnya sudah terlebih dulu memotong. Lugas. Tegas. Tak terbantahkan. "Datanglah ke sana. Cari adik tirimu, temui dia, dan pastikan keadaannya baik-baik saja. Kau tahu, ibu tirimu menangis semalaman karenanya."
Jadi sudah bisa menduga alasan mengapa Soo Ri harus menelan bulat keinginannya pagi-pagi untuk pergi ke rumah Wonwoo, lantas memakirkan mobil di depan sebuah gedung tinggi apartemen dan melangkah malas tanpa minat?
Bahkan semua yang terjadi di sini melenceng penuh dari dugaannya. Buang saja soal pikiran akan gedung mewah berbintang lima, atau tempat sewa mahal serta barang-barang mewah nan artistik. Gedung ini tergolong sederhana, sama seperti gedung apartemen tua pada umumnya dengan taman kecil di sudut parkiran. Soo Ri bahkan tak mengerti mengapa sebuah apartemen harus menyisihkan tempat untuk membangun taman kecil sementara tempat parkirnya saja kurang memadai.
Gadis itu menghela napas.
Bila ini bukan gedung mewah dengan ruangan indah dan fasilitas memadai, lantas mengapa adik tirinya itu memilih untuk tinggal di dalam?
Bukankah lelaki itu juga anak orang kaya yang jelas punya harta untuk menyewa tempat lebih mewah daripada bangunan tua ini?
Aneh. Benar-benar aneh. Soo Ri mengenal betul seperti apa sifat adik tirinya itu-kendati hubungan keduanya tak terlalu baik, setidaknya mereka pernah mengobrol meski hanya sebentar. Lelaki itu konyol; tingkahnya nekat dan seringkali berbuat sesuatu di luar pikiran. Terkadang bisa menjadi sedikit sarkastik, tapi tak menutup kemungkinan untuk bertransformasi menjadi lelaki paling menyebalkan yang pernah ada.
Pantas saja saat ibunya menikah dengan ayah Soo Ri, pemuda itu langsung memilih minggat ke apartemen, padahal jelas, rumah yang ditempatinya mirip istana megah.
Konyol, bukan?
Dan kini, atas amanah dan perintah yang tak mungkin Soo Ri bantah, gadis itu sendiri yang harus mencari saudara tirinya di antara lorong penuh kamar ini.
Merepotkan saja, dasar adik tiri sialan.
***
"Jadi kau bertemu dengannya lagi?"
Hyun Ji tersenyum miris, tanpa sadar mengeratkan remasan pada tali tas sementara kepalanya yang kaku dipaksa untuk mengangguk pelan.
"Astaga, bagaimana bisa? Apa dia meminta sesuatu darimu? Atau justru ingin bertemu ibumu? Ah, kau berhutang banyak penjelasan padaku, Ji." Ara mengoceh panjang lebar, menatap Hyun Ji penasaran sembari menggeleng-geleng tak paham. Gadis itu diam-diam mendengus tak percaya, memutar otak berkali-kali hanya untuk memikirkan alasan mengapa sahabatnya itu mau untuk menghubungkan koneksi lama dengan ayah tirinya. Sudah cukup cerita soal pria berengsek dan penipu absolut itu. Sejujurnya Ara sendiri muak dan ingin menendang pria itu jauh-jauh dari hidup sahabatnya.
Tapi siapa sangka pria itu akan kembali?
Hyun Ji mengembuskan napas perlahan tepat tatkala langkah keduanya sampai pada ujung tangga lantai dua apartemen. Setelah semalam membuat janji untuk datang ke toko buku bersama sebelum berangkat kuliah siang ini, Ara ternyata sudah sampai di depan pintu kamar Hyun Ji lebih cepat dari yang ia duga. Keduanya sudah siap dengan balutan kaos masing-masing, dan saat itu kalimat awal yang mengudara dari mulut Ara hanyalah satu, "Astaga, wajahmu nampak pucat. Ada lingkaran hitam tipis pada matamu. Sekarang katakan padaku ada hal apa yang mengganggumu semalam, Ji?"
Peka. Sangat peka, sampai Hyun Ji rasanya ingin menarik tubuh Ara untuk mendekapnya lama. Namun toh akhirnya gadis itu hanya tersenyum tipis dan mencoba untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Tapi bukan Ara kalau tak penasaran hingga mengorek lebih dalam.
Ah, tidak tidak.
Ini jelas bukan sekedar penasaran yang berlanjut pertanyaan panjang tak berujung. Kau tahu, seseorang yang penasaran akan mencoba untuk mengetahui apa pun masalahmu, mengorek informasi sedetil-detilnya hanya untuk memastikan seberapa terpuruknya hidupmu saat ini.
Kau kira Ara akan melakukan hal serupa? Tidak, tidak. Tidak mungkin.
"Nanti akan kuceritakan." Hyun Ji membuang pandang sekilas, diam-diam berusaha menghindar dari tatapan menyelidik sahabatnya. "Rumit sekali, Ra. Aku bahkan tidak mengerti mengapa ia masih sering muncul dan menghilang dalam hidupku secara tiba-tiba."
"Tapi kenapa kau mau menerimanya?" tanya Ara pelan, menatap tak percaya pada Hyun Ji yang sekarang bungkam. "Sebenarnya teorinya sederhana saja, Ji. Tolak bila itu merugikan, terima bila itu menguntungkan. Dia tidak bisa seenaknya memintamu melakukan macam-macam sementara dulu ia pernah menelantarkanmu seenak jidat."
Hyun Ji meneguk ludah perlahan. Tenggorokannya serasa dicekik kuat, bahkan napasnya mendadak terasa sesak. Dalam tiga detik singkat yang entah mengapa terasa menyiksa, gadis itu dapat mendengar suara hatinya menyahut lirih, Benar kata Ara. Orang itu merugikan, lantas untuk apa kau tetap menolongnya? Ia tidak berhak mendapatkan semua kebaikan itu. Toh, dalam semua suka-duka yang pernah ia alami bertahun-tahun lamanya, pria ituーayah tirinya itu-tidak pernah ada di sana.
Sedikitpun, tidak pernah.
Lantas, untuk apa semua bentuk usaha kebaikan yang susah-payah Hyun Ji lakukan di saat pria itu sama sekali tak mengindahkannya?
Gadis itu lagi-lagi menghela napas, menapakkan tungkai dengan malas pada anak tangga ketiga. Langkahnya mendadak berubah lambat, bahkan nampak tak begitu bersemangat sementara hening mulai merayap disertai atmosfir canggung yang melanda.
Namun tepat di detik-detik akhir kala otaknya terasa kosong tanpa isi, matanya terkontaminasi kantuk sisa semalam dan dadanya dililit sesak yang menyebalkan, Hyun Ji bahkan tak pernah menyangka irisnya akan melebar seiring dengan pergerakan seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapannya, berjalan anggun dan nampak memesona meski hanya dengan bedak tipis pada wajah.
Astaga, apa benar matanya tidak salah lihat sekarang?
Pada akhirnya, gadis itu tersentak sendiri dengan siapa yang ia lihat. Senyumnya merekah lebar dan meski ada denyut pilu dari jantungnya yang sengaja ia abaikan, toh Hyun Ji tetap bersikukuh untuk menepuk bahu Soo Ri dengan semangat sembari menyapa riang, "Wah, hai, aku tak menyangka akan bertemumu di sini."
Soo Ri sendiri nampak sangat terkejut. Matanya membulat cerah dengan cepat. Terlihat indah, apalagi setelahnya bibir merah muda itu terangkat tinggi dan mengulas senyum lebar. "Hei! Astaga, pertemuan yang sangat tidak disengaja. Kebetulan aneh macam apa ini?" Ia tertawa sejenak, mengisi basa-basi singkat saat kembali menyambung, "Apa kau tinggal di sini?"
Hyun Ji mengangguk. "Kau sendiri? Ada perlu apa kemari?"
"Ah, aku ada janji dengan seseorang." Soo Ri menyelipkan beberapa helai rambut pada belakang telinga. "Kalian rapi sekali, sepertinya sudah siap untuk kuliah nanti," candanya.
Hyun Ji ikut tertawa, meski hanya tawa canggung yang terdengar janggal. Gadis itu menyahut, hendak membuka mulut namun tanpa diduga-duga Ara sudah lebih dulu memotong tanpa aba-aba, "Em, sebenarnya kami harus pergi, ada urusan mendadak. Tak masalah, 'kan, kalau kita tak bisa mengantarmu ke kamar temanmu itu?"
"Ah, tentu saja." Soo Ri mengangguk cepat, mengulas senyum lebar, berusaha nampak akrab saat menepuk bahu Ara ringan. "Tidak usah merasa tidak enak begitu, lagipula aku yakin urusan kalian lebih penting."
Kendati Hyun Ji memelotot menatap Ara tak terima, sahabatnya itu lebih memilih untuk mengacuhkan, tersenyum sopan pada Soo Ri sebelum kemudian menggenggam tangan Hyun Ji dan menariknya untuk melangkah lebih cepat, sampai-sampai gadis itu tak bisa mengucapkan salam perpisahan pada Soo Ri selain lambaian tangan serta seulas senyum yang nampak dipaksakan.
Namun jauh dari pikiran Hyun Ji dan Ara tentang sosok gadis ramah yang mudah bersosialisasi serta mampu mencairkan semua atmosfir canggung yang menyelubung, Soo Ri diam-diam justru menyipitkan mata picik, menatap punggung Hyun Ji dan Ara yang sama-sama menjauh lalu menghilang di belokan akhir.
Dasar, bodoh. Memangnya siapa yang meminta kalian untuk menemaniku?
***
Tinggal di apartemen murahan? Cih, memang dari awal melihat rupa serta penampilan fisiknya, Soo Ri sudah tahu seperti apa standar dasar dari seorang Hyun Ji. Gadis itu sendiri bahkan heran mengapa Wonwoo bisa begitu jatuh hati pada mantannya itu, toh dari semua kriteria dasar yang Soo Ri tetapkan, Hyun Ji hanya masuk dalam kategori gadis biasa dengan fisik yang juga biasa saja. Sama sekali tidak menarik.
Namun lain dari hal-hal tersebut, satu hal penting yang harus digaris bawahi di sini adalah, Hyun Ji bukan anak orang kaya. Itu alasan utama, alasan paling mengherankan yang membuat Soo Ri bertanya-tanya tiap malam, memangnya selayak apa Hyun Ji untuk Wonwoo, sampai Wonwoo begitu terobsesi padanya? Kalau di sini sudah ada Soo Ri yang mampu memberikan semua yang Wonwoo butuhkan, lantas untuk apa presensi Hyun Ji dalam hidupnya?
Dasar gadis miskin sialan, makinya dalam hati, saat tiba-tiba bayangan Wonwoo dan Hyun Ji yang tengah mengobrol berdua di rumah Wonwoo kemarin timbul dalam benak. Ah, Hyun Ji memang mengesalkan. Bahkan teman-temannya pun tak jauh beda, Soo Ri rasa. Sahabat karibnya itu-kalau tidak salah namanya Ara-juga terlihat menyebalkan. Wajah judesnya bahkan sukses membuat Soo Ri mual hingga membencinya setengah mati.
Baik Ara ataupun Hyun Ji, keduanya tidak pantas berteman dengan Soo Ri.
Langkahnya kemudian terhenti di depan pintu kamar dengan sebuah tanda kecil bertuliskan nomor 32 yang merekat pada bagian atas pintu. Gadis itu mengernyit sejenak, menjauhkan semua pikiran akan Hyun Ji dan mulai mencocokkan kebenaran nomor yang ada di kertas dengan yang ia lihat di depan matanya sekarang.
Benar, tak salah lagi. Nomor 32.
Soo Ri menghela napas, mengetuk pintu dalam beberapa ketukan. "Permisi." Tiga detik berlalu, namun tak kunjung ada sahutan. "Permisi," ulangnya kembali lebih keras.
Kali ini terdengar sahutan tak mengenakkan dari dalam, derap langkah yang berpacu cepat, sebelum kemudian pintu terbuka dan menampilkan ...
Astaga.
"ARGH! DASAR LELAKI MESUM SINTING!" Soo Ri dengan cepat menutup mata dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain tak henti memukuli lelaki yang berdiri di hadapannya dengan keras.
"Aw, hei, astaga. Sakit, sialan! Berhentilah!"
"Pakai bajumu, dasar otak udang! Kenapa kau membuka pintu dalam keadaan begitu?!"
Dino meringis pelan. Kendati tangan Soo Ri tak berhenti memukuli tubuhnya, pemuda itu tetap berusaha menghindar sembari memakai kausnya dengan cepat. "Iya, iya! Sudah, buka matamu. Aku sudah selesai."
Meski merasa sedikit curiga, Soo Ri toh akhirnya mulai membuka mata. Napasnya berembus kesal bersamaan dengan satu tamparan keras pada pipi adik tirinya itu. "Kau ini gila, ya?! Membuka pintu kamar dengan bertelanjang dada?! Menjijikan, tahu!"
Dino nampak sedikit terkejut dengan tamparan kakaknya. Pemuda itu berdecak, mengibas rambut yang saat itu masih basah hasil keramas. "Salah sendiri datang di saat aku baru selesai mandi." Pemuda itu menghela napas, melirik malas pada Soo Ri. "Aku tidak menyangka kakak tiriku yang sangat perhatian ini datang menjengukku," sambungnya datar, "katakan, apa yang kau inginkan?"
Soo Ri memutar bola mata jijik, lantas berjalan masuk ke kamar tanpa seijin Dino, membuat pemuda itu mengernyit sebelum melemparkan tatapan kesalーnyaris merutuk kalau saja ia lupa siapa gadis di hadapannya itu. "Kau pikir aku rela membuang waktuku yang berharga hanya untuk melihat adik tidak bergunaku ini?" gadis itu menyahut sarkas. Segera ia jatuhkan diri ke atas sofa sebelum kembali melanjutkan, "ayah memintaku untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja. Katanya, ibu mengkhawatirkanmu."
Dino menutup pintu dengan hentakan kasar. Emosi meluap tanpa ia sadari dalam hatinya, membuat kepalan tangannya menguat. "Dari mana ia tahu tempat tinggalku?"
Soo Ri melirik Dino datar. "Ayah punya banyak uang, bodoh! Ia bisa menyewa berapa pun orang hanya untuk mengintaimu."
Pemuda itu tak menyahut, hanya mendengus pelan dengan rasa jengkel tertahan. Sudah jelas alasan mengapa ia benci ibunya kembali menikah? Well, ini memang bukan alasan utama, sih, tapi jelas masuk dalam daftar panjang alasan yang ia buat; Soo Ri, kakak tirinya itu sangat menyebalkan.
"Astaga, bedakku bahkan luntur setelah menaiki tangga dan berkeliling untuk mencari kamarmu."
Dino mengernyit saat tiba-tiba Soo Ri menatapnya kesal.
"Ini semua gara-gara kau! Kenapa, sih, harus sampai minggat segala? Ingin menunjukkan bahwa kau lelaki tangguh? Pulang saja, apa susahnya? Kau tahu, ibumu menangis hampir tiap malam dan itu benar-benar mengganggu tidur pulasku."
Lihatlah, memang dari awal, tak ada yang setuju dengan pernikahan ini.
"Itu bukan salahku," sahut Dino santai, mengangkat bahu tak acuh tatkala menyambung, "salahkan ayahmu yang meminang ibuku."
"Dan salahkan ibumu yang menerima lamaran ayahku."
Skakmat. Jawaban yang sangat cerdas. Dino kehilangan kata-kata seketika, menatap dengan kesal gadis tak tahu diri yang sekarang malah asyik bermain ponsel di atas sofa tanpa sedikitpun mengindahkan pemilik rumah. Hah. Ini benar-benar mimpi buruk. Ini semua tidak nyata.
Tidak mungkin si medusa ini menjadi kakak tirinya.
Dino mendengus kasar, mengibas rambut kasar sembari mengenyahkan jauh-jauh pikirannya itu. Ini memang mimpi buruk, mimpi buruk yang berubah menjadi nyata.
Dan harus diterima, tak peduli seberapa keras hatimu menolak.
Namun demi segala emosi yang merasuki hatinya sekarang, toh akhirnya pemuda itu menyahut juga, "Tapi aku tidak sembarangan memilih apartemen." Ia menjeda, membiarkan netra Soo Ri berputar padanya dan menyipit penasaran. "Aku punya alasan lain untuk menetap di sini."
Soo Ri mengerutkan kening penasaran. "Alasan lain?"
"Ada seorang gadis yang kusuka, tinggal di apartemen ini."
Dua detik diisi keheningan, sebelum tawa Soo Ri meledak hebat. "Astaga, serius? Kukira kau salah satu dari makhluk-makhluk homo yang berkeliaran layaknya orang normal."
Dino mendengus sebal, namun tetap melanjutkan, "Namanya Hyun Ji, teman lamaku dulu. Kami bertemu di malam hari tepat saat aku membutuhkan tempat tinggal, kemudian dia menunjukkan tempat ini padaku. Sebuah kebetulan yang menarik, bukan?"
Mendadak tawa Soo Ri terhenti. Tubuhnya kaku seketika. Matanya membulat. Napasnya tersendat.
"Kau ... apa? Tunggu, tunggu, ini tidak benar, 'kan? Kau ... menyukai Hyun Ji? Lee Hyun Ji?"
Kening Dino berkerut samar. "Apa kau mengenalnya?"
Namun Soo Ri yang masih dikuasai keterkejutan hebat itu bahkan tak dapat mendengar jernih suara adiknya. Yang ada dalam benaknya hanya satu kata yang terus terngiang tanpa henti;
Apa? Lee Hyun Ji? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top