10. Bye, Javas!

We don't remember days, we remember moments.

- Cesare Pavese-


Setelah hari ini statusku bakal berubah menjadi karyawan News Paper. Menikmati hari-hari terakhir di kantor malah bikin nuansanya menjadi dramatis karena di sini aku pertama kali berkarir. Kuserap aura positif tempat ini sebagai pemacu energi kinerjaku di kemudian hari.

"Cup, cup." Aku memeluk Salvi yang sesenggukan sejak tadi, mengelus punggungnya teratur.

Landung, Adira, Leya, dan beberapa orang lainnya berkerumun di sekitar kubikelku. Bahkan Mang Cecep turut mengambil bagian dalam kerumunan itu. Sejak pagi aku belum mendapati sosok Javas berkeliaran di kantor. Entah manusia satu itu ke mana. Padahal aku sangat menanti otorisasi surat pengunduran diri serta surat rekomendasi yang sudah tergeletak rapi di atas mejanya dari hari lalu.

"Beb, hiks. Gue nggak rela," isak Salvi.

"Duh, jangan bikin gue baper. Lagipula kita masih satu kota, lho. Masih mudah ditelusuri batang hidungnya lah," sahutku.

"Biasanya kalau ada yang resign gini pulang ngantor kita makan-makan. Jadi, nanti makan di mana kita?" celetuk Landung mengalihkan suasana.

"Di mana-mana yang penting senang, Ndung. Tau lah nanti nunggu arahan bos aja. Kali aja mau candle light dinner sama si Tika," celetuk Leya.

Mataku melotot tajam sampai rasanya bola mata hendak keluar. Leya terkikik. Kami lagi asyik membangun chemistry sampai tidak menyadari seseorang baru saja bergabung. Deheman berat pemilik suara itu menyadarkan interaksi sosial kami.

"Pada ngapain? Nggak kerja malah nggosip," ujar Javas.

"Eh, sejak kapan Bapak di situ?" Landung berjingkat.

"Kembali ke tempat masing-masing!" perintah Javas.

Segera kerumunan membuyar menyisakan aku dan Javas. Sudah kuduga Javas bakal ngetem lama di tempatku. Dia berdiri di depan kubikelku, seperti biasa mengintimidasi melalui cahaya matanya yang membuatku muak.

"Kenapa Bapak nggak kembali ke ruangan Bapak? Malah berdiri di situ menjadikan saya tontonan," dengusku.

"Sebentar lagi saya balik ke ruangan saya, dengan syarat kamu juga ikut ke sana." Javas justru menumpukan kedua tangannya di atas kubikelku, membuatku jemu.

"Itu bukan syarat tapi paksaan, Pak. Jangan bilang mentang-mentang ini hari terakhir saya lantas Bapak mau nyuruh saya ngepel ruangan Bapak, ya?" selidikku memicingkan mata.

"Entahlah. Ya sudah kalau kamu tidak mau. Suratnya tidak akan saya tanda tangani." Javas mengedikkan bahu seraya berlalu.

"Eh, eh. Tunggu, Pak," aku susah payah memakai stiletto yang kulepas lantas mengekori Javas yang sudah duluan mencapai ruangannya.

Javas sudah menempati singgasana saat aku berada di ruang kerjanya. Tanpa menunggu aba-aba langsung aku mengambil duduk di depannya.

"Udah ditandatangani belum, Pak?" tanyaku melirik-lirik berkas yang menumpuk di mejanya.

"Kamu pikir semudah itu saya mau tanda tangani suratnya?"

Nah, bukan Javas namanya kalau tidak mempersulit birokrasi.

"Ah, Bapak ini kebanyakan prosedur kayak mau daftar nikah di KUA aja."

Dia tersenyum. "Anggap saja kita sedang simulasi mendaftar di KUA."

"Simulasinya jangan sama saya, Pak. Sama tunangan Bapak, tuh. Buruan dong Pak tandatangani suratnya," aku merajuk.

"Udah final, ya? Masih bisa berubah, nggak?" tawar Javas untuk kesekian kalinya.

Kuputar bola mataku malas. "Permanen dong, Pak."

Helaan napas Javas terdengar pasrah. Dia mengambil pena kemudian menggoreskan tintanya di surat itu. Mataku berbinar berbanding terbalik dengan mata Javas yang redup. Aku tidak mau tahu, barangkali dia sedang punya masalah pribadi.

Yeay, aku tak mampu menahan senyum setelah keluar dari ruangan Javas. Surat yang kuminta sudah di tangan. Selanjutnya tinggal aku merampungkan beberapa kerjaan yang tersisa. Apa seperti ini yang dirasakan narapidana saat masa tahanannya usai. Leganya tak berkesudahan.

"Ntar langsung ke TKP, kan? Gue duluan ya," Leya melambaikan tangannya ketika melewati kubikelku.

"Kenapa nggak bareng-bareng aja sih, Ya. Emang lo tahu tempatnya?" seru Landung sembari mengoles pomade guna mengklimiskan rambutnya tak lupa kumis tipisnya.

"Tau, dong. Tiap hari gue pulang pergi ngelewatin situ. Lo gimana sih, Ndung?"

"Nape jadi sewot, Ya? Gue cuma nanya. Lu PMS?"

"Bodo ah. Gue mau ambil stok pesanan buah dan sayur organik dulu ntar gue nyusul. Daahh..."

Alhasil, sorenya selepas jam kerja kami berbondong-bondong menuju restoran yang direkomendasikan Javas. Restoran dengan hidangan western modern konon katanya sang pemilik masih tergolong rekan bisnisnya Javas. Aku terharu, merayakan momen perpisahan seharusnya tak perlu di tempat mewah begini. Mumpung ditraktir kantor sih, aku bahagia sentosa aman sejahtera saja. Lagipula detik-detik terakhir kurang afdol kalau cuma makan di kaki lima, kan.

Aku sempat tertinggal dari rombongan gara-gara terbentur lampu merah traffic light. Teman-temanku sudah melesat duluan paling mereka sudah sampai. Ah, aku tidak terbiasa berkendara kecepatan tinggi apalagi pada jalanan crowded begini. Cuma sama Radev saja aku tenang dibawanya berkendara dengan kecepatan maksimum. Ahay.

Kepalaku celingukan mencari tambatan untuk memarkir motor kesayanganku. Duh, penuh. Mau ditaruh di mana si Pablo ini. Andai saja dia bisa dilipat sudah aku masukkan dalam tas brandedku.

"Mbak, Mbak," suara cempreng bapak tukang parkir menyusup di telingaku.

"Jangan parkir di situ. Nggak muat," seru bapak bertubuh gempal itu.

"Cuma satu motor, Pak. Diselip-selipin gitu nggak masalah, kan."

"Nggak bisa. Mbak nya parkir di seberang saja di sana masih longgar."

Seberang jalan raya maksudnya? Aih, teganya dikau.

Dengan berat hati aku memarkir Pablo di seberang restoran itu. Penuh perjuangan juga sekadar sampai ke sana. Lalu lalang kendaraan berpacu kencang memerintahkanku waspada terhadap situasi. Heran, restoran semegah ini tidak cukup mampu menampung kendaraan pribadi para pengunjungnya. Berapa sih omzetnya per bulan masa memperlebar area parkir saja tidak sanggup? Huft.

Aku berdiri di tepi jalan menengok kanan kiri menanti kendaraan berpacu sepi. Satu kakiku hendak terangkat ketika sebuah motor tiba-tiba muncul dari arah kanan. Aku tersentak, beruntung kedua kakiku kuat menopang sehingga diriku tak kehilangan keseimbangan tubuhnya. Dasar pengendara tidak sopan! Makanya punya mata itu dikondisikan seharusnya ada bidadari mau nyebrang ini daya tangkap penglihatannya mesti lebih jeli.

Sumpah serapah beruntun menjalari hatiku ketika kurasa telapak tanganku menghangat tiba-tiba. Sejenis sebuah dukungan energi entah dari mana datangnya. Suaraku memekik tertahan di tenggorokan kala mendapati sosok Javas berdiri di sampingku. Kulihat kedua tangan kami saling berjalin. Praktis mataku terbelalak. Jadi, sumber energi tadi berasal dari sini.

"Jangan ceroboh, Swastika. Jalanan di sini ramai. Salah melangkah kamu bisa celaka," ucap Javas mengeratkan jalinan tangannya.

"Bapak nggak dapat tempat parkir juga?" tanyaku sedikit terguncang.

"Iya."

Singkat padat jelas.

Percuma aku berontak. Jalinan itu enggan melepas. Apa daya akhirnya aku putus asa. Javas menggunakan tangan kanannya untuk menyetop mobil dari arah kanan sehingga kami dapat menyeberang dengan leluasa.

"Udahan, Pak," cetusku.

Aku dan Javas berjalan berdampingan di tengah pelataran restoran. Duh, kalau kepergok gawat ini. Nama baikku bisa terancam!

"Apanya?" tanyanya cuek.

"Ini tangannya lepasin. Bisa muncul fitnah ini," gerutuku.

"Akan saya lepas kalau sudah di dalam resto. Bukankah begini lebih baik? Lagipula siapa yang berniat mengatakan fitnah," sahut Javas santai.

"Pak!" aku mengerem mendadak.

Javas memiringkan kepalanya mengamatiku. Aku memberengut kesal sambil menghentakkan kaki.

"Jangan karena saya tidak lagi berstatus sebagai karyawan Bapak, bukan berarti Bapak semakin bebas bersikap terhadap saya. Kalau teman-teman lihat ini," kataku menunjuk tangan kami yang saling mengait, "nanti dikira affair. Ya kali lebih baik di Bapak tapi nggak lebih baik di saya!"

Kuhempaskan tangannya. Aku memberanikan diri menghujamkan sinar mataku menyorot tajam merasuki manik legamnya. Kuyakin ini senjata ampuh meluluhlantakkan sisi diktator Javas. Sayangnya ekspektasiku salah. Dia malah terus mendekat ke arahku memaksaku mundur hingga punggungku membentur ujung mobil yang terparkir.

"Makanya dulu pernah saya tanyakan padamu. Kamu pengin status apa dari saya? Biar segalanya tidak menerawang begini."

Nah, mulai rese dia.

"Lagi ngomongin apa sih, Pak? Bapak lapar ya, jadi ngigau begini. Ayuk lah, saya udah kelaparan." Aku mendorong tubuhnya.

Sebelum bertambah kacau kupercepat langkah ke dalam restoran. Aku tidak bohong, aku memang kelaparan. Berlama-lama dengan Javas justru memperparah keadaan jadi tambah absurd.

Seluruh karyawan sudah duduk melingkar di sana. Kulambaikan tangan pada Salvi lantas aku duduk di sampingnya. Tak lama berselang, Javas bergabung dan mengambil tempat paling ujung. Tempat duduk keramat ala-ala bos.

Meski makanan yang tersedia terbilang menggiurkan, entah kenapa aku tak begitu tertarik. Aku lebih antusias menanggapi lawakan Landung atau curhatan Leya, bagiku kebersamaan seperti ini ibarat hiburan rohani yang tiada terbeli. Tumbukan pandanganku dengan Javas seketika menghentikan tawaku yang bergelimang. Piringnya masih terisi penuh. Pria itu sama sekali tidak menyentuh makanannya. Aku yang mengawali memutus kontak di antara kami.

Acara berakhir. Bergantian aku menyalami semua karyawan yang malam itu hadir.

"Good luck, Tik. Jangan sungkan mampir ke kantor. Pintu kita selalu terbuka lebar buat elo," Leya memelukku sebelum berpisah.

"Makasih, Ya. Kalian terbaik lah. Malam ini sukses bikin gue baper tingkat internasional," balasku.

"Bebeb..." Salvi menyerbuku begitu Leya melepaskan pelukannya.

Tangisannya pecah di pelukanku. Situasi kini cenderung emosional. Kuusap punggungnya untuk menenangkan. Anak ini stok air matanya melimpah banget. Tadi pagi nangis, siang sempat berkaca-kaca, malamnya malah tambah deras. Duh, duh.

"Pak," panggilku saat tiba giliran berjabat tangan dengan Javas.

Javas membiarkan mulutnya mengatup. Tidak menyahuti semua kata yang kuucapkan. Padahal mulutku sampai berbusa tak ada timbal balik apapun darinya. Ya sudah, aku melambaikan tangan pada kamera. Menyerah.

"Saya antar kamu pulang," hanya itu yang dia katakan.

Pengin ketawa tapi kutahan. Entah, ingin saja aku tertawa.

"Nggak perlu lah, Pak. Motor saya nggak mungkin nginap di sini. Emangnya kantor," sindirku.

"Jangan membantah saya..."

"Bapak sudah tidak berhak mengatur saya. Ingat, saya bukan lagi karyawan Bapak."

Rahang Javas menguat. Dia bungkam sementara aku tersenyum puas. Bye, Pak Javas.

Akhir-akhir ini aku sering berteman dengan udara malam. Melajukan motor pelan sesekali menghirup aroma malam yang khas. Aku melirik kaca spion, sedari tadi terlihat sebuah mobil terus mengikuti arah ke mana aku pergi. Nggak mungkin dia mau begal, kan? Mobil begal motor?

Saksama kuperhatikan mobil itu. Sepertinya tidak asing. Yah, manusia satu itu sungguh keras kepala. Aku berdecak sambil menggelengkan kepala. Biarkan saja toh, itu maunya dia.

Mobil itu berhenti tak jauh dari pagar rumahku. Sebelum membuka pagar, aku mendekati mobil itu kemudian mengetuk kaca jendelanya.

"Bapak ngapain ngikutin saya?" tukasku geli. Sumpah aku tak tahu rasanya ingin terpingkal.

"Mengantar kamu pulang." Javas membuka pintu mobilnya dan berdiri menghadapku.

Aku menengadahkan wajah. Tinggiku hanya sebatas bahunya, itu pun efek stiletto yang kupakai. Bayangkan kalau cuma sandal jepit setinggi apa aku dibanding dia.

"Kenapa sih, Pak?" tanyaku.

"Apanya?"

"Sikap Bapak aneh."

Javas tersenyum lebar. "Pertama, kamu bukan lagi karyawan saya. Mulai sekarang biasakan memanggil saya dengan nama bukan Bapak. Kedua, tidak ada yang aneh dari sikap saya. Segalanya wajar."

Mataku setengah menerawang. "Nggak, lah. Enakan panggil Bapak. Lebih terhormat."

Langkah Javas mendekat. Aku hendak menyingkir tapi lenganku dicekalnya.

Ia berkata lirih, namun kedengaran jernih menggema di seputar kompleks yang sunyi. "Kamu boleh mengucapkan selamat tinggal sama teman-teman kantor tadi, tapi kamu tidak bisa mengucapkan selamat tinggal sama saya."

Hah?

Cekalannya mengendur. Tangannya beralih menepuk-nepuk puncak kepalaku. "Selamat istirahat, Swastika."

Tragedi bermotif apalagi ini?

Dia membalikkan badan usai berkata begitu. Termangu di tempatku mengawasi Javas masuk mobilnya lalu melengang pergi. Aku menggerutu dalam hati. Sungguh berat sekali cobaanmu, Tuhan. Engkau pasti memiliki tujuan dibalik penciptaan manusia bernama Javas Maheswara. Dia benar-benar menyebalkan!



Yogyakarta, 17 Juni 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top