Chapter 6
Adel menatap kosong nasi goreng favoritnya—yang tadi dipesankan Rasyid. Sudah dingin. Tapi laparnya mendadak hilang. Sama halnya dengan rasa kantuknya. Dia terjaga penuh. Sesuatu mengusik hatinya. Tapi dia tidak tahu bagaimana cara menenangkan diri.
Sudah satu jam sejak Rasyid berlari ke kamar untuk mengambil jaket dan kunci mobil. Seolah baru saja dibisiki tentang kabar buruk. Padahal hanya satu kalimat yang perempuan itu lontarkan, Rasyid lantas tak banyak bertanya, sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Lelaki itu memang cekatan.
Adel bahkan tak sempat bertanya. Rasyid terburu pergi dengan perempuan itu. Hanya dipamiti sekilas. "Aku pergi dulu sebentar."
Lelah menatap piring, Adel menghela napas dan beralih menatap ponselnya yang teronggok bisu di dekat piring. Haruskah dia menelepon lelaki itu? Bertanya jam berapa akan pulang. Tidak. Tidak. Dia hanya perlu melanjutkan tidur, alih-alih meneror lelaki itu untuk segera pulang.
Membereskan meja makan, Adel kembali ke kamar. Masuk ke dalam gulungan selimut. Memutus prasangka-prasangka yang tidak perlu. Tapi, mau dipaksa memikirkan hal lain, tetap saja dia penasaran.
Siapa perempuan tadi? Bagaimana Rasyid begitu mudahnya menuruti kalimatnya? Seolah mereka memang sedekat itu. Dan ini pertama kalinya Adel melihat perempuan itu. Lucunya lagi, dia tidak tahu apa-apa. Benar-benar clueless saat perempuan itu muncul dan membawa Rasyid pergi.
Suara pintu yang dibuka menghentikan pikiran Adel. Dia menendang selimut. Dengan cepat turun dari kasur. Ketika ingin membuka pintu kamar, Rasyid sudah lebih dulu membukanya dari luar.
Sedikit terkejut. "Kamu belum tidur?"
"Kamu kok cepet?"
"Iya." Rasyid menyingkir dari pintu, lalu masuk ke kamar mandi. Sementara Adel masih di tempatnya. Merutuki diri sendiri yang gagal bertanya. Padahal kepalanya penuh tanda tanya.
"Yuk, tidur." Rasyid sudah berganti pakaian.
Adel berbalik. "Aku boleh tanya?"
"Hm?"
"Jadi, dia ya orang itu?"
"Orang itu?"
"Perempuan yang kamu cintai."
Rasyid tak langsung menjawab. Dia merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit. Adel menyusul ke kasur. Mengambil tempatnya sendiri.
Mereka terpisahkan setumpuk bantal dan guling, tapi Adel bisa melihat keresahan di wajah lelaki itu.
Sungguh, Adel benci sisi dirinya yang ini. Peka sekali dengan perasaan orang. Padahal biasanya dia lebih sering menutup mata.
"Kamu belum jawab pertanyaanku." Adel ikut menatap langit-langit.
"Iya."
"Apa?"
"Tebakan kamu benar."
Sudut bibir Adel tertarik ke atas. "Dia juga tinggal di lantai ini?"
"Satu lantai di atas kita."
"Oh, jadi tadi anak yang sakit, anak kalian?" Adel memang suka kelepasan.
"Bukan."
"Kenapa kamu nggak nikahin dia aja?"
"Bunda nggak merestui."
Ah, Adel hampir lupa kalau Rasyid anak yang berbakti. Tentu saja nasihat orangtuanya selalu didengar. Dan lagi, Rasyid memang dibesarkan untuk menjadi familyman.
"Dia cantik banget."
Dibalas gumaman.
Adel menoleh. "Anaknya pasti secantik dia."
"Iya." Rasyid tersenyum.
Senyum yang ditangkap secara jelas oleh Adel. "Apa yang bikin Bunda nggak setuju?"
"Salma belum pernah menikah."
Otak Adel yang tidak cerdas-cerdas amat, bisa mencernanya dengan cepat. Jadi karena dia sudah paham, berusaha mengalihkan. "Ah, sakit apa anaknya Salma?"
"Demam tinggi."
"Terus kenapa kamu pulang?"
Rasyid akhirnya menoleh. Adel tak siap dengan gerakan yang tiba-tiba itu. Apalagi matanya menatap Adel sendu.
"Aku punya istri yang sendirian di apartemen."
"Tapi Salma sendirian di rumah sakit."
"Tidur. Udah lewat tengah malam." Rasyid memutus pandangan dan berbalik memunggungi Adel.
"Pasti berat ya di posisi kamu. Harus milih apakah terus ada di sisi dia, nemenin saat-saat dia butuh teman. Atau pulang dan nemenin aku tidur." Adel sangat sadar saat mengatakannya. "Lain kali, kamu boleh ikuti kata hati kamu, Ras."
Adel benar-benar benci sisi dirinya yang ini.
***
"Kamu mau dengar sesuatu?"
"Soal?" Adel mengangkat wajah dari ponsel. Burger di piringnya masih utuh. Mereka memutuskan untuk sarapan di kafe lantai satu. Lama-lama pelayannya hafal dengan pasutri ini.
"Kamu nggak penasaran soal Salma?"
"Nggak," jawabnya enteng. "Terlalu pagi buat bahas hal-hal berat. Kamu mesti kerja, aku habis ini mesti packing."
"Aku kira kamu penasaran."
"Kalau aku tanya-tanya, kamu galau lagi kayak semalam."
"Ya, oke. Terima kasih atas pengertiannya, Ibu Adelia."
"Yang semangat dong, Ras. Dunia kamu nggak akan runtuh karena Kiara sakit demam. Kecuali kalau ...." Adel menggantung kalimatnya.
"Kalau apa?"
Oh iya, dia tahu nama itu karena Salma menyebutnya semalam. "Kecuali Kiara udah jadi dunia kamu."
"Iya dan masih," jawab Rasyid jujur.
"Nggak kaget."
"Kamu selalu ajaib."
"Percaya nggak percaya, aku selalu antisipasi banyak hal. Kemungkinan baik dan buruk. Aku selalu berpikiran sebaliknya."
"Supaya kamu nggak terluka ya?"
Adel tampak mengerling. "Yups. Berangkat gih. Nanti kamu telat."
"Nggak dimakan burgernya?"
Dengan santai, Adel berdiri dan menyambar burgernya. Rasyid juga menyusul berdiri. Melangkah bersama keluar dari kafe. Mereka berpisah di depan lift.
Rasyid menunggu hingga Adel masuk ke dalam lift.
"Aku mampir rumah sakit nanti."
"Tentu." Adel mengangguk. "Salam untuk Salma dan Kiara."
"Akan disampaikan."
Adel masuk ke dalam lift dan memencet tombol, tapi Rasyid menahan satu sisi pintu. Dia belum selesai. "Kamu marah?"
"Kenapa marah?"
"Karena aku bakal terlambat pulang demi Kiara."
Demi Kiara apa mamanya nih? Rasyid sungguh ambigu.
"Memangnya kita apa?"
Ah, benar. Perempuan ini selalu rasional. "Kalau ada apa-apa hubungi aku ya."
"Lebih gampang hubungin Gina sebenarnya."
Rasyid menunjuk kepalanya sendiri. "Aku lupa kalau kalian punya semacam radar tak kasat mata."
"Ya gitu deh. Cuma makhluk alien atau absurd kayak kami yang bisa—"
"Bisa nggak sih nggak pacaran di lift?!"
Adel melirik perempuan yang baru saja tiba di sebelah Rasyid. Yang secara terang-terangan menatapnya dengan kesal. Karena terprovokasi, Adel sengaja keluar dari lift dan mengecup pipi Rasyid. Sengaja memanasi tetangga yang berprofesi sebagai model itu. "Hati-hati, Sayang."
Karena membaca situasi dengan baik, Rasyid mengerti yang barusan dilakukan Adel murni untuk meledek Nina. Jadi, dia balas memeluk dan mengecup kening Adel.
Setelah melepas Adel, dia terkekeh menatap Nina. "Duluan, Nina."
Sambil menahan dongkol, Nina masuk ke dalam lift. Masih dengan rol rambut di bagian poni serta outer yang menutupi piamanya. Cuek menenteng paper bag berisi sarapan. Dia akan bermurah hati pagi ini.
Namun, dengan cepat berubah pikiran saat sadar Adel memindai penampilannya.
"Apa lo lihat-lihat? Nggak pernah lihat model beli sarapan pake rol rambut berpiama?!" Sejak berkenalan dengan Adel tempo hari, Nina tahu kalau mereka tidak akan akur.
Begitu juga dengan Adel. Dia punya semacam firasat kalau Nina adalah lawan yang seimbang. Tidak. Adel harus menang.
"Pernah. Nggak perlu jauh-jauh, udah ada di sebelah gue."
"Iya, gue cukup murah hati biar pengalaman hidup lo nambah."
"Pengalaman yang sungguh tidak bermanfaat." Lift berdenting, Adel keluar lebih dulu sambil bersedekap.
Hei, sebenarnya mereka tidak perlu bertengkar. Toh, mereka sama-sama fashion terrorist. Meski Adel bukan model, tapi kepercayaan diri mereka ada di level yang sama.
Nina menyejajarkan langkah. "Rasyid nemu lo di mana sih? Lo pelet ya? Mau-maunya Rasyid sama lo."
"Urus diri sendiri aja. Cantik tapi nggak laku." Adel berhenti di pintu apartemennya. "Ganti susuk gih."
"Bilang apa lo?!" Sudah keluar tanduk di kepala Nina. Mudah saja memancing emosi seorang Nina. Satu sentilan saja cukup. "Sini lo, sini! Berantem sini. Lo pikir gue takut mentang-mentang lo udah bersuami hah?!"
Adel menatap tenang, sementara Nina sudah siap merangsek maju. Beruntung seseorang datang tepat waktu sebelum tangan Nina mendarat di kepala Adel.
"Jangan tahan gue, Jun! Ini orang emang sejak awal udah songong. Gue perlu ngasih dia pelajaran!"
Lelaki itu menatap Adel sambil memeluk Nina. Tersenyum sungkan. "Sori ya. Sahabat gue emang barbar sejak lahir."
"Lo ngapain minta maaf?! Dia duluan yang mulai—Jun! Gue belum selesai!!"
Pintu apartemen Nina berdebam, menutup. Adel mendecak lirih. Sial. Dia lupa kalau unit mereka berhadapan.
***
Ini yang kesekian kali Adel melirik jam di dinding. Seakan belum percaya, dia juga memelototi jam di ponsel. Hanya selisih semenit. Lalu dia menatap jam di macbook. Selisih dua menit.
Ah, bodolah. Terserah yang betul yang mana. Intinya sama. Sekarang sudah jam duabelas lewat dan Rasyid mungkin menginap di rumah sakit. Kemungkinan yang paling mungkin. Mana tega sih meninggalkan Salma sendirian? Rasyid tentu memilih mengikuti kata hatinya kali ini.
Melupakan soal jam, Adel menatap pekerjaannya yang terbengkalai. Box bertumpuk di dekat televisi. Masker dan lulur—yang merupakan komoditi utama usahanya—masih tersegel rapi. Padahal rencananya dia mau packing.
Yailaah, perkara Rasyid pulang terlambat saja ternyata mampu membuat suasana hatinya buruk. Padahal lelaki itu pamit kok. Tapi kan, kalau ada Rasyid, ada objek yang bisa diusilin. Muka cengoh Rasyid itu lucu. Adel cukup pintar menahan tawa saat lelaki itu tercengang dengan segala tingkahnya.
Lalu, selain itu, apa ada indikasi cemburu? Tidak, tidak. Terlalu jauh pikiran kalian.
Suara perut Adel mengalihkan perhatian. Dia menyeret tubuhnya ke dapur. Mencari sesuatu untuk mengganjal perut. Coba ada Rasyid, pasti dia mau dimintai antar ke mekdi depan. Eh, tapi, Adel bisa ke sana sendiri. Tapi ya, beda aja rasanya.
Kok jadi menye gini sih?
Saat membuka kulkas, beberapa buah jatuh menggelinding. Jeruk, apel, kiwi, dan manggis. Tapi Adel biasa-biasa saja, tidak kaget.
Adel menatap semangka yang teronggok bisu. "Kamu nggak pengin ikutan jatuh juga? Udah kapok ya kemarin?"
***
Yak, salah satu dayang Juna hadir di mariii~
Yang sempet baca Womanizer pasti tau gimana galaknya Nina 😂
Btw, Itaewon Class bagus gak sih? Ratingnya tinggi ya kayaknya.
Selasa/24.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top