Chapter 13
Lewat matanya, Adel tak berhenti mengikuti pergerakan punggung Rasyid dari sofa. Lelaki itu sedang memasak. Menolak siapa pun membantu. Melakukan sendiri semuanya. Mulai dari menata sayur di kulkas, menyiapkan bahan masakan, hingga sekarang harum sudah mulai tercium.
"Mal, dulu Rasyid pernah kerja jadi chef?" Adel bertanya lirih.
Malik mendongak dari ponsel. "Dia terbiasa hidup mandiri, jadi ya bisa masak pastinya."
"Perasaan gue juga mandiri sejak lama, bikin nasi goreng aja kadang enak kadang enggak." Gina menyahut. "Rasyid baru balik ke Indo tahun lalu ya?"
"Ho'oh." Malik tampak mengingat. "Bolak-balik sih sebelum itu, dia juga ada kerjaan di sana, tapi mesti ngurus yang di sini juga."
"Balik ke Indo?" Adel melewatkan sesuatu. "Emang dari mana?"
Malik terlihat gelagapan. Sepertinya hampir kelepasan tadi. "Ya doi kan kuliahnya di Singapur."
"Oh."
"Hebat ya kalian, gosipin orang di depan orangnya langsung." Rasyid menyela. "Nggak sopan."
"Justru sopan, Ras." Adel yang menjawab. "Biar nggak kehitung dosa juga."
Rasyid memilih fokus ke sup sapi saja sebelum diajak bermain otak. Mengalah begitu saja.
Makanan siap tak lama setelahnya. Adel berdiri, membantu membawakan nasi dan lauk ke meja ruang tengah. Duduk lesehan berempat. Hampir jam sebelas malam. Gina yang diet tampak tersiksa batin melihat asap yang mengepul dari mangkuk besar itu. Harumnya membuat cacing di perutnya bergejolak. Rasyid sialan. Pakai acara menawarkan untuk mampir segala. Gina juga bego mau-mau saja.
"Udah, makan aja. Diet lagi besok." Malik seperti bisa membaca isi kepala Gina.
Adel baru tahu. "Sejak kapan lo diet?"
"Kenapa harus diet? Lo udah proporsional kok." Rasyid menambahi.
Gina mendesah, menatap sup sapi dengan sedih. "Gue bukan Adel yang makan tengah malem dan badan tetep ideal."
"Belum tengah malem kali." Adel mematahkan. Menunjuk jam di dinding. "Kuncinya tengah malem, 'kan? Ini baru jam sebelas. Masih ada satu jam lagi."
"Sama aja, Juleha."
Malas membujuk, Adel mulai makan. Keburu supnya dingin. "Biarin aja, biarin. Kita harus hormati prinsip Gina."
"Bujuk gue sekali lagi!" Mendesis sebal. "Siapa tahu gue berubah pikiran!"
"Ogah." Adel beralih ke Rasyid. "Kenapa nggak ngajarin aku masak?"
"Emang kamu mau?"
"Ini enak banget sumpah!" Adel tak sungkan memuji.
Gina beranjak dari lantai. Naik ke sofa, tengkurap dan membenamkan kepala di bantalan sofa. Mengerang lirih.
"Emang kamu mau diajari masak?" Rasyid mengulangi.
Malik yang memilih makan saja, hanya menyimak. Tidak nimbrung.
"Tapi aku agak ...." Adel menggantung kalimatnya. "Kamu tahulah maksudku."
"Kita bisa mulai dari masakan paling simpel di dunia."
"Apa? Goreng telur?" Adel terlihat bangga. "Dah bisa aku."
Rasyid nyengir. "Bikin mi instan bisa?"
Malik mulai jengah. Dia menyumpal makanan lebih banyak ke dalam mulut. Menahan supaya mulutnya tidak merusak suasana.
"Bisa. Tapi tekstur mi-nya jadi aneh."
"Kok bisa?"
"Aku masukin dulu mi-nya ke panci, kasih air, baru nyalain kompor."
Rasyid tertawa pelan, takut tersedak. "Itu bisa nyalain kompor."
"Ini sebelum bikin dapur Mama kebakaran sih."
Sudah cukup. Malik sudah menandaskan sup di mangkuknya serta seporsi nasi dengan cepat. Dia tidak ingin bertahan lebih lama menjadi nyamuk. Maka, setelah meminum air putih, Malik mencari jaketnya.
Kemudian menepuk betis Gina. "Bangun. Kita mesti pulang sekarang. Sebelum gue beneran jadi nyamuk."
***
Adel tidak bisa pura-pura berbalik ketika mendapati lift yang terbuka dan secara kebetulan, ajaib sekali, Salma dan Kiara ada di dalam lift. Terlambat untuk berbalik, karena mereka sudah melihat Adel.
Mana si Kiara melambaikan tangan. Salma juga tersenyum lebar. Adel rasanya akan jahat sekali kalau langsung putar badan, pura-pura tak melihat.
Jadi, Adel melangkah ke dalam lift. Balas melambaikan tangan pada Kiara. Memaksa seulas senyum—yang semoga saja tak menakutkan untuk Kiara.
"Mau berangkat kerja, Sal?" Adel melempar pertanyaan lebih dulu. Seperti bukan Adel yang biasanya. Melihat Salma yang mengenakan blouse rapi serta berkalung nametag sebuah perusahaan, membuat Adel penasaran.
Kenapa akhir-akhir ini Adel mudah penasaran? Mana Adel yang tak pedulian? Rasyid sialan.
Lah, kenapa jadi salahnya Rasyid?
"Iya, sekalian antar Kiara. Kamu mau cari sarapan?"
"Mau ke ekspedisi depan, ada barang retur."
Di luar dugaan, Kiara memegang tangan Adel. Menggengamnya. "Tante pacalnya Om Asyid?"
Adel menatap Salma, sebelum menunduk ke Kiara. "Iya."
"Tante Adel ini istrinya Om Rasyid, Kiara." Salma mengoreksi. Adel menaikkan sebelah alis. Dia pikir Salma akan berbohong pada anaknya, untuk mengantisipasi kecemburuan anak ini. Ya siapa tahu anak seusia Kiara sudah mengerti tentang milik-memiliki.
Lift tiba lebih cepat di lantai satu. Kiara belum melepas tangan kanan Adel. Saat pintu lift terbuka, barulah Kiara membawa tangan Adel ke bibirnya. Dikecup.
Seketika Adel tertegun. Takjub. Kaget. Argggh. Anak ini ngapain?!
"Tante pasti sayang banget sama Om Asyid. Kiala juga. Kita sama-sama bikin Om Asyid bahagia ya, Tan."
"Duluan, Del." Salma tersenyum sebelum membawa Kiara melangkah keluar dari lift.
Barusan apa? Kenapa hati Adel meleleh menerima perlakuan Kiara? Seumur hidupnya, hampir tidak ada anak kecil yang mampu mengetuk hatinya. Kiara yang baru dia temui dua kali bahkan mampu melakukannya.
Memikirkan hal itu membuat Adel nyaris terjepit pintu lift. Hassss! Rasyid sialan!
***
Layar televisi berkedip dua kali dalam sepuluh detik. Berulang terus hingga satu menit. Rasyid menoleh. Memegang lengan Adel yang terulur. Berniat merebut remot. Adel bergerak cepat, memindah remot ke tangan satunya.
Rasyid merangsek lebih dekat. Adel mengangkat remot tinggi-tinggi. Terpojok di sudut sofa. Masih sambil terus memindah saluran.
"Del, plislah, aku mau nonton bola. Aku terima pas kamu mindah saluran. Tapi ternyata kamu sendiri nggak tahu mau nonton apa. Kirain nonton sinetron atau apa."
Adel gabut. Jadi merecoki Rasyid yang sedang menonton bola sedikit menyenangkan. Apalagi Rasyid yang mulai kesal.
"Adel—"
Ya, oke, oke! Adel menyerah sebelum semakin terpojokkan. Dia melempar remot yang ditangkap Rasyid dengan sempurna. Kemudian berdiri. Meninggalkan sofa. Mengambil hoodie di kamar.
Melirik suaminya dan berpamitan. Dijawab dengan gumaman. Lelaki itu fokus menonton. Bahkan menjawab Adel sambil lalu.
Adel tiba-tiba ingin makan es krim. Di kulkas tidak ada. Sejak Rasyid memenuhi kulkas dengan sayuran, otomatis membuat Adel malas membuka kulkas. Padahal dia meletakkan beberapa cemilan di sana.
Saat akan masuk ke lift, tudung hoodie-nya tiba-tiba ditarik dari belakang.
"Mau beli apa?" Rasyid menyusul. Mengenakan jaket juga.
"Jajan."
"Nasi?"
Masuk ke dalam lift. "Es krim. Ngapain ikut?"
"Antisipasi kamu ilang." Rasyid menambahkan. "Tapi kayaknya penculiknya nggak mau deh nyulik kalau tahu sifat kamu."
"Iya. Rugi dia nyulik aku."
Lift berhenti di lantai satu. Mereka melangkah ke sayap kiri. Menuju minimarket 24 jam. Membeli lima macam es krim. Rasyid membiarkan Adel memilih dan dia cukup menunggu di kasir, mengeluarkan kartu debet. Adel yang tidak drama menurut saja saat Rasyid yang membayar.
Namun, alih-alih langsung pulang, Adel justru duduk di kursi teras minimarket. Santai membuka es krim cone. Rasyid masih berdiri, mempertimbangkan. Apakah ikut duduk atau—
Mengambil es krim secara acak di dalam plastik, Rasyid memutuskan ikut duduk.
"Duluan aja. Aku kayaknya lama di sini. Nanti keburu habis sepakbolanya."
"Kamu dari pagi nggak kerja?" Saat Rasyid pulang lebih awal, dia mendapati Adel yang hanya rebahan di depan televisi. Perempuan itu tidak sibuk membalas chat. Pun seperti sekarang, Adel tidak membawa ponselnya.
"Kalau bernapas bisa dihitung sebagai kerja, aku nggak nganggur hari ini."
Rasyid mendecak pelan. Selalu ya, selalu. "Maksudku, kamu nggak diprotes sama pelanggan-pelanggan online kamu?"
"Diprotes. Tapi ya gimana, aku lagi males bongkar barang sama packing."
"Aku bantuin."
"Tetep males." Adel menatap lampu hias di sepanjang jalan yang dibuat berkelok di depan gedung. "Pengin hidup sama es krim aja."
"Ha?"
"Makan es krim tiap hari. Guleran di kasur. Ngadem di balkon. Hidup cukup bernapas aja."
Rasyid heran. Istrinya tidak sedang PMS, tapi lagaknya PMS semua perempuan diborong sendiri. Sungguh, magernya perempuan ini natural sekali. Effortless.
Obrolan ini tidak penting, tapi Rasyid tetap menanggapi. "Jangan-jangan kamu beneran niat bikin rumah di hutan ala Marsupilami."
"Kalau sendirian kayaknya nggak berani. Aku nunggu kamu mau deh."
Rasyid buru-buru menggeleng. "Nggak. Nggak akan. Maaf maaf aja ya. Aku bisa turutin permintaan kamu yang lain, asal bukan itu ya."
"Apa pun selain itu?"
"Iya, apa pun."
"Apa pun?" Adel mengulangi. "Oke."
Rasyid menyesal sudah meninggalkan pertandingan klub kesayangannya demi menemani Adel, kalau ujung-ujungnya begini. Terjebak permainan otak. Makan es krim malam-malam yang dingin begini.
"Mau minta apa sih?"
Adel mengambil es krim kedua. "Tinggalin Salma dan Kiara buat aku."
Sedetik. Dua detik. Senyap. Adel perlu menoleh untuk tahu bagaimana reaksi Rasyid. Sekilas saja, Adel tahu kalau Rasyid cinta mati dengan dua orang itu. Ya mana mungkin lelaki itu mau mewujudkan permintaan Adel yang seperti petir di malam cerah ini.
"Bercanda, kali, Ras. Mukamu tuh serius amat."
"Nggak lucu, Adel."
"Aku nggak ketawa ya."
Rasyid menatap es krim yang meleleh di tangannya. "Emangnya kamu siap dengar ceritaku tentang Salma dan Kiara?"
"Kenapa kamu nanya gitu?"
"Kalau aku cerita tentang mereka, kamu juga harus cerita tentang Mbak Tere. Impas."
"Nggak deh, Ras. Makasih. Aku juga nggak kepo banget kok sama hubungan kalian." Adel menolak dengan mulus. "Soal gimana masa lalu kalian, itu urusan kalian. Nggak ada sangkut-pautnya sama aku. Tapi kalau memang ada rencana buat balikan, plis, jangan libatkan aku. Kemampuanku main drama payah banget."
"Aku nggak ada rencana untuk selingkuh, Adel."
Ya, Adel kan nggak tahu. Siapa tahu Rasyid di belakangnya ada niat selingkuh.
Atau memang sudah?
Sebentar, sebentar. Kok aneh? Ketika bicara soal selingkuh, bukankah itu untuk dua orang yang saling mencintai lalu salah satunya berkhianat? Sementara Adel dan Rasyid tidak ada dalam posisi itu. Hanya pernikahan yang mengikat. Bukan cinta.
Adel menatap Rasyid lamat-lamat. Satu hal melintas tiba-tiba. "Setelah aku perhatiin, wajah Kiara mirip kamu ya ternyata."
Permainan otak kedua. Rasyid berdeham. Mencoba bersikap senormal mungkin. "Kamu akhirnya sadar kalau Kiara mirip aku. Habis ketemu ya tadi?"
"Tadi pagi nggak sengaja ketemu di lift." Balik ke topik. Adel menunjuk wajahnya sendiri, menggoyangkan telunjuknya. "Jadi kamu sendiri pun mengakui kalau wajah kalian mirip?"
Rasyid tersenyum. Kemudian lanjut memakan es krim yang lelehannya mulai mengotori tangan. "Iya. Aku mengakui dengan sesadar-sadarnya."
"Lalu, Kiara sebenarnya anak kamu dong."
"Bukan."
"Ngaku aja sih, Ras. Aku nggak bakal judge kamu kok." Es krim di lidah Adel mendadak hambar. Pun juga susah ditelan. Sepertinya lidah Adel mulai bermasalah.
"Bukan, Adel."
Baiklah. Adel bukan tipikal pemaksa. Dia hargai Rasyid yang menolak bicara. Adel sendiri juga tidak siap bercerita soal Mbak Tere. Mereka imbang. Ada cerita yang harus tetap dijaga.
"Kamu keberatan aku sayang ke Kiara?"
Menatap ke arah lain. "Nggak."
"Kalau sayang ke mamanya Kiara?"
Menghela napas. "Terserah."
***
Temenku KKN dulu pernah bikin mi buat sepuluh orang dan mi-nya dimasukin pas airnya belum mendidih dong. Kebayang kan bentuk mi-nya kayak apa 😭
Dah ya. Besok jangan nyariin aku. Sehari udah double up nih 😚
Next chapter kayaknya bakal dari pov Rasyid~
Sekian. Terima kasih. Aku sayang kalean ♥
Rabu/01.04.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top