61 | promise to be gentle?




61 | promise to be gentle?



"KAMU kangen ngumpul sama anak-anak, ya?"

Sudah hampir tengah malam ketika akhirnya Gusti bisa tiba di rumah dengan selamat, gara-gara insiden lupa bawa dompet tadi, dan Mail dkk sengaja tidak mengangkat panggilannya berkali-kali. Padahal dia sudah susah payah pinjam HP orang, sampai dipelototin pemiliknya, karena jelas gelagatnya terlihat mencurigakan lewat kacamata orang, sampai-sampai dia hampir saja menitipkan STNK Mail sebagai jaminan kalau dia nggak akan kabur.

Dan ternyata, Iis belum tidur.

Wanita itu langsung keluar kamar begitu mendengar pintu depan terbuka, membuat Gusti jadi merasa tidak enak hati.

"Aku lihat Story IG-nya Ehsan. Rame, ya. Pada dateng semua yang jauh-jauh." Iis berkata lagi, beringsut duduk di sofa.

Gusti ikut duduk di sebelahnya setelah selesai cuci muka. Memandangi istrinya—yang selalu cantik, selalu baik, selalu lembut. "Kok kamu belum tidur?"

"Lagi baca."

"Baca apa?"

"Random. Browsing buat bantuin Rachel yang lagi gundah."

"Gundah?"

"Yep. Dia mau ikut Bimo ke NYC, dan aku coba bantu nyari apa aja yang bisa dia lakuin selama di sana."

"Terus udah nemu?"

Iis mengangguk. "Karena dia belum pernah hidup lama di luar negeri, aku cariin beberapa short courses yang bisa dia ambil selama proses aklimatisasi—sekalian prepare buat S2."

Gusti mengulas senyum. Mendadak ingat, sampai sekarang Iis belum melanjutkan kuliah lagi sejak mereka berdua sama-sama gagal masuk ke kampus impian untuk menempuh S2, pada tahun pertama lulus S1 dulu. "Kamu nggak pengen ambil juga? Mumpung kita belum ada anak?"

Iis mesem. "Pengen dong, Gus. Aku nemu banyak yang menarik, nih. Yang full online." Kemudian wanita itu tertawa. "Dih, pede banget, ya? Belum tentu lolos aja belagu, pake milih jurusan yang kece-kece. Padahal otak juga udah lama nggak dipake mikir serius."

"Kenapa mau ambil yang online?"

"Biar ngikutin kelasnya bisa sambil rebahan."

Gusti ikut tertawa pelan. Kemudian mengecup dahi istrinya lembut. Mengusap-usap punggungnya. Menghirup wangi shamponya.

"Kenapa kamu nggak marah, aku lupa pulang semalem?" Gusti kemudian mengeluarkan topik yang sedari tadi ingin dia tanyakan.

Iis mengerutkan dahi. "Oh, jadi kamu lupa? Kirain sengaja."

"Yaaa, sebenernya sengaja juga, sih. Soalnya kalau lagi mau mikir serius, terus dilihatin sama kamu, jadi nggak konsen."

Iis manggut-manggut. "Buat apa sih aku marah, Gus? Kan iPhone kamu udah aku track. Ternyata kamu nggak ke mana-mana sama sekali biarpun pesan aku nggak dibaca sampe sekarang."

"I know. Kan ada notifnya."

Keduanya lalu terdiam sejenak. Hanya saling memandang dalam diam.

Entah apa yang Gusti pikirkan, Iis tidak tahu.

Wanita itu kemudian lebih dulu beringsut memeluk leher dan mencium pipi suaminya singkat. "Yakin, sehari aja udah cukup buat kamu?" tanyanya.

"Yes." Gusti mengangguk kalem.

"Kalau masih butuh space beberapa hari lagi, nggak apa-apa banget lho, Gus. Terserah kamu mau ke tempat Zane, ke rumah kamu, atau check in ke hotel. Aku nggak bakal gangguin sampai kamu tenang."

Gusti menggeleng.

Iis memastikan sekali lagi, "You sure?"

"Yes. Modal mantau lewat GPS, kamu bisa santai aja suami nggak pulang. Tapi akunya yang pusing kalau harus nggak ketemu kamu lebih lama lagi, Is. LDR is not my strong point."

Iis terkikik geli mendengar penuturan suaminya. "Thank you, then. Soalnya, sebenernya aku juga kesepian di rumah sendirian."

"Nah, kita sepakat kalau gitu." Gusti ikut tertawa pelan sekali lagi. Amat bersyukur memiliki wanita di hadapannya ini sebagai istri. "Kamu nggak penasaran, tadi aku ketemu siapa?"

"Kamu bakal bilang kalau emang pengen."

Ya. Setidaknya tidak bertanya jauh lebih baik ketimbang melarang berbicara, dan Gusti harus bersyukur lagi karenanya. "I met him," gumamnya kemudian.

Iis tampak terkejut sesaat, tapi memilih untuk tidak mengeluarkan komentar apa pun. Hanya memandang suaminya lekat-lekat.

Tapi, karena Gusti tidak kunjung mengatakan apa-apa lagi, dengan agak khawatir dia bertanya, "Are you all right?"

"Hm mm." Gusti mengangguk-angguk.

Tapi, tetap saja Iis cemas. "Aku sama Linggar udah sepakat untuk nggak saling berurusan lagi, Gus. Nggak ada yang perlu dikhawatirin."

"Aku ketemu dia bukan karena nggak percaya sama kamu."

"Terus?"

"Aku harus ngadepin ketakutanku. Which is, masa lalu kamu."

Iis menahan napas karena ternyata jawaban Gusti membuatnya lebih terkejut lagi.

Tentu, dia tahu Gusti tidak merasa nyaman dengan hubungan yang pernah dia miliki dengan pria lain. Tapi ketika mendengar suaminya itu menyebut masa lalunya sebagai ketakutan terbesar, hati Iis mencelos dibuatnya.

Agak gemetar, Iis kemudian mengulurkan tangan untuk mengelus-elus punggung pria di hadapannya dengan penuh penyesalan. "Sekali lagi aku minta maaf, ya, Gus. Maaf karena bikin penilaian kamu tentang dia jadi bias. Bikin kalian jadi saling benci selama ini."

"You didn't make me. Aku bikin keputusan sendiri buat suka atau nggak suka sama siapa."

"Okay, okay." Iis mengangguk-angguk. Tidak mau memperpanjang yang sudah dianggap clear. Selain itu, dia sudah bertekad untuk nggak mau kekurangan jam tidur lagi mulai sekarang. "Yuk, tidur. Takut mellow-mellow lagi kalau masih diterusin obrolannya."

Wanita itu lalu bangkit dari sofa. Menarik lengan sang suami supaya ikut berdiri juga.

"Aku nggak mau langsung tidur tapi." Gusti mulai lagi, membuat Iis memutar bola mata.

Nggak ada capeknya, perasaan.

"Ya, ya, ya. But please promise you will treat me gently."

"I thought you liked me rough."

"Kapan aku bilang?"

"You didn't say it out loud, but your body language does."

"Oh ya? Kalau gitu mulai sekarang jangan sok tau dan nerjemahin gestur aku sesukamu."

"Alright, Queen. Alright."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top