63 | baby brunch
Sorry lama banget updatenya. Sisa 3 chapter & epilog, sayangnya cuma seuprit-uprit bangeeeet partnya. Pengen kupanjangin dulu sebelum diupdate di sini, tapi selama puasa ternyata aku gabisa nulis samsek. 🥲
Di chapter ini mau bikin reaction keluarga mas agus soal kehamilan mba iis aja ga bisa. 🥲
63 | baby brunch
IIS lupa, keluarga Gusti terlalu besar untuk mengadakan syukuran kecil-kecilan.
Maksud Iis, jumlah anggotanya, bukan ukuran tubuhnya.
Jadilah pada tanggal yang ditentukan untuk selamatan empat bulanan kehamilan Iis, ketika dia tiba di Magelang pada Kamis malam, setelah menempuh perjalanan enam jam lebih lewat jalur darat, tiga joglo pertama rumah keluarga itu sudah dibuka pintu penghubungnya, sudah didekor heboh, ngalah-ngalahin resepsi pernikahannya di Ritz Carlton dulu, hanya untuk lokasi pengajian. Sementara itu, untuk lokasi brunch-nya, karena Iis minta di outdoor saja, kata Gusti sudah disediakan tempat di dekat danau, yang biasa disewa untuk venue wedding—tapi Iis tidak sempat menengoknya terlebih dahulu karena keburu diseret ke ruang keluarga.
Di dalam rumah luar biasa ramai.
Halaman depan juga penuh kendaraan.
Katanya, saudara yang jauh-jauh bela-belain datang demi melihat calon cicit pertama di keluarga. Mama dan Papa Iis, Haikal dan calonnya, serta beberapa tante dan om Iis yang ikut datang bersama dari Jakarta cuma bisa terbengong-bengong. Kalau yang ngaku rakyat jelata aja segini hebohnya, gimana acara syukuran di keraton sana?
"Tau gitu kemarin gue minta pelangkahan apartemen." Haikal ngedumel di belakang adiknya saat berjalan masuk ke dalam rumah.
"Pengen adek lo ini tidur di emperan?" Iis ganti melotot, segera berjalan cepat mendekati sang suami, minta perlindungan.
Selesai mendengarkan wejangan dari para sesepuh yang kayaknya nggak ada habis-habisnya, malamnya begitu sampai di joglo tempat dia akan bermalam bersama Gusti, ganti teman-teman dari Jakarta yang merubungi.
Iis memang nggak ke mana-mana sama sekali sejak hamil. Paling-paling cuma bolak-balik Relevent-apartemen saja—sambil menunggu renovasi rumah selesai dan kantor cabang yang dibangun di sebelah rumah Gusti jadi. Nggak pernah ketemu teman-temannya, selain Sabrina dan Jerry yang jadi hobi mampir, atau Rachel yang sepertinya sudah semakin mantap ke arah yang lebih serius dengan Bimo—dan berencana segera menggelar lamaran dalam beberapa bulan ke depan, pakai jasa Relevent, jelas.
Zane yang tidak ikut berangkat bersama rombongan dan baru tiba hampir tengah malam, juga langsung menghampiri dan mengelus-elus perutnya.
"Om Zane pengen punya dedek juga?" Iis menanyai sahabatnya itu, yang dibalas dengan dengusan pelan oleh yang ditanya.
"Jahat lo, Is. Elo sama Agus, gue sama siapa?"
"Jahat lo Zane. Itu yang lo pelihara di NYC nggak dianggep?"
"Pelihara? Astagfirullah. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Itu kakaknya lagi melototin kita."
Dan saat brunch setelah pengajian keesokan paginya, momen paling ikonik diprakarsai oleh Timothy—yang adalah Mail versi cewek.
"Untung ya Mbak, nggak keduluan Sabrina." Timothy nyeletuk di tengah-tengah waktu makan, membuat seisi meja panjang yang berisi dua puluh orang lebih, eks Relevent dan teman-teman kuliah dia dan Gusti itu, menoleh. "Itu dia ama Jerry kayaknya udah promil juga, tuh. Lihat deh, makan aja pilih-pilih banget. Nggak mau yang nggak sehat."
Sabrina yang sedang mengunyah kontan melotot, sementara Jerry yang duduk di sebelahnya cuma bisa tertawa pelan. "Asyem. Kenapa gue terus yang kena, sih?"
Dan jelas, kalau sudah begitu, Iis dan Gusti auto noleh ke meja para tetua dan tamu-tamu lain yang ternyata masih kondusif, lalu ke Zane, yang tampak kikuk di tempat duduknya.
"Nah, geblek, kan?" Gusti berbisik padanya. "Kalau udah pasang tampang kayak gitu, siapa yang jadi nggak tahu kalau dia belum move on?"
Dan kalau nggak ingat harus mengejar flight ke Bali, Iis mungkin akan betah berlama-lama duduk di pinggir danau, ngerumpi cantik sama cewek-cewek yang memang berencana menginap sepanjang weekend itu, seharian.
Selesai siap-siap kilat, Iis turun dari cart Bagas yang mengantarnya sampai halaman depan, menyusul Gusti yang sudah duluan standby di samping kendaraan yang akan mengantar mereka ke bandara.
"Mana kopernya, Is?" Suaminya itu bertanya saat melihatnya muncul dengan tangan hampa. Dan Bagas hanya mengulurkan duffle bag kecil—yang biasa dia pakai nge-gym—padanya.
"Aku nggak bawa koper semalem." Iis menyahut kalem.
"Terus?" Gusti nggak paham maksud istrinya.
"Ya kan cuma dua malem, Gus. Paling cuma butuh baju buat pulang, sama mukena-sarung doang, kan?"
Mendengarnya, jelas Gusti jadi menyipitkan mata. Diam sejenak, takut salah menerjemahkan.
Please deh, ini tuh Iis gitu loh. Yang kalau pergi-pergi nggak pernah packing minimalis. Soalnya, jilbaban gitu pasti keringetan dalemnya. Jadi baju jarang bisa dipakai lebih dari sekali.
Tapi karena istrinya cuma mesam-mesem dengan tampang jahil, berarti Gusti memang nggak salah menerka.
Ini Iis emang lagi kesambet setan yang biasa nyambet Sabrina!
Dengan muka konyol, segera Gusti menghampiri istri tercintanya. Dia peluk dan angkat sampai kaki Iis yang pendek itu menggantung di udara. "Makin hari makin frontal aja ya, kamu."
"Siapa yang ngajarin?" Dengan muka sok polos, Iis balik bertanya.
Gusti menggeleng. "Bukan aku."
... to be continued
PS. Kok bisa Mba Iis ga notice Mas Ismail sama sekali di chapter ini??? Agaknya si kang ayam lagi behave banget-banget-banget setelah semalem dapet jatah colongan di balik punggung seluruh keluarga besar. 🤡
Ini link dosa-dosa kang ayam dan pacar rahasia beliau selama syukuran mba iis ya: ➡️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top