1. He Has Gone
SEKARANG, semua hanyalah ilusi pendek yang membuatku semakin merindukanmu, Jeon.
Terselimut gelap, didekap kelam. Nyaris terisak, Hyun Ji buru-buru mengusap air mata. Udara di sini pengap. Menyesakkan. Dan kendati matanya menjerit lelah karena terlalu sering menangis, gadis itu tetap tak dapat berbuat apa-apa untuk menghilangkan atmosfer menyedihkan itu dalam kamarnya.
Tenggelam dalam kesedihan yang begitu dalam ternyata membuat Hyun Ji sadar, bahwa kehidupan tidak sesederhana gambaran mimpi dan angan yang pernah ia pikirkan. Justru dalam tiap detik penuh harap, gadis itu bahkan tak pernah tahu, waktu mencoba membunuhnya perlahan. Hyun Ji pernah merancang masa depan, menulis mimpi dengan senyum mengulum lebar, berharap penuh keyakinan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.
Namun dalam denting jam yang bahkan terasa begitu cepat, alam mencoba memberitahunya, kepercayaan dan harap berlebih yang ia letakkan pada seseorang hanya akan berakhir kekecewaan. Waktu memang musuh terbesar, penghancur angan hingga remuk tak tersisa. Siapa sangka, semua mimpi yang larut dalam doa tiap malam harus runtuh perlahan karena sebuah rasa? Sebuah titik akhir yang mencekam. Titik balik kehidupan.
Percayalah, tak semua jalan diberikan begitu mulus. Tak semua penutupan berakhir indah. Tak semua hal yang kau inginkan menjadi nyata. Beberapa justru menyangkut dalam angan, melayang tanpa arah, dan akhirnya terhenti sebagai kenangan. Tersekat di sela-sela mimpi yang pudar.
Memilukan. Menyesakkan.
Rasanya bahkan berpuluh-puluh kali lipat lebih menyakitkan dibandingkan saat jarinya teriris pisau dapur. Ah, Hyun Ji masih dapat mengingat jelas bagaimana rasa sakitnya. Hanya sebersit perih, sebuah ringisan pelan lalu berakhir begitu saja. Tidak ada apa-apanya lagi. Bahkan saat ingin kembali memperjelas, perih yang dihasilkan dari sobekan kulit karena goresan benda tajam hingga menghasilkan darah merah segar yang mengalir perlahan tidak sebanding dengan rasa sakit yang menggelayuti hatinya sekarang.
Gadis itu mendesah pelan, mengusap pipi kasar demi menepis air mata yang turun perlahan. Rambutnya basah oleh keringat, tubuhnya gerah sementara wajahnya lengket bekas air mata. Sudah tujuh hari ia mendekap diri dalam kamar sembari menangis. Sudah banyak waktu ia buang dengan benak melayang pada Wonwoo. Bahkan dalam balutan udara pengap yang memenuhi ruang kamarnya, Hyun Ji tetap berusaha sebisa mungkin membangun puing-puing harap yang sempat hancur, semangat yang patah hanya karena seuntai nama.
Sejenak, gadis itu tercenung dalam diam, memperhatikan betapa berantakan kamarnya sekarang.
Bukankah ini semua disebabkan oleh Wonwoo?
Hanya nama itu yang terlintas. Hyun Ji lantas menggeleng cepat. Masih dengan mata sembab dan hidung memerah, gadis itu berusaha mengepalkan tangan kuat, berusaha menekankan tekad yang memang sedang ia butuhkan. Sebuah keputusan untuk meninggalkan lembaran lama kehidupan.
Tidak boleh ada lagi Wonwoo dalam pikiran. Tidak, selama ia ingin sembuh dari keterpurukannya.
***
"Jadi, ia memutuskanmu secara sepihak?"
Itu suara Ara, terdengar begitu lirih dan mengandung nada kasihan yang tulus. Genggaman jarinya juga terasa hangat, seolah ingin menyalurkan semangat yang memang sedang Hyun Ji butuhkan. "Tak apa, Ji." Gadis itu mencoba menghibur, "kau tahu, hubunganku berakhir tragis 8 kali sebelum akhirnya aku bertemu Mingyu. Kegagalan dalam hubungan awal itu lumrah."
Andai semudah itu untuk bangkit dari keterpurukan, mungkin sekarang Hyun Ji juga tak perlu repot-repot menemui Ara di kantin universitas dengan mata sembab dan wajah jelek akibat menangis semalaman. Kalau saja tak mengingat beasiswa yang telah ia dapatkan dengan susah payah di universitas ternama ini, mungkin sekarang gadis itu masih akan meliburkan diri beberapa hari lagi. Mengikuti kelas dengan perasaan yang masih bergulat hebat toh nyatanya tak mengubah apa-apa.
Ara menghela napas, meremas jari sahabatnya lebih erat. "Stay strong, Ji ..."
Tidak, masalahnya tidak semudah itu, Ara. Bagaimana bisa kau mengukuhkan diri untuk tetap kuat sementara hatimu retak tak tersisa? Bagaimana bisa kau bersikap tegar, menjalani hari seperti biasa dengan senyum mengembang lebar sementara seseorang yang selalu menghabiskan hari-hari bersamamu pergi tanpa alasan?
Tidak bisa.
Tetapi untuk sekedar menghargai usaha tulus seorang sahabat yang berusaha menghibur dan menguatkan hatinya yang rapuh, Hyun Ji menguatkan diri mengulum senyum. "Terima kasih, Ra."
"Aku benar-benar tidak mengerti ... bagaimana bisa si Jeon itu memutuskanmu? Terakhir kali kuingat, hubungan kalian masih baik-baik saja. Baru sekarang aku mendengar kabar menyedihkan ini darimu." Sekarang Ara yang mengoceh panjang lebar, tampak kesal namun juga khawatir di saat bersamaan. Matanya menyipit, sesaat menatap sahabatnya curiga. "Katakan, Ji, apa dia berselingkuh?"
"Apa? Tidak!" Hyun Ji sedikit terkejut mendengar tuduhan tanpa sebab dari Ara. Gadis itu menyibakkan poni yang menghalangi pandangannya, memijat pelipis pelan sebelum kembali berkata, "Sejujurnya aku ... aku tidak tahu alasan ia meminta putus."
"Apa?"
"Ia ... ia merahasiakan. Entahlah, aku juga tidak mengerti. Setelah tidak menghubungiku dua minggu, Wonwoo berubah aneh dan ..." Sejenak Hyun Ji menjeda, membiarkan tetes air mata menuruni pipinya dengan lambat. Sial. Harusnya ia tidak menangis sekarang. Pemuda itu tidak berhak ia tangisi. Tidak sedikitpun. Cepat-cepat gadis itu menepis bulir bening pada pipi, menarik napas panjang sebelum kembali menambahkan, "Dan esoknya, semua berakhir begitu saja."
Ara menatap Hyun Ji tak percaya. "Benar-benar aneh, Ji. Maksudku, semua orang punya alasan tersendiri mengapa mereka ingin mengakhiri hubungan. Apa si Jeon itu sudah bosan denganmu?"
Hyun Ji mengendikkan bahu lemah. "Entahlah." Sebenarnya membicarakan ini hanya membuat mood yang ia dapakan dengan susah payah—setelah seminggu membekap diri dalam kamar—hancur berantakan.
"Tapi Ji, hubungan kalian awet sampai first anniversary, lalu tanpa alasan yang jelas, dia memutuskanmu secara sepihak?"
Walau itu membingungkan dan Hyun Ji sendiri tidak mendapat titik terang dari petunjuk yang ada, gadis itu tetap bersikeras untuk tak lagi mencari tahu. Ia sudah cukup terluka, biarlah ini semua menjadi angin lalu yang tak pernah diungkit kembali.
Bukankah semua kepahitan lebih baik dibuang alih-alih dipendam dalam hati dan benak?
"Tidak, Ra," gadis itu menyahut lemah, wajahnya menampilkan gurat lelah saat kembali menyambung, "aku mohon, jangan bahas masalah itu lagi."
Ara terkesiap. Sedikit terkejut karena ini pertama kali Hyun Ji terang-terangan menolak menjawab pertanyaannya. Biasanya gadis itu selalu menurut, mengikuti alur pembicaraan yang Ara ciptakan. Kalaupun ia tak nyaman dengan topik yang ada, paling-paling Hyun Ji hanya akan tersenyum tipis, tidak berkomentar banyak dan mengangguk-angguk hanya agar membuat sahabatnya senang.
Tetapi kalau sekarang ia berani menolak, berarti memang benar, Hyun Ji tidak suka—eh, ralat, sangat amat tidak suka—dan ingin pembicaraan bodoh ini berakhir.
Akhirnya Ara menghela napas pelan, memilih mengalah kendati banyak pertanyaan memenuhi benak. "Baiklah, maaf."
"Tidak apa, aku--aku hanya-"
"Tak apa, Ji." Ara tersenyum lembut, menyalurkan kehangatan lewat genggaman jarinya. "Kau tahu, seseorang bisa marah kapan saja bila merasa tak nyaman dengan topik pembicaraan yang ada, apalagi saat harus mengungkit masa lalu yang menyakitkan. Seharusnya aku lebih peka tadi."
Mengesampingkan beberapa fakta bahwa Ara adalah si cerewet, tukang ngomel yang kuat mengoceh sejam penuh walau hanya lewat telepon, Hyun Ji bersyukur pernah mengenal sosok gadis dengan kasih dan perhatian yang tinggi.
Syukurlah, Hyun Ji punya Ara.
Gadis itu tersenyum tipis. "Terima kasih. Kau selalu tahu apa yang sahabatmu butuhkan di saat kalang-kabut begini."
Ara mengangkat kedua alisnya, mengernyitkan kening samar dengan kedua sudut bibir mengembang. "Berapa kali kau mengucapkan terima kasih, huh? Sudahlah, kelas akan dimulai lima belas menit lagi. Masih berani duduk santai setelah bolos seminggu, hm?"
Tawa Hyun Ji mengudara. Gadis itu mengambil tas kulit dan menyampirkannya pada lengan kanan sebelum kemudian mengikuti langkah Ara menuju kelas. "Seminggu aku tak menginjakkan kaki di universitas, semua seolah tampak berubah. Apa ini efek semester baru atau memang kampus kita direnovasi?"
Ara mengendikkan bahu, menyahut seadanya. "Renovasi darimana? Astaga, kau pasti bercanda. Aku tidak merasa ada perubahan sedikitpun." Kemudian pandangannya beralih menatap netra Hyun Ji. "Atau ini karena kau yang memang membolos satu minggu?"
Hyun Ji terkekeh. "Toh sekarang aku masuk," sahutnya pelan, tepat ketika langkah mereka memasuki ruangan luas dengan dinding putih yang penuh akan bangku-bangku siswa.
Tiba-tiba, gadis itu menahan napas tanpa sebab. Entah kenapa melihat bangku, dinding putih, beberapa mahasiswa yang berjalan mondar-mandir dengan gelak tawa mengudara, gadis itu kembali teringat saat-saat dimana semua masih baik-baik saja. Semester lalu, gadis itu masih bisa duduk di pojok dengan tenang, sesekali benaknya teringat dengan senyum manis Wonwoo saat video call bersama.
Lalu mereka akan berjanji bertemu setelah kelas selesai, saling melepas rindu dan Wonwoo akan mengajaknya berkencan di tempat indah yang selalu berbeda tiap harinya.
Jeon Wonwoo.
Ah, kenapa nama itu lagi yang terlintas?
"Hyun Ji!"
Mendengar namanya diserukan dengan keras sontak membuat bahu Hyun Ji bergetar sesaat. Gadis itu mengerjap cepat, lantas mengalihkan pandang pada Ara yang sekarang menatapnya dengan raut wajah kesal bercampur khawatir.
"Apa kau tidak apa-apa? Aku sudah memanggilmu tiga kali tapi kau tetap tidak merespon."
"Apa? Oh, ya, tentu. Aku baik-baik saja." Dengan cepat gadis itu menyunggingkan senyum tipis, membuat Ara mengerutkan kening tak percaya. Sahabatnya itu baru akan menyahut tapi buru-buru Hyun Ji mengalihkan topik pembicaraan.
"Ayo cari tempat duduk sebelum dosen datang." Sembari menarik lengan Ara dan menariknya menuju bangku pojok favorit mereka, Hyun Ji secara tak langsung membungkam mulut sahabatnya untuk bertanya pertanyaan klise yang ia sudah sering dengar.
Tapi untuk sekarang, benar-benar untuk sekarang—dan mungkin akan berlanjut sampai seterusnya, Hyun Ji tidak mau mendengar apa-apa lagi tentang Jeon Wonwoo.
Tidak sedikit pun.
***
"Kelas hari ini membosankan ..." Keluhan Ara terdengar begitu datar pada telinga Hyun Ji. Entah sebab sahabatnya itu mengucapkan di tengah keheningan perpustakaan, atau memang suara Ara yang sengaja dibuat datar, entahlah. Hyun Ji tak begitu paham, tetapi gadis itu tetap mengukir senyum yang sekiranya dapat menguatkan.
"Kecilkan suaramu, kita masih di perpustakaan kalau kau lupa," sahutnya pelan, nyaris berbisik setelah mendekatkan kepalanya pada telinga Ara.
Sahabatnya mendengkus, melempar pelan kertas yang tadi dipandanginya bermenit-menit penuh. "Aku tak percaya. Ini semester baru dan kita sudah dituntut belasan tugas yang menguras otak. Astaga ..."
Hyun Ji terkekeh pelan, berupaya mengumpulkan beberapa lembar kertas dan memastikannya tersusun sesuai urutan sebelum disatukan dengan klip kertas. Tak ada niatan untuk menyahut, jadi gadis itu tetap melanjutkan pekerjaannya dalam diam, tanpa menoleh ke arah mahasiswa lain yang juga mondar-mandir mengelilingi perpustakaan dengan urusan masing-masing.
"Kau melewatkan beberapa kelas di awal namun terlihat begitu santai saat profesor memberi kita tugas. Sedangkan aku? Aku mengikuti hampir semua kelas dari awal, dan masih saja uring-uringan saat mengerjakan tugas. Hah, dunia benar-benar tidak adil. Kenapa aku tidak diberi otak cerdas sepertimu?" sungut Ara kesal, meregangkat otot tangan sembari membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman.
Hyun Ji tertawa pelan, masih menjaga volume agar tak mengganggu mahasiswa lain yang juga duduk di sana. Bangku perpustakaan memang sengaja dibentuk memanjang dan saling bersambungan. Kursi-kursi yang ditempatkan di sekeliling meja, kini penuh oleh mahasiswa dengan tumpukan buku dan tugas yang berbeda.
"Itu kelebihan dan kelemahan masing-masing pribadi. Kau pandai bergaul, aku tidak," balasnya dengan tersenyum kecut, sedang sahabatnya terkekeh pelan.
Memang. Ia tidak pandai bergaul, berinteraksi dengan orang saja malas.
Tidak, sampai ia mengenal Won—ah, lupakan!
Tidak, tidak boleh. Tidak boleh mengingat lelaki itu lagi!
Mengutuk dalam batin sembari menggeleng pelan, Hyun Ji hampir dikejutkan dengan suara lembut seorang wanita yang menyapanya ramah. Ah tidak. Ini bukan suara Ara, suara Ara masih mengandung ketegasan walau terdengar lembut dan feminin. Ini lebih feminin, sedikit manja tetapi terkesan begitu hangat dan bersahabat.
"Permisi, apa Kakak salah satu mahasiswi jurusan Psikologi?"
Tepat ketika bola matanya terangkat hendak menatap sosok gadis yang mengajaknya bicara tiba-tiba, saat itu juga matanya langsung membulat penuh. Ada ekspresi terkejut yang ketara, jelas terpampang jelas namun buru-buru Hyun Ji menetralkan raut wajah. Astaga, cantik sekali ....
Matanya berukuran besar, cukupan dengan lipatan tebal yang alami. Hidungnya mancung, sesuai dengan bentuk bibirnya yang mungil. Ditambah polesan make up tipis yang melekat sempurna pada wajahnya, gadis ini benar-benar mirip boneka Barbie berjalan. Ah, fashion-nya juga luar biasa. Terkesan begitu manis dengan dress off shoulders kuning cerah bermotif bintik-bintik putih.
Tetapi wajahnya terlihat asing, apa ia mahasiswa baru?
"Eum ... Maaf, bisa kau ulangi pertanyaannya?" Bahkan karena sibuk memandangi penampilan yang nyaris sempurna itu, Hyun Ji sampai lupa topik utama pembicaraan mereka. Memalukan kalau harus bertanya untuk kedua kali padahal gadis di hadapannya itu mengucapkan pertanyaannya dengan jelas tadi.
Namun alih-alih sebal dan menyingkir menjauh, gadis itu justru melebarkan senyumnya. Manis, manis sekali. Hyun Ji saja yang kelaminnya perempuan dan tercatat normal, dapat dengan mudah terpesona dengan senyum bak malaikat itu.
"Kakak mahasiswi Psikologi, 'kan? Hyun Ji? Ah, perkenalkan, aku Soo Ri, mahasiswi semester baru." Gadis itu menyodorkan tangan sopan, terlihat mulus tanpa cela, sesaat mengundang mata Hyun Ji untuk melirik sodoran tangannya. "Aku baru masuk ke sini, belum tahu banyak soal perpustakaan. Tapi saat tadi berpas-pasan dengan kakak, aku jadi ingat kakak juga ikut kelas Psikologi."
Hyun Ji melirik Ara yang juga menyaksikan acara perkenalan mendadak tersebut. Namun sahabatnya itu malah memberi kode pada uluran tangan Soo Ri yang masih menggantung, dengan cepat membuat Hyun Ji kembali memusatkan atensi pada lawan bicaranya lagi. Ah ya, berkenalan. Jangan canggung, Hyun Ji. Santai saja.
Menelan saliva pelan, gadis itu segera berdiri, menyambut uluran tangan yang oh astaga, terasa begitu lembut. "Lee Hyun Ji. I-iya, aku mahasiswi jurusan psikologi." Jeda beberapa saat, Hyun Ji berusaha menyusun kata. "Ehm, apa ada yang bisa kubantu?"
Entah itu tampak kikuk atau tidak, Hyun Ji tak peduli. Biasanya orang akan menatap aneh dengan alis bertaut, kedua bola mata menyipit, dan segala ekspresi yang menunjukkan keanehan. Namun jauh di luar dugaan, Soo Ri malah tertawa pelan.
"Ah, tidak. Aku hanya ingin belajar lebih banyak dari Kakak. Kudengar Kakak mahasiswi terbaik semester lalu?"
Hyun Ji tak dapat menahan kedua alis untuk tidak terangkat tinggi. Setengah merasa heran namun juga bangga di saat bersamaan. Mahasiswa terbaik memang sempat menjadi gelarnya pada semester lalu, tetapi ia tak menyangka berita menyebar begitu cepat dalam universitas yang tergolong luas dan besar ini. "Ah, itu." Gadis itu mengulum senyum canggung. "Aku tak tahu dari mana kau mendengarnya, tapi terima kasih."
Setenang itu bila kau berbicara dengan gadis ramah dengan kecantikan di atas rata-rata. Sebenarnya Hyun Ji juga tidak menilai orang dari fisik, tapi bila diperlakukan dengan gadis seperti ini siapa juga yang tidak senang? Orang yang awalnya malu pun akan dengan mudah beradaptasi.
Soo Ri mengembangkan tawa pelan, terdengar sangat manis. "Nama kakak sering disebut oleh dosen sebagai acuan," sahutnya, masih terkekeh. Namun tepat setelah kekehannya terhenti dengan kedua mata berbinar antusias, sebuah pertanyaan mendadak lolos dari mulutnya, sempat membuat Hyun Ji mengernyit. "Ehm, kalau begitu, apa kami boleh kami belajar bersama?"
Kami? Ah, ia tak datang sendiri rupanya.
"Tentu saja boleh," jawab Hyun Ji pada akhirnyaㅡsetelah diombang-ambingkan keraguan, entah terbaca atau tidak oleh lawan bicaranya. Lagipula gadis itu tidak punya pilihan lain, ia tidak ingin dianggap sombong oleh juniornya di semester awal. Dilihat-lihat pun, Soo Ri bukan gadis licik yang memanfaatkan kecantikannya untuk kejahatan. Senyumnya benar-benar nampak tulus dari luar, apalagi saat ia bersorak pelan setelah Hyun Ji mengiyakan ajakannya.
"Tapi, kau menyebutkan kata 'kami' tadi? Apa kau ke sini bersama teman-temanmu?" Gadis itu melirik sekeliling dengan bayangan akan menemukan beberapa kelompok orang yang sedang menatap ke arah mereka. Siapa tahu teman-temannya pemalu dan mengandalkan keramahan Soo Ri untuk mengajak seniornya berbicara?
Tapi sebelum matanya sempat menemukan sosok yang dicari, Soo Ri terlebih dulu menyahut lembut, "Ah, tidak. Bukan teman. Aku pindah ke sini bersama kekasihku," jawabnya malu-malu.
Ah, kekasih.
Hyun Ji tersenyum tipis. "Wah, jadi kau kemari bersama kekasihmu? Benar-benar pasangan yang kompak."—dan bahagia.
Tawa mengudara, ada rona merah tersemat pada pipi mulusnya. "Kakak bisa saja."
"Memangnya dimana pacarmu sekarang?"
"Tadi dia sedang mencari buku. Sebentar," Soo Ri menjeda, mengedarkan pandang ke sekeliling sebelum kemudian mengangkat tangan dan melambai pelan, sukses membuat Hyun Ji menoleh penasaran.
Namun yang terjadi malah di luar kendali.
Saat sosok yang ditunggu datang, tubuhnya malah menegang. Kaku menyergap. Senyumnya pudar perlahan. Hatinya yang tadi sempat pulih kembali remuk hanya dalam hitungan sekon yang kelewat cepat. Lututnya melemas, makin lemas kala melihat sosok itu berjalan dengan membawa beberapa tumpukan buku mendekat ke arah mereka.
Ah, salah. Ke arah Soo Ri.
Ada gemetar yang tiba-tiba menerjang tubuh Hyun Ji. Gadis itu bahkan nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja tangannya tak cepat bertumpu pada permukaan meja. Ia yakin, di belakang Ara juga memasang ekspresi wajah yang sama.
Pemuda itu ...
Pemuda jangkung yang mengenakan kaos oblong dibalut kemeja kuning dengan bawahan jeans putih itu memang benar-benar dia.
"Sayang, perkenalkan, dia Hyun Ji, senior yang akan membantu kita belajar beberapa hari ke depan."
Kau mengambil jurusan psikologi, Won? Aku baru tahu kau tertarik dengan hal-hal berbau mental ini.
Hyun Ji meneguk saliva berat kala suara berat Wonwoo mengudara, terdengar begitu ringan dengan senyum tipis yang diulaskan terpaksa, "Perkenalkan, saya WonwooーJeon Wonwoo, kekasih Soo Ri." Pemuda itu meneguk salivanya pelan ketika tangannya dipaksa menggantung di depan Hyun Ji. "Mohon bantuannya."
Kekasih Soo Ri.
Hyun Ji mengangguk sopan, hanya sebagai formalitas belaka. Gadis itu menyambut uluran tangan Wonwoo walau ketegangan masih menguasai. Sesaat tubuhnya terbujur kaku begitu tangan besar Wonwoo menggenggam tangannya, menyalurkan kehangatan yang entah kenapa terasa nyaman. "Lee Hyun Ji."
Genggaman ini masih belum berubah.
Masih hangat.
"Ah bisa kita mulai belajarnya sekarang?" Suara Soo Ri memecah keheningan dan canggung yang sempat menggantung di udara, dengan cepat menyadarkan Hyun Ji dan membuatnya melepaskan genggaman dengan cepat. Mungkin hanya karena Soo Ri, hanya karena permintaan gadis ramah dan lembut itu, Hyun Ji menerima Wonwoo. Mungkin juga demi kekasih barunya, Wonwoo mau kembali bertemu Hyun Ji.
Ya, pasti begitu.
Sementara Soo Ri menjabat tangan Ara sebelum kemudian mengambil posisi duduk di sampingnya, Hyun Ji dapat merasa darahnya berdesir cepat dengan detak jantung upnormal begitu netranya kembali bertemu netra mantan kekasihnya. Pemuda itu ternyata masih bergeming di tempat, tidak bergerak sedikit pun tatkala matanya menatap balik mata Hyun Ji.
Begitu lekat. Terasa dekat, seolah dengan tatapan mereka berbicara, seolah dengan tatapan, semua rindu yang selama ini didekap bisa tersampaikan.
Ah, tidak-tidak.
Bukannya hanya Hyun Ji yang rindu di sini?
Semua dibuka secara gamblang sekarang. Semuanya.
Jadi ini alasanmu meminta putus, Wonwoo? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top