3. Hadiah
Bagiku menghembuskan napas di akhir pekan adalah bagian dari nikmat tak terbantahkan. Molekul udara yang beterbangan di atas sana seakan merayu untuk mengisi rongga paru-paruku. Tak ada laporan, tak ada perintah atasan yang semena-mena, oh senangnya. Dua toples keripik kentang dan secangkir mochaccino menemani jadwal kencanku dengan sebuah novel dan kumpulan puisi milik Sapardi Djoko Damono serta beberapa deret film komedi romantis di laptopku yang sama sekali belum sempat aku sentuh.
Posisiku tengkurap sambil menjejalkan keripik ke mulut meresapi tiap untaian kata Sapardi yang memesonaku.
di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening
di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu *
Kenyamananku terusik ketika ponselku berbunyi. Harusnya aku non aktifkan saja biar quality timeku bermanfaat. Ops, kulihat nama tertera disana menimbulkan reaksi mual yang seharusnya tak ada. Ada urusan apa pak bos yang terhormat ini menghubungiku di akhir pekan.
"Halo," sapaku datar.
"Selamat pagi, Swastika. Boleh minta waktumu sebentar?" tanya Javas.
"Nggak boleh, Pak. Saya sedang liburan."
"Saya butuh bantuan kamu. Tolong, ya."
Aku mengernyitkan dahi. "Maaf, saya tidak bisa bantu Bapak."
"Kamu pilih bantuin saya atau gaji kamu bulan ini dipotong seperempat lagi?" ancamnya.
Mataku melebar. Gila bos ini. Kejam. Jahat. Apa perlu dilaporkan saja sebab menyalahi aturan undang-undang tenaga kerja dengan mengeksploitasi karyawan? Aku merasa menjadi bagian dari kaum teraniaya di dunia ini.
Aku mendesah pasrah. "Ya sudah saya bantu Bapak saja."
"Fine. Segera berkemas, ya. Saya ke rumah kamu tiga puluh menit lagi," ujarnya langsung memutuskan sambungan.
"Hah?"
Apa katanya? Dia mau ke rumahku? Astaga. Sebuah praduga menelusup mengintimidasi sel otakku. Intrik apa lagi yang sedang mempermainkan diriku saat ini. Intrik macam begini jangan sampai meluncur di telinga Salvi dan Landung. Kedua orang itu bakal mengekspresikan secara berbeda antara pendengaran dengan ungkapan kata. Yah, semoga setelah ini dewi fortuna datang menghampiri. Memberi kabar bahagia bahwa aku diterima bekerja di salah satu perusahaan bergengsi. Ucapkan selamat tinggal pada Javas!
Kubuka lemari dengan malas. Javas tidak menyebutkan spesifik jadi aku pilih jean hitam dipadu kaos oblong warna peach.
"Tik, ada yang cari kamu tuh," Mama membuka pintu kamarku.
Aku mendengus. Menengok arloji yang melingkar di tangan kiriku. Dua puluh delapan menit, lebih cepat dua menit dari ucapannya. "Bentar, Mam."
"Kamu mau kencan kenapa pakaiannya kayak gitu?" Mama menahan lenganku saat aku lewat di depannya.
"Mama! Siapapun yang ada di sana, Tika nggak kencan sama dia!" sergahku.
"Oh ya?" satu alis Mama terangkat.
Astaga. Orang itu sungguh terlalu. Tak cukup menyiksaku secara perlahan bahkan dia mulai mendoktrin pikiran mamaku. Setelah mencium punggung telapak tangan mama, aku menghampiri seseorang yang kudapati tengah asyik sendiri dengan iPad mininya di ruang tamu.
Aku berdehem. Dia mendongakkan kepala melayangkan senyuman padaku.
"Sudah siap? Yuk," ujarnya seraya beranjak.
Aku mengekorinya. Aneh bin ajaib, dia membukakan pintu mobilnya untukku. Tapi aku diam saja. Mengucapkan terima kasih pun tidak. Aku memasang sabuk pengaman sementara Javas menyalakan mesin mobilnya merangkak keluar dari pekarangan rumahku. Namun seluruh syaraf mengalir di dalam tubuhku sedang bergotong royong mengumpulkan informasi sehingga memunculkan hipotesa bahwa ada udang di balik gimbal* atas perilaku Javas.
"Mau kemana, Pak?" tanyaku gelisah.
"Diamond and Diamond*," jawabnya.
Wow, setahuku itu adalah sebuah toko perhiasan bergengsi di Jakarta. Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Javas mengajakku ke toko perhiasan? Bantuan seperti apa yang dia harapkan dariku di toko perhiasan?
"Bapak mau jadi reseller perhiasan, ya? Atau Bapak mau pindah haluan jadi pengusaha perhiasan?"
"Menurut kamu?" Javas tersenyum tipis.
"Menurut saya? Bapak pindah haluan jadi pengusaha perhiasan dan meninggalkan kepemimpinan perusahaan yang sekarang," sahutku.
Javas terpingkal. "Analisamu kurang tajam, Swastika."
Dia menoleh padaku lalu fokus kembali pada jalanan yang ramai lancar. Kembali lengkungan bulan sabit terukir di bibirnya yang penuh. "Saya mau beli cincin untuk hadiah ulang tahun tunangan saya."
Tunangan?
"Oh? Lalu bantuan apa yang Bapak harapkan dari saya?"
"Saya ingin kamu jadi tester soalnya ukuran tangan kamu nggak jauh beda sama Venetta. Kamu nggak keberatan, kan?"
Aku mengalihkan pandang pada jendela lantas berucap tanpa melihat ke arahnya. Sebenarnya ini tidak sopan tapi aku sudah terlanjur kesal. "Keberatan, sih. Kalau saja Anda tidak melontarkan syarat yang meresahkan dengan memotong gaji bulanan saya. Itu sangat tidak masuk akal. Bapak sudah merenggut hak saya sebagai karyawan."
"Saya bercanda, Tika. Gaji kamu yang pernah dipotong akan saya kembalikan bulan ini. Waktu itu saya khilaf karena kamu membuat saya kesal."
Ketika Javas menyebut panggilan singkat namaku berarti dia serius terhadap ucapannya. Tak kuhiraukan perkataannya. Kalau saja pemberlakuan potong gaji dipukul rata ke semua karyawan aku tidak masalah. Lha ini, cuma aku saja yang diberinya pengecualian. Aku memilih bungkam sampai tiba di toko perhiasan. Javas juga enggan melanjutkan pembicaraan meski sesekali aku merasa dia melirikku diam-diam.
Huaaa, memasuki toko mataku langsung bersinar melihat efek pancaran kilau berlian-berlian yang terpampang di etalase. Naluriku sebagai perempuan mencuat ketika benda-benda berkilat itu melambai-lambai dalam anganku. Ah, tapi aku lebih tergoda kalau choco lava cake, red velvet, peanut butter chocolatte yang melambai-lambai di sana. Apalagi ditemani es cincau hijau, es durian, es pisang ijo, hmm, yummy. Hahaa dengan begitu aku bagaikan menabung riwayat diabetes di usia muda.
"Tik, menurut kamu yang itu bagus, nggak?" Javas menunjuk sebuah cincin emas putih bermata berlian biru.
"Bagus, Pak. Tapi mata berliannya terlalu besar kesannya sangat glamour nggak, sih. Mending yang ini," tanganku bergerak ke kiri. "Sama-sama bermata biru tapi berliannya berukuran sedang. Motif bunganya juga menonjolkan sisi feminin perempuan. Jadi menurut saya nggak norak."
Javas mengelus dagunya tampak berpikir. "Yang tadi itu norak, ya? Iya, sih yang ini lebih kalem. Cocok untuk Venetta pasti kalau pake ini dia jadi makin anggun."
"Ya sudah ambil ini aja, Pak."
Untung saja Javas bukan tipe orang yang rempong dalam berbelanja. Jujur saja aku tak tahu apapun tentang perhiasan. Membedakan berlian asli dan palsu saja aku tidak paham. Tapi kalau soal looking terbaik yang ditangkap mata berdasarkan nilai estetika, aku bisa mengandalkan kemampuan analisaku tersebut. Lihat saja nanti tunangan Javas akan menjerit girang berkat pilihan cincin rekomendasiku.
"Lihat yang itu, Mbak," pinta Javas pada pramuniaga.
Giliran aku celingukan. Sempat kutemukan tadi ada sebuah kalung berliontin berlian warna ungu muda di sekelilingnya berhiaskan batu mulia putih. Nggak jauh dari cincin bermata biru besar pilihan Javas itu, kok. Udah raib, mungkin kalung itu sudah bertemu dengan jodohnya.
"Pinjam tangan kamu, Swastika." Javas meraih tangan kananku.
Diriku yang tengah melamunkan liontin berwarna ungu sontak terkejut. Kutepis tanganku seraya memelototkan mata. Pegang-pegang tangan sembarangan. Tindakannya sungguh tak termaafkan. Tanganku masih perawan, Pak. Kusembunyikan kedua tanganku di balik punggung.
"Pinjam tangan kamu, Tik," ulangnya, nadanya melunak. "Kamu bilang bersedia membantu saya hari ini. Saya minta tolong."
"Biar saya pake sendiri cincinnya, Pak," sergahku.
"Biar saya yang memakaikan. Saya tidak mungkin membiarkan Venetta memakai cincinnya sendiri. Sini kemarikan tanganmu," ujar Javas.
"Tapi..."
Javas mendesah tidak sabar kemudian dia menarik tanganku secara paksa. Teriakanku tertahan di tenggorokan tatkala cincin bermata biru itu sudah menempati ruang kosong jari manisku. Cukup tertegun aku mengamatinya. Gimana, ya. Cincin ini terlihat lebih...manis? Atau akibat tanganku yang cantik ini sehingga efek keindahannya menjadi berlipat?
Catat, ya. Aku melakukannya tanpa dasar sukarela. Menurutku ini sangat absurd. Membiarkan Javas menyematkan cincin di jemariku itu adalah hal tabu walaupun sekadar tester. Peristiwa ini semakin menambah daftar hitam atas kasus eksploitasi Javas terhadap karyawannya. Mempermudah aku menjelaskan poin kepada kementerian tenaga kerja bahwa tindakan atasanku ini sudah di luar batas.
Masih dalam mode mengamati cincin bermata berlian biru itu aku baru sadar ternyata Javas juga melakukan hal yang sama. Menyipitkan mata kala ia memilin cincin di tanganku dengan ibu jarinya. Iyuh, Bapak sehat?
"Cocok dipakai sama Mbak nya, Mas. Mbak nya udah cantik pakai cincin ini tambah cantik," perkataan Mbak pramuniaga menimbulkan rasa pening di kepalaku.
"Iya," gumam Javas.
"Pak? Pak Javas?" panggilku sebab dia dari tadi termangu bagai terhipnotis. Nah, aku curiga cincin ini jangan-jangan ada penunggunya.
"Eh? Maaf, Swastika." Javas tersentak lantas menjauhkan jemarinya dari tanganku.
Kuputar bola mataku tak minat.
"Saya ambil cincinnya, Mbak," ujar Javas.
"Baiklah. Cincinnya mau dipakai sekalian atau gimana, Mas?" tanya Mbak pramuniaga.
Aku buru-buru melepaskan cincin keramat itu dari jariku lalu kuletakkan di atas etalase.
"Dibungkus saja, Mbak," jawab Javas.
Usai transaksi jual beli tersebut kami melanjutkan ke rute berikutnya yaitu makan siang. Lha ini dari segala agenda sesi makan merupakan salah satu penantian berhargaku. Mengingat antusiasmeku menyantap kudapan di restoran tempat meeting bersama Pak Salebra kemarin, Javas melajukan mobilnya menuju restoran itu. Aku sih fine fine aja makan di sana lagi. Dilihat dari menunya restoran itu menyediakan berbagai macam hidangan lezat. Jadi nanti aku mau pesan makanan yang banyak biar saja menguras kantong Javas, toh, dia masih punya banyak persediaan pundi-pundi rupiah.
"Bapak tahu rumah saya dari mana?" tanyaku saat lampu traffic light menyala merah.
"GPS kamu aktif, kan?" dia balik bertanya.
"Iya."
"Saya bisa mendeteksi keberadaan kamu kalau kamu mengaktifkan GPS nya."
"Jadi Bapak benar-benar menguntit saya?!"
Sungguh terlalu orang ini. Lihat, kan. Kalau begini aku tidak salah menyebut dia penguntit, kan!
*puisi Sapardi Djoko Damono yang dicantumkan di novel Hujan Bulan Juni
*gimbal: udang yang digoreng dengan tepung seperti bakwan udang.
*abaikan saja nama toko itu fiktif kok 😝
Yogyakarta, 1 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top