Tujuh
Yuk jangan lupa dipesan ya😘
***
Terkadang memilih diam itu lebih aman daripada terluka terlalu dalam.
Alan memperhatikan Zanna yang serius dengan laptop di depannya. Alan memang beberapa kali membenarkan kesalahan yang Zanna lakukan.
Alan adalah sahabat sekaligus editor Zanna. Tapi sebenarnya dalam hati, dia mencintai Zanna sejak lama, sejak dia dan Zanna bertemu di kantor.
Alan yang memandang Zanna bukan sebagai seorang novelis, tetapi sebagai seorang perempuan. Hanya saja Alan tidak punya nyali untuk mengungkapkan perasaannya sampai sekarang ini. Meskipun mereka satu kampus, tetapi beda kelas, Alan selalu memperhatikan Zanna.
"Na." Zanna mendongak dan menatap Alan yang hanya diam memandang dirinya. Entah apa yang harus dilakukan Alan saat ini, dalam hati ingin sekali dia mengungkapkan perasaannya saat ini, tapi pikirannya mengatakan jangan.
Zanna terus memperhatikan diamnya Alan, tanpa mau memotong, dia menunggu.
"Aku ... aku ... jatuh cinta sama kamu."
Zanna diam, tidak lebih tepatnya dia mematung dengan apa yang dikatakan Alan. Dia bahkan masih shock mendengar pernyataan cinta Alan. Baru kali ini Zanna mendapatkan pernyataan cinta pada seseorang, bahkan dari Aril ... suaminya sendiri pun tidak pernah.
"Na ... jawab!"
Zanna mengerjapkan matanya berkali-kali, sebelum tersadar dari pemikirannya sendiri. Alan adalah lelaki yang baik, hanya saja ... Zanna tidak bisa dan tidak mungkin menerima cintanya Alan ... ada Aril yang menjadi cintanya saat ini, suaminya sendiri.
"Maaf Lan, aku sudah menikah."
Satu kalimat yang mampu membuat hati Alan runtuh. Kalimat yang di ucapkan Zanna, mampu membuat hati Alan roboh. Zanna wanita yang dia cintai selama enam bulan terakhir ini, sudah menikah.
Alan mendengus tertawa, dia masih shock dengan apa yang Zanna katakan. Dia bahkan tidak percaya jika Zanna benar-benar sudah menikah. Lalu dengan siapa dia menikah, bahkan Zanna selalu pulang sendiri, tidak pernah ada seorang suami yang menjemputnya.
"Kamu bercanda?"
Zanna menggelengkan kepalanya pelan. Ini pasti sulit di mengerti oleh Alan, bahkan dia sadar, jika suaminya itu, tidak pernah menjemput atau mengiriminya pesan cinta atau apapun itu. Aril tidak pernah melakukannya.
Bahkan setelah kejadian dua bulan lalu, sejak mereka telah melakukan hubungan suami istri pun, Aril tetap sama dinginnya dengan Zanna. Bedanya, kini mereka sudah tidur bersama di kamar Aril.
Zanna berdiri dari duduknya, dia segera memasukkan laptop dan buku kesayangannya kedalam tas. Dia harus pergi, dia harus pulang. Dia tidak mau menambah rasa sakit di hati Alan.
"Maafkan aku."
Zanna pergi begitu saja, meninggalkan Alan yang meratapi kesedihannya, meratapi patah hatinya sendiri, dia hanya mampu memandang punggung Zanna yang sudah berlalu begitu saja.
Alan berdiri dari duduknya, mengikuti Zanna pulang tidak ada salahnya. Menjadi stalker satu hari saja, dia hanya ingin melihat siapa suami Zanna, dan dimana Zanna tinggal.
Alan masih melihat Zanna berjalan menuju parkiran mobil, di sana Zanna masuk kedalam mobil dosennya sendiri. Mobil seorang Aril, dosen muda yang di gandrungi setiap mahasiswi.
Bahkan Aril yang mencium bibir Zanna pun tak lepat dari mata Alan. Mereka benar-benar telah menikah. Zanna sudah menikah dengan Aril, dosennya sendiri.
Kata apa yang sanggup menggambarkan perasaan Alan saat ini. Mungkin kata hancur adalah yang tepat, melihat cinta diamnya, sudah menikah dengan dosennya sendiri.
Alan hancur.
****
Zanna sangat tahu betul jika Alan mendiamkan dirinya. Mungkin Alam butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada, jika dirinya telah menikah. Memang Zanna tidak menyebabkan dengan siapa dia menikah, hanya saja semua itu terlalu rumit.
Zanna bahkan tidak dapat memastikan cinta dari Aril itu nyata. Memang mereka tidur berdua, bahkan melakukannya setiap saat pun, Zanna setuju. Lalu bagaimana Aril tidak dapat mencintai dirinya? Zanna saja sudah cinta padanya.
"Oke, kumpulkan!" suara Aril menyadarkan Zanna akan tugas yang dia kerjakan saat ini.
Alan berdiri dari duduknya, dia memandang Zanna dengan penuh luka. Memilih berjalan tanpa memandang Zanna itu lebih baik. Dia berdiri di depan Aril dengan wajah yang tak dapat digambarkan. Dia benci mengakui perbedaan nyata antara dia dan Aril.
Tentu saja Aril sudah mapan, sedangkan dirinya? Semuanya masih tergantung pada orang tua. Andaikan saja dia seumuran Aril, atau saat ini dia telah mapan, mungkin Zanna mau menikah dengannya.
"Ada apa? Kenapa memandang saya seperti itu?" tanya Aril.
"Bapak ... terlihat tua." Alan berlalu begitu saja tanpa permisi.
Aril tercengang dengan kata tua yang Alan lontarkan dengan suara yang mampu didengarkan oleh seisi kelas. Aril meremas tugas Alan dengan emosi yang benar-benar memuncak. Dia tidak tua, hanya saja dia dewasa. Ya, tua dan dewasa itu berbeda. Dia tidak ada keriput di wajah.
Aril berlalu pergi dari kelas, mengabaikan mahasiswanya yang belum selesai mengumpulkan seluruh tugas. Dia berjalan menuju ruangannya, duduk dengan merenggangkan kedua tangannya ke atas.
Bapak tua
Bapak tua
"Sial!" Dia menyambar sebuah cermin kecil yang ada di laci. Memandang wajahnya yang tampan di sana.
"Gue nggak tua. Gue dewasa!" Aril mengangguk sendiri untuk menghibur diri.
Matanya terpaku kala melihat garis halus di sekitar kantung matanya. Itu keriput yang dikatakan Alan dengan jelas.
"Arghh. Gue nggak tua!"
Zanna yang mendengarnya di luar sana, menahan tawanya sekuat tenaga. Aril menolak tua.
"Alan sialan! Gue nggak akan pernah tua! Gue masih muda!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top