Chapter 35

Bingung mau nulis author note apaan. Saking seringnya curcol 😂

Dah, langsung baca aja. Semoga suka 😉

————————

"Selamat buat soft launchingnya kemarin."

Adel menoleh. Tersenyum. Tahu-tahu mendapati Rama muncul di belakangnya. "Thanks."

"Bodyguard mana?"

"Kerja." Sambil mendorong pintu besi dengan sedikit kepayahan. Rama menggigit tepian cup kopi dan mengambil alih pintu besi.

"Free hari ini?" Adel mungkin mengira selebritis selalu tidur di lokasi syuting.

"Syuting nanti siang. Kebetulan semalem tidur di kantor agensi. Baru aja bangun. Udah sarapan?"

"Hm?"

"Gue mau beli nasi uduk di ujung jalan. Mau nitip?"

"Enak nggak?"

"Banget."

"Boleh kalau nggak ngerepotin." Tapi Adel berubah pikiran. "Jauh nggak?"

"Deket kok."

"Gue ikut aja."

"Kalau jauh mager ya?" Rama terkekeh. "Lo nggak berubah ternyata, Del."

Ruko itu memiliki pintu ganda. Di balik pintu besi, masih ada pintu kaca. Adel tidak perlu cemas.

Eh, apa tadi? "Mager itu penyakit semua orang kali, Ram."

"Iya sih. Lucunya, meski lo anaknya mageran, tapi nggak nyebelin."

"Terbiasa lip sama fan service sih ya."

Rama tertawa. "Kok gue kesannya fake banget di mata lo."

"Nggak usah naif. Semua orang punya sisi fake."

"Lo juga?"

Adel mengangguk. Bukan bangga sih. Tapi ya itu bagian dari dirinya yang harus dia terima. "Lo pasti udah hafal mati ya."

"Iya. Kadang gue biasa aja. Kadang ya jengah juga. Banyak yang bermuka dua."

Adel tiba-tiba menyeringai. Teringat dengan satu nama.

Ponsel Adel bergetar. Bukan pesan. Bukan juga panggilan suara. Tapi panggilan video. Astaga, orang ini.

"Aku lagi cari sarapan." Sambil menghadapkan ponsel ke wajah. Rama yang tetap melangkah santai, memilih diam. "Udah kelar meeting?"

"Udah."

"Ya udah, cari sarapan gih."

"Aku ke situ ya? Kamu mau dibawain sarapan apa?"

"Nggak usah. Ini aku mau beli nasi uduk."

"Mau!"

"Siapa juga yang nawarin."

Rasyid nyengir. "Belinya sama siapa?"

Adel menoleh ke arah Rama. "Sama aktor ganteng kesayangan sejuta umat."

"Sia-"

Lalu menggerakkan layar ke Rama, sebentar saja tapi cukup untuk membuat Rasyid memekik. "NGGAK JADI TITIP MAKASIH!"

"Enak lho, Ras." Rama jail menjawab.

"Gue nggak tanya!"

"Jadi titip apa nggak?"

"Kamu juga bukannya di ruko, malah jalan berdua nyari sarapan. Gimana kalau kamu terciduk dan masuk akun lambe-lambean? Terus kena hujat orang se-Indonesia. Lebih penting lagi, kamu udah bersuami, Del."

Terlalu cerewet. Adel ambil kalimat pertamanya saja. "Kan aku nggak bisa terbang, ya jalan dong."

"Tahu ah."

"Aku tutup."

"Kenapa? Biar kamu bisa ngobrol sama mantan?"

"Iyalah."

"Del-"

Sebelum Adel habis sabar. "Aku beliin kamu nasi uduk. Terserah kamu ke sini atau nggak."

"Aku ke situ sekarang!"

***

Mama menginap di apartemen malam ini. Baru bilang tadi sore. Adel menjemput ke rumah. Rasyid barusan juga menelepon jika sudah di perjalanan pulang.

"Kamu ada stok bahan di kulkas, Del?" Mama bertanya saat mobil Adel melewati gerbang kompleks.

"Ada kok, Ma. Tapi pesan makanan aja ya. Mama nggak perlu repot masak. Rasyid juga udah otw pulang."

"Oke. Kelamaan ya kalau masak."

"Mama masaknya dihayati soalnya."

Mama tersenyum. "Dari terakhir yang Mama lihat, kamu udah nggak kurusan ternyata."

"Gendut banget ya, Ma? Padahal baru tiga hari sejak aku tidur di rumah Mama."

"Nggak gendut. Tapi lebih berisi aja." Mama senang melihatnya. "Rasyid pasti masakin kamu yang enak-enak."

"Berisi? Sebelah mana aja, Ma?" Saat berhenti di lampu merah, Adel menunduk, meneliti tubuhnya sendiri. Dadanya memang sedikit lebih besar sih. Ini gara-gara Ras-menoleh ke Mama. Tersenyum kikuk. "Iya sih. Terus aku balik ke kebiasaan lama juga. Bangun tengah malam. Makan."

"Atau kalian diam-diam udah program hamil ya?"

Adel terbatuk. Tiba-tiba. Bukan keselek kenangan. "Belum. Mama jangan berharap ke sana dulu."

"Harapan tentu ada, Del. Tapi Mama bisa sabar kok. Biar prosesnya juga baik."

Proses yang baik itu seperti apa? Apakah suami istri yang saling mencintai maka akan menghasilkan anak-anak yang baik? Bagaimana dengan Adel dan Rasyid yang timpang begini? Situasi mereka rumit. Dan bahkan, sudah salah sejak awal.

Adel tersadar saat terdengar klakson di belakangnya.

Hati kecilnya memberi semangat. Belum terlambat, Del. Kalian punya banyak waktu untuk memperbaiki diri. Memantaskan diri.

"Ma, emangnya Mama pengin punya cucu cowok atau cewek?"

"Eh?"

"Kenapa?"

"Mama kaget aja."

"Kaget gimana?"

"Barusan kan kamu nggak mau bahas ini."

"Kalau tanya dulu kan boleh. Jadi, Mama pengin cucu cowok atau cewek?"

"Mana aja, Del. Yang penting sehat."

"Rasyid pengin anak pertama kami cowok, Ma. Katanya biar mirip sama aku."

"Iya. Banyak-banyak berdoa aja."

"Kalaupun yang pertama cewek, kami tetap senang-astaga, aku kayaknya ngelantur deh, Ma." Adel baru sadar jika dia terlalu bersemangat membahas calon anaknya. Hamil saja belum.

"Bukan ngelantur." Mama menyanggah. "Kamu hanya nggak sabar pengin cepet hamil."

"Mungkin gitu kali ya, Ma." Ada yang membuncah di hati Adel. Menggigit bibir. Takut jika dia akan tersenyum sepanjang jalan pulang.

Mama belum mengalihkan pandangan. Menatap putrinya dengan haru. "Mama bahagia lihat kamu begini. Kayak lihat Adel yang akhirnya nemu pangeran."

"Ma, plis-"

"Oke."

Keduanya tertawa.

***

Kejutan yang lain. Bunda juga datang ke unit mereka. Berdiri di depan pintu. Menunggu. Rasyid mempercepat langkah. Tapi semakin dekat, dia justru ragu. Ada sesuatu yang berbeda.

Kilat mata itu terasa dingin saat menoleh dan menatap Rasyid.

"Bunda datang sendiri?"

"Istrimu ke mana?"

"Mungkin bentar lagi sampai, Bun. Mama mau nginap di sini. Jadi Adel jemput dulu ke rumah."

Bunda terdiam setelahnya. Rasyid memasukkan sandi. Membuka pintu. Masih dengan perasaan ganjil.

"Bunda mau teh atau cokelat hangat?" Rasyid menggulung lengan kemeja hingga siku, berderap ke dapur.

Bunda memilih duduk di sofa. Menghela napas panjang-panjang.

"Bun?"

"Air putih."

Rasyid menurut. Mengambilkan segelas air putih hangat. Meletakkannya di meja. Hendak pamit. "Aku tinggal mandi nggak apa-apa ya, Bun?"

"Sebentar. Tunggu istrimu datang."

Rasyid duduk dengan kening berkerut. "Bunda mau aku telepon Adel?"

Alih-alih menjawab, Bunda justru mengedarkan pandangan. Menatap ke beberapa sudut. Dinding dan meja yang kosong. Tidak ada satu pun bingkai yang dia cari ada di sana. Semakin menggenapi pembenaran yang terangkai di kepalanya. Hal yang dia luput sadari sejak awal.

Pintu terbuka. Bunda masih bergeming menatap dinding.

"Bunda? Kapan datang?" Suara itu mendekat, membuatnya menoleh. Satu pelukan hangat dia terima.

Tersenyum getir. "Baru saja."

Lalu berganti. Ambar ganti memeluknya. Sampai di sini, air mata sudah tiba di sudut mata. Mengaburkan pandangan. Menyesakkan dada. Namun, sekali lagi, berhasil ditahan.

Makan malam berjalan sebagaimana mestinya. Hanya saja beberapa kali Rasyid menatap lama Bunda yang kebetulan duduk di depannya. Meneliti gestur sekecil apa pun. Mencoba menangkap sorot mata yang dia dapati tadi, yang kemudian berhasil disembunyikan saat Adel dan Mama datang.

Bunda pulang sekitar pukul sembilan. Menolak saat Rasyid ingin mengantar. Rasyid kemudian mengalah. Memesankan taksi. Ikut menemani Bunda menunggu di teras gedung.

"Ada yang mengganggu pikiran Bunda?" Rasyid akhirnya bertanya. Teras itu lumayan sepi. Mereka berdiri, berdampingan.

Rasyid cemas menunggu jawaban.

"Justru Bunda yang ingin tanya."

"Ya?"

"Kamu bahagia dengan Adel?"

"Kenapa tiba-tiba Bunda-"

"Kamu tidak sedang membuat Bunda berhenti cemas, 'kan?"

"Maksud Bunda?"

"Kamu tidak perlu sejauh ini, Ras. Bunda tidak mendesak kamu untuk cepat menikah. Bunda senang kamu di rumah."

"Aku nggak ngerti maksud Bunda."

"Bunda tahu kamu mencintai Salma."

Rasyid terkesiap. Nyaris berteriak kalau saja dia gagal menahan diri. "Bun-"

"Dan Kiara adalah segalanya buat kamu. Kenapa, Ras, setelah sekian tahun, kamu nggak bisa melepas mereka?"

Rasyid kehilangan kata-kata. Bunda yang kemarin tidak seperti ini. Kenapa tiba-tiba semuanya berbalik? Mana Bunda yang bahkan enggan menyebut nama Salma dan Kiara?

"Bunda merasa egois sekali, Ras."

"Bun, ini sama sekali bukan seperti yang Bunda pikirkan."

Menyeka sudut mata. "Kamu tidak perlu menikahi Adel demi membahagiakan Bunda. Kamu tidak perlu mengorbankan kebahagiaan kamu. Demi apa pun, Ras-" Tercekat. "Demi apa pun, kamu tidak perlu bertindak sejauh ini, Ras."

Rasyid mendekat. Mendekap bahu sang ibunda. Tangis itu justru semakin pecah. Percuma dia memberi pembelaan sekarang, Bunda tidak akan mau mendengarnya. Besok dia akan meluruskan semuanya setelah Bunda cukup tenang. Bukan di teras gedung seperti ini.

Yang mungkin Rasyid luput sadari, ada seseorang yang berdiri beberapa meter di belakang sana. Mati-matian tetap berdiri ketika kedua kaki menuntutnya untuk luruh ke lantai.

***

Malam seperti mencekiknya. Udara di sekitar dingin dan menyesakkan untuknya. Kepalanya penuh oleh berbagai pertanyaan. Yang membuatnya sulit memejamkan mata. Terjaga dengan kenangan yang mengambang jelas.

Namun, dia menolak setiap kenangan yang datang. Melarikan diri pada batang rokok yang terselip di antara bibirnya. Berharap benda ini bisa mengusir segala resah.

Yang terjadi sebaliknya. Dia semakin terhimpit. Entah sejak kapan, matanya basah. Perasaan sialan yang dia kubur, mencuat ke permukaan.

"Ras ... nggak bisa tidur?"

Rasyid menoleh dan mendongak. Tidak menghindar saat Adel membaca wajahnya. "Belum."

"Mau ditemenin?"

Rasyid tergugu. Dia hanya perlu mengangguk. Tapi kepalanya pun mendadak kaku. Lidahnya juga kelu. Pertanyaan sederhana itu gagal dijawab.

Adel mengerti. Lelaki ini ingin sendiri. "Jangan lama-lama. Di sini dingin. Nanti kamu sakit."

Saat Adel hendak meninggalkan ambang pintu balkon, Rasyid menahan. "Adel."

"Gimana? Berubah pikiran? Mau ditemenin?"

Menggeleng. "Mimpi indah ya."

Adel mengangguk pelan. Tidak memaksa. Menyingkir dari pintu meski tetap ingin di sana. Sekadar menemani duduk. Sungguh, dia berharap lelaki itu menahannya di sana.

Dua langkah meninggalkan pintu, Adel berhenti. Tanpa berbalik, menoleh. Di antara redup cahaya ruangan, cemas itu memancar jelas. Berhasil dia tutupi saat berhadapan dengan Rasyid. Hanya sesaat sebelum semua kembali.

Dan resah turut menyiksanya.

Dia tidak ingin pagi datang terlalu cepat. Tidak ingin apa pun merusak hidupnya. Mengambil hal yang baru saja dia perjuangkan.

Bukankah mereka mulai bahagia?

Atau hanya Adel yang merasa demikian?

***

"Are you okay?" Gina yang berdiri di samping meja, membungkuk. Meneliti wajah Adel lebih dekat.

Firasatnya buruk saat melihat Adel muncul di pintu restoran tempatnya bekerja. Tanpa Rasyid. Nah kan, dejavu.

Gina menegakkan tubuh. Duduk di kursi di hadapan Adel. Oke, ini masih sangat pagi. Restoran belum sepenuhnya buka. Buffet baru terisi satu-dua. Alis Gina pun belum digambar. Tapi Adel sudah datang membawa mendung di atas kepala. Padahal langit di luar sana sudah mendung. Adel tidak perlu membawanya masuk ke sini.

Kalau biasanya masih bisa diajak bicara, kali ini tidak. Adel duduk bersedekap dan bungkam. Hanya matanya yang bergerak. Gina akui dirinya peka. Tapi dia tidak sesabar itu untuk membaca pergerakan mata Adel.

Mengeluarkan ponsel, Gina menghubungi satu nomor.

"Mal."

"Hm?"

"Bangun. Datang ke Rendenvous."

"Ngapain? Gue masih tidur."

"Cepetan."

"Ogah."

"Gue pecat ya jadi sahabat."

"Kampret!"

Telepon ditutup. Gina meletakkan ponsel di meja. Tetap diam sampai Malik muncul di pintu sepuluh menit kemudian. Apartemen lelaki itu tidak terlalu jauh dari sini.

Begitu Malik sudah berdiri di samping meja, Gina berdiri. Malik merapatkan jaket dan duduk menggantikan Gina.

"Lo ngapain sih, Del? Dingin-dingin kayak gini bukannya kelonan sama Rasyid, malah ke sini." Sambil menggosok kedua telapak tangan. Gina pamit. Memesankan dua cangkir jahe hangat dan kembali ke mejanya.

"Eh, lo mau ke mana?"

"Siap-siap mau kerja."

"Lah, Adel gimana?"

"Itu fungsinya lo di sini. Ajak dia ngobrol. Sebagai istri kedua Rasyid, lo lebih paham."

"Enteng banget ya ngomongnya." Menatap punggung Gina yang menjauh, lalu menatap Adel. "Acid balik jadi bego lagi?"

"Rasyid masih cinta Salma." Adel akhirnya buka suara.

"Menurut gue udah enggak."

"Apa buktinya?"

"Ya apa pun yang udah kalian lakukan tanpa gue tahu." Malik bingung harus menjawab apa. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya dan dia harus menghadapi perempuan dan segala kerumitannya.

Gina sialan.

"Gimana cara nyingkirin Salma?"

Malik nyaris menjatuhkan cangkir yang dia pegang. Ternganga. Menatap suasana di sekitar. Tetap normal. Lalu kembali ke Adel. "Jangan bikin cerita kalian jadi thriller dong. Harusnya tetep unyu-unyu kampret gitu sampai ending."

"Gue nggak bisa lihat Salma terus ada di hidup Rasyid." Suaranya berubah sendu.

Membuat Malik menatapnya prihatin. "Lo ibaratnya menikahi lelaki primitif yang bego masalah hati sih, Del. Lo bisa bertahan sejauh ini aja udah hebat banget."

"Oke, taruhlah, mereka saling mencintai ...." Adel menggigit bibir bagian dalam. "Gue nggak bisa melepas Rasyid."

"Rasyid emang minta dilepas?"

"Nggak."

"Nah, udah jelas. Nggak perlu mikir yang nggak-nggak."

"Tapi masalahnya Salma, Mal. Gue nggak bisa lihat dia terus nempelin Rasyid."

"Ah, pada akhirnya lo menyuarakan isi hati ya. Wajar banget kok. Andaikata Rasyid menikahi perempuan lain, pasti bakal begini juga."

"Terus gue mesti apa?"

Malik mengedikkan bahu. "Tetap jadi istrinya Rasyid."

"Sekalipun Bunda tahu yang sebenarnya?"

"A-apa lo bilang?!"

***

Mau tanya sesuatu, gengs?

Spoiler chapter 36 aku post Kamis/Jumat di instagram yaa~

Next chapter, akan menyakitkan :))

Selasa/02.06.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top