Weird Confession
Katanya, jatuh cinta itu kadang tak masuk akal.
Mereka yang merasa kadang tak tahu itu ada.
Jatuh cinta, jadi memecahkan rasionalitas.
Tak kenal waktu, pikirku selalu padamu.
Meski waktu berlalu tak terburu-buru, hati akan selalu merindu.
- P A R A G R A P H.
1.
17 Mei 2021
ALASKA
Perasaan adalah sesuatu yang seringkali tidak kupahami.
Laiknya majas, perasaan itu muncul tiba-tiba namun tidak tahu apa arti terselubung di dalamnya. Kadang perasaan akan disalurkan melalui berbagai macam motif-entah tujuannya baik atau buruk. Tipikal manusia, perasaan mereka berkelindan lantas rasa serakah akan menyambut hati mereka dengan uluran. Tak mampu meraih, segala cara akan dilakukan demi kekasih.
Duduk terdiam, aku memandang bangunan Art Center dengan kosong. Pikiranku melayang ke hal-hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Selama aku menjadi penulis, kemungkinan-kemungkinan dan ide-ide yang tak pernah kupikirkan jadi terbayang saat aku melamun.
Di saat Pesta Perayaan Kesenian, aku seharusnya berada di dalam gedung itu. Menyatukan diri sendiri pada suasana riuh Pagelaran-duduk diantara deretan kursi penonton seraya menghidupkan kamera ponsel. Namun, aku tidak melakukannya. Di tengah kebisingan suara gamelan, aku memisahkan diri dengan alibi mencari udara segar. Sekalian melamun untuk keperluan menulisku sih, hehe. Jadi tidak ada salahnya, kan?
Terdiam lama, aku mendengar langkah kaki mendekat serta rasa dingin menyapu pipiku. Aku memekik pelan-tersadar dari lamunan. Kepalaku mendongak keatas dan bertemu senyum bulan sabit dari seseorang yang kutahu.
"Biru," gumamku menatap presensi taruna yang baru datang.
Tidak-tidak. Aku tidak menyebutkan warna. Netraku tidak memandang ke arah kaleng Pocari yang dia tempelkan pada pipiku atau merujuk pada celana biru muda yang ia pakai. Bukan juga gelang yang melingkar apik pada pergelangan tangannya.
Namanya memang Biru. Cakra Sabiru. Cowok yang berada di kelas berbeda denganku, namun lumayan dekat jika dikatakan sebagai teman. Namanya yang unik, namun maknanya menarik. Cakra artinya roda, sementara Sabiru itu tentang warna biru. Mungkin maksudnya adalah roda yang berputar tenang namun disaat yang sama bisa berbahaya. Warna biru melambangkan ketenangan. Seperti langit cakrawala maupun laut nusantara. Sejak awal sekolah, ia sudah didekati seperti kupu-kupu mencari nektar.
"Iya, Alaska. Ini aku."
Aku menerima kaleng Pocari dengan satu tangan sembari menggeser pantatku agar Biru bisa duduk di sebelahku. "Kamu ngapain keluar?" Aku bertanya keheranan seraya membuka kaleng Pocari lalu meneguknya. Saat sensasi dingin itu merayap di kerongkonganku, aku diam-diam takjub.
Dia diam sejemang sebelum membalas singkat."Nyari angin."
"Idih, angin kok dicari. Yang ada pacar baru dicari," balasku setengah bercanda mendengar balasan singkatnya.
Biru menatapku lalu menghela napas panjang. Aku tertawa pelan melihat reaksinya yang seperti sangaaaat lelah. "Kamu enggak ngaca," jawabnya singkat. "Lagian dia enggak pernah peka. Gimana caranya ngejar? Mau dikejar sampai ujung dunia, pun juga enggak berguna." Biru melanjutkan perkataannya sambil menatapku lamat.
Aku mengangkat sebelah alisku. "Aku enggak tau kamu ternyata sadboy. Padahal tampangmu kayak goodboy incaran cewek-cewek."
"Cewek yang kusuka enggak pernah peka, padahal aku sukanya ini, yang ngerasa malah itu. Ini kayak aku mau milih kentang tapi dikira mau singkong." Biru masih menatapku lekat-lekat ketika mengucapkan kalimat itu. "Enggak enak begini. Tapi, mungkin ini salahku gara-gara enggak ngasih kode keras sama belum berani confess."
Aku diam-diam mengangguk. Namun, mengerutkan kening ketika merasakan tatapan tajamnya yang seperti akan menusuk semua bagian tubuhku. Ini cowok kenapa, sih?! Ini mau ngerencanain sesuatu, kah? Jangan bilang mau dijadiin mak comblang!
"Kamu jangan ngeliat aku kayak gitu, entar aku jadi kebelah dua." Aku mengatakan itu dengan keras.
Namun, bukannya menjawab, Biru malah merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah kertas terlipat apik. Ia menyuruhku membuka telapak tangan dan aku melakukannya. Biru meletakkan kertas itu diatas telapak tanganku lalu menyuruhku untuk menutup telapak tanganku.
Aku memandangnya dengan tatapan penuh kuriositas. "Kamu memberikanku apa? Apakah ini semacam teka-teki? Kamu mau bermain sebagai James Moriarty dan Sherlock Holmes? Kamu mau aku memecahkan kasus ini?" Aku bertanya beruntun.
Namun jawaban dari Biru adalah, "Nanti juga kamu tahu. Aku mau mengetes sesuatu."
"Woah ... apa kamu benar-benar mau bermain sebagai James Moriarty? Lalu kenapa aku harus sebagai Sherlock?! Aku enggak sejenius itu." Aku berujar panik.
Kalau dia mau bermain seperti ini, harusnya dia mengajak Si Peringkat Satu, bukannya diriku. Aku tidak sepintar tokoh di dalam komik yang aku baca atau film yang kutonton. Aku paling payah dalam hal teka-teki.
Biru menghela napas. Ia memandangku dengan kedua netra menyipit."Bodoh."
"Apa-"
"Kamu enggak memikirkan apapun selain itu saat kertas itu ada di tanganmu?"
Aku menggeleng cepat. Memang apa yang harus kupikirkan? Mana mungkin ini surat cinta-eh, surat cinta?
Aku menahan napas. Masa ini surat cinta? Tidak mungkin. Biru sudah punya cewek yang disukainya. Aku tidak boleh berekspektasi tinggi karena mana mungkin cowok seperti Biru suka padaku. Aku ini bebek diantara angsa. Masa disukai salah satu angsa. Apalagi pangerannya angsa. Hm, kalau dia adalah pangeran bebek mungkin bisa jadi. Tapi, Biru terlalu ganteng untuk dideskripsikan menjadi pangeran bebek. Ah, intinya dia dan aku itu tidak cocok kalau dari penampilan.
Aku tertelan ke dalam pemikiranku sendiri dalam waktu lama-sebelum suara Biru menyapu indera pendengaranku. Menyadarkanku kembali ke realita.
"Alaska."
"Hm?" Aku menoleh pada Biru yang sudah berdiri. Taruna itu menepuk celananya.
"Kamu bener-bener bego ternyata."
"Hah? Maksud kamu gimana? Ngajak berantem?"
Biru menatapku lekat."Kamu pernah dengar tentang seorang perenang yang hampir tenggelam di laut?" Dia berbicara seolah mengabaikan perkataanku. "Perenang itu hampir tenggelam namun masih berharap kalau orang yang diatasnya itu memberikan pelampung, padahal ada tangga disebelahnya supaya bisa naik ke daratan. Tapi, perenang itu masih berharap agar diberikan pelampung. Orang di daratan tidak menyadarinya. Hingga bermenit-menit, perenang membiarkan tubuhnya tenggelam."
Aku mengerutkan kening mencoba memahami apa yang berusaha ia katakan. Namun, otak dangkalku tidak bisa memahami meski berusaha memikirkannya sekeras mungkin. Aku mendengar itu sebagai cerita biasa. Tapi, aku tahu itu punya pesan terselubung.
"Jadi? Apa yang kamu coba sampaikan?" Aku memiringkan kepala seolah menyerah untuk memikirkannya lagi.
Biru mendengkus. Taruna yang pada awalnya memasang senyum bulan sabit, kini sepenuhnya memasang wajah muram. "Kamu cari tau sendiri," katanya menunjukku. "Kamu bisa tanya patung di pintu masuk atau mbah google. Atau pakai otak sendiri. Terserah." Biru sepenuhnya meninggalkanku setelah mengatakan kalimat itu.
Aku mengerutkan kening bingung. Sejemang aku merasa bodoh. Atau memang bodoh? Jadi yang bodoh itu aku atau Biru?
Aku menggelengkan kepala. Namun, segera terlonjak karena menyadari kertas yang Biru berikan masih berada di tanganku. Aku tersenyum lebar seperti orang memenangkan doorprize. Jawabannya, mungkin ada di kertas ini! Aku harus buka!
Aku membuang kaleng Pocari yang telah kosong ke tempat sampah lalu beranjak bangun dari posisi duduk. Aku menepuk rok abu-abu punyaku sembari membuka kertas itu.
Namun, jawaban yang kunanti tak menampakkan wajahnya. Kertas itu kosong melompong dan tidak ada coretan sama sekali. Aku menatap kertas itu dengan tidak percaya. Dunia itu memang lucu seperti panggung komedi, tapi ini sepertinya jauh lebih lucu.
"Hm, apakah ada trik tersembunyi? Mungkin aku harus membacanya dengan cahaya terang atau membasahi kertasnya untuk melihat isinya?"
Hari itu aku menemukan Biru adalah pria yang sangat aneh dan unik. []
//
2.
19 Mei 2021.
Biru sepertinya sedang berperilaku seperti warna biru yang misterius. Semenjak hari itu, saat Pesta Perayaan Kesenian berlangsung, Biru seperti menghindari Alaska untuk beberapa hal. Cewek itu sangat kebingungan dan kesal dalam waktu bersamaan. Walaupun kelas mereka berdampingan, Biru sama sekali tidak melongokkan kepala untuk sekadar panggil Alaska. Sebenarnya Alaska sudah mendengar tentang keanehan Biru, namun dia tidak begitu percaya. Banyak teman-teman Biru yang mengatakan bahwa Biru itu sedikit berbeda cara pemikirannya.
"Biru? Dia cowok yang suka makan nasi goreng dicampur cokelat."
"Nulisnya pakai tangan kiri."
"Orang yang narsis dan insecure secara bersamaan."
Begitulah kata teman sekelasnya.
Dan kini dia benar-benar mengalaminya sehingga mau tidak mau dia percaya.
Tentang kertas kosong itu, Alaska sudah menanyakannya pada teman sebangkunya, Erika. Namun cewek itu hanya menjawab Alaska dengan jawaban, "Maneketehe. Yang punya masalah kan kamu."
Bahkan Alaska sampai bertanya pada Bu Devi, guru konseling. Tapi, guru itu berkata, "Ibu enggak tahu. Mungkin yang ngasi sama kamu ini punya masalah, jadi dia enggak bisa menulis yang dia mau katakan sama kamu makanya ngasi kertas kosong." disertai dengan senyuman adem.
Alaska hanya mengangguk pelan menyetujui.
Cewek itu menghela napas. Ia duduk menyandar pada jendela. Kedua maniknya melihat ke arah lapangan olahraga dimana kelas lain sedang mendapatkan materi basket. Ditilik dari cowok dan cewek yang memegang satu bola basket. Pakaian mereka basah karena keringat.
Alaska menggigit bibir bawahnya. Dia tidak bisa overthinking terus-menerus. Dia memukul meja dengan pelan. Pokoknya aku harus menguatkan tekad! Aku harus berbicara dengan Biru! Cowok itu enggak bakalan bisa buat dia overthinking terus-menerus dengan ini!
"Alaska Reida. Bisakah kamu mengerjakan soal ini?"
Alaska tersadar dari pikirannya ketika suara Pak Fajar mengalun di telinganya. Alaska tersentak, tanpa sadar mengumpat pelan. Cewek itu memandang ke papan tulis. Pikirannya membeku sesaat ketika netranya bertemu dengan angka-angka dan juga satuan kimia.
Alaska menyenggol Erika lalu memelototinya diam-diam. Mimik wajahnya mengatakan, "Gimana? Kamu ngerti? Jelasin sama aku."
Tapi, Erika tidak mengerti. Cewek itu mengerutkan kening dan mengangkat sebelah alisnya. Alaska menggigit bibir bawahnya lalu kembali memelototi Erika. Bibir Erika bertanya dalam diam-masih tidak mengerti. Alaska menghela napas panjang. Sialan.
"Alaska?"
Alaska tersentak lalu tertawa pelan. "Eng, bisa skip enggak, Pak?"
Pak Fajar menghela napas. Ia menaruh satu tangannya pada mejanya dan yang lain di pinggang. "Kenapa skip?" Nada suara Guru itu tidak terlalu menyenangkan. "Kamu mikirin apa sampai begini? Bukannya kamu murid yang aktif? Tapi, kenapa sekarang begini? Kalau ada hal yang lainnya tolong pikirkan diluar jam saya."
Alaska mengutuk dalam hati. Ini jelas hal yang tidak baik. Semua ini salah kertas kosong dan Biru. Dia jadi tidak fokus sama sekali. Cewek itu menunduk-tidak berani bertatapan langsung dengan Pak Fajar. Guru kimia itu masih memperhatikan Alaska. Helaan napas berat keluar dari Pak Fajar. "Ya sudah. Bapak kasi kamu skip hari ini saja. Sebagai gantinya teman sebangkunya silahkan kerjakan ini."
Alaska menghela napas lega. Ia melirik Erika lalu diam-diam mengangkat jempolnya pada cewek yang kini bangun dari tempat duduknya.
Alaska kembali diam dan mendengarkan pelajaran. Dia bersumpah akan menyeret paksa Biru saat jam istirahat. []
***
3.
Bel istirahat berbunyi. Alaska segera menyeret tungkainya keluar kelas dengan tergesa-gesa. Dia berjalan dengan cepat menuju kelas Biru. Cewek itu berhenti di depan pintu kelas dan melihat segerombolan anak laki-laki berada di kelas. Ia sesekali tersenyum pada orang yang berjalan keluar dari kelas. Cewek itu menguatkan diri lalu mengetuk pintu kelas dengan keras. Segerombolan anak laki-laki itu menoleh secara bersamaan pada sumber suara.
"Permisi, Cakra Sabiru ada?" Alaska bertanya sambil menahan rasa malu.
Anak laki-laki itu bertatapan satu sama lain dengan senyum penuh arti. Salah satunya lalu menoleh ke belakang sambil memukul punggung cowok yang sedang tertidur di atas meja. "Twelve, bangun. Cewek lo nyariin."
Cowok itu tersentak lalu mengacak-acak surainya sampai kesal. "Tolol, gue nggak punya cewek." Ia berkedip-kedip sejenak sebelum menampar tangan seseorang yang membangunkannya. "Kalo mau ngejek jangan pake gitu. Dan nama gue Biru. Bukan Twelve. Gue gampar lama-lama," cercanya dengan satu tarikan napas.
"Gue beneran, tolol. Gebetan lo nyariin. Ada di depan pintu."
"Apa, sih-oh ..." Biru menghentikan perkataannya begitu melihat ke pintu kelas dan menemukan Alaska berada disana sembari berdiri canggung. "Kamu ngapain kesini?" Cowok itu bertanya dengan nada acuh tak acuh.
"Mau bicara."
"Oh, silahkan."
"Enggak disini."
"Terus?"
Alaska menggertak kesal. Ia berjalan ke dalam kelas lalu menarik paksa pergelangan tangan Biru. Cowok itu terkesiap, namun masih mengikuti kemana Alaska membawanya pergi. Mereka menuruni tangga lalu masuk ke dalam gang dibelakang gudang. Cewek itu melepas pergelangan tangan Biru lalu berbalik untuk menatap cowok itu. "Kamu enggak boleh kabur sekarang atau kita selesai temenan."
"Oh, bagus dong."
"Bagus apanya?"
"Enggak jadi temennya."
"Kamu, tuh-" Alaska menghentikan perkataannya lalu menghela napas pelan. "Udahlah. Aku sekarang langsung ke inti masalahnya aja." Ia memberi jeda sejemang sebelum bertanya pelan. "Maksud dari kertas itu apa?"
Biru mengangkat alis. "Bukannya udah jelas?"
"Nggak isi tulisannya. Apanya yang jelas?"
Hening sejemang. Biru lalu meludahkan satu tanya. "Nggak ada tulisan? Maksud kamu kosong?!"
Kini Alaska mengerutkan kening. Ia merogoh sakunya-mengeluarkan kertas yang terlipat apik lalu menyerahkannya pada Biru. Cowok itu menatap kertas itu lalu membukanya perlahan. Wajahnya membeku sesaat sebelum tertawa kencang. Alaska semakin mengerutkan kening. "Kamu gila, ya?"
"Idiot. Bener-bener idiot." Biru berkata disela-sela tawa menggelegar.
"Ngaku?" Cewek itu bertanya. Kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun.
Biru tertawa sampai matanya berair. Alaska hanya menatap Biru dengan pandangan seperti melihat orang gila. Tawa Biru cepat mereda. Ia lalu berkata, "Alaska."
"Ya?"
"Kamu tadi bilang kalau aku kabur, kita selesai temenan, kan?"
"Iya."
"Aku mau kabur sekarang."
"Apa-apaan!" Cewek itu melotot ke arah Biru. "Kasi penjelasan dulu!"
"Aku mau kabur." Cowok itu berkata sambil tersenyum. "Biar kita selesai temenan."
"Terus kamu maunya jadi apa?"
Biru terdiam sejenak lalu tersenyum dan meludahkan satu kata. "Pacar."
Cewek itu terdiam karena terkejut. Ia memandang Biru dengan tatapan tak percaya. Alaska membuka mulut hendak berbicara sebelum Biru berkata, "Kamu mau, 'kan? Kalo kamu ngasi aku kabur, kita pacaran."
Alaska membuka mulutnya lalu tertawa kecil. Ia menyilangkan tangannya di depan dada. "Oke," katanya sembari tersenyum. "Tapi, sebelum itu. Kamu harus dipukul dulu."
Sebelum Biru bisa menjawab, Alaska dengan cepat memukul punggung Biru hingga cowok itu mengaduh. Memukulnya beberapa kali sambil berkata, "Kamu. Itu. Bener. Bener. Idiot. Apa. Susahnya. Bilang. Kamu. Suka. Aku?!" Alaska berkata penuh penekanan.
Biru meringis pelan. "Aku itu pemalu."
"Malu-maluin ada."
Biru tertawa kencang. Ia meringis pelan saat punggungnya dipukul beberapa kali. Cowok itu menangkap tangan Alaska yang masih memukul punggung Biru. "Galak."
Alaska mendengkus. Ia menarik tangannya lalu memberi jalan Biru untuk kabur. "Sana pergi," katanya mendorong punggung Biru agar pergi.
Biru yang terdorong tertawa pelan. Ia kembali memanggil cewek itu. "Alaska."
"Apa?"
"Nggak apa-apa cuma membiasakan diri sama nama pacarku," katanya sembari memasang senyum bulan sabit andalannya. "Mari saling menjaga kedepannya pacar."
Alaska mendorong punggung Biru sampai cowok itu hampir terjerembab. Bibir Alaska berkedut menahan senyum. Hari ini adalah hari patah hati bagi penggemar Biru. Hari patah hati untuk cewek yang bermimpi untuk mengantongi Biru. Cowok itu sudah ada yang punya, namanya Alaska. Cewek yang akan dipuja-puja selama masa SMA sampai kedepannya.
Pagi harinya, Alaska menerima surat lagi dari Biru. Kini bukan kertas kosong lagi. Melainkan surat cinta dengan kata-kata indah. Surat yang tertukar saat kejadian di Pesta Kesenian. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top