Enam

Aku menatap diriku di depan cermin, dan sumpah, wajahku seperti boneka rusak. Aku memiringkan tubuh, gaunku yang berpotongan rendah di bagian belakang menampakkan dengan jelas punggungku. Well, mungkin gaun velvet berwarna royal blue ini lah satu-satunya hal yang membuat penampilanku masih terselamatkan.

"Joelene Roberts, Derby Harrington di sini hendak menemuimu." Suara Kepala Asrama menggema di lorong, mengetuk pintu kamarku.

Derby masuk tak lama kemudian, sudah berpakaian rapih. Dia mengenakan setelan jas bagus berwarna biru tua, seperti sebuah kebetulan.

"Wah," Derby terkejut melihat warna pakaian kami yang cocok secara tak sengaja. Pandangannya lalu naik ke wajahku sambil cengar-cengir kegirangan.

"Kenapa? Aku terlihat aneh?"

"N-Nggak." Terkejut, dia menggeleng dan berbalik ke arah pintu. "Kita harus berangkat sekarang."

Aku mengikuti Derby berjalan lambat-lambat menuju mobilnya, dia membukakan pintu untukku dan kembali ke bangku sopir, menyalakan mesin.

"Tunggu, Derby!" Aku tak yakin, menggenggam lengannya sebelum dia sempat memundurkan mobil. "Kurasa aku tak siap!"

"Kau kelupaan sesuatu?"

"B-Bukan!"

"Terus?"

"Aku merasa nggak percaya diri soal penampilanku."

Derby terkejut mendengar kata-kata barusan seolah itu sesuatu yang asing dariku, kemudian anak itu terkekeh dan menepuk pundakku. "Ini cuma acara amal, Joe."

"Cuma, katamu?" Aku panik, mengguncang badannya. "Hey, bagaimana kalau orang-orang mulai gossip tentang penampilanku?! Itu memalukan banget, tahu?! Pori-poriku terlihat besar, wajahku kurang dandan, coba bayangkan gimana malunya jadi aku?! Uhh ... Gimana, dong?! Aku pasti jelek banget, kan--"

"Joe! Kau--" Dia tampak seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi cepat-cepat berhenti dan memegang kedua pipiku,  menatap mataku yang berkaca-kaca. "Joe, takkan ada yang bergossip tentangmu, oke? Aku janji. Lagipula kau--" Dia berhenti lagi, menggeleng. "Pokoknya kau akan baik-baik saja, paham? Kalau kau nggak nyaman, kita bisa lagsung pergi setelah menyapa ayahku."

"Sungguh?"

"Sungguh." Dia meremas tanganku, dan itu sungguh menenangkan. "Apa kita sudah boleh berangkat?"

" ... Baiklah."

Dia menyeringai usil dan menyisir rambutnya ke belakang melalui sela-sela jarinya. "Where to, Miss?"

Aku menyembur tawa dan ... berdebar, karena dia mengutip bagian favoritku di film Titanic. Aku bersandar ke belakang dan menghembuskan napas, menatap wajahnya lekat, yang entah kenapa semakin lama dilihat, hatiku semakin tak karuan.

"To the stars."

***

Rumah Derby lebih luas daripada rumahku di California. Di halaman belakangnya terdapat gazebo yang dikelilingi oleh tanaman semak berbunga, amat cantik sehingga aku bisa membayangkan pemandangannya saat malam, menari di sana-- Uhh, cringe. Ini bukan fairytale!

Di koridor amat sepi, jadi kami menduga tamu lain masih belum sampai. Tapi setiba kami di aula pertemuan, ratusan pasang mata tertuju kepada kami beriringan dengan bisik-bisik yang menyebar. 

Menyadari kejengahanku, Derby menarik badanku mendekat, menggenggam tanganku erat-erat. Kalau seorang pun dari sekolah melihat ini, well ...

"Wow, hey, kalian serasi!" Celetuk Pinky, tiba-tiba saja muncul dari balik punggung kami. Dia bicara begitu enteng tentang tunangannya. Kuulangi sekali lagi. Tunangannya. Seseorang yang akan jadi suaminya. Dia melanjutkan, "Kau tampak hot dengan dress ini, Joe!"

"Trims, girl." Aku mengedipkan sebelah mata.

"Sudah, sudah." Derby mendelik kepada Pinky dan Gord lalu kembali tersenyum kepadaku. "Ayo."

Pinky, meski sekilas saja, tampak kecewa. Dia menarik lengan Derby dan berbisik, "Temui aku di dapur jam enam."

"Terserah." Derby memutar bola matanya, lalu kami melesat ke ruangan berikutnya. Tempat itu lebih sepi dibanding aula utama, mungkin dipakai untuk menyambut tamu khusus. 

Derby membawaku ke sebuah bangku di depan jendela yang menganjur berukuran besar, menyuguhkan pemandangan ke halaman belakang.  Derby melepas jasnya dan menyelimutkannya di bahuku sebelum pergi dan mencari orang tuanya.

"Aku takkan lama." Ujarnya.

Aku melepas jasnya dariku, bingung. "Derby, jasnya--"

Aku terkejut melihat pipinya semerah kepiting rebus. Dia berdeham dan berusaha menutupi wajahnya dengan kepalan tangan lalu berputar. "Pakai saja, setidaknya sampai aku kembali."

Dia pergi, meninggalkanku dalam keheningan selama beberapa saat. Bosan, mataku mulai berkeliling. Beberapa foto tergantung di sepanjang dinding yang terletak berlawanan dengan jendela besar tempatku duduk. Sebagian besar gambar adalah Tuan dan Nyonya Harrington, orang tua Derby, di hari pernikahan, menghadiri acara-acara penting yang biasa dihadiri petinggi negara, memegang sertifikat penghargaan, atau bahkan sekedar mengunjungi spot bersejarah dari seluruh dunia. Ada pula beberapa foto Derby sewaktu kecil, imut dan menggemaskan. Lalu di tengah-tengah semua itu, terpampang satu foto besar, itu adalah potret Keluarga Harrington.

Derby pasti mendapatkan gen dari ayahnya. Di foto besar itu, terlihat tangan sang ayah merangkul istri dan putra semata wayangnya, merapatkan mereka berdua untuk memberi kesan yang mesra. Ingat, cuma kesan. Rambutnya pirang, kumis tebal membingkai senyum lebarnya. Roman laki-laki itu identik dengan Derby, meski sang ayah kelihatannya lebih introvert. Keduanya memiliki mata yang tersenyum saat tertawa, memamerkan deretan gigi yang putih.

Ibu Derby sangat cantik. Dia memiliki rambut cokelat panjang dan, setidaknya dari gambar-gambar yang ada, kelihatannya bertubuh tinggi. Aku tidak bisa menemukan satu pun roman wajahnya yang menurun kepada anak laki-lakinya. Barangkali yang diwarisi Derby adalah kepribadian ibunya.

"Halo, Joelene, lama tak jumpa." Sapa sebuah suara berat yang akrab, tetapi bukan suara Derby. Kali ini adalah ayahnya. Derby kembali dengan ayahnya, yah, setelah dengar ceritanya kemarin, aku tak heran tentang keberadaan ibunya.

Aku bangun dan membungkuk sebagai tanda rasa hormat. "Apa kabar, Tuan Harrington?"

"Baik," Tuan Harrington bukan sosok yang ramah dan ceria, aku tahu itu, tetapi setidaknya dia orang yang baik. Kekakuannya itu lah yang mungkin membuatnya merasa cocok berteman dengan ayahku. "Kau sendiri, bagaimana kabarmu?"

"Kabarku baik, terima kasih." Kataku, mengangguk.

"Joelene, aku sudah dengar apa yang terjadi di California. Aku turut berduka cita." Tuan Harrington menundukkan kepalanya untukku. "Semoga kepindahanmu ke Bullworth bisa menjadi pengalaman baru yang berkesan."

"Terima kasih, Tuan Harrington, aku sangat menghargai kebaikan anda,"

"Dengan senang hati, nak." Dia menepuk pundakku dan tersenyum. "Kalau begitu, aku permisi dulu. Bersenang-senanglah,"

Dia tak basa-basi, berbalik ke arah tamu berikutnya yang duduk di meja lingkaran di tengah-tengah ruangan. 

"Jadi?" Tanya Derby, dan aku paham maksudnya.

"Ayo menetap untuk beberapa saat." 

"Baiklah." Derby mengangguk kemudian mengulurkan tangan. "Mau keliling?"

"Sure."

Kami menyusuri lantai satu, ke dapur, ruang makan, ruang membaca, dan akhirnya berhenti di gazebo yang kulihat beberapa saat lalu. Bersamaan dengan itu, hujan turun, menderas dalam sekejap. 

"Wow," Komentarku ketika angin bertiup kencang, membuat air hujan membasahi kami. Aku berkedip-kedip untuk menghalau air hujan yang mengucur di wajahku. Sejujurnya, aku belum pernah main hujan-hujanan semasa hidupku, dan ini ternyata sangat menyenangkan, meski cuma sekilas.

"Joe, kau baik-baik saja? Kau basah kuyup." Derby cemas, secara spontan melepas jasnya dan, lagi-lagi, menyelimutiku. Padahal dirinya sendiri juga basah kuyup.

 Gawat. Dia bersikap sangat manis belakangan ini, dan itu ... gawat. Sangat gawat. 

"Derby, kau tahu apa yang seru?"

Derby tertawa pelan, tapi menaikkan alis karena bingung. "Nggak. Apa?"

"Lari!"

Aku, entah apa yang kulakukan, menarik tangan Derby dan membawa kami berdua keluar dari naungan atap gazebo, mengelilingi halaman rumah Derby. 

***

Kami terengah-engah di sela tawa setelah berhasil masuk ke dalam bangunan rumah, sambil mengibasi cairan yang membasahi pakaian kami. Aku sedang melepas jas Derby dariku dan mengguncang-guncangnya saat tangan Derby menyapu wajahku, menyibak seberkas rambut basah yang menempel ke leherku. Tangannya dingin, namun saat jemarinya membelai kulitku, aku terlupa akan suhu yang dingin menggigit karena wajahku sangat hangat.

Senyum Derby berangsur memudar ketika kami berpandangan. Aku masih tak terbiasa terhadap reaksi yang kurasakan saat berada di dekatnya. Sentuhan sekecil apa pun dan sikapnya yang paling sederhana sekali pun menimbulkan efek yang begitu mendebarkan pada indraku.

Aku berdeham lalu memutus saling tatap itu saat meraih sebuah handuk yang dibawakan pekerja di sana. Kuserahkan jas Derby yang kuyup kepadanya.

"Padahal ramalan cuaca nggak bilang hari ini akan turun hujan." Derby menghela napas, tapi toh tertawa juga. 

"Itu cuma mesin, c'mon." Sahutku.

"Ini pertama kali buatku, jujur saja."

"Sama."

Derby menjawil bahuku. "Trims, Joe. Aku sangat bersenang-senang."

Tak bisa kupercaya, aku berubah jadi cewek yang seperti mau pingsan gara-gara seorang cowok. Aku kesal sekali pada kelakuanku; jadi aku pun mulai mencermati sosok Derby lebih teliti, mencoba mencari cacatnya. Tidak berhasil. Sejauh ini, semua yang ada di dirinya sempurna-- WTF?! Apa yang kupikirkan?!

"Sama-sama, Derby."

Derby menunduk menatap arlojinya, lalu mendongak padaku dengan tatapan yang tak kumengerti. "Um, Joe?"

"Ya?"

"Aku harus menemui Pinky sekarang juga." Derby menepuk kepalaku. "Kutemui kau setelah bersih-bersih, oke?"

"Oh, baiklah." Kataku, entah kenapa, agak kecewa. Aku tak tahu apa yang kuharapkan.

Derby bergerak menjauhiku dan berjalan ke sisi lain lorong. Pelayan Derby datang tak lama, membawaku ke kamar tamu yang bisa kupakai membersihkan diri.

***

Aku menunggu Derby dengan sabar sampai dia menyelesaikan urusannya dengan Pinky, dan sekarang sudah satu jam sejak itu. Pelayan di rumah Derby sungguh pengertian dan ramah, mereka memberiku teh dan beberapa kudapan, bahkan beberapa majalah yang bisa kubaca sampai bocah itu tiba.

"Joe? Kau masih di sana?" Itu adalah Derby, mengetuk pintu dengan tergesa. "Joe?"

"Ya, ya, sebentar," Aku memutar bola mata dan bangkit ke arah pintu.

Ketika aku membuka pintu, dia langsung mendesah lega dan masuk. "Joe! Syukurlah, kupikir kau bosan dan pergi. Apa aku terlalu lama? Maaf, ya."

"Itu bukan masalah, Derby, tenanglah." Aku terkekeh. "Mereka memberiku majalah keluaran baru, lagipula."

Derby mengangguk sambil berjalan menuju sofa kemudian melempar tubuhnya ke sana dan menghela napas panjang. Mukanya tampak seperti tengah merenungkan sesuatu, tapi ketika tatapannya menemuiku, dia tersenyum seolah itu bisa menutupinya.

"Joe, apa kau lelah?"

"Kenapa?"

"Aku merasa ingin jalan-jalan malam ini."

***

Derby membawaku ke club setelah berkendara mengelilingi Old Bullworth Vale. Dia tak banyak bicara malam ini. Sepanjang perjalanan kami hanya makan nachos yang kubeli di minimarket sewaktu Derby isi bensin, lalu mendengarkan lagu balada di radio sambil menyanyi bersama sesekali.

Setibanya di dalam, keheningan di antara kami dibuyarkan oleh kebisingan pengunjung. Tempat ini penuh sesak. Aku terkejut Derby tak mengeluh atau tampak terganggu.

Kami melihat satu meja di bagian depan yang kemudian ditempati sekelompok remaja berusia sembilan belasan atau sekitar itu. Derby berbelok menuju satu bilik kosong di bagian belakang ruangan.

"Di belakang sini lebih tenang." Kata Derby.

"Harus umur berapa agar bisa masuk club?" Tanyaku, menyadari kalau kami sedang tidak berada di tempat yang semestinya.

"Malam ini, tempat ini bukan club," Sahut Derby saat kami beringsut masuk ke bilik. Bilik berbentuk setengah lingkaran itu menghadap ke panggung, jadi aku bergeser ke bagian tengah agar mendapatkan pemandangan yang paling jelas. Derby bergeser ke kanan di sebelahku. "Ini malam untuk gigs. Setiap sabtu mereka menutup club, dan orang-orang kemari untuk menonton penampilan musisi lokal."

"Oh begitu,"

Keheningan menyapu selama beberapa saat sementara kami sama-sama mengamati keramaian di depan panggung. Derby menyikutku, membuatku menoleh kepadanya.

"Kau mau minum sesuatu?" Tanyanya.

"Mau. Minta susu stroberi."

Derby menelengkan kepala, memainkan alis, dan menyeringai. "Susu stroberi? Yakin? Setidaknya soda, gitu?"

Aku mengangguk. "Pakai es dan krim kocok."

"Oke." Derby menyelinap keluar dari bilik. "Satu susu stroberi pakai es dan krim kocok segera datang."

Setelah Derby beranjak, pembawa acara naik ke panggung dan berusaha memompa semangat pengunjung. Tak seorang pun berdiri di bagian belakang ruangan tempat kami duduk ini, jadi aku merasa agak bodoh ketika bersorak "Yeah!" Bersama orang banyak. Aku duduk makin merosot di kursiku dan memutuskan jadi penonton saja selama sisa malam ini.

Saat Derby berjalan menuju meja kami sambil membawa minuman, pembawa acara mengumumkan kalau gigs akan segera dimulai.

Seorang pria empat puluhan naik ke atas panggung dan duduk di depan grand piano yang terletak di sudut kiri depan panggung. Ketika intro dimainkan, aku langsung mengenali lagu tersebut.

"Vienna," Ucapku dan Derby serentak, kemudian kami sama-sama tertawa.

Lagu karya Billy Joel yang dirilis tahun 1977. Lagu ini adalah metafora sebagai bertambahnya usia atau sisa hidup, memberi pesan untuk pendengarnya untuk menikmati waktu yang ada dan pelan-pelan saja dalam menggapai tujuan hidup.

"Aku suka dengar lagu ini ketika sedang merasa putus asa, atau ketika capek belajar."

Derby tersenyum kepadaku. "Sama, kecuali poin terakhir."

Anak laki-laki itu menyesap wiskinya lalu bersandar ke belakang dan mencari tanganku dalam gelap. Sebagai gantinya, dia menaruh tanganku di kakinya, lalu ujung-ujung jemarinya mulai menyusuri pergelangan tanganku. Dengan lembut, dia menyusuri jemariku satu per satu, mengikuti garis dan lekuk seluruh bagian tanganku. Ujung jemarinya itu bagaikan arus listrik yang menembus kulitku.

"Joe," Panggilnya pelan sementara tangannya terus menyusur naik ke pergelanganku lalu turun lagi ke jemariku dengan gerakan seperti air. "Aku nggak tahu bagaimana denganmu, tapi ... aku suka padamu."

Wajah Derby memerah. Mungkin aku juga. Aku memandangnya tak percaya, kemudian anak itu menarik tengkukku dan dengan lembut menarikku ke arahnya. Bibir kami merekah saat bertemu, dan tak seorang pun dari kami menahan diri.

Akhirnya kami menghentikan ciuman itu. Bibir kami berjarak hanya beberapa senti saja ketika Derby berbisik, "Aku lupa bilang sesuatu," Dia menyeringai. "Hari ini kau tampak cantik."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top