Chapter 17
Demi menemani Kiara bermain, Rasyid tidak kembali ke kantor. Mereka mengambil mainan ke apartemen Kiara, kemudian membawanya ke sini. Adel yang sudah selesai packing pesanan, memilih rebahan di sofa dan menonton TV daripada ikutan Rasyid beserta keponakan bermain masak-masakan. Tinggal menunggu waktu mereka main barbie.
Oh iya, lelaki itu jadi pembelinya. Adel sempat ditawari jadi pembeli oleh Kiara. Tanpa ragu, langsung ditolak. Sori ya, Kiara, Adel inginnya jadi penjual. Enak aja disuruh jadi pembeli. Mentang-mentang dia anak kecil lalu semuanya jadi nurut sama dia.
"Del, kamu kan udah gede, ngapain mesti gengsi jadi pembeli?" Rasyid sempat membela Kiara tadi.
Adel bengong sesaat. "Bukan masalah gengsinya. Ogah aja. Ngapain aku beli sesuatu yang nggak nyata. Pake duit mainan pula."
Pada dasarnya otak Adel memang didesain untuk tidak bisa bermain dengan anak kecil. Beruntung Kiara tidak mengambil hati perkataan Adel.
Adel memang bisa pura-pura fokus ke layar TV, tapi tidak dengan telinganya. Dia menangkap bagaimana dua orang yang duduk di lantai balkon itu cekikikan. Rasyid yang cerewet bertanya layaknya pembeli dan Kiara akan menjelaskan dengan pintar.
Semenit, dua menit, Adel bisa tahan. Lima menit kemudian, Adel mengubah posisi rebahannya. Posisi kepalanya kini memudahkan Adel untuk menatap langsung ke balkon. Dia ingin melihat interaksi itu secara langsung. Kalau ketahuan sama Rasyid gimana? Ya tinggal merem. Gitu aja nanya.
Namun, sesuatu kadang berjalan di luar rencana.
Nyatanya, sewaktu Rasyid mendongak, bertemu tatap dengan Adel, perempuan itu tak bisa berpura-pura merem. Sialan. Ketangkap basah. Rasyid tersenyum penuh makna, mengacungkan cangkir mungil berwarna pink. Adel mengacak rambut dan bangkit dari rebahan.
Adel menuju balkon. Menempelkan sebelah pipi di pintu geser yang terbuka separuh. "Aku bosen, Ras."
"Tadi kamu diajak main nggak mau."
"Bukan berarti ikut main terus aku hilang bosennya."
"Ya udah, coba tidur siang."
"Nggak bisa."
"Terus mau apa?"
"Jalan ke mana gitu kek."
"Agak sorean ya?" Rasyid menawar.
Adel mendecak lirih. Berbalik pergi. Gagal mencuri perhatian Rasyid. Mereka kembali melanjutkan permainan yang sempat terinterupsi dengan kehadiran Adel.
Satu jam kemudian barulah Rasyid mencari Adel. Mendapati istrinya yang tengkurap di karpet kamar.
"Del?" Rasyid duduk di tepi kasur.
Adel belum mau menatap suaminya. "Udah selesai mainnya?"
"Bisa minta tolong?"
Apa sih? Kenapa hobi banget minta tolong padanya? "Apa?"
"Mandiin Kiara."
"Ogah."
"Ya masa aku?"
"Ya kamu aja."
"Del."
"Oke, oke." Adel bangun dengan gerakan cepat. "Cuma mandiin, 'kan?"
Rasyid merunduk, memeluk Adel sekilas, menepuk punggungnya. "Makasih banget. Aku mau ke atas, ambilin baju ganti Kiara dulu."
Kenapa Adel susah menolak? Kenapa dia jadi serba-gampang begini? Besok-besok tanpa sadar Rasyid sudah menjajah dirinya. Lalu tidak akan ada Adel yang independen lagi. Semua-muanya akan bergantung pada Rasyid.
Maka hanya menunggu waktu saja Adel menjadi budak cintanya Rasyid.
Noooo! Nggak bisa gitu dong! Di sini Adel yang memegang peran besar. Kenapa harus dia dulu yang tunduk?
"Del?" Rasyid muncul di pintu kamar, mengantar Kiara padanya.
"Ha? Mandiin sekarang? Oke."
Tidak perlu menunggu nanti. Sepertinya Adel sudah terjajah.
***
Mereka pergi ke salah satu mal besar di ibu kota. Saat ditanya tujuan, Adel bilang nurut saja, asal tidak di apartemen. Berbeda dengan Kiara yang semangat menyerukan 'ingin mandi bola!'. Jadilah mereka ada di sini.
Seperti yang kita tahu, Adel malas ikut bermain. Jadi dia duduk menunggu di kursi panjang. Membiarkan Rasyid menemani Kiara di kolam raksasa penuh bola warna-warni itu. Kalau begini, Adel makin suntuk.
Untung sebelum Adel murka dan bermutan menjadi Hulk, mereka selesai mandi bola. Kiara sudah lapar katanya. Dengan berlarian kecil, Kiara membawa pita di tangannya, menghampiri Adel.
"Tante, kucilanku lepas. Tolongin."
Tanpa banyak kata, Adel membawa Kiara di antara kedua kakinya. Mengucir rambut sepunggung Kiara. Kalau sekadar mengucir rambut, dia bisa. Meski tidak rapi-rapi amat.
"Mau makan apa?" Rasyid mendekat.
"Terserah."
Di tempat ramai begini, anehnya, Kiara justru aktif sekali. Rasyid harus memegang tangan Kiara kalau tidak ingin kehilangan anak itu. Dulu pernah kejadian, jalan bertiga dengan Salma, Kiara masuk ke toko aksesori. Membuat mereka panik.
"Del, sinian jalannya. Jangan jauh-jauh." Rasyid mengulurkan tangan kanannya. Tangan kirinya sudah dia gunakan untuk memegang Kiara.
"Males ah. Gandengan. Kayak apa aja."
Maka Rasyid yang mengalah. Dia menarik pelan tangan Kiara agar mengikuti langkahnya. Sekarang tangan Adel sudah dalam genggaman. Meski sempat ditepis tadi.
"Kayak keluarga bahagia ya kita." Rasyid tiba-tiba terlintas hal ini. Kiara yang sibuk mengedarkan pandangan, tak mendengarnya. Sedangkan Adel dengar. Tapi dia harus jawab apa?!
"Sering ya jalan bertiga gini sama Salma?" Alih-alih menjawab, Adel bertanya retorik.
"Dulu pas weekend aja."
Adel mengangkat satu alisnya sebagai respons. Maksudnya, dulu, sebelum sekarang punya status baru sebagai suami orang.
Saat mendekati eskalator, Rasyid membawa Kiara ke dalam gendongannya. Adel yang berada satu anak tangga di bawah mereka, melihat bagaimana Kiara menyandar nyaman di bahu Rasyid. Tangan mungilnya juga melingkari leher itu. Seakan terbiasa melakukannya. Dan seolah bahu itu memang milik Kiara.
Ya memang begitu, 'kan, kenyataannya? Kenapa Adel harus menganalisis begini.
Mereka makan di restoran yang ada di rooftop mal. Melihat lebih jelas langit malam yang cerah kali ini. Saat pesanan makanan diantarkan ke meja, ponsel Rasyid berdering.
"Ya, Sal?"
Adel melirik suaminya.
".........."
"Oh, kamu udah pulang? Iya, masih di mal. Ini baru mau makan."
"..........."
"Mau dibungkusin buat makan malam?"
Gerakan sendok Adel terhenti.
"......."
"Oh, oke. Kelar makan, kami langsung pulang."
"Kenapa?" Adel bertanya basa-basi.
"Ini, Salma ternyata bisa pulang lebih awal. Auditnya cepet berarti."
Kiara menunggu giliran dia bisa bicara. "Mama udah pulang, Om?"
"Iya. Kiara habisin makanannya ya."
"Buru-buru nggak? Aku makannya lelet soalnya." Adel hanya memastikan.
"Santai aja. Salma tenang kalau Kiara pergi sama kita."
Pergi sama kamu, kali, maksudnya. "Memangnya nggak ada ya, lelaki lain yang deketin Salma, selain kamu?"
Rasyid bermanuver dengan apik. "Aku justru lebih penasaran siapa lelaki lain yang masih ada di hati kamu. Secara kamu cantik, masa lelaki yang deketin kamu selain aku nggak ada?"
Hissss, malah dibalik. "Udahlah, nggak usah dijawab."
Rasyid tersenyum melihat wajah cemberut Adel. Ketika mengenal kembali Adel versi dewasa, dia pikir perempuan itu hanya punya satu ekspresi; datar. Tapi semakin ke sini, semakin beragam ekspresi yang muncul di wajah Adel.
Ya, meski, ekspresi datar masih di urutan nomor satu.
Seperti sekarang contohnya. Adel makan dengan cemberut. Mungkin bete karena Rasyid mematahkan kalimatnya tadi. Entah orangnya sadar atau tidak, tapi Adel terlihat imut sekali.
Dua bulan menikah, Rasyid mulai menyukai perubahan ekspresi Adel. Tapi yang menjadi favoritnya sejauh ini adalah ekspresi bingung yang perempuan itu tunjukkan saat Rasyid menciumnya kemarin malam.
Jujur, itu bukan kali pertama Rasyid mencium perempuan. Yang semalam dia lakukan hanya ciuman kilat karena takut jika Adel tidak terima. Atau takut jika ada tangan melayang, menggeplak kepalanya. Tapi Adel hanya terpaku. Rasyid suka melihat wajah datarnya yang bingung. Lebih apa ya. Menggemaskan saja.
"Om nggak makan?" Kiara menyentuh jemarinya yang masih diam di samping piring.
Rasyid tersadar dan memakan pastanya yang mulai dingin.
Untuk yang kedua kali, sepulang dari restoran rooftop, Adel harus melihat pemandangan itu lagi.
Kiara yang kekenyangan bahkan setengah tertidur di bahu Rasyid.
Pikiran Adel jadi ke mana-mana. Dia kemudian membayangkan bahwa nanti putri kecilnya yang akan menempati bahu kukuh itu. Rasyid akan menemani putrinya bermain masak-masakkan di balkon. Atau kalau anak mereka lelaki, Rasyid akan bantu memberantaki apartemen, bermain tembak-tembakkan, mencoreti dinding dengan spidol. Sungguh, Adel janji tidak akan marah.
Baru dibayangkan saja sudah menyenangkan. Bagaimana kalau sungguhan terjadi?
Tidak. Sadar, Adel.
Dia segera menepuk pipinya sendiri, sedikit lebih kencang supaya mampu mengalihkan pikiran.
"Aku tanya serius tadi, Del." Mobil Rasyid baru saja meninggalkan area parkir. Di belakang, di jok khusus anak kecil, Kiara sudah tertidur.
"Yang mana?"
"Soal lelaki yang mungkin masih kamu cintai."
Adel menghela napas. "Buat apa?"
"Biar impas. Kamu tahu soal gimana hubungan aku dan Salma."
"Kenapa dibilang impas? Kalian tinggal satu gedung. Jelaslah aku bakal bersinggungan dengan orang kesayangan kamu. Kalau boleh milih, aku nggak mau dengar tentang kalian. Tapi ya udah, telanjur, mau apa."
"Kenapa jadi melebar, Del? Aku cuma tanya lelaki yang kamu cintai. Kalau nggak mau jawab, ya nggak apa-apa."
"Ya tapi kenapa mesti tanya? Kalau aku jawab, kamu mau apa?" Adel yang biasanya membiarkan, kini terdengar keberatan.
Rasyid berpikir sebentar. Jemarinya mengetuk di permukaan setir. Mempertimbangkan sesuatu. "Kamu siap kalau aku tiba-tiba berbelok ke arah kamu?"
"Maksudnya?"
Lampu berwarna merah. Rasyid gunakan kesempatan itu untuk menatap Adel lebih dalam. "Aku takut patah hati, Del."
Adel semakin tidak mengerti.
Jadi, Rasyid memperjelas. "Seperti yang kamu tahu, aku pernah patah hati. Sekali. Dan sakitnya kebawa sampai sekarang. Aku memang udah bisa berdamai. Tapi perasaan itu kamuflase, Del. Hati bisa menipu ternyata. Aku bisa nerima masa laluku karena ada Kiara. Dia jadi jalan buatku dan Salma. Ibaratnya, hatiku mungkin separuhnya udah mati rasa. Kalau aku titipkan ke kamu, bakal aman nggak?"
Tunggu, tunggu dulu. Jadi sekarang, Adel berubah fungsi jadi penitipan hati ya? Karena dari kalimat panjang Rasyid, hanya penggal terakhir yang ditangkap oleh Adel.
"Udahlah, intinya aja, Ras."
"Aku mulai suka sama kamu kayaknya."
Lampu berwarna hijau. Rasyid melajukan mobil sambil ketar-ketir menunggu reaksi Adel.
Sudut bibir Adel berkedut. Terpingkal kencang, tapi buru-buru mendekap mulutnya. Takut membangunkan Kiara.
"Buatmu itu lucu ya?"
Adel selesai tertawa. Wajahnya berubah serius. "Aku pernah ditinggalin seseorang karena alasan sepele, Ras."
"Karena?"
"Dia mulai nuntut ini-itu. Aku mesti jaga sikap-lah. Mesti bisa dandan-lah. Dan kalau bisa, aku ngurangi tingkah absurd-ku yang kata dia terlalu childish. Padahal aku emang gini. Aku nggak nuntut dia berubah demi aku kok. Aku hadapi dia yang suka marah-marah. Karena kami harusnya udah di tahap saling menerima kekurangan. Awalnya, dia toleran kok sama sikapku. Lalu di perjalanan, dia mendadak berubah. Mulai mempermasalahkan banyak hal. Mulai mendikte kekuranganku."
Rasyid mendengarkan. Menahan diri untuk tidak bertanya tentang lelaki itu. Dia akan terima cerita singkat Adel, tanpa mendesaknya lebih detail.
"Makanya, waktu kita awal nikah, aku bilang kalau di dunia ini cuma ada dua lelaki yang bisa nerima aku."
"Dan jawaban kamu untuk ungkapanku tadi?"
"Apa nggak terlalu cepat, Ras? Kita baru nikah dua bulan. Mungkin perasaan kamu cuma euforia sesaat aja. Atau sekadar perasaan lega karena aku bisa nerima Salma dan Kiara sebagai bagian dari hidup kamu." Adel memberi jeda. Berpikir rasional. "Sama seperti aku yang anggap kamu bisa nerima aku apa adanya. Semua sikap baik kamu sama aku. Bahkan, kamu nggak pernah bentak aku. Kamu yang nggak protes sama tingkah absurd-ku. Lantas, bukan berarti aku cinta sama kamu."
Rasyid mengangguk. Menerima penjelasan Adel dengan bijak. "Aku ngerti maksud kamu. Demi kebaikan kita bersama, kayaknya terlalu buru-buru ya? Oke, kita gini dulu aja ya. Soal perasaanku yang kamu kira cuma euforia, bisa kita buktikan nanti sama-sama."
***
Rasyid: kamu siap kalau aku tiba-tiba berbelok ke arah kamu?
Me: daerahku kena lockdown, bang, kapan2 aja~ #jualmuahal
Jawaban kamu: isi di sini.
Sabtu/11.04.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top