Chapter 30

Hela napas dulu sebelum baca 🐨

Chapter ini panjang. Aku gak expect banyak. Semoga kalian suka ... meski ambyar 🙂

Oh iya, plis, tahan hujatan. Sensor kalo bisa 😅😆

————————


"Ini undangan apa?"

Masih lengkap dengan kemeja kerja yang entah jasnya ditaruh di mana. Dasi yang sudah dilonggarkan. "Acara ulangtahun perusahaan. Lusa."

Jadi ini alasan Rasyid menghilang seminggu ini? Dia ikut gotong speaker ya? Atau berlatih jadi tim hore. Angan-angan Adel memang kadang keterlaluan. Rasyid pemilik perusahaan. Tuan rumah. Ngapain dia ikutan sibuk. Semua pasti sudah diserahkan ke EO.

"Aku datang sebagai apa?"

"Nggak disuruh masuk dulu?" Rasyid menelengkan kepala.

"Nggak. Di sini aja. Udah malem."

"Justru karena udah malem. Biarin aku duduk sebentar. Kamu bikinin kopi atau teh. Khawatir digrebek? Kan kita punya buku nikah. Kita juga pakai cincin yang sama."

"Ras." Adel juga mengantuk. "Berhenti ngelantur. Nggak ada grebek-grebek di apartemen. Undangannya aku terima dan silakan pulang."

"Ngusir banget nih?" Rasyid merajuk. "Nggak kangen?"

Dijawab terlalu cepat. "Nggak."

"Lusa datang sebagai istriku ya." Rasyid menjawab pertanyaan tadi.

"Nggak janji ya, Ras. Lusa kayaknya aku ada acara."

Rasyid menaikkan satu alis. Tanpa berniat mengejek. "Sejak kapan kamu punya acara?"

Itu fakta. Kenyataan. Adel merasa tidak perlu tersinggung. "Tanpa aku pun, acara bakal sukses kok."

"Tapi diusahain datang ya."

"Besok aku kabari lagi."

Rasyid tersenyum tipis. "Kok aku merasa kita makin jauh ya, Del?"

"Bukannya itu yang kamu mau?"

Menghindari perdebatan, Rasyid pamit. Dia sudah lelah, Adel pun mengantuk. Wajar. Ini sudah lewat jam duabelas.

Rasyid berbalik, tapi baru dua langkah dia kembali lagi. Tepat ketika pintu hampir ditutup. Telapak tangannya cepat menahan daun pintu.

"Apa lagi?"

Tanpa berkata, Rasyid mendorong daun pintu, bergerak maju dan meraih tubuh Adel. Memeluknya. "Bentar ya. Aku charge energi dulu."

Beberapa detik berlalu. Adel yang semula kaget, perlahan menyesuaikan. Meski kedua tangannya enggan membalas pelukan.

Napas lelaki itu terasa hangat di bahunya. Satu tangan Adel akhirnya bergerak naik ke punggung suaminya. Mengusap. "Ada masalah di kantor?"

"Masalahku cuma satu. Kangen kamu."

Ck! Nyesel tanya.

"Del, beneran."

"Ya terus aku mesti apa?"

"Bolehin aku tidur di sini ya."

"Nggak."

"Atau kamu deh yang tidur di tempatku." Rasyid menambahkan. "Malam ini aja."

"Kakiku mulai kesemutan ya. Charge energi, charge energi, kamu kira aku Baymax?"

Adel berusaha melepaskan diri. Tapi gagal. Rasyid justru mengeratkan pelukan. Menghidu wangi sampo Adel yang dia sukai sekali lagi. "Kalau ada apa-apa, telepon ya."

"Ada apa-apa gimana maksudnya?"

Rasyid akhirnya melepas pelukan dan mundur. Nyengir. "Ah, aku lupa kamu pemberani. Tapi ya misal ada sesuatu yang kamu butuh bantuan."

"Aku bisa telepon Gina."

Dengan nada protes. "Suamimu tuh aku, Del. Ngapain apa-apa Gina?"

Istrimu tuh aku, Ras. Ngapain apa-apa Salma? Akhirnya, hanya ... "Bisa pulang sekarang?"

"Bisa." Rasyid maju untuk mengecup bibir Adel. Setelahnya berbisik, "Nice dream, Del."

Nice dream palelu. Yang ada nggak bisa tidur setelah diperlakukan seperti ini. Rasyid sialan!

***

Keesokkan paginya, Adel terpaksa harus menyelinap ke unit Rasyid. Mengambil buku catatan yang tertinggal di gudang. Beruntung sandi tidak diganti. Jadi dia masuk dengan mudah.

Sesaat setelahnya, pintu berbunyi. Terbuka. Gelak tawa yang Adel kenali. Entah apa yang mereka obrolkan sebelum membuka pintu.

"Acaranya jam berapa?" Rasyid bertanya. "Aku lupa."

"Jam sembilan."

"Sejak kapan Kiara ikut bus sekolah?"

"Minggu lalu. Dia sendiri yang minta."

"Kamu bolehin?"

"Iya. Selama dia happy. Kenapa?"

"Nggak. Takut aja dia ikut bus karena nggak mau ngerepotin kamu yang harus antar jemput."

"Aku sempat tanya hal itu dan Kiara bilang bukan. Oh iya, dresscode-nya warna pink. Kamu ada dasi atau kemeja pink?"

"Ada. Cuma jarang kupakai. Semoga masih ada di lemari."

"Mau aku bantu nyari?"

Jeda.

"Boleh."

Tanpa sadar Adel meremas buku catatan di tangannya.

"Yakin nggak sarapan dulu, Ras? Atau mau aku buatin bekal? Tadi aku masak—"

"Nggak usah, Sal. Aku udah telat soalnya. Kamu nggak sekalian bareng aku?"

"Aku mesti mampir ke suatu tempat dulu."

"Oke. Nanti kujemput jam ...?"

"Acara sekolahnya Kiara mungkin ngaret. Sesuaiin aja sama jam kamu. Rapatnya nggak bisa diburu-buru juga, 'kan?"

"Aku usahain tepat waktu ya."

Tangan Adel di sisi tubuh tanpa sadar mengepal. Bibirnya mengatup rapat. Mengembuskan napas keras-keras. Dadanya bergemuruh. Mengusap wajah. Tidak. Jangan sekarang. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, Adel.

Salma pamit dan disusul Rasyid tak lama setelahnya.

Mengambil keputusan cepat, Adel menyusul Salma yang kembali ke unitnya sendiri. Tidak peduli jika perempuan itu buru-buru hendak pergi. Urusan ini jauh lebih mendesak. Adel tidak ingin menahannya lebih lama.

"Aku mau bicara sesuatu." Begitu pintu terbuka, Adel langsung mengutarakan niat.

Entah dorongan dari mana. Tapi Adel muak dengan situasi ini. Dia merasa perlu bicara dengan Salma. Memastikan apa pun itu yang selama ini dia simpan rapat. Meski sebagian hatinya tidak siap mendengar.

Salma yang hendak berangkat, menatap bingung. "Maaf, Del, kalau nanti malam gimana? Aku mesti—"

"Ini soal Rasyid."

"Tapi aku buru-buru."

Adel bersikukuh. "Cuma sebentar. Aku nggak bisa nunggu nanti malam."

Salma akhirnya membiarkan Adel masuk dan duduk di sofa.

Tanpa membuang waktu. Adel menagih janji Salma. "Kamu pernah bilang untuk jangan sungkan kalau aku mau tanya sesuatu."

"Ya?"

"Aku mau tanya sesuatu yang sangat pribadi."

"Kalau ini soal Rasyid, aku nggak bisa jawab—"

"Aku tahu kamu dan Rasyid sudah sejauh apa." Adel tidak perlu menyebutkan satu per satu yang dia ketahui. Tapi mestinya Salma sudah menangkap maksud Adel. Perempuan ini pastilah tahu kalau Rasyid menceritakan semuanya pada Adel. Tentang apa yang terjadi lima tahun lalu. Kecuali memang ada yang masih disembunyikan.

Biar apa? Biar Adel bisa menerima hubungan rumit mereka yang mengatasnamakan Kiara.

"Apa kehadiran aku dan Kiara membuat kamu terganggu?"

Adel tidak tahu jika Salma akan sebebal ini. Maka Adel tidak punya pilihan lain selain berkata yang sebenarnya. Dia lelah memendam sendiri. "Jujur ... iya."

"Kamu mulai mencintai Rasyid kalau begitu." Dikatakan dengan tenang. Tanpa gemuruh. Bukankah perempuan ini terlalu sering sembunyi di balik senyumnya?

Adel tidak menanggapi pernyataan itu. Memilih melempar pertanyaan inti. "Kamu yakin nggak pernah sedikit pun mempertimbangkan perasaan Rasyid?"

"Pernah." Tersenyum tipis.

Sekuat tenaga, Adel menahan diri untuk tidak bertepuk tangan. Tidak cuma Rasyid yang pandai menyembunyikan fakta, Salma juga setali dua uang. Rasyid memang pernah bercerita jika dulu perasaannya hanya searah. Tapi, nyatanya, Salma pernah mempertimbangkan. Apakah Rasyid tahu ini?

Di titik ini, Adel benar-benar merasa sudah dibodohi. Hidupnya mendadak jadi lucu karena berada di antara dua orang yang masih saling mencintai. Padahal sejak awal Adel tahu, tapi tidak dengan fakta kalau Salma ternyata juga mencint—

"Kamu sudah dengar soal Irsyad dari Rasyid? Pasti sudah." Salma terlihat tenang. Memotong pikiran Adel. "Rasyid melakukan banyak hal untuk aku dan Kiara. Hal yang kemudian aku khawatirkan suatu hari nanti ketika Rasyid punya istri. Tidak mudah menerima kehadiran kami di hidup Rasyid. Aku ... aku pikir kamu berbeda, Del."

Mendengkus. "Aku cuma perempuan biasa. Maaf mengecewakan kalian."

"Bukan salah kamu. Aku yang salah."

Adel menatap lurus. "Kamu tahu, pernikahanku dan Rasyid cuma main-main. Kami punya tujuan yang berbeda. Rasyid berusaha melupakan kamu dan membuat keluarganya merasa tenang karena anak lelaki mereka akhirnya menikah. Mereka pikir dengan cara ini Rasyid bisa menjauhi kamu. Makanya, dengan mudah mereka nerima aku. Perempuan random yang Rasyid bawa ke rumah. Alasan kedua, Rasyid bisa leluasa kembali ke apartemen supaya bisa dekat dengan kalian."

"Kamu banyak berasumsi, Del." Salma mematahkan kalimat panjang Adel.

Sudut bibir Adel berkedut. "Tapi Rasyid nggak bisa nyangkal asumsiku ini, asal kamu tahu."

"Kamu perlu bicara dengan Rasyid lagi."

"Percuma. Aku udah tahu. Kamu pikir selama ini aku pura-pura bego karena memang bego beneran? Memangnya aku nggak bisa mengartikan semua sikap Rasyid yang jelas-jelas nggak bisa mencintai perempuan lain selain kamu?"

Salma terdiam telak. Binar matanya meredup kemudian perlahan berkaca. Bibirnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu.

Meremas tepian sofa, Adel sadar apa yang dia ucapkan akan menyakiti hatinya sendiri. Satu kesimpulan setelah dia membaca situasi sejak awal. Hal yang ingin dia sangkal mati-matian tapi selalu gagal. Kenyataan yang menampar telak. "Berhenti membohongi semua orang. Kamu mencintai Rasyid."

Ruangan itu mendadak lengang. Wajah tenang di hadapan Adel sempurna sirna. Ada berbagai gurat yang muncul sebelum akhirnya menjadi tangis.

Sesak menghimpit dada Adel. "Rasyid berhak tahu kalau kamu cinta dia."

"Lalu apa? Apakah keluarga Rasyid akan menerimaku dan Kiara?" Salma menggeleng. Tersenyum putus asa. "Kami sama-sama terluka lima tahun lalu. Mereka membenciku setengah mati. Dan mungkin, mereka jauh lebih terluka. Aku dianggap pembunuh. Dianggap merampas Irsyad dari mereka. Dianggap pembawa petaka."

"Rasyid yang paling terluka." Sialan, suara Adel bergetar. "Dia lebih dulu mencintai kamu sebelum Irsyad. Tahu jika kalian saling mencintai, dia mengalah kemudian pergi. Dia yang ada sewaktu kamu dan Irsyad ada di posisi yang salah. Dia yang ngorbanin banyak waktu, tenaga, pikiran dan bahkan dia ikut menyiapkan masa depan kalian. Dan apa pun yang terjadi, dia orang pertama yang akan membela kalian. Kenapa kamu nggak mikir kalau di antara kalian, justru Rasyid yang paling terluka?"

Adel tidak membiarkan Salma menyela. "Kenapa kamu harus dorong dia menjauh kalau memang punya perasaan yang sama? Dia patah dua kali, Sal. Memangnya kamu bisa melihat Rasyid bahagia dengan perempuan lain?"

Dengan suara lirih. "Aku sudah coba."

"Bisa nggak? Nggak, 'kan? Kamu pikir, perempuan yang menikah dengan Rasyid juga bisa bahagia?" Adel nyaris menangis. "Gimana mau nyoba bahagia kalau yang ada di pikiran Rasyid cuma kamu dan Kiara?!"

"Tapi dia mulai mencintai kamu, Del."

"Persetan!" Adel menangis. Air mata sialan! Dengan kasar dia seka. "Kalau kamu nggak bisa kehilangan Rasyid, harusnya jangan dorong dia. Aku yakin dia bakal cari cara supaya kalian direstui. Harusnya kamu cukup percaya dengan Rasyid!"

"Maaf ...." Salma gagal melanjutkan kalimat. Tertunduk kian dalam. Menangis lebih hebat.

Sayangnya, kata maaf itu tidak bisa mengembalikan apa pun. Sudah retak. Sulit kembali utuh.

***

Suasana hati Adel seharian ini kacau. Alih-alih mendekam dan merenungi banyak hal, dia memilih mendatangi Gina di restoran. Setidaknya dia butuh suasana berbeda. Jadi pikirannya tidak ke mana-mana.

"Kenapa? Berantem lagi?" Gina bergabung tak lama setelah Adel duduk dan hanya mengambil segelas jus di antara buffet makan siang yang menggoda.

Adel masih menatap keluar jendela. "Pernah mikir nggak kalau sesuatu yang kita mulai dengan cara yang salah, ujungnya bakal nyakitin?"

"Eh?" Gina menggaruk rambut. "Maap, otak gue udah ngebul gara-gara omelan customer tadi pagi. Coba langsung aja ke intinya."

"Gue sama Rasyid ...." Adel menatap Gina. "... nggak ada harapan."

"Tunggu! Jangan mikir apa-apa dulu." Gina mengangkat kedua tangan. "Ini masalah apa lagi? Masih tentang Salma? Terus rencana lo pindah unit nggak ngefek apa-apa?"

"Sia-sia, Gina." Mengembuskan napas lelah. "Cara itu nggak bisa bikin Rasyid mikir dan introspeksi. Yang ada makin jadi dia."

"Rasyid nggak ada bujuk lo apa gimana?"

"Ya selama gue pindah unit, dia emang ngerecokin. Tapi bukan yang kayak dia sadar mau gue apa." Adel cepat meralat. "Nggak. Dia sadar mau gue apa. Tapi dia nggak bakal bisa ngelakuin itu sampai kapan pun."

Gina menatap sedih. "Gue jadi ikut merasa bersalah. Gue yang udah nemuin kalian."

"Lo nggak salah. Gue bisa aja nolak ketemu Rasyid. Tapi gue memutuskan ambil kesempatan itu."

"Terus rencana lo selanjutnya apa?"

"Gue mau pindah ke ruko. Sekalian nyoba buka toko."

"Terus unit lo gimana?"

"Disewain. Mumpung masih polosan. Belum gue apa-apain."

Gina bertanya pelan. "Udah ngomongin soal lo mau pindah ke Rasyid?"

"Belum."

"Omongin dulu. Mau gimana pun, dia suami lo. Apa-apa mesti izin ke suami dulu."

"Udahlah, Gin. Males gue. Dia nggak bakal peduli juga."

"Del, yakin nggak mau bertahan di apartemen sebentar lagi? Siapa tahu besok Rasyid ambil tindakan."

"Kalau nggak?"

"Apa pun, selain pisah." Tidak ada nada bercanda dalam kalimat Gina. "Kalian bakal mengecewakan banyak orang kalau ambil keputusan pisah."

"Jadi, nggak apa-apa ya, Gin, gue aja yang kecewa sampai mau mati rasanya?"

Gina berdiri. Merangsek ke Adel. Memeluk sahabatnya itu. "Lo mau gue bantu bicara ke Rasyid?"

"Nggak usah. Dia nggak bakal mau dengar."

***


Sialnya, Adel berpapasan dengan Rasyid di lantai basemen. Sama-sama menunggu lift terbuka. Tapi di luar dugaan, jika biasanya Rasyid akan bertingkah menyebalkan, kali ini lelaki itu diam. Menyapa Adel pun tidak. Baguslah. Adel juga malas bicara.

Di dalam lift pun sama. Meski hanya berdua. Mereka kompak membisu. Hingga pintu lift terbuka di lantai sembilan. Rasyid ikut melangkah keluar dalam diam.

Mengerti kebingungan Adel. "Aku minta sepuluh menit buat bicara."

Adel memasukkan sandi. Membuka pintu. Tiga langkah dari pintu, pertanyaan Rasyid membuat langkahnya terpaku.

"Kamu tadi pagi ketemu Salma?"

Adel menyeringai sebelum berbalik. "Dia ngadu ke kamu?"

Masih dengan tenang. "Kamu ada masalah apa sama Salma sebenarnya?"

"Nggak ada."

Mendesah lelah. "Terus kenapa kamu harus se-childish ini? Kamu paham kondisiku sejak awal, Del. Aku pikir semua penjelasanku cukup. Kamu pindah unit secara sepihak gini, aku turuti. Sekarang, apa lagi?"

"Aku cuma—"

"Tolong jangan usik Salma soal perasaanku, Del. Kami udah selesai, kamu tahu itu. Apa yang aku beri ke mereka, murni karena aku Om-nya Kiara. Aku harus bilang berapa kali lagi. Kenapa kamu nggak bisa ngerti?"

Adel mendekat ke Rasyid. "Nggak bisa ngerti kata kamu? Aku justru bantu kalian untuk meluruskan perasaan. Kamu harusnya berterima kasih."

"Kalau ini soal perasaanku, harusnya kamu konfirmasi langsung ke aku. Bukan dengan bicara aneh-aneh ke Salma."

"Bukan. Ini soal perasaan Salma." Adel kemudian sadar jika Salma mungkin hanya bercerita separuh percakapan mereka tadi pagi.

"Kurang jelas apa sih, Del? Dia nggak ada perasaan apa-apa ke aku—"

"Itu menurut kamu. Menurutku nggak gitu. Toh, dia juga ngaku kok."

"Del, berhenti bahas hal ini." Rasyid mengusap wajahnya yang lelah. Lebih baik dia pulang sebelum semakin memprovokasi Adel.

Persis di ambang pintu, kalimat Adel bagai bom waktu yang diledakkan persis di depan wajah.

"Salma cinta sama kamu!"

Punggung itu bergeming. Adel menunggu reaksi seperti apa yang akan Rasyid tunjukkan. Ketika berbalik, sayangnya wajah itu tidak terbaca. Tatapannya yang biasa teduh, berubah dingin.

Adel terima tatap dingin itu, meski sakit. Ke mana tatap hangat yang biasanya?

"Aku tahu, Del, aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Aku banyak salah. Aku egois. Tapi kamu nggak bisa gini. Kamu juga nggak berhak menghakimi Salma."

"Menghakimi? Aku nggak ada ungkit soal kamu yang jadikan mereka prioritas. Aku bahkan nggak nyebut dia pelakor—"

"DIA NGGAK SEHINA YANG KAMU PIKIR!"

Adel gentar. Ini pertama kalinya Rasyid berteriak di depannya.

Seakan belum cukup, Rasyid kemudian berkata penuh penekanan. "Kamu nggak tahu apa-apa soal Salma, Del. Jadi kamu pun nggak berhak buat hakimi dia atau perasaan dia atau apa pun itu. Selama ini Salma bersikap baik ke kamu. Tapi kamu ternyata anggap dia musuh. Jangan-jangan sikap kamu ke Kiara juga palsu?"

Kalimat terakhir itu sempurna menyakiti Adel. Iya, dia memang tidak suka dengan anak kecil. Tapi bukan lantas perasaannya terhadap Kiara palsu.

Fakta menyakitkan lainnya, Adel salah menilai Rasyid. Dia pikir lelaki ini mulai mengenalnya. Dia pikir lelaki ini sebaik Papa. Dia pikir, bersama lelaki ini, semuanya akan terasa mudah.

Namun, semua penilaian itu runtuh seketika. Adel dihadapkan pada kenyataan di depan mata. Coba disangkal dan dikaburkan, hatinya telanjur memahami situasi ini dengan baik.

Wajah itu menatap Adel dengan terluka. "Aku pernah kehilangan mereka, Del. Sulit mengembalikan mereka ke sisiku. Kalau sampai mereka pergi lagi—"

"Apa? Kamu mau nyalahin aku? Benci aku seumur hidup? Silakan, Ras! Aku nggak peduli. Terserah kalian. Toh, aku ini siapa. Salma dan Kiara jauh lebih dari segala-segalanya buat kamu!"

Rasyid mengusap wajah gusar. Menghentikan pertengkaran di sana. Tanpa berkata apa-apa, dia berbalik. Membawa gelegak emosi yang membuncah di dada sebelum meledak di sini.

Menatap pintu yang semenit lalu menutup dengan pandangan kosong, Adel masih bertahan di sana. Perasaan sakit menjalar lebih lebar. Meremas hati. Air mata diam-diam menetes. Dibiarkan begitu saja karena dia tak sanggup sekadar mengangkat tangan dan mengusapnya.

Senyap. Tapi retakan justru semakin terdengar jelas dan dekat.

Terduduk. Dipeluk dinginnya lantai. Tangisnya semakin dalam. Redam di antara sedu-sedan. Bibirnya bergetar.  "Terus aku gimana, Ras?"

Menghela napas yang tersendat. Kesadaran itu akhirnya datang di saat yang tidak tepat.

"Aku juga cinta sama kamu."

***

Eh, gimana gimana? Ambyar gak? 😶

Next chapter mungkin dari POV Acid. Kita liat dia nyesel apa kagak 😒

Kalo sampe gak, kita sunat sekali lagi 😂

Astaga. Ini pertama kali aku nistain anak sendiri. Selain Acid, anak2ku yang lain perasaan baek2 aja 😂

Btw, massa yg bergerak di twitter, thankyou yaaa! Aku kaget waktu Satria jg ikutan nongol di sana. Kirain cuma WTT sama WIC aja 😆

Mohon maaf lahir dan batin ya. Selamat berkumpul bersama  keluarga. Yang gak bisa pulang, tetap semangat ♥

Mau tanya sesuatu? Drop pertanyaanmu di sini 🙌

Sabtu/23.05.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top