60 | turning point
60 | turning point
"SHOULD I say sorry for being late?"
Gusti paling benci orang yang nggak tepat waktu, tapi berhubung dia yang menginisiasi pertemuan sore ini, tentu kali ini hanya bisa berlapang dada.
"Who am I to complain?" tanyanya retoris, menyeret satu stool supaya Linggar segera bisa duduk di sebelahnya, sementara yang ditanya juga tidak repot-repot menyahut lagi. Cuma mendengus pelan, sebelum kemudian memanggil seorang barista kenalan mereka untuk memesan minum.
Iya, sudah jelas mereka sering ke sini sejak lulus kuliah dulu.
Sama-sama kerja di SCBD ini. Biarpun nggak pernah akrab, sombong amat Gusti nggak pernah nimbrung kumpul-kumpul Jumat malam? Mana nggak jarang juga Linggar diseret Mail kalau mereka kekurangan orang untuk tanding futsal—and damn, sudah setengah tahun Gusti absen dari lapangan.
Dan maksud pertemuannya dengan mantan Iis yang tidak disukainya itu malam ini ... bukankah sudah bisa ditebak?
"Mending yang mau lo omongin penting ya, bangunin orang di hari libur gini. I'm not in the mood to see your face right now." Linggar buka suara duluan begitu Southern Rocknya tiba, tapi masih tidak mau capek-capek menoleh ke sang lawan bicara.
"Penting kayak ... 'jangan peluk-peluk istri gue lagi, karena kalian bukan mahram,' gitu?" Gusti tidak mau kalah songong, membuat Linggar akhirnya menoleh sekilas dengan wajah datar.
"Oh, don't worry, gue nggak hobi nikung kayak lo. Jadi sebelum ngomong yang aneh-aneh, mending lo sungkem dulu sama gue. Nggak perlu ditonjok dulu biar sadar siapa malingnya di sini, kan?"
Ya, ya, ya. Gusti tidak lanjut menjawab—sibuk menyeruput Hurricanenya yang tinggal setengah gelas.
Jujur, sebenarnya dia sama mengantuknya dengan pria di sebelahnya ini, karena memang tidak cukup tidur semalam, di apartemen Zane yang memang lagi ramai. Dan sebenarnya lagi, dia nggak ambil pusing, Linggar menganggapnya dirinya seperti apa. Toh, Linggar bukan temannya. Dan Gusti tidak butuh disukai oleh orang itu. Dia terpaksa bertahan di tempat duduknya sekarang ini hanya karena tidak ingin ada masalah lagi di antara mereka berdua di masa depan. That's it.
"Lo mau gue cerita apa yang sebenernya terjadi tujuh bulan lalu?" Gusti lalu coba menawarkan diri. Menurunkan sedikit kesombongannya, karena ingat tujuannya bukan untuk mengobarkan permusuhan.
Linggar mendengus pelan sekali lagi. "Buat ngebersihin nama lo? No, thanks."
Gusti tertawa sendiri mendengar jawaban sinis Linggar. Tertawa karena ucapan Linggar itu jelas tidak salah.
"Yeah, from my shoes, I actually believe I can't be blamed here." Gusti langsung membela diri. "Tapi bukan itu maksud gue—karena gue juga nggak peduli lo mikir apa tentang gue. Gue cuma nggak tega lo pisah sama istri gue bawa penyakit hati. Tapi ya ... gue nggak maksa."
"Whoa, Man ...." Linggar ikut tertawa, tentu saja masih sinis. "Kayaknya kalau mau sok jadi pahlawan, lo kudu pilah-pilah lagi pemilihan kosa kata, deh."
"No, thanks. I was born with this smart mouth."
Dan kemudian, setelah sama-sama pasang wajah eneg pada satu sama lain, keduanya lalu fokus pada minuman masing-masing. Pada pikiran masing-masing.
Bulan lalu, saat melihat pria di sebelahnya ini memeluk Iis di Relevent, Gusti mengira pertemuan berikutnya dengan Linggar—setidaknya—pasti akan melibatkan kepalan tangan.
Tapi ternyata kemudian, dia merasa tonjok-tonjokan di umur segini sama sekali nggak keren—terutama kalau sudah sadar nggak akan menang, karena selain lebih ganteng, sialnya Linggar juga jauh lebih atletis. Dan Gusti sudah pesimis bakal dibikin KO dalam satu tonjokan saja—apalagi kalau nonjoknya pakai sepenuh dendam.
"Should I say sorry?" Gusti lalu menggumam pelan, mendadak merasa jadi banci saat mengatakannya.
"Menurut lo?"
"Menurut gue ya tadi, gue nggak salah. Tapi berhubung kita sama-sama tau siapa yang menang banyak di sini, sungkem doang nggak sepadan, sih." Pria itu lalu meringis. "By the way, thanks lho, udah jagain jodoh gue selama bertahun-tahun. Bisa dapet Iis, kayaknya di kehidupan sebelumnya gue emang superhero, sih."
Linggar mendengus sekali lagi. Muak mendengar ocehan Gusti yang kayak kentut itu. Bau. Nggak penting tapi mengganggu.
"Okay, daripada kita udah susah-susah ketemu nggak ada gunanya, gue paksa lo buat denger aja, ya." Gusti tidak menunggu sahutan Linggar lebih dulu. "Iis nggak lari ke gue, nggak ada selingkuh-selingkuhan di belakang lo. Dia temen gue dan gue tahu gimana susahnya dia bertahun-tahun, nyoba tetep bertahan sama lo. Dan sebagai orang yang sayang sama dia—sebagai teman—sudah sepantasnya kalau gue menawarkan diri jadi pelipur lara. Nggak ada baper-baperan di antara kita. Tiba-tiba kalian putus dan dia jadi kayak orang gila, ya udah, gue ajak nikah. Apa dia langsung mau? Ya enggak, lah, babi! Yang ada, mantan lo nyuruh gue ke psikolog. Case closed—the rest falls into the cheesy romance category, I don't want you gagging."
"Ngomong sama lo emang kayaknya lebih enak pakai tangan, ya?"
"Jangan. Gue lemes belum makan dari siang."
"Cuk!" Linggar misuh-misuh. "Terus ngapain lo minum sekarang? Biar muntah-muntah, terus bini lo ngira gue ngeracunin lo, gitu?"
"Hahaha, don't worry."
Meski rada dibikin emosi, Gusti merasa lega telah mengatakannya. Apalagi setelah Iis berhasil meyakinkan dirinya bahwa istrinya itu menyayangi dia sama besar dengan rasa sayangnya ke sang istri, sama sekali nggak kalah dari perasaan Iis ke Linggar dulu ... apa lagi yang mesti dia khawatirkan?
"Lo nggak perlu ngedikte. Urusan gue, mau suka sama siapa, nggak suka sama siapa." Linggar merogoh saku dan mulai menyulut rokok, sama sekali nggak berniat menawari temannya.
Gusti cuma bisa nyumpah-nyumpahin mantan Iis yang nggak punya etika itu dalam hati. "Gue cuma mau lo pergi dengan tenang."
"Lo racunin minuman gue?" Linggar melotot.
"Bukan pergi yang itu." Gusti terpaksa meringis lagi, melihat Linggar yang kemudian segera menghirup rokoknya dengan tenang. Menunggu disahuti lagi.
"Lo ... udah suka cewek gue sebelum kita putus?"
Dan akhirnya ditanya juga.
Tapi kok ya pertanyaannya muter-muter di situ lagi! Gusti menyumpah dalam hati.
"Lo punya kuping nggak, sih? Lo nggak denger gue tadi ngomong apa?" Dia berdecih.
Linggar ikut berdecih.
Terpaksa sadar untuk sedikit mengalah, Gusti pun menghela satu napas panjang.
"Oke, gue jawab lagi. Apa gue suka sama Iis sebelum kalian putus? Nggak. Setidaknya, nggak dalam konteks yang lo maksud." Gusti menggeleng samar. "Tujuh bulan lalu, gue cuma pengen nyusul ke Cape Town, ngehajar lo sampe mampus. But I was too busy, dan sayang juga cuti tahunan cuma dipake buat nonjok orang doang. Mending buat honeymoon."
Shit.
Gusti juga nggak ngerti kenapa bawaannya jadi alay begini. Mungkin, karena jauh di lubuk hati dia tahu bahwa dirinya menang dengan cara yang agak unfair? But still, dia tidak merasa telah mencuri calon istri orang, kok.
"Tapi, walau dia juga nggak suka gue, dia kemudian ngeiyain lamaran gue. Berarti dia emang udah muak banget, kan? Gue sendiri nggak ada pilihan lain selain konsekuen sama apa yang udah terlanjur gue bilang."
Linggar mengembuskan asap rokoknya keras-keras. Membuat Gusti terpaksa me-recall kembali ucapannya tadi, khawatir terlalu menyinggung.
"Tadinya gue mau ngelamar dia sepulang dari Cape Town."
Dan pernyataan Linggar itu seketika membuat Gusti membatu. Diliputi keterkejutan dan rasa bersalah.
Apa ini juga yang bikin Iis agak-agak stress beberapa saat lalu? Karena dia juga baru mengetahui fakta ini? Sehingga pasti Iis turut merasakan apa yang saat ini Gusti rasakan—dengan level yang berlipat kali lebih berat, pastinya.
"Shit," gumamnya beberapa saat kemudian, setelah akhirnya bisa membawa diri.
"Gue kasih tau dia di malem dia balikin barang-barang peninggalan gue, pas lo dateng ke Relevent waktu itu." Linggar melanjutkan.
"Shit." Gusti mengulang gumaman yang sama.
"Dan gue nggak paham kenapa lo malah benci sama gue, padahal elo yang nyuri dia dari gue."
"Dan barusan tadi, gue juga udah ngonfirmasi bahwa tuduhan lo itu nggak tepat. Gue ngajak nikah setelah kalian pisah. Terus dia ngiyain. Gue nggak mungkin kabur, dong? Gue nggak mau nambah daftar cowok brengsek di hidup temen gue sendiri. And thank God, sejauh ini nggak ada yang perlu disesali dari keputusan impulsif itu."
"You are really cocky." Linggar menunjukkan wajah muaknya lagi.
Dan Gusti tidak bisa tidak setuju. "I was born like this."
Hell, yeah. Kelamaan berteman dengan Zane, Bimo, Mail, dan kroni-kroninya memang mengikis habis jiwa down to earth Gusti. Tapi, cuma kalau ketemu yang juga songong aja. Sehari-hari mah Gusti tetap merendah, biarpun nama belakangnya Prawirodiprodjo.
Dan setelah hening cukup lama, setelah rokok di tangannya habis terbakar, Linggar kembali bertanya. Kali ini dengan nada berubah santai.
"Lo bawa dia ke mana? St. Lucia? You suck."
Okay, sombong ternyata, bukan santai. Tapi, setidaknya sombong lebih baik ketimbang serius dan penuh kebencian tadi.
"Oh ya? Emang mana tempat andalan lo?" Gusti bertanya malas. Hampir saja alay menyebut nominal yang dia habiskan untuk pergi honeymoon, tapi segera sadar kalau yang lagi dia ajak bicara ini bukan Jerry, tapi Linggar, yang mungkin bahkan sudah pernah membuat rencana honeymoon bersama Iis juga.
"Kilimanjaro."
Gusti mengerutkan kening. "Cuk. Mana bisa ML di gunung? Berhari-hari nggak mandi, gitu? Disgusting."
"Lo nggak tau temen lo demen naik gunung? Nggak tau udah lama dia pengen ke sana?"
"No more. Sekarang dia suka naik gue."
"Bangsat!"
Tuhan, tolong maafkan Gusti.
Emang jijik banget mulutnya, ngalah-ngalahin Mail. Tapi gimana, dong? Gusti latah.
"Forgive me, Nggar. Gue bilang gitu biar nantinya lo lebih damai, lebih gampang move on."
"I really want to punch you in the face."
"Dibilangin gue belum makan, juga. Kalau mau fair, tanding futsal aja lah, kapan-kapan."
"Cuk. Mulut lo manja banget."
"Gini-gini, udah jadi mulut favoritnya mantan lo." Gusti meringis lagi, makin jijik pada ucapannya sendiri. "So please, kalau kita ketemu lagi, jangan berlagak seolah lo lebih kenal bini gue dibanding gue. Nggak baik buat kesehatan jiwa kita berdua."
"Emang kenyataannya gitu."
"Then I beg you to pretend that you're not. Demi Iis—okay, fine, demi gue, gue yang sebenernya juga temen lo ini."
"Lo emang sangat-sangat manipulatif." Linggar mendengus keras, meneguk cocktail-nya sampai habis. Jelas sudah ingin menyudahi pertemuan mereka. "Anything else you want to tell me?"
Gusti menggeleng pelan.
"Then, berdoa aja semoga besok pagi lo nggak muntah paku."
Dan beberapa puluh menit kemudian, saat ingin beranjak juga dari situ, barulah Gusti sadar kalau Linggar pergi tanpa membayar, dan saat dia merogoh saku, ternyata ponsel dan dompetnya malah tidak ada di tempat.
Shit. Jadi, tadi dia berangkat dari apartemen Zane hanya berbekal remote kunci mobil Mail dan dompet STNK-nya saja?
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top