Sembilan Belas

Pantaskah aku untuk tetap bertahan di sisimu, dengan segala sifatmu yang tak menentu?
.
.
.

Alan menyeruput es kopi kekinian, yang sengaja dia pesan. Dia mengecek kembali ponselnya, tak ada pesan atau apapun itu dari seseorang yang sengaja dia tunggu. Aril, lelaki yang menjadi dosennya itu meminta, bukan, lebih tepatnya memaksa dengan sangat keras. Meminta Alan untuk bertemu seusai kuliah di kafe depan kampus.

Alan benar-benar lelah, hari ini jadwalnya terlalu padat. Bahkan kerjaanya kali ini menumpuk. Apalagi Zanna tidak masuk, tak ada penyemangat terbesar dalam kuliahnya. Zanna kembali izin karena sakit. Alan khawatir luar biasa, dia diusir oleh Aril gara-gara dirinya, lalu di mana Zanna tinggal sekarang, dia tidak tahu.

Aril tiba dan duduk di depan Alan. Dia melonggarkan dasinya, sebelum mengangkat tangannya untuk memesan sesuatu pada pelayan di sana. Semua gerakan Aril tak luput dari Alan. Dia amati segalanya, apa yang membuat Aril menjadi kharismatik di mata kaum hawa? Apa yang membuat Zanna rela menikah muda dengan dosennya sendiri. Alan tak paham.

Sejauh yang dia amati saat ini, nothing special. Tidak ada yang spesial dari diri Aril Hermawan. Tidak ada apapun itu. Entah karena sesama lelaki atau memang tak ada yang spesial, dia tak tahu. Yang jelas Aril seperti layaknya lelaki dewasa pada umumnya.

"Bapak, langsung ke intinya saja." Aril memandang Alan sejenak, "saya nggak suka basa-basi."

Pesanan kopi Aril datang, dia mengucapkan terima kasih. Aril menghirup lebih dulu aroma kopi itu, kemudian meniup-niup sebelum dia sruput perlahan. Alan terus memperhatikan Aril tanpa jeda. Alan sudah mulai gila.

"Kamu kenapa pandangin saya terus? Suka?"

"Hah? Jijik, Pak. Ayolah Pak, langsung saja ke intinya, tugas saya menumpuk."

"Kamu tahu tempat tinggal Zanna di mana?" Alan terdiam, padahal niatnya juga ingin bertanya tentang ini, tapi kenapa harus didahului Aril.

"Ya, saya nggak tahu, Pak. 'Kan situ suaminya, gimana sih?" Aril memandang tajam Alan.

Sialan! Pakai bawa kata suami lagi.

"Kamu 'kan sudah jadi selingkuhannya?" Alan menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

"Pak, Zanna mana mau sama saya? Dia nolak saya melulu. Cuma saya dan Zanna itu satu kerjaan, satu penerbitan, jadi wajar kalau kami berhubungan baik." Alan kembali menyeruput esnya. "Maunya saya sih, dia jadi milik saya aja, nggak papa janda, asal belum punya anak."

Anak? Benar, anak.

Kalau Aril memiliki anak dari Zanna, dia tak akan bisa pisah dengan alasan anak. Jadi masalahnya, dia harus lebih dulu menghamili Zanna. Agar kehidupan percintaannya semakin tentram tanpa gangguan pihak manapun. Bahkan Aril juga tak akan takut kehilangan Zanna lagi. Aril menyeringai, membuat Alan siaga satu.

"Pak, tanya deh, apa Zanna sudah hamil? Kalau belum hamil 'kan, saya bisa deketin dia."

"Zanna?" Alan mengangguk, kesempatan untuk Aril menyingkirkan Alan dari miliknya. "Sudah! Kami nggak pisah, cuma dia mau nenangin diri aja."

Lebih tepatnya, gue akan bikin Zanna hamil segera.

Alan hanya diam, apa dia salah bertanya atau Aril yang salah menjawab. Alan kembali menyeruput minumannya hingga tandas, sepertinya berbincang dengan Aril tak akan menemukan titik temu di mana Zanna tinggal. Kapan-kapan saja Alan mengikuti Zanna, lebih baik seperti itu daripada Zanna tak memberitahunya.

"Saya balik deh, Pak. Makasih banget buat traktirannya yang nggak mengenyangkan ini." Alan melangkah pergi, meninggalkan Aril yang bahagia dengan umpatannya untuk Alan.

***

Mual hebat dia alami saat ini, benar-benar membuatnya kewalahan. Baru saja pulang dari dokter kandungan, dia ingin beristirahat di rumah, namun baru sampai teras, dia sudah kembali mual. Berjalan menuju kamar ingin tidur pun tak ada tenaga. Dia lelah.

Makanan tak ada yang masuk, dia hanya tidur di sofa, tak berniat untuk berjalan ke kamar. Rasa ingin di dekat Aril sangat kuat, dia ingin Aril menyuapinya, bahkan dia ingin Aril membelai perutnya yang datar itu. Zanna menggelengkan kepalanya, tidak boleh terjadi. Dia tak boleh berada di dekat Aril saat ini. Bila-bila semua rasa yang dia pendam akan mencuat kembali. Tak ingin lagi terluka.

Zanna bangkit, dia membuat teh hangat dicampur dengan lemon dan madu. Menghirupnya sebentar lalu menikmatinya. Mualnya berangsur hilang. Zanna duduk untuk menikmati kepulan asap tehnya dengan khidmat. Menyeruput sedikit untuk membebaskan tenggorokannya yang kering akibat mual. Zanna membuka ponselnya, tangannya bergerak lincah menuju galeri, mencari foto Aril yang sengaja dia potret.

Zanna mengusap perutnya dengan lembut, dia terus mengamati Aril dari foto itu. Senyum tipisnya mampu membuat pertahanan Zanna goyah.

"Nak, apa kamu merindukan papamu? Lebih baik lewat foto ini ya, jangan dekat dengannya lagi. Mama nggak sanggup."

Semua keinginan untuk memeluk Aril sirna, bahkan mualnya juga sirna. Hebat juga pengaruh foto ini untuk calon anaknya. Dia tak perlu repot-repot untuk berdekatan dengannya.

Panggilan dari Aril membuatnya berhenti mengusap perutnya. Zanna menghela napas berat, kenapa Aril mendekat padanya. Dia memilih menggeser tombol merah, menolak lebih baik dari pada menyakiti diri sendiri.

***

Zanna berkeliling mall sendirian, dia perlu membebaskan pikirannya yang semrawut. Berjalan menuju restoran favorit Aril, dia menelan mentah-mentah niatnya untuk masuk. Tidak, jangan libatkan apapun tentang Aril lagi. Dia kembali melanjutkan langkahnya.

Zanna berhenti di area food court sejenak, memesan es dawet dan gudeg khas Jogja. Dia mencari tempat duduk yang nyaman di dekat jendela. Menyaksikan hujan deras yang mengguyur kota ini.

Pesanannya datang, Zanna menikmati es dawetnya lebih dulu, rasa manis dari gula jawa, membuatnya nyaman. Menikmati satu suap nasi gudeg, dia mengunyahnya dengan pelan, mencoba menelan makanannya dan berhenti sejenak, menunggu respon dari anaknya. Tak ada masalah. Anaknya suka, Zanna tersenyum tipis, dia mengusap perutnya lembut, mengucap rasa syukur pada Tuhan.

Tarikan di kursi depannya, menarik atensi Zanna yang antusias untuk menikmati nasi gudeg di depannya terhenti. Andini, perempuan yang sengaja datang di kehidupan pernikahannya dengan Aril, ada di sini. Duduk tanpa dikomando.

"Well, just alone? where's Ariel?" Pertanyaan yang tak perlu dia jawab seharusnya. Ini lebih seperti sindiran, bukan pertanyaan.

"He's gone. Go with his ex-girlfriend," jawab Zanna tenang.

Andini tertawa, memang semalam Aril datang dengan paksaannya. Mereka tetap saja melepaskan gairah masing-masing. Andini sangat bahagia. Dia berhasil memiliki Aril kembali dan mendepak perempuan muda yang mengancam kisah percintaannya. Tentu saja dia kalah telak dengan Zanna. Gadis muda yang benar-benar membuat Aril rela melakukan apa saja, demi Zanna agar tak disakiti Andini.

"Do you wanna try?" Zanna mengernyit bingung. "Do you want to try to disappear from Ariel's life for good?"

Zanna terkekeh pelan, dia memilih menikmati es dawetnya yang lebih menggoda, dari pada berbincang dengan Andini yang akan mengusik kesehatan dan kedamaiannya. Andini merasa bahwa Zanna terlalu santai, dia harus benar-benar menyingkirkan Zanna. Senyum miringnya tercetak jelas, bahkan tertangkap netra Zanna.

Andini menggulir galerinya, mencari rekaman video yang dari dulu ingin dia perlihatkan pada Zanna. Inilah saatnya Zanna menikmati video itu. Andini menunjukkannya pada Zanna bagaimana lincahnya Aril bergerak di atas Andini. Semua lekuknya terlihat jelas, itu tentu saja Aril, Zanna mengenali betul bagaimana Aril.

"Dia sangat mencintaiku, jadi lebih baik kamu pergi menjauh darinya." Dengan nada angkuh Andini meminta Zanna pergi.

"Definisi menjauh itu seperti apa? Apa Anda belum paham, jika saya sudah lama tidak tinggal serumah dengannya, lalu?"

Andini memberengut kesal, bagaimana tenangnya Zanna menjawab segalanya. Dia menyambar tas kecilnya untuk segera pergi dari sini. Berdebat dengan Zanna, membuat ginjalnya rusak. Hentakan stilleto terdengar memekakan telinga, kala Andini pergi.

Baru saja dia rasakan sesuap nasi, sudah dia telan bulat-bulat tanpa dikunyah. Selera makannya benar-benar hilang. Bagaimana bisa Aril sangat bergairah memimpin permainan itu. Zanna benar-benar jijik, dia bahkan tak tahu jika Aril benar-benar sejauh itu jika berhubungan.

***

"Kenapa datang terlambat?" pertanyaan  itu dilayangkan untuknya yang telat lima menit dari jam Aril mengajar.

"Maaf," jawab Zanna lirih.

"Silakan duduk, tapi jangan lupa hukumannya, tulis bussiness plan dan kumpulkan nanti di ruangan saya setelah kelas ini berakhir." Zanna mengangguk.

Alan menggeser duduknya, mengizinkan Zanna duduk dengan nyaman di sampingnya. Dia mengamati wajah pucat Zanna.

"Sakit?" Zanna hanya menggeleng, dia memilih untuk mencatat segala yang Aril jelaskan.

Sesekali Aril memandang Zanna yang sibuk dengan catatannya, bahkan Aril melihat bagaimana Zanna mengurut pangkal hidungnya sebentar. Aril yakini jika Zanna sakit.

Bel berbunyi, kelas Aril telah usai. Zanna menata kembali tugasnya yang harus dia kumpulkan sekarang juga. Dia beranjak dari kursi dan mengabaikan panggilan Alan. Dia berjalan sendiri menuju ruangan Aril untuk mengumpulkan tugas.

Mengetik pintu ruangan Aril agar terlihat sopan, sampai suara Aril yang menyuruhnya masuk terdengar, Zanna membukanya perlahan. Dia duduk setelah dipersilakan oleh Aril.

"Ini tugas saya, Pak." Menyerahkan tugasnya pada Aril.

Zanna mengernyit bingung, ini parfum Aril sangat menyengat, membuat mualnya bergejolak. Zanna menutup hidung dengan kedua jarinya.

"Ini rangkuman dan tugas kemarin, saat kamu nggak bolos." Zanna menerimanya dengan satu tangan. "Kenapa?"

"Bapak bau!" Setelah mengucapkan kata itu, Zanna cepat-cepat pergi. Mualnya tak dapat ditahan lagi.

Berbeda dengan Aril yang masih syok dikatai bau oleh Zanna. Aril sudah mandi, sudah wangi dengan parfumnya, tapi kenapa Zanna masih mengatai dirinya bau. Apa Zanna sebegitu benci padanya hingga kata bau itu terucap.

Zanna menghampiri Alan yang duduk tenang di kantin, dia menikmati es kopinya dengan khidmat.

"Mau jus?" Zanna menggeleng.

"Lan, jajan yuk, gue pengen makan bakso bakar yang pedes. Mau cireng rujak, mau martabak telor, martabak manis keju, mau--"

"Woow, sabar pemirsa! Tahan jangan ngatain. Lo mau malak apa buka resto, hah?" Zanna tertawa.

"Gue mau semua itu, tenang gue ada duit kok, gue bayar semuanya, tapi belinya sama lo!"

Alan tersenyum bahagia, dia merasa dibutuhkan oleh Zanna. Satu kata yang mewakili perasaan Alan saat ini, bahagia. Tapi jika teringat tentang pernyataan Aril kemarin, membuat Alan resah.

"Zan, lo hamil?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top