💐 birthday post: linting tembakau [zulkarnain]
"IBUK NITIP PESAN, MAS."
Adalah senja hari mereka habiskan untuk bercengkrama. Buyung sudah harus tiba di bandara satu jam lagi, masih ada cukup waktu bagi mereka berdua untuk berbincang. Adalah dua linting tembakau yang mereka berdua nyalakan, mereka hisap dan embuskan (di dalam kedai tidak banyak orang—yang mana melegakan karena ia tidak perlu mendengar protes karena merokok sembarangan). Seiring kau bertambah usia, momentum ulang tahun berharga tidak lebih dari hari biasanya dengan beda umur bertambah satu angka. Yang tak berubah dari hidup Zul hanyalah kebiasaannya bercengkrama dengan Buyung tiap kali salah satu dari mereka ulang tahun, membicarakan banyak hal. Satu hal yang Zul baru ketahui dari menjadi dewasa adalah, bahwa waktu berkumpulmu dengan saudara dan orang tuamu sendiri akan berkurang hingga tiada. Itu yang menjadikan momen pulang kampung saat liburan pun menjadi dinanti-nanti.
Zul pribadi pun sesungguhnya menanti-nanti momen untuk pulang. Untuk bertemu Bapak, Ibuk, dan Upik, juga teman-temannya semasa kecil yang tidak pergi dari kampung halaman. Menghabiskan waktu dan beristirahat bersama keluarga—bukankah itu terdengar begitu menyenangkan?
Andai saja tidak ada satu hal yang membuat keinginan untuk pulang itu musnah tanpa bekas. Keinginan yang selalu dicetuskan Ibuk tiap kali mereka bersua, semenjak anak gadis tetangga sebelah dipinang orang bertahun-tahun silam.
"Disuruh pulang lagi?"
Ditanyakan Zul dengan alis terangkat. Jika ibunya sampai menitipkan pesan, itu hanya berarti satu hal. Sudah bertahun-tahun ia tak pulang. Saat libur lebaran pun, yang Zul lakukan ialah mampir silaturahmi ke rumah rekan-rekan kerja. Ke manapun selain ke rumah. Linting tembakau itu kembali dihisap sebelum diembuskan tak sabaran. Batang rokok semakin memendek. Dan kepalanya yang kusut belum juga terurai dengan benar.
"Kayak gitulah." Dijeda sejenak tatkala Buyung mengetuk-ngetukkan batang rokok di asbak. Membiarkan abunya jatuh. "Ditanya juga kapan Mas'e bawa calon istri ke rumah."
Zul menggaruk kepalanya frustrasi. "Haaah, Ibuk ini."
"Biasalah. Lihat tetangga sekitar udah nimang cucu bikin Ibuk kepengen juga."
"Tapi anak Ibuk kan bukan aku aja, Yung. Ada kamu dan Upik juga." Dikatakan Zul seraya menghela napas. Pening sangat. Ibunya selalu punya kepala sekeras baja. "Ibuk juga tahu aku sibuk ngurus anak-anak, sibuk sama kerjaan, tapi masih juga."
Setelah mengatakannya, Zul menghisap linting tembakau di antara kedua jemarinya. Bayang-bayang muridnya silih berganti mampir ke dalam pikirannya. Murid-muridnya yang masih terlalu muda mencecap dunia, masih kebingungan dengan jalan yang harus mereka tempuh di masa depan.
Ya.
Ada anak murid yang masih harus diurusinya. Anak-anak muridnya yang masih tidak tahu harus ke mana. Anak-anak muridnya dengan banyak cerita—beberapa di antaranya pun tidak punya orang dewasa sebagai tempat bersandar, sehingga menjadikan Zul berinisiatif menjadi tempat bersandar. Ia tahu. Ia tahu betul bahwa tersesat pun tidak enak. Pun hingga saat ini, Zul masih merasa bahwa dirinya tersesat dengan begitu banyak hal yang belum selesai.
Melihat mereka semua, melihat anak-anak murid di sekolah, membuat Zul berpikir bahwa rumahnya memanglah di sini dan inilah yang harus ia lakukan.
"Aku ndak berhak ikut campur hidup Mas." Buyung berkata dengan halus sebelum tertawa kecil. Selagi ia terkekeh, asap rokok keluar dari celah-celah giginya secara halus. "Mas lebih tahu apa yang Mas mau. Kita berdua bukan lagi anak kecil."
Buyung benar. Mereka berdua sama sekali bukan anak kecil lagi. Umur Zul pun bertambah satu hari ini. Sudah nyaris menginjak kepala tiga. Pun perlakuan orang tua kepadanya pun masih tak berubah. Mungkin juga salah satu faktor penyebabnya ialah bisik-bisik tetangga. Zul sudah cukup usia untuk membina rumah tangga, kenapa tidak dilakukan? Lihat, anak-anak teman-temannya sekarang sudah bisa masuk TK, kenapa Zul tidak pernah mengenalkan satupun perempuan ke rumah? Bicara memang gampang. Seakan tujuan hidup manusia direduksi sesempit bekerja dan beranak. Lupa jika sebuah rumah tangga melibatkan lebih dari dua kepala. Ada istri yang memiliki pola pikir berbeda dengan kita, ada anak yang harus dibesarkan dan dibina. Pekerjaan itu tidaklah mudah.
Pun Zul belum bisa membayangkan dunianya dengan anak muridnya yang sempit harus sesak berbagi dengan istri dan anak. Ia belum bisa membayangkan bahunya akan semakin berat dengan tanggung jawab tambahan. Bahkan, ia belum tahu apakah hidupnya sudah cukup tertata untuk menerima orang lain dan tanggung jawab lain datang dan tinggal.
Ia butuh banyak, banyak waktu.
"Jadi, Mas. Besok aku berangkat." Sang adik pun menatapnya dengan senyum terulas. Dari kilat matanya, Buyung tampak telah bisa membaca isi kepala Zul. "Mau titip pesan apa ke Ibuk?"
Hanya ada satu, satu pesan yang terlintas di benaknya. Pesan yang selalu disampaikan Zul berulang kali tiap kali Buyung pulang kampung. Pesan yang tetap tak dapat meluluhkan hati Ibuk.
"'Maaf, Bu. Zul masih belum mau kawin.'" [***]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top