Chapter 11
"Berhenti melototin aku, Adel."
Mereka makan malam dalam diam. Rasyid yang duluan memecah sunyi. Setelah tidak tahan ditatap secara intens oleh Adel. Bukan risi, tapi lebih ke 'apa yang sedang dipikirkan perempuan ini'.
"Yah, ketahuan."
Rasyid tersenyum tipis. Dia sadar sudah tiga hari ini membuat Adel cemas. Meski perempuan itu diam dan tidak bertanya kenapa dia murung. Perempuan itu juga tidak berusaha untuk menghibur—hal yang tidak bisa diharapkan dari seorang Adel.
"Kenapa senyum?"
Secepat kilat, Rasyid menarik sudut bibir, kemudian berdeham. Mengalihkan. Menunjuk barang dagangan Adel di ruang tengah. "Mau packing jam berapa?"
Langsung ditolak. "Nggak usah bantu."
Tapi, Rasyid suka. Mengemas barang ternyata menyenangkan. Meski sebenarnya Rasyid lebih banyak merusuh. Melihat wajah Adel yang serius bekerja membuat perempuan itu terlihat lebih manusiawi di mata Rasyid.
Rasyid meletakkan sendok. Menyandar di punggung kursi. Dia sudah selesai makan. Gantian menatap istrinya yang makan sambil menggulir layar ponsel. Dia tahu perempuan ini juga memendam sesuatu. Sama seperti dirinya.
Sesuatu yang kemudian menjadi alasan kenapa mereka menikah. Adel bersedia menikah dengannya bukan sesederhana ingin keluar dari rumah karena berkonflik dengan kakaknya. Lebih dari itu. Adel menolak menjelaskan lebih detail dan Rasyid anggap itu bagian yang tidak bisa perempuan itu bagi dengannya.
Sedangkan, bagi dirinya, pernikahan ini menyelamatkannya. Alih-alih mengeluh menghadapi sikap menyebalkan Adel, dia bersyukur atas banyak hal. Meski pernikahan ini diisi oleh dua orang yang sama-sama membawa beban hati.
Mereka terlalu pintar menjaga rahasia masing-masing.
Selesai memandangi Adel yang tetap sibuk, Rasyid berdiri lebih dulu. Membawa piringnya ke westafel. Mencucinya sekalian. Membiarkan Adel tetap di meja makan. Dia kemudian beranjak ke balkon. Membawa serta sebungkus rokok.
Weekend hampir berakhir. Besok dia mulai tenggelam bersama pekerjaan. Pelarian yang tepat. Tapi sebelum mencari pengalihan, dia tetap akan mengunjungi sumber sesak di dada.
Sudah empat tahun. Tapi baginya yang tetap mengenang, terasa amat menyakitkan. Mungkin bukan hanya Rasyid. Dia tidak tahu, barangkali Ayah dan Bunda sedang menelan tangis bersama luka di hati. Empat tahun jelas bukan apa-apa bagi orang lain. Tapi bagi mereka lebih dari sekadar hitungan bulan yang menjadi tahun.
Terdengar suara pintu digeser. Kali ini Rasyid tidak menoleh. Berusaha menormalkan wajah sendunya. Dia bergeser, memberi tempat Adel di sampingnya. Perempuan itu kemudian berdiri di sana. Sama seperti kemarin malam.
"Aku sebenarnya sebel," katanya tiba-tiba.
Secara otomatis Rasyid mengingat mundur, apakah ada sikapnya yang membuat Adel sebal. Apakah karena menonton film kemarin? Tapi masa iya dia masih sebal? Ini Adel lho, yang apa-apa dibawa slow.
"Kenapa?" Rasyid menebak. Masih enggan menatap lawan bicara. "Kamu mulai nggak tahan sama asap rokok?"
"Kamu lagi mikirin apa sih?" Adel menghadap ke arah Rasyid—yang masih menatap ke arah lain seraya mengembuskan asap rokok dari sela bibir.
Rasyid masih diam. Membuat Adel terpaksa menebak. "Galau mikirin cara buat balikan sama Salma?"
Sedetik. Dua detik. Rasyid terbatuk. Dia lupa. Sungguh lupa kalau selain absurd, Adel selalu blak-blakan. Kalimat yang keluar dari mulutnya tidak pernah disaring. Dan mungkin filternya sudah rusak.
"Sok tahu kamu." Sambil terkekeh. Memilih membuang sisa rokoknya. Batuk sialan. Reaksinya terlalu berlebihan tadi. Adel sebenarnya bertanya wajar. Perempuan itu bisa menyimpulkan begitu karena satu bulan ini melihat bagaimana Rasyid sangat peduli dengan Salma dan Kiara.
"Ya emang nggak tahu. Makanya sok tahu." Adel membela diri. "Masih mending aku nggak pura-pura nggak tahu."
"Kamu ingat dengan kesepakatan kita? Poin kedua?"
Adel mengangguk. Kemudian menggeleng. Sepertinya lupa.
"Mana mungkin aku ngomongin soal anak sama kamu, kalau aku masih berharap dengan Salma?"
"Ha?"
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Rasyid menoleh dan menatap Adel dalam-dalam. "Kamu mau bantu aku buat lupain Salma?"
Tak lama setelahnya, Adel cegukan. Dan itu membuatnya semakin menggemaskan.
"Aku nggak denger." Cegukan. "Nggak denger."
Dasar. Rasyid tahu jika Adel paham maksudnya. "Jadi istri yang baik. Aku juga bakal berusaha jadi suami yang baik."
Dengan perlahan semburat kemerahan muncul di pipi Adel. Apakah Rasyid pernah bilang jika Adel cantik sejak dulu? Maka, yang sekarang ada di hadapan Rasyid adalah Adel yang lebih cantik. Apakah memang ada perbedaan berdasarkan jarak pandang? Saat lebih dekat begini, Adel terlihat sangat cantik.
Apa? Membual? Tidak. Meski dia tidak pandai menilai kecantikan perempuan. Tapi, dulu atau sekarang, Adel terlihat berbeda di matanya.
Setelah Adel hanya diam, Rasyid pun melempar pandangan ke kejauhan. Satu kenangan tiba-tiba datang. Bukan dia yang memilih, tapi seperti dilemparkan begitu saja ke kepalanya. Sudah satu tahun lalu, tapi rasanya baru terjadi kemarin.
***
Restoran yang penuh membuat Rasyid kebingungan mencari bangku yang berisi teman-temannya semasa SMP. Dia datang terlambat. Ada masalah besar di kantor yang mengharuskan Rasyid tinggal lebih lama. Dia pun yakin acara reuni ini nyaris berakhir.
Satu tangan yang terangkat membuatnya lega. Di antara lalu lalang pelayan, meja-meja yang terisi penuh, Rasyid menuju ke sana. Malik yang pertama berdiri, menyambutnya, memeluk dengan gaya kasual.
Kebetulan meja terbagi menjadi empat yang diisi dari teman-teman yang dulunya berbeda kelas. Rasyid hanya menyapa teman semeja. Itu pun sebagian besar sudah lupa. Mereka apalagi, nyaris tidak percaya jika yang datang terlambat adalah anak terculun di kelas yang kini menjelma menjadi pria dewasa—idaman banyak wanita.
Bahkan terdengar kasak-kusuk dari meja para perempuan, yang nyaris pingsan begitu menyadari bahwa Rasyid telah berubah banyak. Hampir tidak dikenali kalau saja, Malik, yang merupakan sahabat terdekat, tidak menyambut. Mereka akan mengira bahwa Rasyid salah satu pasangan teman mereka yang datang menjemput.
Mengabaikan kasak-kusuk, Adel mencoba menghubungi nomor Papa. "Pa, jemput Adel dong. Kalau nggak, bentar lagi Adel bermutan jadi Hulk di sini. Nggak lucu kalau aku ngerusak malam Minggu orang yang lagi pacaran. Beneran, Pa, ini restoran isinya kebanyakan abege pacaran."
Terdengar tawa renyah dari ujung telepon. Adel bisa memanggil taksi atau pesan ojek online. Dia hanya menagih janji Papa tadi sore. Bukan bermaksud manja kok. Tapi kalau dianggap manja, ya sudah.
"Iya, Papa hati-hati. Aku tunggu. Alamatnya aku shareloc ya, Pa."
Meletakkan ponsel di meja, mata Adel tak sengaja menatap objek yang sejak beberapa menit lalu dijadikan bahan pergunjingan di meja ini. Tapi dasarnya Adel yang malas peka, dia mengabaikan. Pun saat bersitatap. Adel tampak biasa kemudian membuang wajah. Dia ingat siapa lelaki itu. Hanya saja dia tidak senorak teman-teman yang lain.
Di sisi lain, Rasyid tetap bertahan beberapa detik setelah perempuan itu mengalihkan pandangan. Jadi dia bisa melihat perempuan itu mengetukkan telunjuknya di meja. Menopang dagu dengan satu tangannya. Menandakan jika dia bosan. Juga gestur yang kentara bahwa dia tidak nyaman berada di sana.
"Mal, lo kenal perempuan yang pakai blouse warna peach?"
"Yang mana?" Malik mengikuti arah pandang Rasyid. Dahinya berkerut sebentar. "Ah, masa lo lupa sih dia siapa?"
"Siapa?" Rasyid sungguhan tidak tahu.
"Yailaah, temen sekelas kita, Ras. Ratunya pembuat onar."
Rasyid malas menebak. "Siapa?"
"Adelia."
"Adelia?"
"Yang lo taksir waktu itu? Yang barbarnya nauzubillah."
Rasyid terdiam. Mencoba mengingat. Memilah kenangan. Lalu muncullah wajah Adel semasa SMP. Sekarang, dia menatap lagi perempuan itu. Membandingkan. Memang orang yang sama. Tapi hadir dalam bingkai wanita dewasa yang matang.
Namun, sungguh, suatu hari nanti, Rasyid akan menarik kembali kalimat terakhirnya.
"Makin cantik ya dia." Malik ikut memandangi objek yang sama. "Kemungkinan sih udah taken."
"Tunggu aja siapa yang jemput dia bentar lagi." Rasyid tidak ingin menerka.
Sambil menikmati obrolan yang tak ada habisnya, sesekali Rasyid melirik ke tempat Adelia. Wajahnya sudah terang-terangan mengatakan betapa bosannya dia. Tapi saat ponselnya bergetar, wajahnya seketika semringah. Dengan cepat dia berdiri, menyampirkan tali tas di bahu, berpamitan.
Rasyid menatap semakin lekat. Mengikuti langkah Adel menuju pintu. Tapi bukankah masih hujan? Kenapa perempuan itu tetap ingin pulang? Siapakah yang datang menjemput?
Dugaan Malik terpatahkan saat terlihat sebuah mobil merapat di depan restoran. Menghadirkan seseorang yang membawa payung. Menjemput Adel yang berdiri di teras restoran.
Tanpa sadar, Rasyid tersenyum. Dia juga ingat siapa yang datang menjemput. Pria separuh baya itu terlihat menua, tapi Rasyid masih mengenalinya. Bagaimana tidak? Dulu semasa SMP, Adel selalu diantar-jemput oleh orang yang sama.
"Woi, udah, udah! Orangnya udah pulang. Berhenti natap kayak gitu. Meski yang jemput bapaknya, nggak berarti dia jomlo ya." Malik menyenggol lengannya. Tertawa.
***
Saat itu, pertama kalinya Rasyid kembali bertemu Adel. Dia memang sempat lupa dengan parasnya. Tapi saat sudah ingat, sialnya, dia justru terngiang setiap hari.
Rasyid kemudian ingat hal-hal ajaib selama menjadi teman sekelas Adel. Banyak sekali. Hanya saja di depan Gina, dia tidak mau seterbuka itu. Cukup Malik saja yang tahu. Tapi untuk mendekati Adel, dia butuh Gina sebagai perantara. Dia mengenal Gina. Sementara Gina berteman baik dengan Adel.
Apakah terdengar jahat? Tidak. Dia tidak bermaksud menyembunyikan fakta itu. Lagi pula tidak ada yang bertanya. Adel mana peduli dengan Rasyid yang pernah menjadi teman sekelasnya? Jelas-jelas dunia mereka berbeda. Adel duduk di pojok belakang sedangkan Rasyid duduk persis di depan meja guru.
Namun, ada satu titik di mana dia sempat melihat Adel dengan cara yang berbeda.
Ya, tanpa Adel tahu, dulu Rasyid sempat menyukai perempuan itu. Tapi tidak berani diungkapkan. Lagi pula itu cinta monyet. Fase yang lumrah terjadi. Tidak akan bertahan lama. Mudah dilupakan. Nyatanya, saat mereka melanjutkan di SMA yang berbeda, Rasyid bisa melupakan Adel.
Sekian tahun tidak bertemu. Dan, ya, kemudian Adel tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik.
"Nggak ngantuk?" Adel menepuk nyamuk di lengan. "Tidur yuk."
Namun, suatu hari nanti, Rasyid ingin mencintai Adel bukan karena perempuan ini sangat cantik. Tapi karena tumbuh keyakinan di hatinya, bahwa pada perempuan inilah dia seharusnya pulang.
***
Yang telanjur nyantet Rasyid, buru ditarik! Wkwkwkwk
Tak hanya kalian yg bercermin ke Adel. Aku pun iya. Sebagian sifatku ada di Adel, termasuk bagian Adel yg gak bisa jadi penghibur. Sama. Aku cuma bisa jadi pendengar yg baik. Heuheu. Jadi curhat deh.
Chapter 12 biar jadi rahasia bersama, update kapannya belum tau. Aku nulis cerita ini dadakan. Selesai, ya tinggal post. Dan aku bangga pada dirikuwh, seminggu ini aku update setiap hari 😭😭😭 *nangis di bahu Rasyid*
Kalau kebetulan readers di sini ada yg ngikutin Juna di Cabaca, cuma mau bilang kalau bab 21 udah update dan nyesek abis. Padahal aku dah tau isinya apa. Tapi pas baca ulang, berasa pengin ninabobo-in Juna *eh 😭😂
Minggu/29.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top