Chapter 32
Beneran pengin Adel-Acid cerai nih?
Kalau chapter ini dikasih judul, maka:
Jungkir Balik Dunia Absurd Adelia
Chapter ini panjang. Happy reading :)
Awas, ambyar :p
—————————
Pagi-pagi sekali, Adel berkunjung ke rumah Mama. Mendapat lirikan tak peduli dari Tere yang berpapasan di gerbang. Kakaknya itu bersiap berangkat kerja.
Mama yang menuruni anak tangga, kaget melihat anak bungsunya datang. Melangkah lebih cepat, senyumnya terkembang. "Del? Kamu tahu ya kalau Mama kangen? Kejutan banget sih kamu muncul tanpa ngabarin dulu. Eh, mana mantu Mama?"
Adel tidak menjawab dan memeluk Mama. Membuat langkah wanita paruh baya itu terhenti di anak tangga terakhir. "Adel juga kangen Mama."
"Rasyid nggak ikut?"
"Aku naik taksi, Ma."
Senyum Mama pudar. Merasa janggal. Tapi buru-buru ditepis. Menepuk punggung Adel. "Yuk, Mama mau bikin sarapan. Tungguin bentar. Kamu nggak buru-buru, 'kan? Kakakmu barusan aja berangkat. Dia jarang sarapan di rumah."
Adel melepas pelukan, mundur, kemudian mengekori langkah Mama ke dapur.
"Kamu kok kurusan sih?"
"Perasaan Mama aja." Adel mengalihkan. "Aku ambil mobil ya, Ma."
"Dari dulu juga Mama udah suruh bawa. Kamunya yang nggak mau. Mobil-mobil kamu juga."
"Niatnya sih mau manja ke Rasyid, Ma." Tapi itu laki nggak bisa diandalkan. Adel ingin menampar mulutnya sendiri yang menjawab asal.
"Halah, kayak Mama nggak tahu aja kamu anaknya gimana. Pantang manja." Mama terkekeh geli. "Tapi manja ke suami sih wajib, Del. Rasyid juga kelihatan perhatian ke kamu."
Adel tidak ingin merusak wajah cerah Mama pagi ini.
"Cuma kurang satu."
"Iya, cucu." Adel tanggap. "Punya cucu emang bikin bahagia ya, Ma?"
Pertanyaan polos yang random sih. Retoris pula.
Mama menyalakan kompor. "Iya dong. Itu harapan semua Kakek-Nenek. Kamu juga bakal bahagia kalau punya anak, Del."
Iya kalau lakinya nggak brengsek, Ma.
Alih-alih memberi Mama cucu, hubungan mereka saja sudah di ujung tanduk. Keputusan sudah Adel buat. Dia hanya perlu mencari pengacara dan mendaftarkan perceraian. Sudah dia pikirkan baik-baik. Lebih baik begini. Dirinya tidak bahagia dan Rasyid jauh lebih tidak bahagia dalam hubungan ini.
Namun, mungkin Adel keliru, dia tidak pernah tahu apa yang menunggu di depan mata. Sesuatu yang mungkin membuatnya rela bertahan. Bahkan, bertekuk lutut di hadapan lelaki itu.
***
"Apa lo bilang tadi?" Kalau-kalau Malik mendadak congek setelah dikunjungi Rasyid.
"Gue nggak bisa hidup tanpa Adel." Rasyid mengulangi.
Malik berdiri di depannya. Bersedekap. Dahinya berkerut-kerut. Menandakan jika dia sedang berpikir. Duh, apa sih yang bisa dipikirkan makhluk jomlo satu ini? Tapi ya gimana, Rasyid tidak punya tujuan lain. Menemui Gina? Tanpa perlu bertanya, perempuan itu jelas di pihak Adel. Kalau Rasyid ke sana, sama saja dengan melemparkan diri ke akuarium piranha. Pulang tercabik-cabik.
"Ngapain lo bilang ke gue?" Malik menunjuk dirinya sendiri dengan clueless. "Bilang sana ke orangnya langsung, Acid!"
"Adel udah nggak percaya sama gue."
"Udah lelah ya dia?" Malik mondar-mandir. "Pada akhirnya dia seperti perempuan kebanyakan yang udah muak sama kemurahan hati lo ke sang mantan—ah, maksud gue sebagai Om-nya Kiara."
"Dia bilang mau pindah ke ruko."
"Cegah dong!"
"Dia susah dicegah."
"Nggak ada harganya sebagai suami lo di depan dia."
"Sialan!"
"Terus lo mau ikutan dia pindah ke ruko?" Malik sadar jika dia bertanya kejauhan. Sementara, hal yang mengganggu pikirannya hanya sederhana. Bersumber pada satu orang. "Lo dipelet sama Salma ya?"
Langsung mendapat hadiah lemparan bantal sofa yang sigap ditangkap oleh Malik.
"Nggak gitu. Maksudnya, kenapa ketika lo udah menemukan seseorang yang lo cintai, nggak cukup dijadikan alasan buat melepas Salma dan anaknya?"
"Bukan nggak cukup—" Rasyid seperti tertampar. Bukankah kalimat ini pernah keluar dari mulutnya? Bahwa Adel tidak akan cukup menggantikan Salma dan Kiara?
Rasyid mengusap wajah dan menjambak rambutnya sendiri. Saat itu dia benar-benar tidak mempedulikan perasaan Adel. Dia pikir perempuan itu tidak peduli. Nyatanya, Rasyid justru luput menyadari dari awal jika Adel keberatan.
Perempuan itu hanya membuat segalanya lebih mudah untuk mereka. Ya, selalu begitu. Adel yang serba mudah. Adel yang selalu mengiakan. Adel yang jarang menyuarakan keberatan. Selama ini, perempuan itu hanya mengeluh untuk hal-hal yang remeh.
"Meski niat awal kalian nikah buat ... ya lo tahulah kalau gue pun tahu. Tapi gue nggak nyangka kalau hubungan kalian justru berkembang serumit ini. Bukan berkembang ke arah yang positif ya. Tapi ini sih toxic banget, Ras. Lo sadar, 'kan? Bukannya bahagia, kalian malah saling nyakitin."
"Terus menurut lo, pisah adalah jalan terbaik?"
"Eh, kapan gue ngomongnya?" Malik tidak terima dituduh. "Selama kalian belum terlambat, bisa banget diperbaiki. Udah bicara ke Adel lagi?"
"Belum. Dia butuh waktu. Gue juga."
"Lo bilang kalau Adel itu nggak ketebak. Takutnya nih besok pagi dia udah pindah aja itu ke ruko. Lebih parah, dia udah kontak pengacara. Eh, eh, jangan nangis di sini, please."
Mengusap wajah lagi. "Stres gue, Mal!"
"Salah sendiri." Malik meralat saat ditatap tajam oleh Rasyid. "Oke, oke. Udah telanjur juga. Posisi lo kejepit. Mau apa sekarang coba?"
"Gue nggak mau kehilangan Adel."
"Nah! Udah jelas, 'kan?"
"Tapi Adel nggak bisa terima Kiara."
"Emang lo ada rencana adopsi Kiara?" Malik bertanya polos. "Emaknya emang mau ke mana? Gue yakin emaknya juga nggak bolehin Kiara lo adopsi."
"Lo nggak paham maksud gue?"
"Lo emang susah dipahami." Malik akhirnya duduk. Mengambil kaleng soda di meja yang dia ambil dari kulkas sejak tadi. Ikutan pusing menghadapi Rasyid.
"Mana gue bentak Adel tempo hari."
Malik refleks menyemburkan soda yang gagal dia minum. "Sejak kapan lo main bentak perempuan? Wah, keterlaluan lo, Ras. Gila. Adel salah apa sampai lo bentak?"
"Dia nyinggung soal Salma yang nggak bisa gue terima."
"Anjirlah. Sana lo nikahin aja Salma—mau ke mana lo?!"
Rasyid berdiri sebelum Malik melantur semakin jauh dan berakhir menertawai nasibnya. "Mau nemuin Adel. Gue belum minta maaf."
"Gue ikut ya?"
"Ngapain?"
"Mau lihat lo ngebucin." Lalu terpingkal sendiri.
"Urus aja hidup lo sendiri. Fokus cari calon istri sana."
Malik berkacak pinggang. "Heh, siapa coba yang datang terus curhat. Nggak tahu diri emang."
***
Aku bakal di sini sampai kamu buka pintu.
Adel menatap ponselnya yang masih menampilkan pesan itu. Setelah panggilan masuk dari lelaki itu dia abaikan. Berkali-kali. Biar tahu rasa!
Kembali mengepak barang ke dalam koper. Adel masih menoleh sekali lagi ke ponsel yang layarnya sudah gelap. "Mau nungguin sampai lumutan? Bodo amat!"
Setengah jam kemudian.
"Mau ngapain?"
Rasyid yang duduk meluruskan kaki dan menyandar di dinding, segera berdiri dan tersenyum saat akhirnya Adel mau membukakan pintu. Terlihat belum mandi. Masih mengenakan blus dan celana jins. Rasyid menahan diri tidak bertanya ke mana Adel seharian ini. Apa saja yang perempuan itu lakukan. Dia ingin tahu. Tapi ada yang lebih penting dari itu.
"Boleh aku masuk?"
"Nggak. Di situ aja."
"Mau ngobrol bentar aja."
"Di situ atau nggak sama sekali."
Rasyid mengalah. Tersenyum lembut. "Aku minta maaf."
Adel bersedekap. "Udah sadar salah kamu apa?"
"Maaf udah bentak kamu."
"Dimaafin." Adel mengangkat tangan saat Rasyid terlihat akan maju. "Udah di situ aja. Ngeyel banget sih dibilangin!"
Melongok di sela tubuh Adel. "Kamu seriusan mau pindah ke ruko?"
"Besok."
"Del ...." Rasyid mengembuskan napas.
"Udah malam. Pulang gih."
"Aku belum minta maaf yang kedua."
"Apa lagi sih?" Adel mengantuk tapi lelaki ini sengaja mengulur waktu. Mana dia belum mandi.
Rasyid belum akan beranjak dari depan pintu sebelum niatnya datang ke sini terpenuhi. Meski tidak serta-merta membuat masalah di antara mereka selesai begitu saja. Tapi setidaknya, dirinya dimaafkan. Siapa tahu Adel mau berubah pikiran.
"Apa? Buruan deh."
"Maaf udah menempatkan kamu di situasi yang sulit kayak gini. Aku maksa kamu buat ngerti. Sedangkan aku sendiri nggak bisa ngertiin kamu. Aku nutup mata dengan hubungan kita yang kalau aku mau sedikit aja sadar, kita nggak akan patah kayak gini. Kamu nggak perlu mendam semua sendiri. Kamu nggak perlu terbebani karena aku yang egois. Maaf, aku gagal jadi suami yang baik buat kamu."
"Aku juga minta maaf."
Rasyid menggeleng. "Nggak. Kamu nggak salah apa-apa."
"Aku ternyata cuma perempuan biasa. Aku nggak bisa memenuhi kesepakatan kita sejak awal. Bahkan, bisa dibilang aku melanggar. Karena pada akhirnya, aku nggak bisa terima kondisi kamu. Jadi, ya, empat bulan nggak bakal lama kok, Ras. Aku bakal penuhin permintaan kamu soal kita yang harus bertahan satu tahun. Kamu hanya perlu kasih pengertian ke Salma. Semoga dia mau sabar nunggu."
Rasyid terkesiap. Kehilangan kata-kata. Tak habis pikir. Dari sekian banyak kalimat sanggahan, yang keluar hanya .... "Del, kok kamu bisa mikirnya sejauh itu?"
"Jauh gimana sih, Ras?" Adel tersenyum lelah. "Kalian saling mencintai. Terus apa lagi? Udah. Kalau ini soal restu Bunda, aku mungkin bisa bantu bicara. Kalian juga berhak bahagia. Setidaknya, demi Kiara."
"Del, nggak gitu. Aku sama sekali nggak ada pikiran kita harus pisah dan—"
"Satu tahun, Ras. Aku hanya pegang omongan kita waktu itu. Kita nggak berhasil, kamu tahu itu. Ngapain dipaksa coba? Toh, keinginan kamu terwujud pada akhirnya. Salma cinta sama kamu. Itu lebih dari cukup buat berhenti dan berbalik."
"Kalau kamu nggak mau dengar pendapatku, coba kamu pertimbangkan tentang keluarga kita, Del."
"Aku tahu."
"Kamu mau mereka semua kecewa?"
"Kita mulai semua ini dengan cara yang salah. Anggap aja konsekuensi. Aku bakal hadapi. Kita pasti bisa yakinin mereka, Ras."
Suara Rasyid melembut. "Belum terlambat, Adel. Kita bisa perbaiki. Sumpah demi apa pun, aku nggak mau melepas kamu."
Lorong di lantai sembilan itu lengang. Rasyid menunggu jawaban. Disiksa oleh setiap detik yang berlalu. Takut jika yang akan terlontar dari bibir itu meruntuhkan segala harap. Mematahkan hati.
"Aku kira kamu udah pulang, Re." Sebuah suara lain terdengar. Menyela. "Masih kangen sama aku?"
Suara yang sontak membuat Adel menoleh cepat. Tertegun seketika karena dua orang yang familier berdiri di sana, di unit yang letaknya di dekat lift. Udara di sekitar Adel terampas. Kakinya refleks melangkah ke sana. Memastikan. Ayunan kaki yang gamang. Kepalanya pelan menggeleng. Tidak, Tuhan. Tidak untuk yang kedua kali. Adel mohon.
Namun, semakin dekat jarak yang dipangkas, Adel dijejali fakta di depan mata. Dia tidak bisa menyangkal. Tidak bisa mengaburkan. Benar-benar tidak ada pembelaan yang mampu mengalihkan. Ini bukan mimpi. Senyata pijakan kaki telanjangnya di lantai yang dingin.
Bahkan, ini terlalu nyata.
"Mbak, sadar!" Kedua tangan Adel terjulur, menggamit kedua lengan kakaknya. Berseru tertahan. "Kenapa Mbak gini lagi?!"
Yang digamit lengannya tak banyak bereaksi. Hanya menyeringai.
Adel mengguncang kedua lengan itu. "Mbak sadar apa yang Mbak lakuin, 'kan?!"
Melihat situasi yang ganjil, Rasyid berlari mendekat. Tepat saat lelaki yang setengah telanjang mencoba menarik Adel mundur.
Rasyid menepis tangan itu tanpa memperhatikan wajahnya. "Jangan sentuh istri gue!" Dan tertegun sendiri saat menoleh. Bukankah lelaki ini ... "Mas Genta?"
"Jawab, Mbak!!!" Adel menatap tajam kakaknya yang memberi ekspresi sebaliknya. Terlihat tenang.
"Del, tahan emosi kamu." Rasyid hendak menyentuh bahu istrinya tapi kalah cepat dengan gerakan Tere yang mendorong Adel.
Terdengar benturan yang cukup keras. Baru saja punggung Adel terdorong ke dinding.
"Urusin istri lo, Ras." Tere menatap marah sebelum melangkah pergi. "Meski kalian mau cerai, dia masih tanggungjawab lo."
Lift yang menutup seakan menyentak Adel. Tersadar. Rasyid sigap menahan lengan Adel. Tapi ditepis. Adel berbelok ke tangga darurat. Kembali menepis tangan Rasyid yang coba menghentikannya lagi.
"Del—" Rasyid mengejar langkah tergesa Adel yang menuruni tangga. Dia baru melihat sisi Adel yang ini. Sedikit kewalahan karena perempuan ini tidak bisa diajak bicara. Kilatan mata yang Rasyid tidak kenali.
Saat langkah Adel tak memijak dengan sempurna di anak tangga, Rasyid sigap meraih lengan Adel. Hanya sebentar sebelum ditepis dan Adel melanjutkan langkah terburunya.
Sampai di basemen, Adel mempercepat langkah. Rasyid sengaja tertinggal di belakang. Memberi ruang kalau-kalau ini memang urusan kakak-beradik yang Rasyid tidak bisa campuri. Sesuatu yang mesti mereka selesaikan dengan cara mereka sendiri.
Namun, sayangnya Tere sudah telanjur masuk ke dalam mobil. Adel yang kelewat nekat, berlari menghadang persis sebelum mobil Tere berbelok.
Suara decitan ban membuat ngilu. Adel tak gentar sedikit pun. Dia tetap keras kepala tidak mau menyingkir. Membuat Tere mengumpat, memukul setir dan keluar dengan marah. Membanting pintu mobil.
"Aku nggak tahu." Adel tersenyum getir. "Mbak emang beneran bodoh atau sengaja cari perhatian."
Tere mengatupkan bibir. Dia menghampiri adiknya. Melipat kedua tangan di depan dada. Seolah adiknya ini bukan masalah besar setelah melihat dan memahami hidup yang Tere masih jalani.
"Mbak tahu?" Adel menyeringai. "Hidup yang Mbak jalani ini bikin banyak orang tersakiti. Mbak nggak mikir kalau sampai Mama tahu ...."
"Kenapa kalau Mama tahu?"
Mendengkus. "Aku nggak tahu kalau Mbak memang sehina ini."
Dalam gerakan cepat, Tere mendekat dan melayangkan satu tamparan. Cukup keras. Membuat Adel bergeming beberapa saat. Merasakan panas menjalar di pipi kanannya.
Rasyid tertegun melihatnya.
"Sok suci! Kayak hidup lo yang paling bener aja!" Tere menatap remeh adiknya. "Lo pikir gue nggak dengar tadi? Gue nggak habis pikir. Selama ini kalian berhasil nipu banyak orang. Great! Hebat banget adik gue ini. Nilai hidup orang, tapi dia sendiri nggak bisa ngurus hidup sendiri. Lo sangat menyedihkan, Del."
Adel menatap kecewa. Bukan karena kalimat yang ditujukan padanya. Dia tidak peduli dengan pendapat kakaknya. Termasuk fakta jika kakaknya mendengar percakapan dirinya dengan Rasyid tadi. Adel tidak peduli itu. Sakit di pipinya akibat tamparan juga bukan masalah besar.
Melainkan wajah Mama yang membayang di kepalanya. Bagaimana jika Mama tahu kelakuan anak sulungnya? Kekecewaan Mama akan seperti apa? Adel rasanya tidak sanggup melihat kehilangan yang sama.
"Mbak ...." Alih-alih marah karena tamparan, Adel mencoba mengendalikan diri. "Belum terlambat, Mbak, buat menghentikan semua ini. Aku pastikan Mama nggak tahu. Jadi, aku mohon—"
"Ngaca, Del, ngaca! Astaga! Kok kesannya gue lebih menyedihkan daripada lo?" Tere tertawa hambar. "Lo nggak perlu sok khawatir sama hidup gue. Nggak perlu. Toh, Mama bakal lebih kecewa kalau dia tahu anak kesayangannya ternyata penipu. Gue mesti acungi jempol buat lo dan Rasyid yang berhasil akting sebagai suami istri yang bahagia."
Adel mengeraskan hati. Menolak air mata yang menggantung di sudut mata. "Aku kehilangan Papa karena Mbak. Apa aku juga harus kehilangan Mama karena hal yang sama?"
Pertanyaan itu menggantung di parkiran basemen yang senyap dan dingin. Tere mundur, kembali memasuki mobil dan melaju pergi. Tanpa peduli jika adiknya hancur di tempat.
Adel luruh ke lantai. Rasyid menghampiri. Mengulurkan tangan setelah beberapa saat membiarkan Adel tertunduk. Tidak. Perempuan ini tidak menangis. Hanya napasnya yang menderu. Adel terlihat sedang berusaha meredam emosi.
Mengabaikan uluran tangan, Adel tiba-tiba bangkit sendiri. Melewati Rasyid begitu saja.
Dengan langkah tersuruk, Adel berhasil mencapai lift.
Rasyid yang hendak bicara, urung saat melihat Adel menekan angka sepuluh di dinding. Dia membiarkan. Juga ketika Adel memasukkan kata sandi. Melangkah masuk dan mengunci kamar. Rasyid tetap membiarkan.
"Kalau kamu butuh teman bicara, aku nunggu di sini ya." Rasyid punya kunci cadangan, tapi dia ingin memberi Adel waktu untuk menenangkan diri.
Karena sesaat setelahnya terdengar isakan pelan.
Tangis yang mungkin ditahan sejak tadi akhirnya pecah. Dan Rasyid benci dengan fakta bahwa Adel memilih menangis tanpa dirinya.
Memutuskan duduk di sofa, Rasyid mencoba merangkai penjelasan sendiri. Nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar tadi. Situasi antara Adel dan kakaknya cukup rumit. Lalu semuanya tiba-tiba masuk akal baginya. Tentang bagaimana hubungan Adel dan kakaknya selama ini. Adel yang enggan bercerita banyak. Adel yang berhasil menutupi setiap retakan. Adel yang selalu menghindar pulang.
Satu jam kemudian, terdengar kunci yang diputar. Rasyid menoleh dan menunggu hingga perlahan Adel muncul dari balik pintu. Keadaannya jauh lebih buruk. Wajah sembap. Tatapan kosong. Pipi kanan yang memerah. Rambut panjang yang berantakan.
Meninggalkan sofa, Rasyid mendekati Adel yang masih bergeming.
"Del—"
Perlahan wajah itu menatapnya. Suaranya parau. "Belum terlambat untuk kembali, 'kan?"
Mata mereka saling mengunci. Jeda beberapa saat sampai Rasyid mengerti maksud pertanyaan itu. "Belum."
"Aku bisa rebut kamu dari Salma, 'kan?"
"Aku milik kamu, Del."
Mengangguk pelan. Antara terdengar dan tidak. "Oke."
"Kamu nggak percaya?" Rasyid melihat keraguan berpendar jelas di antara tatap sendu itu. Maka, dia maju. Memupus jarak. Sedikit merunduk. "Aku bakal bikin kamu percaya."
"Dengan?"
"Ini." Rasyid mencium bibir Adel. Kedua tangannya mendekap punggung itu. Merapatkan tubuh. Adel yang awalnya tidak bereaksi, kini membuka bibir. Membuat Rasyid bisa memperdalam ciuman.
Satu fakta kembali menghantam Rasyid. Demi apa pun, dia tidak suka melihat tangis menghias di wajah perempuan ini. Tangan kanannya bergerak ke pipi Adel, mengusapnya lembut. Seolah ingin menghilangkan perih di sana. Dia juga tidak suka jika ada yang menyakiti Adel.
Rasyid menarik wajahnya, memberi kesempatan Adel untuk bernapas. Adel pikir lelaki ini selesai, tapi dia salah. Lelaki ini hanya memindahkan bibir ke lehernya. Mengecup cukup lama. Adel mulai tak waras karena dia membiarkan lelaki ini mengambil alih kendali atas dirinya.
Bukankah tadi mereka bicara soal perpisahan? Kenapa sekarang seolah Adel sedang menjilat ludah sendiri?
Apakah ini salah?
Tidak.
Apakah Adel sedang memberi kesempatan kedua untuk Rasyid?
Tidak.
Lalu?
Adel hanya ingin Mama bahagia.
Ketika ada pergerakan Rasyid yang hendak mundur, Adel tersadar dan buru-buru menahan punggung itu. "Jangan berhenti."
Rasyid bertahan di leher jenjang Adel. Terengah. Lirih. "Aku takut kebablasan."
"Aku milik kamu, Ras. Selamanya."
***
Mas Genta siapa? Penjelasan di next chapter yaaa~
Aku kebat-kebit nulis chapter ini, jujur. Kebawa emosinya Adel. Kebanting2. Yg biasanya dia absurd bodo amatan, tbtb sedih. Mood swing sekali, wkwkwk :(
Ini di luar alur yang kubayangin di kepala. Pas ngasih kalian cuplikan di ig, belum kepikiran konflik ini.
Yak, setelah ini mungkin Adel bakal memperjuangkan kebahagiaan dia (dan Mama). Atau sebaliknya, Acid yg bakal berjuang lebih keras demi memperbaiki kesalahan?
Kalian, siap buat jatuh cinta sama Acid?
WKWKWKWK~
Kamis/28.05.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top