#ShawMela

"Ih, Shaw!" Seorang gadis kecil memukul lelaki di sampingnya dengan sekop plastik merah. "Aku 'kan udah bilang jangan diacak-acakin!" geramnya, melihat gundukan pasir yang sudah hancur ditendang oleh lelaki berambut abu kebiruan tersebut. Namun, pihak yang ditegur tak mengindahkan perkataannya. Ia semakin asik menendang pasir-pasir itu membuat gadis mungil berambut panjang memegang sekop dengan tangan gemetar. Satu tangannya mengusap kedua mata dan mulai menangis karena mahakaryanya yang hancur begitu saja.

Sadar akan respon sang gadis, Shaw kecil berhenti dan menghampiri gadis itu lalu memegang pipinya yang basah karena menangis. Tadinya ia ingin menghibur, tetapi wajah sembab dara tersebut membuatnya terkekeh bahkan menahan tawa. Semakin membuat sang gadis mengangkat sekop tinggi-tinggi dan memukul lelaki itu emosi.

Setidaknya itu sepenggal memori menyebalkan yang diingat Melanie. Masih ada banyaaak kenangan buruk dan mengesalkan di antara mereka. Hari ini pula, ia harus dibuat kesal karena sang lelaki yang datang tanpa permisi ke rumahnya.

Ia tinggal sendirian di apartemen mengingat dia harus mengemban studi di kota pusat. Entah bagaimana pula Shaw tahu alamat rumahnya yang hanya diketahui oleh keluarganya.

"Kau menguntitku ya?" curiga sang gadis, mengernyit dan menatap Shaw dengan tatapan tajam.

"Apa urusannya denganmu?"

"Jelas itu urusanku juga!" Ia menghardik, lalu mendecih. "Kalau kau hanya mau mengganggu lebih baik kau keluar."

"Aku udah enak di sini." Shaw berucap,

merebahkan tubuh di sofa dan mengambil remot tv. Benar-benar seperti rumah sendiri dibuatnya. Hal itu meningkatkan amarah Melanie, lantas menarik tangan sang lelaki untuk diseret keluar. Tentu kekuatannya lebih kecil dari Shaw, dia bahkan tak bisa menggeser lelaki itu barang satu senti. "Ayo coba lagi," ejeknya, membuat Melanie geram. Ia terus berusaha mengangkat tubuh Shaw dengan menarik tangannya, hingga tiba-tiba tangan sang lelaki menariknya dan Melanie terjatuh di atas tubuh Shaw.

Jarak mereka begitu dekat, menyadari itu pun membuat semburat merah muncul di pipi Melanie. Ia hendak beranjak tetapi kedua tangan Shaw telah menguncinya dan dia tak bisa bergerak. Suara televisi menjadi nuansa situasi canggung tersebut, bagi Melanie. Shaw sendiri menikmati kedekatannya pada sang gadis—yang sudah lama ia nanti.

"Menyerah?"

"A-Apanya," Melanie mengelak. "K-Kau menahan tubuhmu, w-wajar saja aku tak bisa menarikmu."

Shaw mengulas seringai. "Kau sendiri tak bisa lepas dariku."

Gadis itu menenggelamkan kepalanya ke dada Shaw, menahan rasa malu. Saat itu pula ia dapat mendengar degup jantung sang lelaki begitu cepat. Meski ia ragu, apakah itu milik Shaw atau miliknya karena saat ini pun ia merasa deg-degan.

"Kau suka dipelukku, hm?"

Pertanyaan itu membuat Melanie spontan menampar Shaw, meninggalkan jejak lima jari dan telapak tangan merah di sana. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top