Penyelesaian satu masalah.

Kala itu di salah satu rumah sakit Jakarta sedang lenggang, sebelum dua mobil ambulance datang. Beberapa suster datang dengan lari kecil, membuka pintu mobil ambulance dengan cepat. Beberapa suster yang sudah ada di dalam menodorong brangkar dan segera berlari di lorong-lorong rumah sakit.

"Panggil Dokter Ana dan Dokter Maryam di bilik spesialis anak, untuk datang ke IGD. Serta Dokter Rama di ruangannya." Kata salah satu suter menyuruh dua temannya yang segera di jawab anggukan dan berlari kedua arah yang berbeda. Satu ke bangsal anak dan satu ke ruangan khusus dokter.

Beberapa suster itu terus berlari kecil menuju IGD. Dan beberapa warga untuk menjadi saksi kala nanti polisi datang meminta jawaban.

.

Dua Dokter muda yang baru saja dari bangsal anak terlihat berjalan terburu-buru di lorong-lorong rumah sakit. Keduanya bertanya tentang apa yang terjadi, dengan suster yang baru saja memanggil mereka.

"Terjadi kecelekaan tabrakan antara truck dan mobil. Yang mengenderai truck di duga sedang mabuk, sedangkan di dalam mobil ada tiga orang. Dua di antaranya ada di IGD bilik P1*1, dan satu di bilik P2*2. Yang ada di bilik P1 dua wanita yang sedang mengandung. Sedangkan bilik p2 sudah di tangani dokter Rama."

Keduanya mengangguk paham.

"Apa kedua pasien mengeluarkan banyak darah?"

"Sepertinya iya. Suster Mila tadi siang ke PMI untuk meminta darah yang sedang kosong, mungkin sebentar lagi dia akan tiba."

Kedua dokter itu kembali mengangguk. Puas akan jawaban yang baru saja di terimanya. Sepertinya kali ini mereka berdua akan melakukan operasi caesar.

Setelah sampai di IGD kedua dokter itu segera berjalan ke dua pasien yang sedang tidak sadarkan diri.

"Bagaimana keadanya?" Tanya salah satu dokter di ruangan IGD.

"Dok, korban kekurangan banyak darah. Tensi darahnya juga melemah." Seru salah satu suster.

"Segeralah mengambil darah di—"

"Darah sang pasien AB Dok, dan AB sedang kosong." Seru salah satu suster sedikit panic.

Sang dokter terdiam sejenak. "Segeralah telpon suster Mila menyuruhnya untuk segera datang. Kita tidak punya banyak waktu, jangan panic. Kita harus tenang. Siapkan peralatan ceasar sekarang!" seru sang Dokter mutlak.

.

Perlahan-lahan kedua kelopak mata yang awalnya terpejam terbuka, menampakan obisidan yang mirip kucing menunjukan aksestensinya. Kepalanya menoleh kekanan dan kiri, berusaha mencari tau dia sedang ada di mana. Bau obat-obatan yang khas seakan menjawab pertanyaan yang tidak dia lontarkan.

Dengan perlahan-lahan, pemuda yang masih duduk di bangku SMA kelas 1 mengubah posisinya menjadi duduk. Kepalanya berdenyut-denyut liar, pandangannya sedikit memburam. Sekuat tenaga dia berusaha menormalkan pandangannya dan mengingat apa yang terjadi.

Beberapa detik berlalu sebelum matanya terbelalak ngeri. Spontan pemuda itu berdiri dari duduknya, berjalan tergesa kearah pintu tanpa alas kaki.

Sebelum Kalva berhasil memegang handle pintu, pintu yang berwarna putih itu sudah terbuka dari luar. Seorang suster yang terlihat sedang membawa –entah apa, Kalva tidak tau.

"Oh, kamusudah sadar?" Tanya sang suster yang jelas terlihat shock.

"Dimana dua orang hamil yang satu mobil dengan saya?" Tanya Kalva tanpa berbasa-basi. Tidak tepat waktunya untuk berbasa-basi, apalagi untuk menjawab pertanyan sang suster yang sudah jelas jawabannya.

"Pasien yang bernama Asyia, ada di ruang perawatan VIP nomor 143, sedangkan pasien yang satunya masih di UGD. Dia kekurangan banyak darah."

Hati Kalva mencelos mendengar penuturan sang suster. Sepupunya ada di UGD. Entah apa yang harus dia katakan untuk om dan tantenya nanti.

"Kedua anak kembar yang ada di UGD semuanya selamat." Perkataan sang suster mengembalikan kesadaran Kalva.

"Kem-Kembar?" tanyanya tidak percaya.

Sang suster mengangguk.

"Anak kak Syia. Dia...?"

Sang suster memasang senyum prihatin. Senyuman yang menurut Kalva menyebalkan untuk saat ini. "Anak pasien Asyia tidak bisa di selamatkan."

Seakan ada palu yang menggetok kepalanya keras, pusing yang tadi sudah sedikit hilang kini hadir dengan serangan yang jauh lebih menyakitkan.

"Anda yakin?" tanyanya mencoba menyakinkan dirinya sendiri kalau apa yang dia dengar itu salah. Tapi melihat anggukan dari sang suster bagaikan peluru yang menghunus kepala pemuda itu, membuat rasa sakitnya berlipat ganda.

Tanpa banyak bertanya, Kalva pergi dari ruangan yang tadi dia tempati, mengabaikan panggilan suster tentang kesehatannya yang belum sempurna. Pemuda itu terus berjalan dengan tertatih.

Langkahnya terhenti sejenak untuk bertanya pada suster di mana kamar VIP 143.

.

Setibanya di kamar tempat tujuannya, langkahnya terhenti mendengar isakan dari Asyia yang seakan menyayat hati. Matanya terpejam dan butiran Kristal jatuh dari kedua matanya.

Ini semua salahnya. Seandainya saja dia bisa mengemudi mobil dengan hati-hati, seandainya saja dia hanya focus menyetir, ini semua tidak akan terjadi. Asyia tidak akan kehilangan bayinya, dan Airin tidak akan ada UGD. Ini semua salahnya.

Tubuhnya merosot di samping pintu kamar Asyia, kedua lututnya tertekuk dengan tangan memeluk kedua kakinya, kepalanya tenggelam di antara paha. Isakan kecil terdengar dari bibirnya.

Ini semua salahnya, salahnya. Dia tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seharusnya bulan depan Asyia melahirkan bayinya, bayi yang sudah sangat di tunggu wanita itu. Seharusnya bulan depan dia bisa mendengar rengekan bayi Asyia meminta susu. Seharusnya. Tapi kini, semua itu hanya tinggal kenangan, anak Asyia tidak bisa di kembalikan. Seandainya saja waktu bisa di putar, dia tidak akan menerima permintaan Airin untuk pergi beli rujak. Kalaupun dia menerima, dia akan pergi sendiri. Dan semua ini tidak akan terjadi. Ini semua salahnya. SALAHNYA.

Pintu berwarna coktlat yang tadi tertutup kini sedikit terbuka, menampilkan pria berusia 25-tahunan berdiri menjulang di sana.

Kepalanya menoleh, menatap Kalva yang sedang terisak dengan gumaman kecil. "Ini semua salahku. Bodoh, bodoh. Semuanya salahku. Semuanya salahku. Salahku. Salahku." Terus berulang-ulang. Seakan sedang mengutuk.

Pria itu menghela nafas berat. Kalau boleh jujur, dia sedikit kesal dengan pemuda yang terlihat mengenaskan itu, karena pemuda itu, dia kehilangan sang anak yang sudah sangat di nantinya. Karena pemuda itu dia kehilangan janin yang amat di sayanginya. Tapi mendengar perkataan Kalva yang menyalahkan dirinya sendiri. Dia tau, kalau bukan Kalva yang bersalah, Kalva hanya perantara.

Pria itu ikut duduk di samping Kalva, menepuk pundak adik sahabatnya, mencoba meminta perhatian.

Kalva menoleh, menatap pria yang sudah dia kenal sedang berjongkok di sampingnya dengan pandangan sayu.

"Maaf," kata Kalva dengan suara serak, kepalanya kembali bersembunyi di belahan kakinya.

Pria itu tersenyum tipis. Berusaha menyembunyikan kepedihan hatinya. "It's ok. Itu bukan salah kamu kok. Sudah takdir." Jawabnya mencoba tegar.

Kalva menggeleng pelan. Masih menyembunyikan wajahnya. "Ini semua salah aku. Kalau aku focus semua 'gak 'kan kayak gini. Kalau aku gak ngajak kak Asyia, dia gak mungkin kehilangan anaknya. Ini semua salahku. Maaf, maaf, maaf." Dia kembali meracau.

Pria itu hanya terdiam, berusaha menjernihkan pikirannya.

"Bukan salah kamu, Kalv. Lagian aku sama Asyia masih punya anak kembar kok. Kamu inget kan, kalau anak Airin akan jadi anakku? Asyia sendiri yang cerita. Mereka memang bukan anak kandungku dan Asyia, tapi bagi Asyia, mereka tetap anak Asyia."

Kalva hanya melirik pria di sampingnya dengan pandangan sayu. Benarkah? Benakah keputusannya? Benarkah yang dia ambil sekarang? Berpura-pura kalau anak Airin sudah meninggal?.

"Aku juga sudah bilang sama dokternya, untuk membalikkan fakta saat Airin nanti sadar. Kamu tenang aja. Kamu gak perlu cemasin apapun, Kalv. Semuanya akan baik-baik saja."

'Benarkah?' Batinnya kembali bertanya penuh keraguan. Benarkah Airin akan bik-baik saja? Benarkah Asyia baik-baik saja anaknya meninggal? Benarkah? Apa semuanya akan baik-baik saja? Siapa yang bisa menjamin?. Ingin rasanya Kalva memutahkan semua pemikirannya, tapi melihat wajah berantakan dan mata yang sayu hasrat kesedihan, pemuda itu mengurungkan niatnya untuk bertanya.

Mungkin benar, semuanya akan baik-baik saja. Mungkin benar, nanti Airin akan baik-baik saja. Mungkin benar. Dan yah dia harus percaya kalau semuanya akan baik-baik saja.

Tapi nyatanya, kata baik-baik saja sangat jauh dari apa yang di prediksi. Saat Airin sadar dari komanya satu minggu di UGD gadis itu kembali drop mengetahui kalau anaknya meninggal, bahkan gadis itu menyalahkan semua yang terjadi ke Kalva.

Sedangkan yang di salahkan hanya diam mendengar cercaan penuh kesedihan dari sang sepupu, memeluknya erat, berusaha menenangkan emosi sang sepupu yang meletup-letup.

Kata baik-baik saja benar sangat jauh dari kondisi Airin waktu itu. Wanita itu sering melamun dan menangis tanpa suara, menatap langit dengan pandangan sayu, kedua tangannya mengelus perutnya yang sudah datar.

Tidak hanya waktu di rumah sakit Kalva melihat pemandangan mengiriskan hati itu, nyatanya saat wanita itu sudah di ijinkan pulang, sifat Airin tetap seperti itu. Pendiam, menangis dalam diam dan mengelus perutnya.

Sempat Kalva berniat memberitau yang terjadi sebenarnya ke Airin, namun di urungkan. Apa yang nanti akan terjadi kalau kedua orang tua Airin tau anaknya sudah mempunyai anak di usia dini? Apa yang akan di terima Airin kalau masyarakat tau yang sebenarnya? Apakah mereka akan bersikap ramah atau menghujat?.

Dan pada akhirnya, Kalva mengurungkan niatnya untuk memberitau. Biarkan Airin seperti ini dulu, ini semua demi kebaikannya, demi masa depannya, demi tantenya dan demi kebaikan semua orang.

.

Suara tapak kaki yang bersahut-sahutan terdengar menggema di lorong ruimah sakit, serta suara roda brankar yang bergesekan dengan lantai kramik putih sudah menjadi hal lumrah untuk pendengaran sang penghuni rumah sakit.

Diantara kerumunan orang yang berlalu-lalang di koridor rumah sakit, ada salah satu wanita memang wajah ragu di setiap langkah yang dia ambil, sesekali kepalanya menoleh kebelakang, apa ia kembali saja? Membatalkan niatnya untuk mengecek sesuatu yang membuatnya frustasi beberapa hari belakangan ini.

Kakinya berhenti melangkah saat di persimpangan koridor, memilih kembali melanjutkan langkahnya yang sudah hampir sampai atau membatalkan niatnya. Helaan nafas kasar keluar dari bibirnya, dia merasa di persimpangan antara hidup dan mati. Pilihan yang sangat sulit seandainya saja ada yang membuatnya bersemangat untuk memilih salah satunya.

Tidak ada cara lain untuk mengecek kebenaran dari bukti yang sedang di genggam erat. Dia harus membuktikannya sendiri, melihatnya dengan kepala sendiri, setelah itu, dia akan memilih apa yang harus dia lakukan. Seharusnya seperti itu. Tapi keraguan dalam hatinya membuatnya bimbang. Bagaimana kalau Vano memang seperti apa yang di katakan Asyia dan suaminya, apa yang nanti akan dia lakukan? Memaafkan? Oh ayolah, dia bukan malaikat yang bisa berucap dengan gampang kata sacral itu. Dia juga bukan Cinderella atau bawang putih. Dia hanya wanita biasa yang bisa marah, dendam, kesal dan bahagia.

Tepukan di pundaknya menyentak Airin tentang kemelut di benaknya. Kepalanya menoleh, menatap wanita yang baru saja membuat jantungnya sedikit bekerja ekstra.

Wajah blesteran yang sudah dia kenali semakin membuat keraguan di dada Airin memuncak, di tambah tatapan datar serta dingin. Rasanya dia ingin lari dari sana dan tidak pernah berniat kembali lagi.

Namun saying, baru selangkah dia berniat pergi, pergelengan tangannya di genggam seseorang, tanpa menengok pun dia sudah tau siapa yang mencegat kepergiannya.

"Kamu datang ke sini mau jenguk Vano kan." Itu bukan pertanyaan, nyatanya nada yang di gunakan Deidara sama sekali tidak memakai tanda Tanya, seolah wanita itu menegaskan.

Airin menggeleng kepalanya kikuk. Bibirnya terasa kelu untuk berbicara sepatah kata, meski kata penolakan.

Tidak memperdulikan gelengan kepala Airin, Deidara segera menarik tangan Airin ke salah satu ruangan. Airin menggeleng, mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Deidara di pergelengan tangannya terlalu erat, bisa di katakan mencengkram, dan itu sedikit menyakitkan.

Dengan pasrah, Airin memasuki kamar serba putih yang sangat khas rumah sakit. Matanya menatap pria yang sedang tidur di atas brankar, tangan kanannya tertancap infus, wajah pucatnya terperangkap masker oksigen, bunyi diagram sedikit menggangu pendengar telinganya.

Tubuhnya kaku melihat pemandangan di depan matanya, orang yang dia kira baik-baik saja ternyata jauh dari kata itu.

Deidara berjalan mendekati brankar, duduk di kursi dan menggenggam tangan kiri Vano yang bebas dan mengelusnya dengan saying, senyum lirih terpatri di bibirnya.

"Mungkin kamu sudah mendengar tentang Vano dari suami dan sahabatmu, tapi gak masalahkan kalau aku juga ikut memberikan informasi selama Vano di Amsterdam." Lagi, perkataanya sama sekali tidak memakai tanda Tanya. Memaksa Airin untuk menderkan apa yang ingin dia ucapkan.

"Terdengar lucu saat aku dengar perkataanmu yang jelas-jelas menyakiti hatinya," kata Deidara melirik Airin tajam, yang di tatap hanya mampu berdiri gelisah. "entah kenapa Vano bisa suka sama orang yang sepertimu." Airin mengerutkan keningnya sebal mendengar perkataan Deidara barusan. Kata 'sepertimu' sangat menggangu, seolah dia itu mahluk paling menyebalkan di dunia ini.

"Waktu pertama kali aku melihat Vano di rumah om, aku pikir dia itu lelaki yang pendiam dan dingin. Tapi semakin hari aku terus melihatnya semakin terasa mengganjal. Dia sama sekali gak pernah berbicara sepatah katapun dengan siapapun, bahkan aku tidak pernah melihatnya ada di ruang makan setiap harinya. Dia seolah menghapus eksistensinya di dunia, dia lebih suka di kamar, berdiam diri, memandang langit dengan pandangan kosong.

"Sekalipun dia tidak berbicara, aku dan semua orang tau, dia sedang memndam sesuatu. Awalnya om Prapto berpikiran kalau Vano terguncang dengan perceraian kedua orang tuanya, jadi om Prapto berdiam diri, membiarkan Vano berpikir dan menyendiri sesuka hatinya.

"Tapi penyendirian Vano terus berlangsung, sampai prayaan tahun baru Vano tiba-tiba berteriak kencang, semua orang yang kaget hanya diam, memandang Vano dengan pandangan aneh. Gak cuman sekali Vano berteriak, dia terus berteriak dengan kencang terus menerus, lama-lama teriakannya berubah menjadi isakan yang memilukan. Di sana semua orang tau, kalau Vano bukan terguncang karena perceraian orang tuanya, tapi karena hal lain.

"Om Prapto selalu menyuruh psikiater handal kerumahnya untuk mencari tau penyebab anaknya murung yang sesekali berteriak histeris dan di ganti dengan tangisan memilukan.

"Entah berapa banyak psikiater yang datang ke rumah, tapi Vano tetap bungkam, dia tidak mau berbicara apapun. Sampai psikiater yang terakhir kembali menyerah dan menyuruh om Prapto membawa Vano ke rumah sakit jiwa, atau memberinya obat penenang.

"Om Prapto lebih memilih memberikan obat penang untuk Vano daripada melihat anaknya tersekap di rumah sakit jiwa. Setiap harinya Vano terus meminum obat penenang tanpa memikirkan dosis, bukan hanya obat penenang yang dia minum, tapi wine juga, setiap dia mabuk selalu memanggil nama Airin dan maaf secara rancu.

"Mungkin karena om Prapto penasaran, dia menyuruh seorang detektif untuk menyelidiki apa yang di lakukan anaknya waktu di Indonesia. Dan semuanya terbongkar.

"Merasa prihatin dengan kondisi Vano yang semakin hari semakin menjadi, om Prapto membiarkan Vano bebas jalan-jalan tapi selama Vano di luar, ada beberapa detective yang mengawasi pergerakannya, hanya untuk berjaga-jaga Vano melakukan hal nekat.

"Tapi semua itu sia-sia. Vano tetap murung dan pendiam, tidak pernah berbicara dengan siapapun, dia hanya berbicara kalau ada yang penting, hanya itu.

"Sampai akhirnya om Prapto nyerah, dan membebaskan Vano untuk kembali ke Indonesia, dia berharap Vano bisa seperti dulu lagi. Dia sangat berharap.

"Dan Vano datang ke sini, dia hanya ingin meminta maaf. Aku tau apa yang di lakukan Vano itu fatal, fatal banget malah. Tapi waktu itu dia dalam keadaan mabuk, dia tidak sadar diri. Bahkan anak ini dengan bodohnya menyalahkan dirinya sendiri, dan membuat hidupnya menderita.

"Dia hanya ingin kata maaf, apa itu sulit? Apa kamu perlu menyalahkannya seperti itu? Kejadian malam itu bukan keinginannya, itu murni karena dia mabuk. Dia datang ke sini dengan kata maaf yang sangat tulus. Apa itu terlalu muluk dan mahal untuk dia terima? Apa kamu harus menyiksa lebih dari ini?!"

Cercaan Deidara membuat tubuh Airin goyah, wanita itu terjatuh kelantai dengan kedua tangan menutup telinga, tidak ingin mendengarkan perkataan Deidara lebih jauh. Air matanya tumpah dengan deras.

"Cukup." Bisiknya lirih.

Deidara melirik Airin masih dengan tatapan tajam dan dingin, bibirnya terkatup rapat, menuruti apa yang di ingini wanita itu.

Kedua tangan yang awalnya berada di telinga kini membekap bibirnya sendiri, pikirannya kalut. Dia tidak tau kalau Vano seperti itu. Dia tidak tau, sungguh.

Dia pikir kalau Vano bersenang-senang atas apa yang sudah pria itu lakukan padanya, dia berpikir Vano pria brengsek yang hanya mengincar mahkotanya. Bukan salahnya kan dia berpikiran begitu? Dia berpikir begitu karena Vano pergi tiba-tiba tanpa ada kabar. Semua orang di dunia ini pasti akan berpikiran yang sama kalau ada di posisinya.

"Kenapa?" bisiknya lirih, bertanya entah pada siapa. Deidara hanya terdiam, tidak ingin menyahuti bisikan Airin. "Kenapa?" bisiknya lagi, penuh dengan penyesakan di dada.

"Airin," panggilan dengan nada lemah memecahkan kemelut di benak wanita itu.

Dengan mata penuh air mata, Airin mendongak, menatap Vano yang menatapnya dengan pandangan bertanya, dan sayu.

Tangis Airin semakin pecah melihat tatapan sayu pria itu. Bahunya terguncang hebat dengan isakan kecil yang berhasil lolos dari bibirnya.

Dia berpikir, kalau dia yang paling menderita, dia berpikir, kalau hanya dia yang tersiksa. Dia berpikir... dia sangat berpikir kalau Vano itu bajingan, pria yang hanya ingin merusak hidupnya. Siapa yang menyangka kalau pria itu juga menderita? Menderita akan penyesalan.

Deidara berdiri dari duduknya, merasa harus keluar untuk memberikan waktu bagi kedua orang itu sedikit bercengkrama. Tanpa berucap apapun, gadis itu pergi dari sana dan menutup pintunya sepelan mungkin.

Vano memandang punggung Deidara yang menjauh sebelum hilang di balik pintu rumah sakit, kedua retina matanya kembali menatap Airin yang masih terisak. Dia ingin bangkit dari brankar, memeluk wanita yang masih di cintainya dan menenangkan. Meski dia tidak tau kenapa Airin bisa ada di ruangan serta tangis wanita itu yang pecah. Namun seluruh tubuhnya yang terasa kaku membatalkan keinginannya tadi.

Airin terus terisak, berharap rasa sesak yang ada di hatinya hilang, beberapa menit ruangan serba putih itu hanya diisi dengan isakan kecil dari bibir Airin, sebelum wanita itu menghentikan tangisannya susah payah. Menangis pun percuma.

Wanita itu menghela nafas berat berkali-kali untuk meredakan isakan yang masih lolos dari bibirnya. Merasa sudah tenang dan rasa menyesakkan di dadanya sedikit menghilang. Wanita itu mendongak, menatap Vano yang sejak tadi terus menatapnya dengan pandangan tak terbaca.

Berdiri dari duduknya di lantai, berjalan pelan kearah Vano dan duduk di kursi yang tadi di duduki Deidara, kepalanya tertunduk dalam, seolah ada beban berat yang membuatnya kesulitan untuk mendongak, dan beban berat itu rasa bersalah karena sudah menuduh macam-macam.

Dengan pelan, Vano mendongakkan dagu Airin dan mengusap air mata di pipi wanita itu. Mengusapnya penuh prasaan sayang. Senyuman lembut terpatri indah di bibir Vano. Senyuman yang sudah lama sekali tidak hadir di bibirnya.

"Hei. Gak baik loh nangis terus kayak tadi. Nanti mukamu bengkak kayak panda."

Airin hanya menarik kedua sudut bibirnya tipis.

"Apa yang kamu tangisi?" tanyanya lembut, mengabaikan denyutan liar di kepalanya yang semakin menjadi.

Airin bungkam, bibir bawahnya di gigit keras, matanya menatap Vano yang sedang memang senyuman lembut. Senyuman yang dulu ia sukai.

"Nangisi orang bodoh yang sedang sakit."

Kekehan geli meluncur dari bibir pria itu. Tangannya mengacak surai hitam Airin lembut.

"Kamu jauh lebih bodoh, mau-maunya nangisi orang yang udah jelas-jelas bodoh."

"Entahlah. Mungkin virusnya menyebar dengan cepat."

Cubitan gemes di layangkan Vano di pipi Airin, sang empu hanya tersenyum manis.

Tidak ada kata maaf dan memaafkan, karena sejak awal memang tidak ada yang perlu maaf dan memaafkan. Kesalahannya memang sangat fatal, tapi untuk Airin tidak ada yang perlu di maaf dan maafkan, semuanya sudah terjadi, yang penting sekarang, harus memulai lembaran baru. Sedikit menyesakkan dan menyakitkan, tapi tidak ada yang bisa di lakukan selain kembali melanjutkan hidup.

Hidup akan sia-sia apabila hanya di isi dengan penyesalan dan tangisan. Bangkit dengan semua keburukan adalah pilihan terbaik.

Tak apa kalau ada yang mengejekmu, tak apa kalau ada yang mengejekmu. Bangkitlah, berlarilah, tinggalkan semua kenangan pahit di belakangmu. Bukan untuk di hapus, tapi untuk di kenang. Kenangan yang buruk dan menyakitkan, jangan pernah menyerah untuk berdiri, saat kakimu lelah untuk berlari, berjalanlah, saat kakimu mati rasa untuk berjalan, duduklah, merangkaklah. Jangan pernah berhenti di tempat yang membuatmu down.

Mungkin kenangan itu akan membuat kita menangis saat kita mengangingatnya, tapi suatu saat, kamu akan tersenyum melihat kenangan pahit itu. Meski hatimu bertalu-talu menyakitkan. Setidaknya, kamu tidak menyerah akan hidupmu.

.

Dengan pelan Airin menutup rumah sakit dengan desahan lega. Sesuatu yang menghimpitnya sejak dulu seakan terngkat.

Tubuhnya berbalik, ingin melangkah menjauh, namun melihat Deidara yang duduk di kursi tunggu membatlkan niatnya. Wanita berjalan kearah Deidara, duduk di samping gadi itu dengan senyuman manis, senyuman persahabatan. Deidara hanya membalas senyuman tipis.

"Terimakasih."

Deidara menggeleng. "Bukan hal yang patut di beri ucapan makasih. Aku hanya gak ingin ngeliat Vano terus terpuruk karena kesalahannya."

Airin menganggukkan kepalanya singkat. "Iya, tapi karena kamu juga, aku bisa sedikit bernafas lega."

Deidara hanya tersenyum geli. Mungkin karena sifpolos dan apa adanya yang menjerat sang sepupu dalam pesona wanita di sampingnya.

"Oh iya, apa kamu benar psikiater Vano?"

Deidara mengerutkan keningnya tidak mengerti. Psikiater? Sejak kapan dia jadi psikiater?.

Melihat raut kebingungan Deidara, Airin berani menampilkan satu keismpulan. Kalau Asyia kemaren salah menyampaikan berita. Ah wanita itu benar-benar...

"Aku sepupunya, bukan psikiater."

"Eh?"

Deidara mendengus geli. Sedangkan Airin berniat mencincang tubuh Asyia kalau ketemu nanti. Dalam benaknya sudah terekam jelas apa saja yang akan dia lakukan untuk membuat wanita itu menderita.

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Bulu kuduk Asyia meremang. Hatinya berdentum tidak karuan.

Gimana? gak kan telat kali ini? tepuk tangan dong buat idenya yang lancar. #kecupotakyangsedangconnect.

akhirnya masalah antara Airin dan Vano selsesai juga. tinggal dua masalah yang belum selesai. #tepar. mungkin cerita ini hanya tinggal hitungan part sebelum selsai. muehehehe. #ketawabahagia. 

tapi moga aja cepet endingnya. jadi aku bisa menggarap cerita lain yang terbengkalai. #ditabokreaders. 

nah adakah yang bingung dengan kata miring itu? kalau ada, aku kasih tau. itu adalah masalalu Airin pasca kecelakaan. 

finally. thank you for all yang udah rela aku PHP-in. #dirajammasa #ampunNyaakk, yang udah rela nunggu berbulan-bulan sampe lumputan. #taboked. yang udah rela neror BBMku untuk update-an cerita ini. #liriksalahsatureaders. and then se you next chpat again guys. *kiis bye jauh*


NB


*1 Bilik prioritas 1 adalah tempat yang tepat untuk menangani pasien dalam kondisi emergensi. Peralatan resusitasi, obat-obatan emergensi, peralatan monitor pasien dan peralatan pemeriksaan penunjang disediakan secara maksimal di tempat ini. Tersedianya tim resusitasi yang hadal dalam menjalankan organisasi resusitasi akan menjamin proses resusitasi dilakukan secara maksimal

*2 Bilik prioritas 2 disediakan untuk pasien urgen (gawat tidak darurat), peralatan monitor pasien disediakan dibilik P2 agar perkembangan pasien bisa tetap dimonitor perkembanganya. Kebutuhan obat-obatan bisa disediakan di troley emergency .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #brokenheart