Dua Puluh Satu
Hatiku terasa sakit, menyaksikan bagaimana lincahnya kamu bermain dengannya.
.
.
.
Zanna berjalan dengan lunglai menuju tempat tidur. Setelah memakan bekal dari Irene, jualnya kembali melanda. Dia tak kuat lagi untuk menelan dan merasakan nikmatnya makan. Hanya susu, dan teh hangat madu yang bisa masuk.
Dia butuh asupan makanan, tapi bagaimana dia harus mendapatkannya. Zanna memejamkan matanya erat. Dia sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Hanya sekedar membuat susu untuk dirinya sendiri.
"Zanna! Sayang, ini mami." Zanna membuka matanya, dia mencoba untuk bangun, tapi tubuhnya lemas.
"Ya Allah, Zanna!" Irene membantu Zanna untuk duduk dengan nyaman. "Kamu sudah makan, Nak?"
Zanna menggelengkan kepalanya. Apa yang mau dimakan. Irene menuju dapur, membuatkan Zanna susu hamil. Kembali dia menuju kamar, membantu Zanna untuk minum susu.
"Kamu mau makan sesuatu Nak?" Zanna menggeleng.
"Semuanya keluar Mi, Zanna nggak sanggup untuk makan lagi." Irene membelai kepala Zanna lembut.
"Mungkin kamu butuh seseorang atau kamu ingin sesuatu?" tanya Irene.
Zanna berpikir sejenak, siapa yang dia inginkan. Terlintas wajah Alan yang membawakannya mi ayam langganan mereka. Zanna menginginkan itu. Meraih ponselnya di nakas, Zanna mencari kontak Alan.
Zanna
Alan, mi ayam langganan kita, bisa di gofood gak?
Alan semesta
Bisa. Tinggal sharelok posisi lo!
Zanna
Itu alamat gue. Tolong pesenin 2 porsi ya! Ntar uangnya gue bayar.
Zanna meletakkan ponselnya kembali, tak sabar membayangkan nikmatnya mi ayam menggoyang lidahnya. Zanna tersenyum pada Irene.
"Mi, Zanna mau mi ayam, tapi makannya sama Alan, boleh?" Irene mengangguk, walau tak rela. Asalkan Zanna makan.
Tiga puluh menit menanti, bel rumah Zanna berbunyi. Irene membuka pintu. Alan tersenyum canggung di depannya.
"Siang Ibu, saya mau antar mi ayam pesanan Zanna," ucapnya.
"Masuk aja, sudah ditunggu Zanna di depan tv."
Alan mengikuti Irene berjalan di belakangnya. Di ruang tv, Zanna duduk di sofa, wajahnya pucat pasi, dia tersenyum pada Alan yang terlihat bahagia.
Irene dengan cekatan menata makanan di piring Zanna, dia memberikan waktu untuk Alan dan Zanna makan berdua. Biarkan Zanna menikmati apa yang dia inginkan. Waktunya banyak terbuang karena Aril. Bahkan pernikahan yang penuh dengan paksaan itu, tak ada yang bertanya pada hati Zanna, apakah dia bersedia? Ataukah menolak.
Alan mengedarkan ke seluruh ruangan, dia mencari keberadaan Aril, tapi nihil. Zanna menepuk bahu Alan.
"Nggak ada. Dia di rumahnya, ini rumah gue." Alan menggaruk tengkuknya gatal, dia salah tingkah.
"Kalian ...."
"Ya, seperti yang lo pikirin. Sejak dia ngusir gue, sampai sekarang. Tapi ini agak rumit."
Alan menyuapkan mi ke mulut, menanti Zanna mengunyah makanannya lebih dulu. Ada rasa bahagia saat Zanna menyebutkan, jika Aril tak tinggal dengannya saat ini.
Zanna memilih untuk menikmati makanannya. Akhirnya anak dalam kandungannya bisa makan dengan nikmatnya, tanpa gangguan apapun. Alan berdehem sejenak, dia harus bertanya lebih privasi dari ini.
"Zan, gue mau tanya sesuatu. Tapi ini lebih privasi. Kalau lo mau jawab nggak papa, gue malah bersyukur. Kalau lo nggak mau jawab, gue juga nggak maksa." Zanna mengangguk. "Apa ... lo hamil?"
Ada jeda sekitar lima menit dari pertanyaan Alan. Apa Zanna tersinggung, ataukah ada sesuatu hal yang dirinya tak wajib tahu. Alan menunggu dengan sangat sabar, bahkan ketika mi ayamnya tinggal satu suap, Zanna baru membuka suara.
"Ya, dan dia nggak tahu sama sekali," ucapnya.
Mi yang ada di tenggorokan Alan, rasanya sulit sekali untuk masuk. Bahkan harus dibantu dengan air satu gelas untuk mendorongnya hingga masuk ke lambung. Jawaban Zanna benar-benar mengejutkan bagi Alan. Seharusnya Alan tak bertanya tentang ini, jika sangat menyakitkan hatinya. Tapi jika tak bertanya, dia akan terus dibayangi rasa penasaran.
Zanna tetap melanjutkan makannya dengan khidmat, tanpa peduli dengan kondisi hati Alan yang tiba-tiba semrawut. Ada angin puting beliung yang menggemparkan hatinya yang sudah tertata rapi.
"Alan, gue minta tolong sama lo. Jangan kasih tahu siapapun tentang kehamilan gue."
"Kenapa? Bukannya ini kabar bahagia? Bapaknya harus tahu 'kan Zan?" Zanna menggeleng.
"Posisi gue rumit. Maksud gue ... gue gugat cerai dia." Alan terbatuk karena tersedak air liurnya sendiri.
Bagaimana tadi? Apa telinga Alan salah dengar? Zanna menggugat cerai Aril, disaat dirinya hamil. Hamil anak Aril. Napas Alan rasanya kembang kempis. Apa dia bahagia mendengarnya? Atau harus kasihan? Entahlah, Alan sendiri bimbang.
"Seharusnya perempuan hamil, nggak berpisah sama suaminya, Zan." Bodoh Alan!
Dia terus memaki dirinya sendiri, karena kalimat itu. Zanna terkekeh, dia bahkan nyaman dengan makanannya.
"Ada beberapa faktor yang bisa buat gue ambil keputusan ini. Setidaknya masih ada dia di perut gue, yang selalu mengerti kondisi gue selalu."
Alan menggenggam tangan Zanna, bukan hanya anak yang ada di rahim Zanna, dia juga sangat peduli terhadapnya. Alan menyukai Zanna, lebih dari sahabat. Lebih dari apapun itu.
"Masih ada gue. Mau kondisi lo gimana pun itu, gue tetep dukung lo! Nggak perlu sungkan kalau lo butuh sesuatu sama gue. Repotin aja gue, jam berapapun gue siaga."
Zanna menyimpan mangkoknya di meja, entah bagaimana dia harus menilai ketulusan Alan. Zanna menutup wajahnya dengan telapak tangan, dia menangis sesenggukan. Dia rindu dengan kedua orang tuanya yang telah tiada, dia butuh dukungan dari orang tuanya. Sayang semua itu telah terlewatkan, Zanna hanya seorang diri di sini.
"Gue takut, Lan. Gue takut gagal mempertahankan anak gue. Gue takut." Alan memeluk Zanna erat, mengusap punggung Zanna lembut.
Setidaknya hanya pelukan ini yang dapat dia berikan ke Zanna. Alan berjanji akan selalu ada di samping Zanna.
***
Segini dulu gaez, besok-besok lagi. Jadi ikutan ngidam mi ayam 🤪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top