#LuciRhe
Atensi Lucien langsung berpaling pada Rhea ketika wanita itu memekik tertahan hingga tubuhnya berjengit. Netra violetnya mengamati ekspresi sang istri, memastikan bahwa pekikan itu bukan menyiratkan kekesalan. Namun, senyum yang tercetak jelas di bibir sang hawa memberitahunya bahwa apapun yang menyita perhatian Rhea pastilah menyenangkan.
Langit yang tampak mendung di musim semi membuai siapapun yang bernaung di bawahnya untuk bergelung. Ia dan istrinya pun tak luput dari bujukan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bebungaan dari taman belakang. Duduk menyamping di atas sofa, Rhea menyandarkan punggung pada sisi tubuhnya. Ia tengah membaca buku tentang neurologi, sementara istrinya asyik bermain ponsel.
"Ada apa?" tanya Lucien dengan suara rendah, bibirnya membelai pelipis sang hawa.
"Kenapa senang begitu?"
"Lucien, lihat!" Rhea mengangkat ponsel, membiarkan Lucien mengintip sesuatu yang terpampang di layar. "Romantis sekali, kan? Aku tidak mau pulang. Aku ingin tetap di Cradle saja."
Matanya memicing kala melihat potret seorang pria dengan seragam berwarna hitam dengan aksen biru pada ponsel sang istri. Pada bagian bawah layar tertulis sebuah nama—yang ia perkirakan adalah nama karakter yang dari game yang tengah dimainkan oleh Rhea—Sirius. Namun, yang membuat keningnya mengeryit adalah kalimat yang diucapkan oleh karakter bernama Sirius ini.
Tapi aku juga tak tahan dengan gagasan bahwa kau tidak lagi ada di hidupku.
"Kami baru saja melewati sebuah perang. Sebelumnya Sirius telah menunjukkan kepeduliannya, tapi ia bersikeras kalau aku harus kembali ke kampung halamanku." Rhea mencebik pelan, menyurukkan kepala di bahu Lucien. "Tapi karena aku keras kepala, kukatakan kalau aku ingin tinggal saja. Tidak masalah jika ia ingin menganggapku sebagai seseorang yang dilindungi atau apapun dan kau tahu apa reaksinya?"
Sudut bibir Lucien tertarik geli. "Hm?"
"Ia memilih untuk mengubur perasaannya dalam-dalam dan bilang kalau ia akan melindungi sebagai Queen of Spade. Tidak bisa dipercaya!" Rhea mendengus pelan. Sedetik kemudian, gadis itu memamerkan senyumnya lagi. "Tapi setelah perangnya berakhir dan aku terpaksa kembali ke kampung halamanku, aku tahu kalau aku amat sangat menyayanginya. Jadi kuputuskan untuk kembali ke Cradle sebulan kemudian. Dan kau tahu apa? Aku menemukannya baru keluar dari lubang kelinci yang sama. Lalu dia berkata seperti ini!"
Kali ini Lucien tak bisa menyembunyikan kekehannya. Ia menyelipkan helaian jelaga Rhea ke belakang telinga, mencuri kecupan singkat di kening sang hawa. Lucien ingat beberapa malam lalu Rhea sempat menceritakan garis besar cerita dalam game yang baru-baru ini ia mainkan dan sejujurnya, ia juga tertarik dengan konsep game yang mengambil tema Alice in Wonderland.
"Dan apa keputusanmu? Apa kau akan tinggal bersamanya?" tanya Lucien lagi.
"Tentu saja," seru Rhea antusias. "Setelah melewati banyak hal untuk mengungkapkan perasaanku dengannya, mana mungkin aku melewatkan kesempatan untuk bersamanya seumur hidup? Oh astaga, aku tidak sabar untuk lanjut ke musim kedua. Mungkin di musim kedua kami akan bertunangan dan menikah."
Sudut bibirnya berkedut memikirkan gagasan bahwa istrinya akan menikah dengan pria lain. Lantas Lucien menangkup sisi wajah Rhea, mengelus rahang sang hawa dengan ibu jarinya kemudian menunduk.
Bibirnya membelai bibir Rhea dengan lembut dan menuntut, berusaha menjadi jangkar sang hawa pada realitas. Lidahnya menyusuri bibir bagian bahwa Rhea, meminta izin untuk mencecap istrinya. Menelan desahan terkejut Rhea, Lucien menahan belakang kepala sang wanita hingga ia merasa bagian dirinya yang teritorial sedikit mereda.
Rhea mendorong bahunya dengan napas tersengal. Ponsel yang sejak tadi menjadi pusat atensi sang hawa teronggok di atas sofa. Sudut bibirnya tertarik samar, mengukir senyum puas kala netranya menangkap rupa Rhea yang memerah dengan mata kecokelatan yang berkabut.
"Kau cemburu?" pertanyaan itu terlontar sesaat setelah Rhea berhasil mengendalikan ritme napasnya.
"Rhea sebagai Alice mungkin saja dimiliki oleh Sirius," bisik Lucien rendah. "Tapi Rhea Crawford di dunia ini telah menjadi istriku, bukankah begitu?"
Rhea terkesiap kemudian tertawa kecil. "Kau dan sisi posesifmu tak pernah berhenti membuatku takjub, Profesor Lucien."
Lucien memajukan wajah, mengadukan keningnya pada kening Rhea dan menggesekkan puncak hidungnya dengan milik sang wanita. Matanya terpejam beberapa saat, meresapi perasaan damai yang membasuh dirinya kala Rhea berada dalam jangkauan. Menghidu aroma cokelat yang selalu melekat pada sang istri, Lucien yakin inilah rumah yang ia dambakan selama ini.
"Profesor Lucien," panggil Rhea lembut. "Apa kau tahu apa alasanku menyukai Sirius?"
"Hm?" Lucien merenung sejenak. "Karena ia tampan dan cerdas?"
"Hampir tepat." Rhea mengangkat kepala, menempelkan bibirnya sejenak pada dagu Lucien. "Jawaban lebih tepatnya adalah karena Sirius Oswald sangat mirip dengan suamiku."
Sebelah alis Lucien terangkat. "Begitukah? Dari sisi mananya Sirius dan suamimu sangat mirip."
"Pertama, seperti yang kau bilang keduanya sangat tampan dan cerdas." Rhea terkekeh pelan saat Lucien mengangkat tubuhnya hingga ia duduk di pangkuan sang pria. "Kedua, mereka sangat protektif dengan wanita yang mereka sayangi, bahkan tidak ragu menyesuaikan strategi tertentu agar gadis yang disayangi tidak terlibat dalam perang."
Rhea mengalungkan lengannya di leher Lucien, mengulum senyum geli ketika helaian kecoklatan yang menjuntai di dahi Lucien menggelitik keningnya.
"Lalu? Apa lagi?"
"Kalian juga bersikap lebih tua daripada umur kalian." Rhea mengaduh kecil saat Lucien mencubit puncak hidungnya. "Kalian juga berdedikasi dengan apa yang kalian suka, Sirius dengan tugasnya sebagai Queen dan kau sebagai kepala lab. Rambutmu yang gelap dan mata kalian yang memancarkan gairah dan ambisi dan ...."
"... dan?"
"Dan mulut manis kalian yang setara dengan Casanova."
Lucien tertawa rendah mendengar pengakuan Rhea yang terakhir. Lengan yang merangkul tubuh Rhea mengerat, membawa wanita itu lebih dekat hingga tak ada jarak yang di antara mereka. Senyum yang sejak tadi terulas kini tersembunyi di bahu sang wanita, kian melebar kala merasakan jejak bibir yang menghujani kulit leher dan tulang selangkanya.
"Apa yang kau lakukan, little butterfly?"
"Mengingatkanmu bahwa aku milikmu," gumam Rhea di kulitnya. "Atau ... yang kukatakan ini salah, Profesor Lucien?"
Lucien menangkup belakang kepala Rhea, mengecupi garis rambut sang hawa. "Tidak. Kau benar. Kau milikku."
"Meski aku akan menikah dengan Sirius?"
"Rhea Crawford di pangkuanku sudah menjadi istriku lebih dulu," sahut Lucien serius.
"Bukankah begitu, Rhea Xu?"
Rhea berdehem senang, bibirnya beranjak naik ke telinga Lucien. "Aku menyayangimu, Lucien Xu?"
Alis Lucien terangkat tinggi, tapi ada sirat jenaka dalam matanya. "Lebih daripada Sirius Oswald?"
Rhea tergelak. "Bisa diperdebatkan."
Lucien ikut tertawa. "Aku juga menyayangimu, little butterfly."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top