Chapter 1

"Ras, ambilin shampo dong!"

"Ras, ini shampo punya kamu, aku nggak bisa pakai. Nanti rambutku rusak!"

"Ras, sabunnya juga ketinggalan!"

"Ras, handuk tolong!"

"Ras, handukku ya, kenapa diambilin punyamu!"

"Ras—"

Ya Tuhan, kali ini apa lagi? Kenapa urusan mandi harus seribet itu? Kenapa perempuan itu mandi tanpa memperhatikan peralatan mandinya sendiri dan harus merepotkan orang lain?

"Ras! Lampu kamar mandi kedip-kedip!"

Rasyid mengangkat malas tubuhnya dari rebahan sofa. Melangkah ke kamar mandi untuk yang kesekian kali dalam waktu lima menit.

"Nih, aku di depan kamar mandi. Kalau lampunya mati dan kamu belum selesai, nggak usah jerit. Nggak akan ada apa-apa."

Hanya selang beberapa detik, pintu kamar mandi terkuak. Lampu masih berkedip. Tapi mata Rasyid justru tak bisa berkedip melihat makhluk dalam balutan handuk yang, astaga, seksi.

"Mata ya, mata. Jelalatan!" Adelia melipir ke kamar sebelum malu sendiri.

Setelah berganti baju tidur, Adelia keluar dari kamar. Mencolek bahu suaminya yang masih bersandar malas di sofa. "Ras, besok dibenerin ya itu lampu kamar mandi di dalam kamar. Kalau kayak tadi, aku mandi, terus ada tamu gimana? Kamu rela istri sucimu ini jadi tontonan orang lain?"

Rasyid mendongak dan hanya mengangguk. Diiyakan biar telinganya tidak berdenging.

Lalu suara lampu konslet membuat Adelia berjengit dan refleks melompat ke Rasyid. Sebelum Rasyid sempat protes, sudah kena tabok. "Kamu belum mandi? Asem banget sih?"

Mereka selesai bersih-bersih pukul sembilan lewat sedikit. Sekarang hampir jam sepuluh. Rasyid ingin makan daripada mandi. Maka dia menggeser tubuh dan meraih ponsel di meja.

"Kamu mau ikut pesan makanan?" Siapa tahu perempuan ini diet dan mengurangi makanan berat di jam kritis seperti ini.

"Boleh."

"Paket combo ya?"

"Hm."

"Mau extra cheese?"

"Ya."

Saat Rasyid melirik, istrinya ternyata sibuk menggulir ponsel. Pasti mengurusi para reseller dan dropship yang kalau dikumpulkan bisa membuat kabupaten sendiri.

Selesai memesan makanan, Rasyid mengintip layar ponsel Adel. Jemari-jemarinya yang lentik itu mengetik cepat. Cukup sabar menjawab beberapa pertanyaan yang masuk. Membuat ponsel Adel tak berhenti berdenting sejak tadi.

"Sejak kapan sih kamu jadi juragan online?"

"Sejak Mama blokir semua kartu debet-ku."

"Kapan?"

"Pas aku semester tujuh kayaknya."

"Kok bisa?"

"Aku KKN mandiri di luar negeri, dan nguras habis duit tabungan."

"Kamu pasti dugem atau belanja barang mewah."

"Nggak. Duitnya aku gunain buat hal bermanfaat. Tapi Mama telanjur marah karena aku nggak izin dulu. Uang jajanku distop satu semester."

"Terus kamu termovitasi cari uang sendiri?"

"Hm." Tanpa mengalihkan mata dari layar. Cukup multitasking. Dia bisa mendengar pertanyaan Rasyid tanpa minta diulang. "Kamu mandi gih."

Rasyid berdiri. Melangkah ke kamar. Mencari handuk dan peralatan mandinya yang masih di koper. Mereka terlalu lelah untuk sekadar membongkar koper dan memindahkan isinya ke lemari.

Apartemen ini sudah dia kosongkan satu tahun yang lalu. Bunda kesepian di rumah katanya. Jadi, Rasyid yang memang penurut, tanpa paksaan langsung pulang. Meski ya tidak ada bedanya. Jam kerja Rasyid seperti Ayah. Berangkat pagi, sampai rumah selepas magrib.

Namun, setidaknya, mereka bisa makan malam bertiga. Bunda sudah cukup senang dengan percakapan di malam hari. Juga ketika pagi, beliau selalu semangat menyiapkan sarapan. Memenuhi meja makan dengan makanan bergizi. Bahkan seringkali membuatkan Rasyid bekal sehat.

Dan sekarang, di sini, hidup bersama Adelia yang mempunyai kemampuan masak nol besar, Rasyid harus rela makan junkfood.

"Nggak makan?" Rasyid selesai mandi. Melihat pesanan sudah di atas meja dan Adelia yang masih sibuk memelototi ponsel.

Adel meletakkan ponsel dan beringsut turun ke karpet. "Nungguin kamu."

Tanpa bisa ditahan, Rasyid tersenyum. Sayangnya Adel sudah sibuk membuka bungkus makanan sehingga tak melihat ekspresi suaminya.

"Aku besok belanja deh."

"Belanja apa?"

"Ya kebutuhan sehari-hari, buat menuhin kulkas."

"Kamu mau belajar masak?" Rasyid tetap bertanya meski sudah tahu jawabannya.

"Mana sempat? Tiap goreng telur aja, kulitnya pasti ikut nyemplung ke wajan."

Rasyid meringis. Astaga, kalau saja Adel ini seorang Nia Ramadhani, ya pantas-pantas saja tidak bakat menggoreng telur. Tapi ini Adel. Bukan artis, bukan siapa-siapa, hanyalah juragan online yang punya pasukan satu kabupaten.

"Kalau ngupas buah salak, kamu bisa, Del?"

"Kenapa?" Adel seolah bisa memahami jalan pikiran suaminya. "Nyesel ya punya istri nggak bisa masak? Aku nggak sendirian kok, itu Nia Ramadhani nggak jago di dapur. Tapi santai aja tuh. Suaminya nggak masalahin. Mertuanya juga legowo."

Setelah menelan kunyahan, Rasyid menyanggah. "Ya tapi kan kamu bukan Nia Ramadhani. Belum tentu situasinya juga sama."

"Oh, jadi kamu nuntut aku bisa masak?"

Tentu, Adel, tentu!

"Jangan ngajak berantem. Udah malem."

"Kamu duluan yang mulai."

Rasyid mengalah. "Iya, iya."

***

Sengaja bab-nya dibikin pendek. Baru bab awal2 soalnya. Aku jg sedang membangun chemistry tokoh 😋

Sel/17.03.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top