Chapter 8
"Wakanda bakal tidur di apartemen kita? Beneran? Kalau bercanda, nggak apa-apa, aku udah maafin." Adel menoleh sekali lagi, memastikan jika Bintang sudah tertidur di jok belakang. Anak itu kelelahan bermain layangan sepanjang siang tadi. Membuat Rasyid tidak kembali ke kantornya, melainkan langsung mengantar mereka pulang.
"Iya. Mumpung besok libur juga."
Tapi itu ide yang buruk. Buruk sekali. "Kenapa nggak dititip di rumah Bunda?"
"Bunda nemenin Ayah ke Malaysia."
Ah, Adel lupa. "Tapi kamu tahu sendiri. Aku nggak betah sama anak kecil."
Rasyid menoleh. "Kan ada aku. Bintang mudah dihandle kok."
Karena Rasyid sudah bilang begitu, Adel tak bisa protes lagi. Dia percaya lelaki itu bisa mengatasi banyak hal.
Terlihat bagaimana Rasyid begitu terampil menggendong Bintang. Membawanya keluar dari mobil tanpa membuat anak itu terbangun. Sementara Adel membawakan ranselnya. Mengikuti suaminya yang melangkah lebar-lebar.
Setelah menidurkan Bintang di kamar mereka, Rasyid segera keluar. "Aku mesti ke rumah sakit."
"Kenapa? Kiara memburuk kondisinya?" Atau emaknya yang udah kangen ngebet pengin cepet-cepet lihat Rasyid?
Rasyid tersenyum. "Mau jemput. Dia boleh pulang sore ini."
"Oh. Oke. Kirain apa." Adel berlalu ke dapur. Mengambil air putih.
"Kamu mau dibeliin sesuatu nanti?"
Gerakan Adel mengambil gelas terhenti. Tanpa menoleh. Dijawab tanpa pikir panjang. "Nggak usah."
Rasyid segera paham. "Sebelum jam tujuh, aku udah pulang."
Ya terus apa?
"Oke."
Meski tetap merasa janggal dengan sikap Adel, Rasyid berbalik. Melangkah ke pintu.
***
"Tante, laper."
Adel menyingkirkan macbook. Berdiri menghampiri Bintang yang mengucek mata di ambang pintu kamar. Mari kita lihat, di kulkas apa yang bisa dimakan.
"Bintang mau buah?" Hanya itu yang bisa Adel tawarkan.
Bintang mengekori Adel, menggeleng. "Nasi."
"Tunggu Om Rasyid deh ya. Kayaknya bawa makanan nanti."
Bintang menggelayut di kaki Adel dan mendongak. "Om Rasyid jam berapa pulangnya?"
Nah, itu masalahnya. Sekarang sudah lewat jam delapan. Mana tadi yang katanya pulang sebelum jam tujuh?
"Tante coba telepon ya." Adel mengambil ponsel. Kali ini, dengan menggunakan Bintang sebagai alasan, dia akhirnya menelepon Rasyid. Padahal semenjak mereka menikah, Adel hampir tidak pernah menelepon suaminya.
Namun, tidak aktif. Adel beralih ke aplikasi ojol. Mencari makanan yang cocok untuk perut anak kecil. Kalau dia, bisa makan apa saja asal enak.
Melihat Bintang yang masih mengenakan seragam, membuat Adel berinisiatif mencarikan baju ganti. Membuka lemari lebar-lebar. Tidak mungkin memberi Bintang baju miliknya. Jadi dia mencari di tumpukan baju Rasyid. Mengambil sembarang kaus yang kira-kira tidak kebesaran untuk Bintang.
Tapi tetap saja kebesaran. Kaus yang dipakai Bintang cukup membuat lututnya tenggelam. Anaknya senang-senang saja, tidak protes. Jadi ya sudah.
Tak lama setelahnya, pesanan Adel datang. Dua kotak nasi ayam. Rasyid? Halah, paling sudah makan malam dengan mantan tersayang. Adel tak perlu mencemaskan apa-apa.
Saat menoleh ke balkon, tampak kilat yang memedihkan mata. Hujan akan turun sebentar lagi. Rasyid sebenarnya pulang jam berapa? Kalau tadi lelaki itu bilang akan pulang larut, tak masalah. Adel bisa memahami.
Hubungan mereka memang seperti ini, 'kan? Terikat tapi bebas. Adel menerima Rasyid yang mencintai perempuan lain. Sementara Rasyid mau menerima kekurangan Adel. Tidak menghakimi macam-macam. Tidak memaksa Adel untuk berubah. Mama bahkan kalah sabar dengan Rasyid.
Tunggu, sepertinya Adel salah paham. Lelaki itu bukannya menerima semua kekurangan Adel. Tapi lebih karena lelaki itu tidak peduli. Toh, Adel yang begini dan begitu, tidak akan berpengaruh apa-apa di hidup lelaki itu. Tentunya selain membuat kesal.
Ya, sebatas itu. Jadi mari beri garis nyata dalam bentuk pemahaman yang sama. Rasyid bukan bermaksud menerima Adel apa adanya. Tapi mereka memang tidak akan bersama untuk selamanya.
Ini ... ini hanya sementara. Sebisa mungkin Adel tidak akan lengah. Karena hari itu akan tiba. Hari di mana dia melihat Rasyid memperjuangkan Salma dan Kiara.
Lalu bagaimana dengan kesepakatan yang diucapkan Rasyid sebelum mereka menikah? Percayalah, orang mudah berubah. Begitu juga dengan Rasyid.
***
Masih terlalu pagi saat Adel terbangun. Menyingkirkan tangan Bintang yang memeluk perutnya. Melihat kasur yang biasanya ditempati Rasyid masih kosong. Jadi, lelaki itu sungguhan tidak pulang semalam?
Ah, bodo, bodo amatlah. Adel merangkum rambut singanya. Mencepolnya asal. Kemudian turun dari kasur. Entah jam berapa hujan berhenti tadi malam. Setelah makan, dia memilih mengajak Bintang lekas tidur.
Adel menyibak gorden dan menggeser pintu balkon. Udara pagi ini cukup sejuk meski sedikit berkabut.
"Kamu udah bangun?" Sebuah suara dari belakang membuat Adel kaget.
Masih dengan sisa keringat, Rasyid bergabung di balkon. Dia terbangun selepas Subuh dan memilih meregangkan otot dengan berlari mengelilingi tower apartemen.
"Ya gitu, semalem habis makan, kenyang, tepar." Adel bersikap normal. Sebisa mungkin tidak menyinggung soal lelaki ini pulang jam berapa.
"Aku pulang jam sepuluh."
Adel bersedekap.
"Kiara minta diantar lihat kembang api di acara festival pemkot."
"Nggak perlu kok laporan ke aku."
"Kamu semalam coba telepon aku nggak?"
"Nggak. Kenapa?"
"Ponselku ilang di festival."
"Beli aja lagi."
"Temenin yuk?"
"Nggak."
Rasyid menepuk punggung Adel sebelum masuk ke dalam. "Makasih udah mau nemenin."
"Dibilang nggak ya nggak!" Lihat, lelaki itu jadi semena-mena. Mentang-mentang kemarin Adel bersedia menjemput Bintang.
***
Ini yang kesekian kali Adel mendecak. Dia tidak suka keramaian seperti ini. Sadar jika istrinya risi, Rasyid merangkul bahu Adel. Sementara tangan kanannya tetap menggandeng Bintang.
Melihat tangan Rasyid di bahunya. "Apa sih?"
"Takut kamu ilang."
Ck.
"Apalagi kamu mode senggol bacok. Kesenggol dikit jadi Hulk. Aku nggak kuat ganti rugi kalau kamu ngamuk di sini."
Oke, jadi lelaki ini malas kalau Adel membuat masalah. Bukan murni khawatir kalau Adel kena senggol orang secara harfiah.
Cukup tahu. Skip sajalah bagian Rasyid memilih ponsel. Adel sudah badmood. Yang ingin dia lakukan sekarang adalah pulang dan packing pesanan. Atau tidur kek.
"Kamu PMS?" Saat melihat istrinya menekuk wajah sejak keluar dari apartemen. Oh, sebentar, sejak di balkon tadi pagi sepertinya.
"Lagi mode Hulk. Nggak usah tanya-tanya."
"Oh, beneran PMS." Rasyid menyetir dengan santai. "Ini PMS kamu yang pertama yang kita lewati bersama. Semoga nggak nyeremin ya, Del."
"Kamu mau ke mana?!" Adel berseru horor, baru menyadari kalau mobil Rasyid sedang mengarah ke rumah Mama. Alih-alih berbelok ke arah apartemen yang tertinggal jauh di belakang sana.
"Mumpung weekend, Del. Kita main ke rumah Mama."
"Ngapain?!" Pasti Mbak Tere di rumah. Adel malas kalau ketemu.
"Putar balik."
"Kenapa?"
"Putar balik!"
"Sabar, sabar."
"Sekarang!"
"Tanggung. Bentar, bentar."
"Ras, putar balik atau—"
"Nah, udah mau sampai." Mobil akhirnya melewati gerbang kompleks.
Adel rasa-rasanya ingin menggeplak kepala Rasyid. Eh, kualat ya nanti. Oke, nggak jadi. Diganti dengan menusuk lelaki itu dengan peniti sampai orangnya minta ampun.
Mama membukakan pintu dengan senyum kelewat lebar. Apalagi setelah melihat Bintang ikut bersama mereka, matanya berbinar-binar. Jiwa mama-minta-cucu langsung bergejolak. Sudah Adel bilang kalau Bintang menggemaskan. Tentu mamanya tidak akan melewatkan seorang Bintang.
Lihat, bukannya memeluk Adel, Mama lebih tertarik merunduk ke arah Bintang. Mengecup kedua pipinya yang gemas lalu mengajaknya masuk. Adel melirik ke Rasyid yang hanya mengangkat kedua bahu. Ekspresinya seakan bilang 'ya, gimana ya, risiko jadi keponakanku ya gitu, jadi kesayangan semua orang'.
Dih.
Dengan awas, Adel melangkah masuk. Jaga-jaga saja kalau kakaknya ada di rumah. Pastilah di rumah. Mau ke mana lagi sih jomlo satu itu? Ah, kecuali dinas keluar kota atau luar negeri. Menyedihkan.
Mungkin Adel lupa mengaca. Hidupnya jauh lebih menyedihkan. Terjebak satu atap bersama lelaki gamon.
Dari celah jendela, Adel melihat kakaknya sedang yoga di gazebo dekat kolam renang. Menatap cukup lama. Hingga usapan Rasyid di bahunya membuat Adel sadar.
Adel bertanya lewat alis.
"Aku sama Bintang pengin renang."
"Aku ke kamar. Rebahan aja."
"Adel memang nggak asyik, Ras." Mama menimpali sekembalinya dari gudang. Mengambilkan pelampung untuk Bintang. Juga mencarikan pakaian renang. Entah sejak kapan Mama beli pakaian renang anak kecil. Tahu-tahu sudah ada.
Mengabaikan Mama yang ribut membantu Bintang berganti pakaian renang, Adel menaiki tangga. Menuju kamar yang sudah dia tinggalkan dua minggu ini.
Masih sama. Tidak ada yang berubah. Semua benda masih berada di tempatnya. Adel melemparkan dirinya ke tengah kasur. Kedua tangannya merentang. Rambut panjangnya dibiarkan menjuntai melewati tepi kasur. Menatap langit-langit. Beberapa saat. Nyaris terpejam kalau saja suara tertawa Rasyid tidak terdengar hingga kamarnya.
Menarik tubuhnya untuk bangun, Adel mendekat ke jendela besar. Menyibak gordennya sedikit untuk melihat pemandangan di kolam renang. Bintang yang sedang belajar berenang. Rasyid yang cerewet mengajarkan banyak gaya. Sampai pandangan Adel terhenti di kakak perempuannya, yang punya dunia sendiri, terlihat tidak terganggu dengan kehadiran dua orang yang berisik.
"Del?" Mama muncul di pintu. Menyusul putri bungsunya ke jendela. "Nggak ikut renang?"
"Males ah, Ma."
"Karena ada Tere di sana?"
"Nggak juga."
"Kapan kalian mau gencatan senjata?" Ambar tahu, kedua putrinya bagai dua kutub yang berlawanan. Tidak akan pernah bertemu di tengah. Mereka juga punya dunia masing-masing. Salah satu jembatan mereka adalah sang Mama. Itu pun lebih banyak gagalnya.
"Mama nggak mau ganti pertanyaan?" Adel masih menatap Rasyid. Mengikuti gerak-gerik lelaki itu.
"Kira-kira kapan ya kakakmu menikah?"
Adel memejamkan mata. Menghela napas. "Biar jadi rahasia ilahi ajalah, Ma. Nggak ngerti aku sama penginnya dia."
"Kakakmu hanya sedikit ambisius, Del."
Ambisiusnya orang se-Indonesia diborong semua sama dia. Banyak banget itu.
"Mama cuma khawatir kalau Tere terlalu pemilih. Nanti dia kesepian. Nggak selamanya juga kan Mama di sini. Mama selalu berdoa supaya dia dapat suami seperti Rasyid."
Ngomong-ngomong soal itu. "Memangnya Rasyid suami-able banget ya, Ma? Sampai Mama jadikan patokan calon mantu kedua?"
"Dua minggu kamu nikah sama dia, rasanya gimana?" Pertanyaan dibalik.
"Nyaman." Dalam beberapa hal, Rasyid tidak ribet. Tipikal lelaki yang tahu apa yang harus dilakukan. Kecuali perkara dia gamon. Itu di luar ranah Adel.
"Kamu dulu nggak cerita kalau punya temen SMP sebaik dan sepintar Rasyid. Tahu gitu, Mama jodohkan kamu sejak dulu sama dia. Kalau perlu, lulus SMP, Mama nikahkan langsung. Biar hidupmu lurus sejak awal."
Sudut bibir Adel berkedut menahan kekehan. Mama sungguh keliru. Dua minggu ini hidup Adel masih begini-begini aja. Bedanya, sekarang dia tidur berdua. Ada objek manis yang bisa dipandangi setiap pagi—kalau kebetulan Adel bangun lebih awal. Juga harum khas Rasyid yang entah bagaimana Adel suka.
Eh, apaan, ngapain barusan? Mikir apa?!
"Sudah ada progres cucu buat Mama?"
Pasti. Pasti. Adel sudah bisa menebak percakapan akan dibelokkan tajam ke sana.
"Belum, Ma."
Ambar memeluk Adel dari samping. "Segera ya. Mama mau punya yang kayak Bintang satu. Anaknya lucu. Gemesin."
Adel mulai pening, tapi mamanya tetap melanjutkan. "Nggak rewelan. Riang. Nurut. Yang terpenting pipinya itu, Del. Cubit-able. Mama suka!"
Cucu udah kayak martabak aja. By request.
***
Berdasarkan voting di chapter sebelumnya, sebagian besar pengin imajinasi sendiri aja. Oke, baiklah. Aku turuti demi kenyamanan bersama 😛
Oh iya, boleh kok mengakui diri sendiri sebagai Adel. Silakan. Gunakan kehaluan semaksimal mungkin 😛
Kamis/26.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top