Dua Duluh Dua


Suara bantingan barang terdengar dari balik pintu berwarna coklat. Teriakan penuh amarah, mampu membuat seisi rumah ini gempar. Asisten rumah tangganya tak berani berbuat apapun. Ia segera menghubungi Irene, menceritakan segala runtutan kejadian yang membuat Aril marah.

Ia marah jika Zanna sudah mengetahui video tak senonoh itu dari Andini sendiri. Aril merasa Zanna menjauhinya. Terus menghindar dan tak mau berdekatan dengannya. Satu panggilan mendarat di ponselnya, tertera nama Andini di sana. Menyambar ponselnya dan membuangnya ke tempat sampah. Aril muak dengan drama Andini.

Ponselnya kembali berdering, ia sudah muak. Aril menyambar foto Zanna yang sedang tersenyum menatap bunga anggrek, ia memeluk foto itu dengan erat. Ia merindukan Zanna dengan segala kenangan dan tingkah lakunya. Ia rindu segalanya. Ia menyesal.

Ponselnya terus berdering, namun Aril tak menggubrisnya. Hingga ketukan di pintu kamarnya, membuat Aril rela membuka pintu. Asisten rumah tangganya, menganggsurkan ponselnya pada Aril.

"Ini nyonya besar mau bicara sama Den Aril," ucapnya menjelaskan.

"Halo, Mi?" sapa Aril ogah-ogahan.

"Mas? Ini aku." Satu kalimat penyejuk hati, yang mampu membuat hati Aril bergetar hebat.

"Zanna? Kamu di mana?"

"Ponsel kamu kenapa? Aku telpon kenapa nggak diangkat?" Aril berlari mencari ponsel yang ia buang di tempat sampah. "Padahal aku mau minta jemput tadi, tapi ya sudah, nggak jadi."

Bodoh Aril! 

Kalimat itu yang pantas untuk menggambarkan kebodohan Aril saat ini. Seharusnya ia melihat lebih dulu nama pemanggil. Bukan seperti ini. 

"Kamu sama siapa? Aku jemput ya?"

"Aku nggak mau! Kamu sudah nggak peduli sama aku!" Panggilan itu berakhir.

Aril luruh ke lantai, ia memberikan ponsel itu kembali ke Bi Sani. Ia menyesali perbuatannya kembali, menyesali kebodohannya tiada tara.

Aril kembali mengurung dirinya di kamar, menikmati kesunyian yang tak akan berujung. Menikmati segala rasa yang kini menghilang. Ia hanya diam menatap foto Zanna. Kembali ponselnya berdering, tertera nama Andini di sana. Aril kembali murka, ia membenturkan ponselnya ke dinding kamar. Muak dengan Andini.

Pintu kamarnya kembali diketuk, Bi Sani memberikan ponselnya pada Aril. "Ya Ampun, Mas, tega banget kamu nggak angkat teleponku? Sibuk sama Andini?".

"Enggak Sayang, hapeku jatuh tadi." Alasan! 

"Aku mau kamu belikan  martabak manis toping kacang sama coklat satu, kebab satu, spaghetti bolognese satu, pizza yang medium satu, kentang goreng large satu, bakso beranak satu, jus strawberry dua, milkshake strawberry satu."

Aril terdiam beberapa saat, mencoba mengingat semua jenis makanan yang baru saja dipesan oleh Zanna. Sebanyak itu membuat Aril bingung. 

"Semuanya kamu beli sendiri, jangan ada yang terlewat ya, Mas. Aku tunggu kamu di rumah Mami sekarang! Oh, jangan lupa mandi."

Panggilan diputuskan oleh Zanna sepihak. Apa itu tadi? Aril susah mencerna beberapa makanan yang dipesan oleh Zanna. Ia bergegas mandi agar Zanna mau mendekat padanya.

Aril mengendarai mobilnya, mencari satu persatu list makanan yang dipesan Zanna. Ia mulai bingung ketika memesan kebab, tadi Zanna meminta pedas atau tidak? Aril bodoh sekali tidak bertanya lebih dulu.

Semua jenis makanan sudah lengkap di samping Aril. Ia mengendarai mobilnya menuju rumah Irene, tak sabar bertemu dengan Zanna. Ia tak akan bertanya macam-macam lagi, yang penting ia bertemu dengan Zanna hari ini. Mobil Aril memasuki pekarangan rumah Irene, di sana ia bertemu Irene yang sedang menyiram beberapa bunga anggrek di taman depan.

"Mi, Zanna mana?" tanya Aril.

"Lagi mandi, sana kamu tata dulu pesanan dia di meja makan. Kamu pindahin ke piring, sebelum dia ngambek." Aril memutar tungkainya, tapi tangan Irene menghentikannya. "Kamu repot banget ya? Sampai nggak mau angkat telepon Zanna? Dia tadi mau minta burger juga, tapi kamunya nggak angkat telepon, jadinya ngambek."

Mampus Aril!

Ia berlari memasuki rumah megah Irene, menuju ruang makan. Dibantu asisten rumah tangga, ia menata segala macam makanan di sana. Aril memandang kamar tamu yang masih tertutup, mungkin Zanna belum selesai.

"Banyak banget Den? Kayak orang ngidam saja," ucap asisten rumah tangga Irene.

"Zanna memang seperti itu Bi, sekalinya mau jajan, semuanya dipesan kayak orang ngidam." Tak ada sahutan lagi.

Pintu kamar tamu terbuka, Zanna terlihat segar sekali. Ia memakai midi dress warna biru muda, berjalan menuju meja makan. Aril mulai merentangkan tangannya, namun Zanna menolak. Ia tak mau bersentuhan dengan Aril. Yang anaknya mau hanya Aril menuruti segala ngidamnya saja.

Zanna memutari meja makan, menilik satu persatu makanan yang dibeli Aril, ia mengernyit bingung mengapa ada mi ayam di sana, sedangkan bakso beranak yang ia minta tak tersedia.

"Bakso beranaknya mana?" Aril menelan saliva kuat. Ia mulai bingung. "Kamu gimana sih, Mas?"

"Hmm, baksonya aku beliin dulu ya! Ada lagi?"

"Nggak! Nggak mau! Aku mau pergi aja."

Irene tergopoh-gopoh menuju ruang makan, ia melihat Zanna dengan wajah cemberut menuju ruang makan. Ia melihat Aril sedang membujuk Zanna yang mulai tak berselera makan. Dalam hati ia tertawa bahagia. Rasakan! Kalau tidak seperti ini, Aril tak akan tahu jika istrinya hamil. 

"Kenapa Zan?" tanya Irene. "Kamu apain Zanna, Ril?"

"Mi, baksonya nggak ada, burger juga nggak ada. Itu kenapa kebabnya pedas juga? Aku nggak mau sama Mas Aril. Aku mau balik aja!" rengek Zanna. 

"Zanna, Sayang, kamu di sini aja ya! Biar Aril pergi lagi aja cari semuanya yang kamu mau. Kamu nginep di rumah mami ya!" bujuk Irene. Akhirnya Zanna mengangguk. 

Aril sedikit lega, kalau tak ada Irene, pasti ia tak akan bertemu Zanna. Akhirnya Aril mencatat segala sesuatu yang Zanna inginkan hari ini. Ia kemudian berlalu pergi untuk mencari segalanya. Demi Zanna, demi ia bisa bersama lagi. Semuanya akan ia lakukan. Meskipun ia akan repot selalu. 

Aril melajukan mobilnya menuju beberapa stand makanan yang diminta Zanna. Semuanya harus sesuai. Ia mampir membeli ponsel baru sekalian, demi Zanna bisa menghubunginya. Semuanya sudah selesai, ia kembali melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah Irene. 

***

Zanna sedang duduk dengan wajah pucat pasi. Baru saja ia mengalami mual yang hebat. Bahkan makanan yang tadi dipesannya tak diterima oleh si kecil di dalam sana. Zanna menghela napas berat, tadi ia ingin semua makanan itu dibeli oleh Aril, tapi sekarang semuanya terasa hambar. Irene mengusap punggungnya lembut, mungkin ini terlalu berat untuk Zanna yang masih muda, hanya saja ini sudah takdir. 

"Zanna, kamu nanti pulang sama Aril ke sana?" Ia menggeleng. "Kalau gitu kamu tidur di kamar tamu ya!"

"Tapi nggak mau sama Mas Aril." Irene mengangguk, ia paham dengan situasinya. Ia sudah diceritakan oleh Zanna sedetail mungkin, tentang video tak senonoh Aril dan Andini. 

Zanna kembali menikmati teh lemon hangat, tapi mualnya belum juga hilang. Ia sudah khawatir jika Aril mengetahui kehamilannya saat ini. Ia mulai memejamkan matanya, lelah jika harus berjalan ke kamar mandi lagi. Mualnya tak dapat dikeluarkan dari tenggorokan. 

Mobil Aril memasuki pekarangan rumah Irene, ia masuk dengan bersenandung riang gembira. Ia memanggil nama Zanna dengan riang. Mengernyit bingung ketika melihat Zanna memejamkan mata di sofa dengan wajah pucat pasi. Ia mulai khawatir luar biasa. 

"Kamu kenapa?" Aril menyentuh kening Zanna, suhu tubuhnya normal. Hanya pucat biasa. 

Zanna membuka matanya, ia melirik Aril yang khawatir dengan kondisinya. Ini aneh, mualnya hilang. Ia memandang Irene yang tersenyum, seakan mengerti apa yang dialami oleh Zanna. Ia menyuruh Aril segera mengajak Zanna makan berdua saja. 

Aril menggandeng tangan Zanna. Menuju ruang makan. Ia rindu menikmati kembali suasana makan malam bersama Zanna. Bedanya Aril yang meladeni Zanna sekarang. Rasanya berbeda dari beberapa bulan yang lalu. Saat ia dan Zanna baru saja menikah, sebenarnya ia bahagia, namun malu untuk mengakuinya. Mengapa ia harus menikah dengan mahasiswinya sendiri. Mahasiswi yang tak banyak bicara saat di kelasnya. 

Setidaknya ini mampu menebus rasa bersalahnya. Walaupun Zanna belum mau ia sentuh ataupun ia ajak kembali pulang, dengan cara seperti ini saja ia bahagia. Rasanya ia memiliki Zanna kembali. Bahagia itu sederhana, pikirnya sekarang. 

"Mas, aku mau ke mini market. Mau beli--"

"Aku antar ke manapun kamu mau." Zanna mengangguk bahagia. 

Zanna segera bersiap, ia ingin membeli beberapa makanan ringan kesukaannya. Ia segera mengajak Aril pergi. Tak mau jika nanti malam ia kelaparan seperti malam-malam kemarin, karena tak ada yang mengantarnya pergi. 

Mobil Aril berhenti di mini market terdekat, ia membebaskan Zanna memilih apa yang ia mau. Aril bahkan tak pernah mengajak Zanna untuk berbelanja seperti ini. Ia menunggu di rak kopi, memilih beberapa jenis kopi. Ia melirik ibu hamil di sampingnya yang memilih jenis susu hamil beranek rasa dan merk. 

Andaikan Zanna hamil, ia tak segan-segan membelinya. Susu atau semacamnya. Ia rela. Ia mencari Zanna yang berada di rak roti dan selai, hanya diam. Di depannya sudah ada Andini. Entah bagaimana bisa ia bertemu dengan Zanna. Aril memeluk pinggang Zanna, setidaknya untuk membuat Andini menjauh. 

"Kamu balik lagi sama Aril? Nggak salah?" ejek Andini. "Aril bekasku loh!"

Tak ada balasan apapun dari Zanna, berbeda dengan Aril yang ketar-ketir sendiri. Ia takut jika Zanna termakan omongan Andini. 

"Kalau dia bekasmu, kenapa kamu buang? Sekarang kamu jilati lagi, nggak malu, Bu?"

Andini merasa malu, ia mendorong Zanna hingga jatuh ke belakang. Ia merasakan sakit luar biasa di perutnya. Ia memegangi perutnya dengan erat, rasa sakit itu nyata. Hingga ia tak sadarkan diri. 

***


Ada yang lupa sama Aril, Zanna? Maaf kelamaan update. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top