#LuciRhe
Bulan Desember telah tiba. Suhu yang menurun dengan drastis juga kian semaraknya lagu-lagu bertema natal yang diputar di berbagai tempat menunjukkan kalau Natal akan segera datang. Ada tradisi menarik yang berkaitan dengan kehadiran natal, sesuatu yang berkaitan dengan tumbuhan yang selalu digunakan oleh beberapa remaja sebagai kesempatan untuk menyatakan perasaan. Mistletoe.
Anggota kelas atas dalam kultur Celtic kuno berpendapat bahwa mistletoe menggambarkan romansa, fertilitas dan vitalitas. Mistletoe dihargai dalam Celtic kuno karena manfaatnya dalam kesehatan sampai akhirnya masyarakat mulai menggunakan mistletoe sebagai hiasan saat natal.
Entah siapa yang memulai tradisi bahwa seorang wanita harus menerima ciuman dari seorang pria ketika mereka terperangkap di bawah mistletoe, tapi hampir tidak ada yang menolak mengingat takhayul tentang seorang wanita melakukannya akan mendapat nasib buruk dan tidak memiliki pasangan hingga natal selanjutnya tiba.
Rhea tak terlalu percaya dengan takhayul, merasa tak ada hubungannya antara nasib buruk dengan menolak ciuman seorang pria. Yang ia percayai adalah banyak remaja yang menggunakan mitos ini untuk mendapatkan pasangan, menjebak seorang gadis di bawah mistletoe untuk mengungkap rasa. Mirip seperti hari Valentine, tapi alih-alih cokelat yang diberikan adalah ciuman.
Maka dari itu, Rhea terkejut ketika baru saja kembali dari kantor penerbit, ia menemukan beberapa mistletoe menggantung di dinding.
“Selamat datang.” Lucien muncul dari balik dapur, mengenakan sweater berwarna krim dengan celana panjang santai berwarna abu-abu. “Cokelat hangat atau teh?”
Rhea menggantung syal dan mantelnya di dekat pintu, mengganti sepatu haknya dengan sendal rumah. “Cokelat hangat dengan marshmallow.”
“Tunggu sebentar ya.” Lucien membubuhi keningnya dengan ciuman singkat lalu menuntunnya ke dapur. “Airnya sebentar lagi mendidih.”
Mengabaikan Lucien yang sibuk di dapur, ia mengamati kediaman mereka dengan tatapan menelisik. Sejauh ini, ia telah menemukan tiga mistletoe. Di depan pintu dapur, di kusen jendela tempatnya biasa bersantai sembari memandangi taman belakang dan di atas pintu kamar. Bibirnya tertarik tanpa bisa ditahan.
“Kau tahu,” gurau Rhea. “Kau bisa langsung memintanya jika ingin. Tak perlu menggantung mistletoe.”
“Beberapa staff menggantungnya di laboratorium pagi ini,” sahut Lucien tanpa menoleh. “Kupikir lebih baik menggantungnya di rumah.”
“Begitukah?” alisnya terangkat tinggi. “Kupikir banyak mahasiswa yang menggunakan kesempatan ini untuk mengungkapkan perasaan mereka pada gadis yang mereka sukai.”
Lucien datang membawa dua mug yang masih mengepulkan asap, menyerahkan mug berwarna biru pada Rhea. Ia menangkupkan tangan pada sisi mug, memenuhi paru-parunya dengan aroma cokelat yang menenangkan hati.
“Mengantisipasi jika kau datang ke laboratorium dan berpapasan dengan mahasiswaku,” celetuk Lucien pelan sembari menyesap tehnya.
Butuh beberapa menit baginya untuk mencerna maksud di balik ucapan Lucien. Sudut bibir Rhea tertarik lebih dalam kala netra kecokelatannya mengunci iris keunguan sang suami. Diselimuti oleh aroma teh dan cokelat juga nyamannya ruang privasi, Rhea mampu melihat refleksi dirinya pada kacamata yang dikenakan sang suami.
“Mengeliminasi kemungkinan aku harus mencium pria lain, hm?” godanya tanpa menyembunyikan senyum.
Terbersit secercah hantaran hangat yang perlahan menyebar ke seluruh tubuhnya kala Lucien memandangnya sungguh-sungguh dari tepi kacamata. Binar lembut dalam matanya seketika menggelap. Tak ada kebohongan, hanya kejujuran.
“Aku tidak berbagi, little butterfly.”
Garis wajahnya melembut. Ia beranjak dari kursi dan menghampiri sang suami. Ia memperhatikan Lucien yang mendorong kursinya menjauh, memberi ruang baginya untuk duduk menyamping di pangkuan sang pria. Bibirnya menggapai sisi wajah Lucien, menjejaki pipi sang suami dengan kecupan kecil.
“Sekarang kau tahu bagaimana perasaanku kalau mahasiswimu mulai agresif,” kekeh Rhea sembari merebahkan kepala di bahu Lucien.
“Aku milikmu,” balas Lucien dengan nada berbisik, mengecup lamat kening Rhea. “Aku milikmu.”
Rhea mendesah nyaman dalam pelukan Lucien. Publik boleh memberinya titel sebagai saintis paling sukses, beberapa organisasi melabelinya dengan ilmuwan termuda, banyak mahasiswi di universitas yang mengagumi kecerdasannya dan tak sedikit orang yang mengincar Lucien sebab berpikir bahwa sang pria adalah salah satu orang paling berbahaya. Namun, bagi Rhea, Lucien tak lebih dari sekadar rumah. Lucien adalah tempatnya kembali.
Ia memainkan kerah sweater Lucien, memetakan kulit bahu sang pria yang terekspos dengan bibirnya. Tanpa mengangkat kepala, ia tahu bahwa Lucien tengah tersenyum. Remasan pelan pada pahanya juga tekanan ringan pada puncak kepalanya memberitahu isi hati sang pria.
“Bagaimana harimu?” tanya Lucien dengan suara rendah, enggan mengusik suasana intim dan damai yang menyelimuti.
“Ada beberapa koreksi di manuskripku. Rencananya mau kuperbaiki malam ini,” jawab name tanpa mendongak. Matanya perlahan terpejam. “Bagaimana denganmu?”
“Selain mengisi kelas pagi, aku menghabiskan seperempat hari dengan memilah tempat untuk menggantung mistletoe,” kekeh Lucien.
“Kau menggantung tiga mistletoe?” terkanya.
“Lima.” Lucien meraih mug biru di seberang meja, memberikannya pada Rhea. “Satu di ruang kerja dan satu lagi di kamar. Mungkin kita bisa menggunakan mistletoe di ruang kerja malam ini.”
Rhea mengangkat kepala dengan tidak rela, tapi tak sanggup melawan pesona menggiurkan cokelat panasnya. “Kan sudah kubilang, kau tidak perlu menggantung mistletoe untuk menciumku, Lucien.”
“Benarkah?” Lucien menangkup dagu Rhea, merebut mug dalam genggaman lalu diletakkan di atas meja dan terlupakan. “Jadi kalau kuminta sekarang, kau akan mengabulkannya?”
“Keinginanmu ada perintah untukku, Profesor,” senyumnya meniru sang suami.
Lucien tertawa rendah.
Rhea memejamkan mata kala punggung jemari Lucien membelai pipinya. Tangan yang sama kemudian beranjak menelusuri sisi wajahnya dan menangkup belakang kepalanya. Embusan napas hangat menerpanya dengan lembut. Samar-samar tercium aroma earl grey yang semakin pekat. Ia menyurukkan kepala kala hidungnya bersentuhan dengan puncak hidung Lucien. Detik selanjutnya, bibir hangat menyapa bibirnya.
Sesaat, dunia seolah berhenti berputar menyisakan mereka yang tenggelam dalam presensi satu sama lain. Tangan Lucien menyusup ke balik kemejanya, mengusap kulit punggungnya dengan gerakan lembut. Sementara jari-jarinya terselip di antara helaian jelaga sang suami, membiarkan kuku jarinya menggores kulit tengkuk Lucien.
Hanya ketika napas mulai tersengal dan kepala terasa ringan, barulah Lucien melepaskan tautan bibir mereka. Alih-alih menarik diri, Rhea tertawa geli kala bibir Lucien menggelitik leher dan bahunya.
“Sekarang, setelah aku menciummu. Aku tidak ingin berhenti,” erang Lucien.
Rhea mencondongkan tubuhnya kala Lucien menjauhkan diri, menempelkan bibirnya selama beberapa detik pada kening sang pria. “Siapa yang memintamu berhenti, Profesor? Kita harus memanfaatkan seluruh mistletoe di rumah ini dengan baik, bukankah begitu?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top