Chapter 29

"Adel?"

Gerakan Adel mengambil potongan buah semangka di piring kecil, terhenti. Dia familier dengan suara ini. Begitu menoleh, dia otomatis menghela napas dengan kentara. Di depan orang ini, dia tidak perlu merasa tidak enak dan sebagainya.

Adel sangat maklum jika di antara keluarga kalem Rasyid, pasti akan nyempil satu mak lampir. Nih, contohnya Tante Mira. Lambe Turah berjalan di keluarga ini.

Arisan keluarga sudah dimulai dua jam lalu. Acara inti baru saja selesai. Sepanjang acara, Adel tidak punya pilihan lain selain menempel ke Rasyid. Bukan karena ingin dianggap pasangan serasi, tapi demi mencari aman. Karena pertanyaan apa pun yang diajukan ke Adel, jika merasa istrinya tidak mau menjawab, Rasyid akan mengambil alih.

Nah, sekarang, Rasyid sedang ke kamar mandi.

"Tante lihat kamu agak berisi. Udah isi ya?"

"Iya, Tan. Aku makan siomay tadi. Bentar lagi makin berisi nih, semur daging buatan Bunda enak banget kayaknya. Belum lagi es blewahnya." Adel sungguhan menelan ludah. Yang ini tidak akting, sungguh.

Tante Mira mendecak pelan. "Hamil maksudnya."

Ini orang, emang Adel sebego itu apa. "Doain aja ya, Tan."

"Kamu ini beda banget sama Salma."

Adel menancapkan garpu ke potongan buah dengan kejam. "Jelas beda, orang saya bukan Salma kok. Saya hidup bukan buat jadi kloningan Salma, Tan."

Bohong! Hati kecil Adel menyangkal.

Logika menangkis. Halah, bodo amat!

"Tante sering lihat Rasyid jalan berdua dengan Salma." Satu langkah mendekat, mungkin takut didengar yang lain. "Rasyid pamit sama kamu nggak tuh?"

Adel mendecak keras. "Bertiga kali, Tan. Kiara mau dikemanain."

"Ya apa bedanya?"

"Ya beda dong, Tante. Alasan mereka jalan juga karena Kiara." Eh, kenapa jadi belain Rasyid gini sih?

"Emangnya kamu tahu?" Tante Mira menyeringai. "Kiara bisa aja cuma alasan."

Adel juga tahu, Tante. Cuma pura-pura bego aja dia.

Saat Rasyid sudah terlihat. "Tante konfirmasi langsung aja ke orangnya."

Tapi yang terjadi ketika Rasyid menghampiri mereka, Tante Mira hanya tersenyum lebar. Menepuk-nepuk bahu keponakannya.

"Kalian gosipin aku ya?"

IYA!!!

Senyum Tante Mira semakin lebar. "Beruntung kamu punya istri kayak Adel, Ras."

"Emang gimana, Tan?"

"Pinter ngomong dia."

Dalam hati, Adel tertawa jahat. Tante Mira juga menyingkir setelah dengan lebay melambaikan tangan, entah pada siapa.

"Kalian hampir baku hantam?" Rasyid menatap Adel dan tantenya secara bergantian.

Adel mengangkat bahu. Malas menjawab. Memilih menyuap potongan buah ke dalam mulut.

Acara berjalan lancar. Adel sukses menekan jiwa ansos-nya demi terlihat sedikit manusiawi. Rasyid membantu banyak. Berterima kasih kepada kepekaan lelaki itu. Andai saja dia juga peka perkara perasaan Adel. Tapi ya sudahlah.

Saat makan malam, Adel yang baru turun, habis mandi, kaget melihat karpet ruang tengah yang disibak. Digantikan dengan daun pisang lebar. Bunda dibantu dua ART, menata nasi dan lauk di atas daun pisang.

Aduh, keluarga ini unik juga ya. Tapi Adel senang sih. Keluarga ini kompak. Ini sebenarnya hanya masalah sudut pandang saja. Adel mungkin tidak tahu apa yang tersimpan di hati masing-masing.

Adel mendapati kenyataan yang lain ketika dia terjaga dan berniat mengambil minum di dapur. Saat itu dia melihat Bunda terpekur di meja makan. Adel sempat menimbang, apakah dia perlu melanjutkan langkah atau kembali ke kamar.

Namun, Bunda telanjur menyadari keberadaan Adel di anak tangga terakhir. Sempat mengusap pipi sebelum menoleh. Merasa tertangkap basah. "Del? Belum tidur?"

"Kayaknya gara-gara aku tadi tidur duluan, jadi nggak bisa tidur, Bun." Adel mendekat hati-hati. "Bunda kebangun?"

Sepertinya pertanyaan Adel salah. Bunda masih mengenakan baju yang sama. Belum berganti dengan baju tidur.

Adel membuka kulkas, mengambil sekaleng kopi instan. Kemudian menyusul duduk di kursi yang berhadapan.

"Bunda nggak bisa tidur, Del."

Adel mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari Bunda di atas meja. Di antara remang cahaya dan jarak sedekat ini, Adel bisa melihat bekas air mata di pipi yang luput diseka.

"Orang tua ini mengkhawatirkan banyak hal."

"Bunda mengkhawatirkan apa?"

Bunda menggeleng kemudian menunduk. Menghindari tatapan Adel. "Bunda merasa gagal sebagai ibu."

"Ini bukan soal Bunda berhasil atau gagal sebagai ibu." Adel tersenyum. "Kalau memang ada yang luput, itu karena kita cuma manusia, Bun. Tempatnya salah. Nggak ada yang benar-benar sempurna. Tapi jujur, aku iri dengan keluarga ini."

"Kenapa harus iri? Keluarga ini juga milik kamu, Del." Bunda berkata lembut.

Sebentar lagi Adel mungkin bukan bagian dari keluarga ini. "Bun, maaf kalau aku lancang bilang begini."

"Ya?"

"Kebahagiaan Rasyid sederhana, Bun. Dia ingin lihat Bunda berdamai dengan apa pun yang terjadi lima tahun lalu."

Tercekat. Bunda kembali menangis. Adel memberi waktu sejenak. Dia hanya mengusap punggung tangan dalam genggaman.

"Aku mungkin sok tahu. Aku nggak ada di posisi Bunda. Terlalu mudah bagi orang luar seperti aku untuk menilai ini-itu. Padahal jelas-jelas bukan aku yang menjalani. Tapi, Bun ...." Adel menggigit bibir, kemudian menggeleng. "Beberapa bulan aku menjadi bagian dari hidup Rasyid, lewat cerita-cerita dia, aku sadar kalau Rasyid nggak bisa bahagia dengan cara seperti ini."

Bunda terdiam lama. Setelahnya lirih bertanya. "Adel ... apa kamu bahagia hidup dengan Rasyid?"

***

Rasyid terbangun dan mendapati Adel sudah tidak ada di sampingnya. Mengerjapkan mata kemudian melihat jam di nakas. Pukul dua dini hari. Rasyid menyibak selimut, turun. Mungkin istrinya mengambil minum ke dapur.

Langkahnya terhenti di tengah tangga saat suara percakapan terdengar. Turun selangkah lagi kemudian memutuskan duduk di anak tangga. Tidak ingin menginterupsi percakapan. Apalagi mendengar namanya turut disebut.

"Adel ... apa kamu bahagia hidup dengan Rasyid?"

"Bahagia, Bun."

"Sungguh?"

Adel terdiam. Rasyid ikut berdebar menunggu jawaban.

"Aku mengusahakan yang terbaik, Bun." Adel hanya bisa menjawab itu. Tidak mungkin dia memuntahkan apa yang dia pendam di depan Bunda.

"Apakah Rasyid juga mengusahakan hal yang sama?" Bunda tampak meragu.

"Ayah dan Bunda tidak perlu cemas." Kalimat yang dihadiahi makian oleh hati kecil Adel.

"Kalau kamu juga bahagia, Bunda titip Rasyid ke kamu, Del."

"Tentu, Bun."

Alih-alih tersenyum, Bunda justru kembali menangis. Rasyid tergugu di tempatnya. Dia sering mendapati Bunda yang menangis diam-diam ketika semua orang rumah terlelap tidur. Sekali pun, dia tidak berani menginterupsi tangis itu.

Adel adalah orang pertama yang berani melakukan itu. Duduk menemani Bunda menangis.

***

"Mbak, lihat istriku nggak?"

Rasya yang sedang mengoles selai di roti, mendongak. "Tadi sih pergi sama Bunda ke lapangan kompleks."

"Ha? Ngapain?"

"Paling ikut senam-"

"Nggak mungkin." Rasyid langsung memotong. Kalau Bunda yang ikut senam, Rasyid masih maklum. Kalau Adel? Ini sama saja percaya kalau alien ada.

"Sana susulin kalau nggak percaya."

Rasyid sungguhan menyusul. Minggu pagi hanya menyisakan Mbak Rasya dan suami di meja makan. Sementara Ayah biasanya bersepeda dengan teman-teman komunitasnya.

Masih dengan muka bantal, Rasyid menyapa dan disapa oleh tetangga yang mengenalinya. Lapangan kompleks tidak jauh. Hanya sekitar empat ratus meter. Dari kejauhan, dia sudah mendengar musik dangdut dan sorakan ibu-ibu.

Yakin nih Adel mau ikut senam beginian? Bukan dia meremehkan senamnya, tapi ragu Adel sungguhan mau-

Rasyid tercengang begitu matanya menangkap Adel ada di deretan paling belakang. Dia nyaris bertepuk tangan. Manusia paling mager itu sungguhan ikut senam. Meski gerakannya terlihat payah dibanding ibu-ibu lain yang terbiasa ikut senam. Takutnya kalau tidak bisa mengikuti gerakan, Adel kena sikut atau-

"AWW!"

Nahkan! Apa yang Rasyid khawatirkan terjadi. Adel kena injak salah satu ibu dan jatuh terjengkang. Rasyid segera berlari menghampiri. Melompati saluran tanpa kesulitan. Cepat-cepat membantu Adel berdiri sebelum kena injak lagi.

Muka Adel yang kemerahan terlihat lucu. Rasyid mengajaknya menepi dan duduk di bangku beton. Kemudian lari ke penjual terdekat, membelikan air mineral. Lalu bertanya. "Aku mau tanya, tapi jangan marah."

"Apaan?"

"Kamu kesambet apa ikut senam begini?"

"Bunda yang ngajak."

"Dan kamu mau?"

"Gimana nolaknya?"

"Ya pakai jurus permainan otak yang biasanya." Rasyid hanya memancing sebenarnya. Dia tahu kalau Adel serba menurut begini pasti karena percakapan dini hari tadi.

Adel malas menjawab. Dia sibuk mengipasi leher. Keringat justru semakin membanjiri tubuhnya. Gini ya kalau manusia goa diajak senam. Keringat yang mendekam menahun berebutan keluar.

"Mau pulang jam berapa nanti?" Rasyid bantu mengipasi dengan tangannya.

"Lihat nanti gimana deh. Bunda ngajak beli kain. Mau ada acara apa sih?"

"Bunda emang suka beli kain. Entah bakal ada acara atau nggak."

"Gitu ya?"

Adel jadi kangen Mama yang ribet juga.

Seolah bisa membaca pikiran Adel. "Mau mampir ke rumah Mama?"

"Ngapain? Mbak Tere di rumah. Males."

"Kan tujuan kita buat ketemu Mama."

"Ngapain sih kamu?!"

Rasyid kaget. Dia menghentikan gerakan tangan yang mengipasi Adel. Menatap bingung. Dia salah apa coba? Barusan dia salah ngomong?

"Lupa kalau aku lagi ngambek?!"

Astaga, kirain apa. "Nggak kok. Tenang aja. Nanti boleh dilanjut ngambeknya kalau udah sampai apartemen."

"Sanaan duduknya. Dikira angkot apa, dempetan."

Rasyid bergeser sebelum Adel semakin jengkel.

***

Mereka gagal pulang hari ini. Adel kelelahan menemani Bunda mencari kain, akhirnya tepar hingga magrib. Ngotot pengin pulang, tapi hujan deras. Bunda melarang keras. Takut ada apa-apa di jalan.

Jadilah mereka berkumpul di ruang tengah. Adel yang duduk meluruskan kaki-karena pegal-dijadikan kesempatan untuk Rasyid tidur di pahanya. Ingin rasanya Adel menjambak rambut Rasyid.

Dan benar, begitu orang-orang lengah, Adel menjumput rambut Rasyid dan menariknya.

"Argh!"

Adel buru-buru menepuk dahi Rasyid. "Ada nyamuk."

Tidak kapok kena jambak, Rasyid kian menjadi. Dia mencari posisi nyaman kemudian berbalik menghadap perut Adel. Satu tangannya melingkari pinggang perempuan itu.

Ingin rasanya Adel mengutuk Rasyid jadi batu cincinnya Thanos.

Sebelum kakinya kesemutan, Adel pamit tidur. Padahal dia belum mengantuk. Rasyid juga siaga berdiri. Mengekori istrinya.

Sampai di tengah tangga. "Ras?"

Rasyid berhenti dan menoleh. "Iya, Mbak?"

"Bisa biasa aja nggak bucinnya?"

"Aku kalau di apartemen, lebih parah dari ini, Mbak."

Adel yang ikut berhenti, memutar bolamata jengah.

"Ya udah deh. Ditunggu ya cucu baru buat Ayah dan Bunda."

Cucu baru, cucu baru. Adel mendumal lirih. Emangnya beli di toko?!

Rasyid mencekal lengan Adel, berhasil mengejar. "Nggak usah dibawa hati omongan Mbak Rasya tadi."

"Nggak kok. Udah lupa aku." Adel menepis tangan Rasyid.

"Beneran udah mau tidur?" Rasyid melihat Adel yang masuk ke dalam selimut. Di luar sana masih hujan petir.

Tidak mendapat jawaban, Rasyid ikut berbaring. Menekuk kedua tangan di belakang kepala. "Makasih ya, Del."

"Makasih buat apa? Jangan bikin curiga."

"Nggak cuma tadi malam aja Bunda nangis kayak gitu."

Adel tetap memunggungi Rasyid. Masih terjaga. "Aku ngerasa kalian perlu bicara, Ras."

"Aku ngerasa Bunda masih nyimpan sesuatu."

"Mungkin soal Kiara." Adel bantu menyuarakan. "Apa sama sekali Bunda nggak tergerak lihat Kiara? Aku aja yang anti-anak kecil aja suka sama Kiara. Ehm, maksudku, bukannya aku-"

"Iya, aku ngerti maksud kamu."

"Mereka udah pernah ketemu?"

"Beberapa kali, tapi reaksi Bunda tetap dingin."

Adel jadi sedih mendengarnya. "Terus rencana kamu selanjutnya apa?" Kamu mau kita gini terus?

"Kasih keluarga ini cucu baru?"

".........."

***

Chapter ini adem-adem dulu. Chapter 30 aku pastikan kalian ambyar. WKWKWKWK *ngakak bareng Salma* 😭

Sesuai yg kubilang kemarin. Hari ini aku mau post cerita baru sekitar jam 21.00. Yang mau liat cuplikan teaser-nya, bisa intip di ig-ku ya @respatikasih_ 😆 sekalian follow jg boleh 😂

Chapter 30 insyaAllah Senin 🐨

Btw, aku gumush sama yg komen di chapter 28 seharian ini 😂😂😂

Rabu/20.05.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top