#LuciRhe
Rumor bahwa Rhea Crawford dan Lucien Xu tak lagi bersama menjadi perbincangan hangat di aula malam ini. Rumor itu diperkuat dengan fakta bahwa putri tunggal Crawford datang ke pesta seorang diri—tanpa keberadaan si Dewa Perang di sisinya. Kalung dengan inisial A yang selalu dikenakan Rhea, kini tanggal dari leher sang wanita.
Julian—kawan baik Rhea dan Lucien, menjadi penyelenggara pesta malam ini. Pesta yang dikhususkan untuk seluruh keluarga mafia yang berada di wilayah barat. Tujuannya hanya satu, menegaskan kuasa mereka di wilayah masing-masing. Topik mengenai siapa yang mengambil peran di sisi Rhea sebagai penasihat, juga wanita beruntung mana yang mampu mendapatkan sokongan dari seorang Ares.
Namun yang tidak ketahui oleh publik adalah bagaimana Lucien menunggu Rhea di bawah tangga. Meraih tangan yang terbalut sarung berwarna hitam, kemudian menyematkan kecupan singkat di punggung tangan sang hawa. Lengan yang sebelumnya menenteng senapan untuk mengeksekusi pengkhianat dalam barisan, kini memeluk pinggul wanitanya protektif. Bersamaan dengan janji yang diembuskan di telinga sang hawa untuk menemuinya lagi malam ini, mereka berpisah jalan.
“Sini, raih tanganku.”
“Apa aku membuatmu gugup, Lucien?” kelakar Rhea sembari menyambut uluran tangan tunangannya.
Lucien mengulas senyum. “Kau membuatku merasakan berbagai macam emosi, little butterfly. Gugup dan teritorial adalah contohnya. Betapa inginnya aku menyimpan pemandangan ini untukku saja.”
“Casanova,” kekeh Rhea. Ia berjinjit, menggapai sudut bibir Lucien dengan bibirnya.
“Kalau malam ini berjalan lancar, aku akan memberikan pemandangan yang hanya bisa dinikmati olehmu saja.”
“Kupegang janjimu, silly girl.”
Rhea naik ke atas podium untuk memberikan sambutan—mengingat ialah tamu kehormatan malam ini karena pencapaiannya berhasil membujuk salah satu keluarga di wilayah timur untuk bergabung dengannya. Sementara Lucien berbaur di antara para tamu dengan topeng phantom yang menyembunyikan identitasnya. Misi mereka malam ini adalah menangkap pembunuh yang menargetkan seorang wanita yang memimpin keluarganya sendiri. Seperti Rhea. Lucien menduga bahwa kemungkinan besar, pelakunya juga merencakan pembunuhan orangtua Rhea.
“Ini masalahku, Lucien. Kau bisa urus yang lain,” tolak Rhea ketika Lucien memaparkan rencananya untuk memancing si pembunuh.
“Masalahmu adalah masalahku juga, little butterfly. Apapun yang mengganggumu akan menggangguku juga. Yang menyakitimu atau bahkan berniat demikian, harus berhadapan denganku lebih dulu,” tegas Lucien malam itu.
Tidak akan menang berdebat dengan Lucien yang telah membulatkan keputusan, Rhea terpaksa menurut. Maka dengan itu, langkah pertama dari misi mereka dijalankan. Yaitu memastikan bahwa sebagian besar penghuni ‘dunia bawah’ percaya bahwa mereka telah berpisah.
“Pembunuhnya merasa berada di atas angin ketika targetnya seorang diri, tanpa pendamping,” ulas Lucien menyeringai tipis. “Tidak peduli ideologi macam apa yang tertanam di kepalanya, ambisinya menunjukkan seberapa dangkal ia.”
Alis Rhea terangkat. “Kalau begitu, kau sudah tahu siapa pelakunya?”
Tangan Lucien terjulur, menepuk-nepuk lembut puncak kepala Rhea. “Akan lebih baik jika kita meringkusnya ketika ia akan beraksi.”
“Kalau begitu, biar aku yang menjadi umpan,” Rhea mencebik. “Kalau kau lebih suka bermain teka-teki, maka biarkan jawabannya datang padaku.”
Lucien telah memerintah Pete untuk berjaga di gedung tepat sebelah aula, memberi pria muda itu akses untuk mengawasi seluruh gedung—bahkan bagian taman dan atap. Karena langkah kedua adalah membiarkan Rhea berkelana seorang diri hingga pelaku mendatangi.
Rhea baru saja turun dari podium diiringi dengan gumaman kagum dari pada audiens, menyempatkan diri mengambil segelas sampanye lalu meninggalkan aula yang ramai. Ia tak pernah bisa merasa aman di tengah kerumunan, lebih suka menyendiri di kebun samping aula—Julian telah memperhitungkan hal ini.
Diam-diam menghubungkan pandangan dengan Pete yang telah berada di balkon gedung sebelah, Rhea mendengar gemeresak rumput terinjak pertanda seseorang mendekatinya. Ia menjaga raut muka sedatar mungkin kala bertemu dengan sosok pria yang telah berkuasa di dunia bawah selama belasan tahun lamanya.
“Butuh udara segar juga, kutebak?” tanya Rhea sopan.
Darius terkekeh rendah, menyesap gelas berisi martini. “Keramaian tak pernah baik untuk pria sepertiku, Nona Crawford.”
Rhea menggelengkan kepala, mengulas senyum ramah. “Rhea saja sudah cukup, Paman Darius. Ayahku banyak bercerita tentangmu, kalian sudah berteman selama lima belas tahun?”
Darius mengangguk. Matanya menerawang penuh nostalgia. Tanpa menunggu izin, pria berkepala lima itu duduk di samping Rhea. “Sejak pertama kali aku membantu ayahmu membangun kerajaan yang megah ini. Tidak bisa kupercaya, Stefan akhirnya memberikan kerajaannya padamu,.”
Rhea menaruh gelas dengan hati-hati. Ia tahu baik Lucien maupun Pete masih mengawasi gerak-geriknya, ia cukup memberi sinyal jika merasa bahaya mengancam. Namun, ia masih ingin tahu lebih banyak tentang motif si pembunuh.
“Apakah itu hal yang buruk?” tanya Rhea sangsi. “Kurasa aku cukup baik meneruskan usaha Ayah.”
Darius tergelak. “Percayalah padaku. Kau menirunya dengan sangat baik. Semua yang pernah ia ajarkan padaku, tampaknya ia juga memberikannya padamu.”
“Apa kau kesal karena aku yang mengambil alih posisi ayah dan bukannya dirimu?” Rhea bertanya lagi. Kali ini lebih gamblang dari sebelumnya. “Atau kau hanya jengkel karena merasa tidak ada wanita yang pantas berkecimpung di dunia bawah ini?”
Rhea terkesiap kala Darius menatapnya dari tepi gelas. Pandangan ramahnya tergantikan dengan kilat tajam yang berbahaya. Ia tak merasa terintimidasi, aura Darius tidak seberapa dibandingkan apa yang harus ia hadapi dengan berdiri di sisi Ares. Namun, Rhea juga takkan bersikap ceroboh dengan meremehkan gerak-gerik Darius. Seperti yang pria itu katakan, ayahnya turut memberikan ilmu yang sama pada mereka.
Ekor matanya menangkap pergerakan di balkon aula. Rhea menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga, tahu bahwa dua penjaganya sudah tak sabar untuk segera meringkus si pelaku.
“Hampir seluruh wanita yang kukenal tidak memiliki kapabilitas untuk menyusun strategi dan mengontrol bawahannya, Rhea,” ujar Darius dengan nada pelan. “Kau tanpa Ares bukanlah tandinganku. Kudengar kalian sudah berpisah?”
“Tidak baik memercayai rumor mentah-mentah, Darius.” Suara bariton dengan nada lembut menimpali, berdiri di belakang Rhea dengan salah satu lengan merangkul pinggang sang hawa. “Rumor tidak berlandaskan dengan fakta. Kau tidak bisa memercayainya semudah itu.”
“Lucien,” Darius mengangguk sekali, menyeringai tipis. “Tidak ada asap kalau tidak ada api.”
Lucien turut mengulas seringai yang sama. “Percayalah, ia telah mengikatku seumur hidup. Tidak ada yang bisa merenggutnya dariku.”
Darius mengangkat gelas martininya. “Sudah sepatutnya begitu. Permata berharga takkan muncul di pintumu dua kali.”
“Aku setuju denganmu.” Kali ini Lucien memamerkan senyumnya sebagai seorang Ares. Senyum yang terulas kala ia berhasil menjebak targetnya. Senyum yang menandakan kemenangan mutlak untuk mereka dan kekalahan pedih bagi lawan.
“Karena itu, aku ingin tahu lebih banyak tentang rencanamu untuk membunuh Rhea. Apa kau benar-benar ingin menguasai seluruh wilayah yang berada di bawah Crawford hingga menyingkirkan seluruh anggota keluarga yang berhubungan jauh dengan Crawford, bahkan sengaja menargetkan para wanita untuk memperingati Rhea?”
Mata Darius terbelalak. Gelas martini yang berada dalam genggaman kini hancur membentur tanah. Darius berusaha mengatur raut mukanya hingga kembali netral, tapi tangannya yang bergetar hebat tak bisa menipu siapapun.
“Tidak heran mereka memanggilmu Ares.”
“Oh, kau belum melihat seorang Ares, Darius,” kekeh Lucien. “Kau akan bertemu dengannya beberapa jam lagi.”
Hanya itu peringatan yang diberikan Lucien sebelum jarum berisi obat bius yang ditembakkan Pete mengenai sisi leher Darius.
***
Lolongan sakit memecah kekosongan ruang bawah tanah mansion keluarga Crawford, disusul dengan suara khas tulang yang patah. Mengisi salah satu ruang khususnya, Rhea, Lucien dan Darius.
“Katakan sejujurnya, Darius.” Ketenangan dalam suaranya tak mampu menutupi amarah yang bergejolak pada pria yang dirantai di dinding. Sebelum Darius, anggota keluarga Tharwe sudah pernah mendekam di ruangan ini selama seminggu hingga akhirnya pria itu menyerah. “Kenapa kau membunuh ayahku? Bagian yang diberikan ayahku tidak cukup untukmu?”
Darius meludahkan darah dalam mulutnya. Napas pria itu mulai berat. Keringat membasahi kening dan leher akibat rasa sakit yang ditahan. “Pikirmu aku akan mengaku semudah itu?”
“Kalau begitu aku tak punya pilihan lain.” Rhea mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Mungkin kau tidak tahu, Darius, tapi aku sudah mempelajari banyak bentuk penyiksaan yang dipraktekan di zaman dahulu.”
Rhea menggoreskan pisau pada sisi kaki Darius, dengan perlahan memisahkan kulit terluar sang pria dari daging kemerahan. Jeritan dan teriakan sakit Darius menggema di ruangan bawah tanah yang tidak luas, memaksa Rhea untuk menoleh dari balik bahunya untuk beradu tatap dengan Lucien yang sedari tadi menonton dalam diam.
“Lucien, sedikit bantuan di sini.”
Lucien bangkit dari tempatnya duduk, meraih seutas tali dari salah satu meja. “Sebuah kehormatan bagiku, little butterfly.”
Darius memandang Rhea dan Lucien seolah mereka yang gila di dalam ruangan itu. “Gila! Kalian berdua sakit jiwa!”
Lucien terkekeh kecil, menempelkan bibirnya pada pelipis Rhea. “Kau ingin menyaksikan bagaimana Ares beraksi, kan? Biar kutunjukkan metodenya melalui Rhea. Seperti yang kau tahu, ia adalah Hecate-ku. Mengusiknya sama saja menjamin malapetaka bagimu.”
Sebelum kembali ke tempat duduknya, Lucien berceletuk. “Little butterlfy, perebusan akan membuat kulitnya lebih lembut dan lebih mudah dicungkil.” Netra keunguan Lucien berkilat memandang Darius. “Selamat datang di nerakamu, Darius. Balasan yang setimpal karena berencana untuk melukai Hecate-ku.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top