Lima

Aku tidur lumayan lama siang ini sehingga aku merasa segar. Walau aku tak berharap apa pun dari Derby, tapi anehnya, dia tak meninggalkanku sampai sekarang.

"Jam berapa ini?" Tanyaku selagi beranjak bangun, memandang langit di luar jendela yang mulai kemerahan.

Derby yang sedang membaca koran di sisi ranjang secara spontan mengangkat pandangannya begitu mendengar suaraku. "Yang jelas Bangunan Utama akan segera ditutup."

"Baiklah," Aku menghela napas berat sebelum bangkit berdiri, menggerakkan kakiku sejenak, untungnya sudah merasa baikkan, jadi segera kupakai sepatuku lalu bangun.

Kami berjalan ke pintu tapi tiba-tiba saja kakiku goyah ketika baru saja menggapai lorong, untung Derby cukup gesit sehingga dia bisa menangkapku.

"Kau takkan kembali ke asrama dengan badan yang seperti ini, Joe." Derby memutar bola mata dan merangkul badanku. "Ayo."

"Ke mana?"

***

Derby membelikanku sandwich dan menyalakan televisi yang ada di rumah persaudaraan Harrington, tetapi sampai selesai makan pun kami tak berhasil menemukan acara yang menarik.

Setelah menelan suapan terakhirku, aku memalingkan wajah pada Derby, memperhatikannya memandangi televisi dengan ekspresi bosan.

"Kenapa?" Tanyanya, menyadari tatapanku.

"N-Nggak!"

Aku yang merasa terpergok, seketika canggung dan linglung. Aku tak bergerak atau berkata apa pun selama beberapa menit, hanya diam dengan benak yang memikirkan kejadian tadi pagi. Kata-kata cewek sialan itu, Mandy. Kata-kata Pinky.

Aku tersadar dari lamunanku dan terpanjat menyadari mata Derby ... Masih mengamatiku.

"Hey, Joe?"

"Yeah?"

"Ini random banget, tapi ... Pernah jatuh cinta?"

"Bla bla," Aku memutar bola mata. "Terlalu membosankan untuk dibicarakan. Kau sendiri memangnya pernah?"

"Jadi belum pernah, kan?" Dia menertawaiku dengan suara melengking. "Terlalu sibuk belajar, huh, Missy?"

"Tentu saja, bung." Aku mendesah frustasi dan menyandarkan punggungku ke sofa. "Sainganku cukup banyak di sana, jadi aku mesti kerja keras untuk mempertahankan peringkatku yang ada di urutan paling atas."

"Serius? Kau?" Cowok itu menelengkan kepala ke belakang untuk menatapku.

"Yeah. Mungkin itu kenapa aku mendapat perhatian khusus dari kedua orang tuaku sampai-sampai mereka lupa terhadap saudariku." Kata-kata penjelas itu terpeleset tanpa kusadari, dan sumpah, rasanya aku ingin menghilang saja sebelum Derby mulai mewawancaraiku.

"Tunggu. Saudari?" Dia tampak terkejut. "Mereka tak pernah bilang kau punya saudari."

"Dia sudah wafat."

"Oh, Joe, maafkan aku ... "

"Nggak apa-apa. Hubungan kami ... nggak akrab, lagian."

Aku menjaga agar wajahku tetap datar untuk menjaga diriku dari menangis hebat, namun dia sepertinya menyadari apa yang berusaha kusembunyikan.

Derby lalu berdiri dan mengulurkan tangan padaku. "Mau jalan-jalan?"

"Sure." Aku tersenyum, menyambut tangan Derby dan membiarkan dia menarikku berdiri.

Angin sedang cukup kencang di luar, jadi setelah kami keluar dari Harrington House, Derby memberikan rompi Aquaberry-nya untukku, meski tak tahu apa yang akan berubah jika kupakai benda itu. But hey, setidaknya dia sudah berusaha.

"Omong-omong soal pertanyaan tadi, Joe," Derby berdeham sejenak, terdengar agak ragu untuk melanjutkan, "Mungkin ini akan terdengar seperti semacam pengakuan dosa, tapi bukan sebuah dosa, kau tahu maksudku," Wajahnya merah, dan dia mendadak tampak sangat gugup, seolah dirinya bukan lagi seorang Derby Harrington. "U-Uh ... Aku tak yakin, tapi aku ingin sekali bilang ini padamu, entah kenapa ... "

"Ada apa?"

Derby menggandeng tanganku dan melangkah tergesa-gesa ke arah bangku di pinggir jalan. Begitu duduk, dia menatapku lekat sampai-sampai aku merasa lupa bagaimana caranya berbicara, napasku tertahan, dan degup jantungku tak karuan.

"Aku pernah jatuh cinta." Dia mengucapkannya dengan amat pelan sehingga aku nyaris tak bisa mendengar suaranya.

"Oh ya? Uhh," Aku canggung, jujur saja tak tahu mesti menjawab apa, "Cool, kurasa?"

"Dengan seorang maid."

Aku tersedak. "Holy shit! M-Maid? Kau gila?"

Mendengar jawabanku, Derby seketika mengerjap dan menggeleng. "Maaf, Joe. Aku paham kalau kau menganggapku aneh."

"Aku sama sekali nggak berpikir kau aneh, kok! M-Maafkan aku soal yang barusan!" Aku menawarkan satu tanganku, dan Derby langsung saja menyambarnya. Sambil tanganku yang satunya mengusap punggung anak itu, aku melanjutkan, "Tak apa, Derby, ceritakanlah."

"Itu terjadi sekitar dua tahun lalu, di hari ulang tahunku yang ke-lima belas." Dia masih menggenggam tanganku, dan tak tampak seperti berniat akan melepasnya. "Umurnya dua puluh tahun waktu itu, dan kalau saja keadaannya berbeda, aku bisa mengerti kalau merawatku memanglah pekerjaannya. Tapi sebagai anak yang nggak pernah menerima perlakuan wajar seorang ibu dari ibuku, aku berpikir kalau perlakuan wanita itu terhadapku adalah sesuatu yang spesial." Kata-katanya memudar dan dia menghela napas panjang. "Wanita itu tahu aku punya perasaan kepadanya, dan dia malah memanfaatkanku untuk membelikannya berbagai hal yang dia suka. Kau tahu, berlian, dresses, sepatu, bahkan aku sempat membayar sewa kamarnya selama tiga bulan berturut-turut."

"Gold digger, huh?"

"Bisa dibilang begitu." Raut Derby tampak sedikit cerah setelah mendengar candaanku.

"Jadi kalian sempat pacaran?"

"Nggak, tentu saja. Bisa gawat kalau semua orang sampai tahu tentang hubungan kami, terutama karena waktu itu aku masih di bawah umur."

"Well, tentu saja. Syukurlah kau nggak sebodoh itu." Ejekku, menumbuk lengannya sembari tertawa. "Bagaimana dengan hal lainnya?"

"Bahkan kami sama sekali nggak ciuman, Joe. Kami selesai karena ibuku mengecek riwayat transaksi yang tak biasa dari akunku. Ayahku marah besar waktu tahu tentang kami, dan meski aku nggak terlalu dekat dengan ayahku, aku berhutang pudi kepadanya karena kalau saja hari itu dia nggak memukuliku dan memberi tahu banyak hal sinis tentang orang-orang, mungkin aku sudah betulan kabur dari rumah dan jadi gelandangan tak berguna."

Entah ingin menertawainya atau mengasihaninya. Di satu sisi, ceritanya yang malang dan di luar nalar itu sangat menghiburku, menyelamatkanku dari pikiran-pikiran buruk sebelumnya. Di sisi lainnya, aku jadi paham kata-kata Pinky. Aku juga jadi paham kenapa Derby sering bersikap kasar dan sombong, meski perlakuannya tak bisa dibenarkan.

Aku mendongak, memperhatikannya berjuang mencari kata-kata.

"Aku ... Tentu saja sudah melupakannya, Joe. Cewek itu gila. Aku cuma merasa ingin bercerita padamu, supaya ... Entahlah. Aku cuma benar-benar mau cerita saja karena aku percaya padamu, dan ..." Aku bisa melihatnya gugup dengan jelas sekali sekarang ini.

"Dan?"

Derby menatapku dan mengedikkan bahu. "Rahasia."

"Derby!"

Derby tertawa saat aku mencubit lengannya, dan tak lama aku jadi ikut-ikutan tertawa bersamanya, tapi itu karena suara tawa Derby yang aneh.

***

Aku memasuki kelas pertama. Johnny duduk di barisan paling belakang dengan temannya, dan sialan kelas ini, sudah membuat keributan tentang rumor antara aku dan Derby yang kemarin sore terlihat bersama. Masalahnya ini masih pukul delapan pagi.

"Hey, mamacita," Sapa seorang greaser sambil menduduki kursi kosong di sebelahku. Aku mengacuhkannya, melempar tatapan ke buku catatanku. "Aku mengetahui banyak hal tentangmu kemarin sore."

"Ya, ya. Itu lumayan keren, Freak." Balasku dengan nada tak peduli. Anak itu meringis seakan kata-kataku menyakitinya.

"Aduh, sinis sekali. Tapi itu benar, kan? Itu benar, kan?" Dia mendesakku, dan sumpah aku ingin sekali menendang mulutnya yang tak bisa berhenti bicara itu. "Kau dengan Derby, kan? Jawablah, Prep, karena kalau tidak Johnny akan--"

Tiba-tiba saja seseorang menarik badan anak itu, membuatnya sampai terjungkal ke belakang dan menjejali mulutnya dengan sepotong roti. Itu adalah Johnny. Dan bersamaan dengan itu, Ms. Peters tiba di kelas.

Anak itu pergi ketika menatap Johnny, pindah ke kursi di belakangku. Johnny sendiri tanpa seizinku, yang mana sebenarnya dia memang tak memerlukan itu, duduk di sebelahku dan menjulurkan leher untuk memelototiku.

Ms. Peters memulai pelajaran, perhatian semua murid kembali terfokus ke depan. Well, semua, kecuali Johnny. Aku menatap buku, membuka bab yang kami pelajari saat ini dan berharap Johnny berbuat serupa. Ketika aku mendongak, dia masih memelototiku.

"Apa?" Aku komat-kamit tanpa suara.

"Bukan apa-apa." Sahut Johnny, berbalik lalu membuka buku di depannya.

Selama pelajaran belangsung, aku beberapa kali curi-curi memandang Johnny, tapi dia tidak menoleh lagi hingga pelajaran berakhir. Ketika bel berbunyi, Johnny tak beranjak dan anak genit yang tadi melompat dari kursi dan jemarinya berderap di lengan kursiku.

"Namaku Vance." Dia menawarkan tangannya untuk dijabat, tapi aku cuma mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Aku Joe."

"Jadi benar, tidak?"

"Apanya?"

"Kau. Derby."

"Kenapa kau penasaran sekali? Itu bukan urusanmu."

"Oh aku suka sekali gossip, Joe," Cowok itu mencubit pipiku dan melompat duduk ke atas mejaku. "Aku lihat kalian berdua kemarin."

"Terus?" Aku memutar bola mata, menepis tangannya yang hendak mencubitku lagi. 

"Oh, love, kalian mesra banget! Mustahil nggak ada sesuatu."

"Aku dan Derby sama sekali nggak kencan, paham? Dan aku betulan nggak peduli meskipun kalian nggak percaya padaku." Aku bangun, mulai merasa tak nyaman. "Aku permisi dulu--"

"Joe, apa kau luang sore ini?" Johnny akhirnya membuka mulut, menepuk pundakku untuk mencegahku dari beranjak. 

"Oh itu," Terima kasih, Tuan Harrington, berkatmu aku tak perlu berbohong padanya. "Aku harus pergi belanja sore ini. Ayah Derby mengundangku ke acara amal keluarganya besok."

"Oh. Preppies stuff." Sindir Vance sambil menyunggingkan seringai ke arahku.

Awalnya Johnny terlihat seperti hilang semangat, tapi setelah berpikir sejenak, tiba-tiba saja anak itu mengangguk dengan penuh tekad. "Kalau begitu, butuh teman? Aku ingin bicara denganmu."

Aku ingin sekali menolaknya, sumpah. Tapi wajah imutnya itu, lagi-lagi membuat hatiku lemah.

"Sejak Pinky dan Derby nggak bisa ikut, kurasa aku butuh teman."

"Cool." Johnny tersenyum cerah. "Kapan kau bisa keluar, Princess?"

"Temui aku di gerbang jam lima sore, John-boy."

"Ikut, dong!" Vance menyambar dengan nada kekanakan, mengguncang badan Johnny.

"Gak boleh." Tolak Johnny. "It's a date."

Jalan berdua-- Date dengan Johnny Vincent, cowok paling hot di Bullworth Academy. Mestinya aku senang, tapi entahlah. Ini hanya ... terasa salah.

Apa aku baru saja merebut kekasih seseorang?-- Apa aku akan berhadapan dengan Lola lagi nanti?-- Pertanyaan-pertanyaan horror itu memenuhi benakku. Aku tak tahu musibah apa yang akan menimpaku nantinya, dan sialan diriku yang lemah hati ini!

***

Seperti yang dijanjikan, Johnny menemuiku di depan gerbang sekolah. Dia tak mengganti pakaiannya, masih berbalut seragam, tapi ya ampun ... dia tampak ... stunning.

"Wow, Joe," Johnny terbelalak, kemudian memperhatikan pakaianku dari ujung kepala hingga ujung kakiku.

"Apa?" Aku tertawa kecil.

"Kau terlihat seperti ..."

"Preppies?"

Sore ini aku cuma memakai polo Ralph Lauren dan rok mini. Rambutku bahkan tergerai seperti biasanya. Tak ada yang spesial dari penampilanku yang tak jauh beda dari teman-teman Preppies-ku ini.

"Preppies, tentu saja. Tapi ... " Dia berdeham sejenak, kentara sekali gugupnya. "Feminin."

"Lalu?"

"Dan itu ... Uh ... Well ... Cute."

Sial, jantungku berdebar!

"Trims, Johnny." Aku menepuk punggungnya. "Ayo pergi?"

"Y-Yeah ..."

Kami mulai jalan menuju Old Bullworth Vale, ke toko Aquaberry. Sempat berpapasan dengan beberapa Preppies seperti Chad yang sedang kencan dengan para gadis, dan Parker yang sedang jogging. Mereka tak tampak terkejut, tapi tak tampak senang juga melihatku dengan Johnny. Tentu saja.

***

Setelah belanja dress dan berbagai aksesoris, kami beli hotdog dan jalan-jalan sejenak di tepi pantai. Ini bukan fancy date, tapi kuakui pantai memang tak pernah gagal. Aku merasa senang, tapi ... Entah kenapa aku malah memikirkan Derby sejak kami tiba di pantai.

"Mau duduk?" Tanya Johnny.

"Sebaiknya kita nggak mengotori pakaian kita, Johnny." Aku bercelingak-celinguk, tak menemukan satu pun bangku di sini.

"Princess," Johnny melepas jaket kulitnya, menjatuhkannya ke atas pasir dan membentangnya. "Duduklah."

"Betulan, nih?"

Johnny tersenyum lembut. "Tentu."

"Trims, Johnny."

Aku duduk di atas jaket Johnny, dan Johnny duduk di sebelahku, di atas pasir. Saat kita mulai sama-sama diam karena terhanyut suasana pantai yang kalem dan hangat, aku mulai kepikiran sesuatu,

"Johnny?"

"Yeah?"

"Kenapa kau nggak membenciku?" Tanyaku.

"Kenapa aku mesti membencimu?"

"Aku preppies. Aku berteman dengan Derby Harrington, musuhmu."

"Joe," Johnny terkekeh. "Hanya karena kau dekat dengan musuhku, bukan berarti aku juga harus membencimu."

"Sungguh?"

"Kau baik padaku, Joe. Kau mau bicara hal-hal seperti ini denganku."

"Hal-hal?" Aku terkesan banyak tanya, tapi jujur saja aku memang bingung.

"Obrolan-obrolan ringan seperti ini. Aku dan Lola bahkan tak pernah saling mengobrol seperti ini."

"Dude, wtf," Aku tersedak dan tertawa. "Terus apa yang kalian bicarakan selama berduaan?"

"Lola cuma terus-terusan menggodaku, atau terus-terusan bercerita tentang dirinya," Gumamnya, wajahnya mendung. "Dan ketika sudah giliranku bicara, dia bosan dan pergi."

Aku tak mau ngomong apa pun soal Lola, dan aku ingin menghargai Johnny. Bagaimanapun, cewek freak itu masih kekasihnya, yah ... meski ... begitu, deh.

"Dulu aku ... terobsesi dengannya karena ... kadang-kadang tingkahnya sedikit menghiburku, mengalihkanku dari pikiran-pikiran buruk tentang kehidupan di sini, kau tahu?"

"Aku mengerti."

"Aku putus dengannya, Joe."

Dia menatapku lurus, dan itu membuatku terpanjat. "O-Oh ... Kapan?"

"Kemarin. Aku memergokinya di Motel dengan Gord, dan kurasa itu sudah cukup. Aku terlalu naif, berpikiran setiap kali marah padanya, dia akan betulan berubah."

"Tentu saja, silly." Ejekku, menyikut badannya. "Apa kau baik-baik saja?"

"Yeah, kurasa aku akan baik-baik saja." Dia mengedikkan bahu. "Semua sudah beda, Joe. Setahun belakangan ini, sejak Lola sering terlihat bersama dengan Gord, aku melalui segalanya sendirian. Lama-lama aku terbiasa sendiri, dan entahlah, tak ada lagi alasan untuk mempertahankan hubungan kami."

"Akhirnya kau buka mata juga, Johnny," Aku terkekeh dan menepuk punggungnya. "But hey, kau akan baik-baik saja, kawan."

"Bagaimana denganmu?"

"Apanya?"

"Kau dan Derby, Joe."

"Ah, kau," Aku menghela napas berat. "Awalnya kupikir dia cuma anak manja yang sombong dan menyebalkan, tapi setelah mengenalnya lebih jauh lagi, Derby itu ... orang yang baik."

"Apa kau menyukainya?"

Aku tersedak. "Suka? Well yeah, kami sangat akrab sejauh ini."

"Maksudku sebagai lawan jenis, Joe," Johnny tersenyum, menepuk pundakku. "Seperti jatuh cinta, mungkin?"

Aku mengedik, dan entah kenapa aku jadi tegang. "Kami baru kenal selama beberapa hari ... Entahlah."

"Entahlah?"

Kulihat alis Johnny berkerut, entah apa maksud dari ekspresi itu. Selama beberapa saat setelahnya, Johnny hening, hanya memandang kakinya seraya ... berpikir, mungkin?

"Apa kau sama sekali tak keberatan dengan rumor tentang kalian?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Nggak."

"Kenapa?"

"Toh aku nggak rugi dengan adanya rumor tentangku dan Derby. Setidaknya aku nggak akan diguyur sampah oleh cewek sinting yang tergila-gila dengannya."

Johnny meraih pipiku dengan kedua tangannya, membuat kepalaku kini jadi menghadap ke wajahnya. "Joe,"

"B-Bercanda."

"Aku mengerti kalau kau kesal dan mau mengejekku terus-terusan, tapi tolong, Joe, jangan hindari aku lagi."

E-Eh?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top