Tiga Belas
Mungkin luka itu yang kamu toreh, tapi bekasnya merentet ke yang lain.
.
.
.
Happy reading
Andini meradang, dia tidak pernah bertemu dengan Aril selama dua hari ini. Bahkan telepon mau pesannya tak pernah digubris oleh Aril. Dia mengacak rambutnya frustasi. Dia membutuhkan Aril.
Andini membuka laci meja kerjanya, dia menemukan pil kecil yang dibungkus dengan plastik transparan. Mengambilnya satu dan menelannya segera. Andini memejamkan mata dan mengatur napasnya agar teratur. Semuanya kembali normal. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Masalah Aril dia tak ambil pusing. Nanti ada waktunya menjerat Aril agar selalu berada di sisinya.
Ponsel Andini berdenting, sebuah notifikasi pesan telah masuk. Tertera nama Aril di sana, membuat Andini tersenyum.
Aril
Maaf, aku sibuk.
Pekerjaanku menumpuk.
Andini menghela napas berat. Malam ini dia harus segera melancarkan aksinya segera, menjerat Aril agar terlepas dari istri mudanya. Andini membuka tas kecilnya, dia menemukan botol kecil berisi cairan bening.
"Hai Baby, selamat bersenang-senang dengan istrimu sekarang. Nanti malam dan seterusnya, kamu akan menjadi milikku." Andini tertawa mengerikan.
***
Rumah tangga yang bahagia dan harmonis adalah keinginan Zanna. Dia melihat Aril makan dengan lahap masakannya dan terus bersamanya tanpa sedetik pun, sungguh bahagia sekali hidupnya.
"Mas, mau nambah lauk lagi?" Aril mengangguk. Dia menggeser piringnya untuk diisi lauk kesukaan Aril.
Suara ponsel Aril berdering, meminta untuk dijawab segera. Aril memandang sekilas di layar ponselnya. Tertera nama Mami di sana.
"Halo Mi?" sapa Aril.
"Ril, ini Papi, mami masuk rumah sakit karena serangan jantung."
"Aku ke sana sama Zanna. Papi kirim alamatnya ya." Aril meminum air di gelasnya dengan secepat kilat.
"Pelan Mas, kenapa?" Aril menyentuh wajah Zanna penuh kasih sayang.
"Ikut aku, yuk! Mami masuk rumah sakit. Aku butuh kamu di sana." Zanna mengangguk.
Aril pergi mengambil dompet dan menuju garasi. Zanna membawa jaket Aril dan segera menutup pintu. Dia masuk ke mobil dan duduk senyaman mungkin di sebelah Aril.
Zanna memegang tangan Aril dengan lembut. Dia berharap Aril tidak mengebut.
"Mas, hati-hati. Biar Mami dan Papi nggak kepikiran." Aril menatap wajah Zanna yang teduh. Dia memajukan wajahnya dan mencium bibir Zanna yang terlihat menggoda.
Aril menjauhkan bibirnya dari bibir Zanna, setelah puas mencium bibir Zanna. Aril mengusap lembut wajah Zanna.
"Kalau nggak inget mami lagi sakit, udah aku garap kamu." Zanna mencebikkan bibirnya. Dia memilih menutup wajahnya dengan jaket Aril.
Mobil yang dikendarai Aril melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali dia melirik Zanna yang sedang memandang keluar jendela. Dia khawatir akan kondisi ibunya, tapi dia ingin dituntaskan hasratnya dengan Zanna.
Mobil yang mereka kendarai telah tiba di tempat parkir rumah sakit. Aril membukakan pintu untuk Zanna, dia menggandeng tangan Zanna agar tidak ketinggalan. Mereka menuju ruang IGD, di sana papinya sedang duduk di kursi tunggu.
"Pa --"
"Keluarga ibu Farida?" tanya dokter yang bertugas.
"Kami Dok, gimana keadaan istri saya?"
"Pasien sudah membaik, sekarang masih istirahat. Pasien bisa saja mengalami hal seperti ini kembali, jika mendapatkan kabar yang mengejutkan dan membuat hatinya merasa sedih." Penjelasan dokter yang berjaga, membuat papi Aril cemas.
Sesekali dia mengusap wajahnya kasar. Hal itu tak luput dari perhatian Aril. Dokter kembali ke ruang jaga, sedangkan Aril menarik papinya dengan kasar. Dia menyudutkan papinya ke dinding.
"Apalagi yang Papi lakukan kali ini?" Papinya menggeleng. "Nggak mungkin. Papi ngelakuin apa sampai mami seperti ini? Jawab, Pi!"
"Oke." Papinya menarik napas berat. "Sekretaris papi bilang ke mami, dia hamil anak papi. Tapi papi berani sumpah, Ril. Papi nggak ngelakuin itu sama dia."
"Mas, aku lihat mami dulu." Aril mengangguk.
***
Beberapa hari berlalu, kondisi mami Aril telah membaik, tapi masih harus melakukan perawatan intensif. Zanna dengan telaten menyuapi dan mengurus segala keperluannya. Hal itu yang membuat mami Aril bahagia.
"Zanna, apa Aril belum pulang?" tanya mami.
"Belum, Mi. Mungkin lagi .... "
"Aril baik 'kan sama kamu?" Zanna mengangguk. "Mami nggak mau kamu tersiksa batinnya, gara-gara anak mami. Mami sayang sama kamu, Zan."
"Zanna juga sayang sama Mami." Zanna memeluk mami erat. Kasih sayang ibunya telah digantikan oleh mertuanya.
***
Dilain tempat, Aril menuju sebuah klub malam yang dulu sering dia kunjungi bersama Andini. Dia mendapatkan telepon dari bartender kenalannya, bahwa Andini mabuk berat dan tak sadarkan diri. Arik bergegas menuju ke mari untuk menjemput Andini.
"Andini, ayo pulang!" Aril menarik lengan Andini, namun beberapa kali ditepisnya.
"Kamu jahat ... ayo minum dulu, Sayang. Kita kenang masa kita dulu." Andini menyodorkan satu gelas wine ke Aril.
"Janji kita pulang setelah ini." Andini mengangguk.
Aril meminumnya dengan cepat, rasanya pahit. Dia sudah lama tidak pernah mengkonsumsi minuman ini, sejak menikah dengan Zanna. Aril melewati malam-malam indah bersama Zanna sebagai gantinya.
Andini memandang bartender kenalannya dengan senyuman yang rumit. Seakan ada suatu hal yang mereka berdua sembunyikan.
Aril memandang Andini dari atas hingga bawah. Gaun malam yang Andini kenakan hari ini, terlalu memperlihatkan belahan dadanya yang begitu menggoda untuk dijamah oleh lelaki manapun. Aril menelan ludahnya beberapa kali melihat hal ini.
"Andini," sapa Aril.
"Yes, Baby. What?"
"I want you."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top