Chapter 19
Masih terlalu pagi saat bel pintu berbunyi. Adel menyibak selimut. Menggaruk pipi. Setengah terpejam menyeret tubuhnya dari kasur. Adel mengutuk siapa pun yang bertamu pagi buta begini.
Pintu terbuka. Adel buru-buru menarik niatan untuk mengutuk. Dia takut kualat.
Mengusap wajah agar segera terkumpul nyawanya. "Pagi, Bunda."
Bunda tersenyum. "Maaf, ganggu kamu pagi-pagi."
"Rasyid lagi di Bali, Bun." Sambil melangkah masuk bersama.
Ada satu paper bag di tangan Bunda yang Adel bantu bawakan. "Iya, Rasyid telepon tadi malam. Makanya Bunda ke sini. Kita sarapan bareng ya."
"Ayah nggak ikut, Bun?"
"Nanti nyusul. Ayah mau sepedaan dulu sama teman-temannya."
Dari sela pintu kamar, Bunda melihat ada satu kaki yang menjuntai di kaki ranjang. Bunda menatap menantunya. "Kamu ada tamu yang nginep, Del?"
"Gina, Bun."
"Oh, Gina." Bunda berhasil ingat tanpa lama.
"Rasyid yang panggil ke sini. Padahal aku berani sendiri."
Bunda menepuk bahu Adel. "Rasyid khawatir sama kamu."
Mohon maaf, Adel tidak terpengaruh. Tapi dia setuju dengan kalimat Bunda sih, kalau dilihat-lihat, Rasyid memang perhatian. Mudah memberi perhatian ke semua orang. Ya mungkin tipe-tipe yang seperti itu. Adel tidak perlu baper kan ya?
Adel melihat Bunda mengeluarkan sayuran segar dari paper bag. Wastagah, mau masak apa nih? Apa belum cukup kulkas di apartemennya penuh oleh sayuran? Dan sekarang Bunda juga membawa banyak sayuran.
Marsupilami makan apa ya? Daun? Oke.
"Del, kamu bengong ya?"
"Gimana, Bun?"
"Kamu mau sarapan apa?" Bunda mengulangi.
"Ngikut Bunda aja deh. Perutku bisa makan apa aja."
"Bunda suka kamu yang simpel." Bunda tersenyum sebelum memutuskan membawa brokoli dan wortel ke westafel.
Apa Bunda juga suka Adel yang absurd? Memangnya Bunda tidak akan pingsan melihat kelakuan Adel yang sesungguhnya?
Adel menyusul ke westafel. Menawarkan bantuan untuk mencuci brokoli. Dan satu pertanyaan dilontarkan mulut impulsifnya. "Sebelum sama aku, Rasyid nggak pernah bawa perempuan ke rumah ya, Bun?"
"Cuma kamu, yang dibawa ke rumah dan dikenalkan ke kami."
"Tapi anak Bunda yang cuakep itu pasti punya pacar sebelumnya." Hei, Rasyid memang tampan, Adel dusta kalau bilang jelek.
"Mungkin pas di Singapura punya. Rasyid lumayan tertutup soal asmara, Del, makanya begitu bawa kamu ke rumah, kami senang. Apalagi kalian langsung menikah, bukan pacaran."
Ya ampun, Bunda ini bahagianya sederhana. Salah satu yang Adel kagumi dari wanita paruh baya ini adalah tidak pernah nyinyir soal kemampuan memasak Adel yang jongkok. Kalau Mama mah, memang sudah menyerah. Habis sabarnya.
Oke, balik ke Rasyid. "Tapi aku nggak bisa masak, Bun. Sama sekali nggak masuk kriteria mantu idaman. Tapi aku terharu, Rasyid nggak pernah protes. Bunda juga nggak nyinyirin aku."
Sejak kapan Adel peduli masalah kriteria-mantu-idaman? Pertama kali diajak bertemu keluarga Rasyid, Adel justru sedang memikirkan bagaimana cara nego dengan customernya agar tidak retur barang.
"Iya, kamu udah bilang ini yang kesekian kali. Bunda belum pikun, Adel."
"Hehe, ya siapa tahu Bunda mulai menyesal sekarang."
"Selama Rasyid bahagia, kami juga akan bahagia."
Bahagia ya? Terlalu muluk-muluk nggak sih? Adel tidak yakin kalau Rasyid bahagia hidup dengannya. Apalagi mereka menikah bukan atas dasar ingin saling membahagiakan. Tapi karena saling mencari untung. Win-win solution.
"Kalian nggak ada masalah, 'kan?" Bunda kembali bersuara setelah Adel hanya diam. "Bunda kira kamu ikut ke Bali. Kalian kan kemarin nggak ada acara honeymoon."
"Aman damai sentosa kok, Bun." Berterima kasih atas kesabaran Rasyid yang tiada duanya. Lelaki itu memperlakukan Adel dengan baik. Marah juga tidak pernah. Jadi serem kan, kalau suatu hari nanti lelaki itu marah. Bom waktu. Dyar!
Selesai mencuci sayuran, Bunda mengambil tatakan. Mulai mencincang sayuran untuk sop daging. Adel kira percakapan sudah selesai, tapi Bunda justru mencomot topik dari zona sensitif. "Rasyid sudah cerita tentang Salma dan Kiara?"
"Bunda tahu?"
Bunda menatap Adel. Tersenyum tipis. "Kalau sudah percaya dengan seseorang, Rasyid mudah bercerita, Del."
Jadi, Rasyid percaya padanya?
"Menurut kamu bagaimana? Soal hubungan mereka."
Adel netral. Golput. Non-blok. Tapi sebenarnya kalau ditanya, apakah Adel merasa tersaingi oleh Salma?
Tidak.
Adel tersaingi oleh Kiara.
"Karena Rasyid kasih aku kepercayaan, aku pun iya, Bun."
"Maaf kalau Rasyid mungkin masih terikat dengan mereka."
"Bunda jangan terbebani apa-apa. Aku kenal baik dengan Salma dan Kiara kok. Bahkan, beberapa kali main sama Kiara juga. Anaknya gemesin, Bun."
Gerakan mencincang itu terhenti. Apakah Adel sudah masuk ke ranah yang penuh luka itu? Dan dengan tidak sadar telah menginjak ranjau?
Sebelum terlambat, Adel buru-buru mengalihkan. "Bunda mau cucu berapa dari kami?"
Udah gila kamu, Del? Nggak ada apa topik lain?! Otakmu udah lari ke perut rupanya!
Bunda langsung berbinar. Tangan kanannya melepas pisau dan mengusap perut Adel. Senyumnya merekah. "Kamu udah isi, Del?"
Anu-anu sama Rasyid saja belum. "Belum, Bun. Kan nggak gampang juga bikinnya."
"Iya, memang harus sabar. Yang penting dicoba terus ya."
Rasanya barusan Adel telah melemparkan diri sendiri ke kubangan penuh lumpur bersama badak bercula satu.
***
Selepas sarapan, Adel ditinggal sendirian di apartemen. Gina sudah berangkat kerja. Menolak sarapan karena sudah kesiangan, dia takut diamuk manajernya. Jadilah Adel sarapan bertiga dengan mertua.
Ayah dan Bunda tidak bisa tinggal lama. Sempat memaksa Adel untuk tidur di rumah mereka selama Rasyid di Bali. Tapi berhasil ditolak halus. Lebih enak di sini, meski sendirian. Rasyid lagi ngapain ya?
Adel menjangkau ponsel di meja. Dia belum mandi. Padahal ini sudah jam sebelas. Buat apa mandi? Toh, dia sendirian ini. Kalau ada Rasyid mah, Adel terbawa jiwa bersihnya lelaki itu. Tapi sekarang dia sama sekali tidak punya motivasi untuk mandi.
Membuka riwayat panggilan, Adel menahan jempol. Berpikir ulang. Ini kalau dia yang menelepon duluan, Rasyid bakal berpikir apa? Adel kangen? Ogah.
Melempar ponsel ke ujung sofa, Adel gantian menggigit kuku. Sejak kapan dia jadi pemikir begini? Dia terbiasa apa-apa impulsif. Masalah sepele seperti menelepon Rasyid saja harus dia pikir masak-masak.
Halah. Telepon ya telepon. Adel merebah supaya bisa mengambil ponsel yang jauh di ujung sana. Langsung membuka riwayat panggilan dan menempelkan ponsel ke pipi.
Tidak lama terdengar suara Rasyid. "Hai."
"Jangan berpikir macem-macem dulu."
Terkekeh. "Kamu lagi apa?"
"Bingung mau ngapain." Adel mendengar suara heboh di seberang sana. "Udah break makan siang? Aku ganggu nggak?"
"Sesiku udah selesai. Ini nunggu makan siang sekalian. Bentar, bentar, aku melipir dulu. Berisik banget di sini."
Adel mendengar langkah Rasyid dan juga beberapa orang yang menyapa. Di antaranya ada suara perempuan. Pasti pada ganjen lihat lelaki seperti Rasyid sendirian tanpa ditemani istri di sebelahnya.
"Karyawanmu banyak yang perempuan?" Adel rasa Rasyid sudah tiba di tempat yang tidak berisik.
"Para manajer tadi."
"Oh."
"Kenapa?"
"Ya nggak apa-apa."
"Btw, Del, sampai kapan aku dikasih lihat telinga kamu?"
Asdfghjkl. Adel bego. Ini videocall, Del. Selain ke perut, otakmu lari ke mana lagi?!
Tanpa merasa malu, Adel menjauhkan ponsel. Kini wajah mereka saling muncul di layar.
"Bunda sama Ayah ke apartemen?"
"Iya. Nemenin sarapan tadi."
"Nanti malam perlu jasa Beruang Kutub lagi nggak?"
"Gina kamu kasih apaan?"
"Tiket konser Lady Gaga."
"Kok kamu seroyal itu?"
"Murah kok."
"Kelas apa? Festival, tribun, VIP, atau malah VVIP?"
"VVIP kayaknya. Kebetulan aku kenal sama promotornya. Dapetnya tiket yang itu. Setengah harga."
Pantas Gina bela-belain datang ke sini dalam keadaan setengah mengantuk.
"Belum mandi?" Rasyid mengalihkan.
"Kok tahu?"
"Kamu masih pakai baju tidur gitu."
"Aku nggak ada motivasi mandi nih."
"Berarti aku yang jadi motivasi kamu mandi selama dua bulan ini?"
"Nggak. Aku mandi ya mandi. Ini emang kebetulan lagi males aja."
Cih. Dusta kau, Del.
"Nggak ngirim barang?"
"Aku mute semua grup reseller."
"Ngamuk mereka nanti."
"Nggak ada yang berani." Adel tidak tahu harus bicara apa lagi. Jadi, "Udah ya, kamu nih ganggu aja. Orang aku lagi rebahan juga."
Rasyid tertawa. "Enak aja. Kamu duluan yang videocall aku ya."
"Ya udah. Nanti kamu yang videocall duluan."
"Iya."
"Awas lupa."
"Mau divideocall jam berapa sih?"
Adel berani menghadapi tatapan Rasyid. "Terserah. Selonggar kamu aja."
***
Adel yang bosan seharian di apartemen, memutuskan keluar. Bertepatan dengan pintu di unit depannya juga terbuka. Oh, ayolah, Adel malas diajak ribut. Dia keluar selain suntuk, karena memang lapar. Dan dia bosan dengan makanan delivery.
Maksudnya, makan sendirian tidak enak.
Mengacak rambut yang dia biarkan tergerai, Adel melangkah ke lift dan pura-pura tidak melihat Nina.
Nina yang sedang malas mencari ribut, melangkah ke lift dengan tenang. Tidak ada aura macan yang biasa terlihat. Mungkin suasana hatinya juga sedang buruk.
"Mau makan di mana?"
Adel menoleh kaget. Barusan Nina yang bertanya?
"Iya, gue tanya barusan." Nina mengusap leher yang sepertinya kebas.
"Nggak salah?"
"Kita sama-sama nggak ada temen makan, 'kan?"
Bener juga sih. "Cowok yang biasanya nyamperin lo emang ke mana?"
Lift berhenti di lantai satu. Keduanya melangkah bersamaan. "Hidup dia nggak melulu tentang gue."
"Gue kira kalian semacam ... in relationship."
"Rasyid ke mana?" Nina membanting topik.
"Bali."
Dibanting lagi. "Mau makan apa?"
"Sop buntut enak kayaknya."
"Gue ngikut deh."
Adel menaikkan sebelah alis. Nina kesambet apa? Bagaimana bisa mereka mengobrol tanpa tarik urat?
Karena mendadak hujan, mereka terhenti di pelataran lobi. Nina balik kanan, tanpa merasa perlu menatap rintik hujan. Adel juga menyusul. Kembali ke lift. Adel menyandar di dinding lift sambil mengusap layar ponsel.
Pukul 21.10 tapi Rasyid belum menghubungi.
"Lo punya sesuatu yang bisa dimakan?" Saat sudah tiba di lorong unit mereka. "Kulkas gue kosong soalnya."
"Kulkas gue penuh sayur. Ambil aja apa yang lo butuh." Adel membuka pintu, membiarkan Nina masuk dan langsung menuju kulkas. Sementara Adel mengempaskan tubuh ke sofa. Menatapi layar ponsel yang masih kosong.
Adel tidak boleh jadi bucin!
"Gue ambil daging ayam, kentang, wortel—"
"Angkut aja semuanya."
"Oke." Nina mengedikkan bahu. "Makasih. Gue pulang."
"Tunggu."
Nina urung membuka pintu. "Apaan?"
"Masakan lo enak nggak?"
Jadilah Adel duduk menunggu Nina yang tampak seperti membuat gaduh dapur, alih-alih memasak. Adel sengaja tidak membantu. Dia duduk manis di meja makan. Bertopang dagu. Membiarkan ponselnya dalam keadaan tengkurap di atas meja.
Menoleh ke jendela, hujan ternyata semakin deras. Langit juga bergemuruh.
"Mikirin suami?" Nina datang membawakan dua mangkuk sup ayam. Kuahnya tentu saja hasil kaldu instan. Tidak perlu ditanya. Proses masaknya saja kilat.
"Nggak juga." Adel memilih langsung mencicipi sup daripada ditanya lagi.
"Gue pernah naksir sama Rasyid."
Adel sukses tersedak. Pertama, oleh kuah yang penuh micin. Kedua, oleh kalimat itu. Dia bahkan menandaskan segelas air putih. Menepuk-nepuk dadanya.
"Lo pasti tahulah ya, Rasyid idaman semua wanita di tower ini. Tapi yang bikin mundur, dia sering jalan sama perempuan dan anak kecil itu. Udah punya pawang dia. Gue kira Rasyid bakal nikah sama dia."
"Terus, lo sekarang masih naksir sama Rasyid?" Pertanyaan terbuka, tanpa tedeng aling-aling.
"Meski gue suka ribut, ngambil punya orang nggak pernah ada dalam kamus hidup gue."
"Oh, gitu." Adel manggut-manggut. "Jadi lelaki yang biasa nyamperin lo udah punya orang?"
Nina meletakkan sendok. Tanpa menjawab. Hanya menatap Adel dengan kesal. Mau mengusir sekarang, kok tidak etis. Apalagi barusan dia merampok bahan makanan dari kulkas Adel.
Mengibaskan tangan. "Ganti topik sebelum gue ngamuk."
Dasar ini orang. Siapa coba duluan tadi yang bikin Adel tersedak-sedak karena pengakuan pernah naksir Rasyid diucapkan tanpa mimik berdosa?
Namun tidak semudah itu Nina. Adel belum selesai. "Baiknya lo mundur sih. Lelaki itu kelihatan cuma anggap lo sebatas sahabat."
"Lo nggak perlu ya ngajarin gue soal harga diri segala."
"Gue cuma kasih saran."
"Gue nggak butuh saran lo!"
"Ya udah. Nggak usah didengerin."
"Tapi lo telanjur ngomong barusan dan gue denger!" Darahnya sudah sampai ubun-ubun. Dia tidak akan semarah ini kalau lawan bicaranya tidak memasang wajah datar-minta-ditonjok.
"Kenapa sakit hati kalau emang nggak nyata?"
Nina menunjuk pintu. Terpaksa. "Pulang sekarang sebelum kita baku hantam."
Dengan tenang, Adel berdiri dari kursinya. Dia juga malas baku hantam di saat suasana hatinya buruk. "Makasih supnya. Gue sukses mabok kaldu instan sama micin."
Nina yang tak sabaran, berdiri dan mendorong bahu Adel agar segera keluar. Ini sudah terlalu malam untuk membuat keributan. Jadi daripada lepas kendali, Nina harus mengenyahkan Adel dari pandangan.
Di belakangnya pintu dibanting sedikit keras. Adel tak peduli. Dia lebih peduli ke layar ponsel yang belum juga memunculkan panggilan dari Rasyid.
Lelaki itu sudah janji lho. Masa iya lupa? Nggak ah. Rasyid bukan pelupa. Dia pasti ingat. Cuma ... ya udahlah. Adel mengacak rambut dan masuk ke unitnya sendiri.
***
Jawablah dua pertanyaan di bawah ini dengan santuy~
Apa yang akan Adel lakukan selanjutnya?
A. Tidur
B. Nunggu videocall Rasyid sampe bego
C. Videocall Rasyid duluan
D. Masih mabok micin
E. Isi sendiri
Kenapa Rasyid tidak kunjung videocall Adel?
A. Lupa
B. Lagi selingkuh sama bule di Bali
C. HP-nya ilang lagi
D. Diculik tante-tante
E. Isi sendiri
Bantu share cerita ini yha. Makasih banyakkkkk ♥
Rabu/15.04.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top