59 | tepat di tengah
Pemenang voucher Karyakarsa chapter 58, senilai 5k: secret_garden90
59 | tepat di tengah
IIS terbangun dan mendapati sang suami belum juga ada di sisinya.
Iya, dia sudah bilang tidak akan menunggu. Dan memang dia tidak khawatir karena sejak semalam, GPS Gusti menunjukkan posisinya masih berada di Setiabudi, di apartemen Zane.
And that's completely okay—karena jelas bukan hanya wanita yang butuh space untuk berpikir.
Dan sekarang, Iis jadi paham, mengapa dulu Gusti sempat berkeras menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat tinggal mereka pasca menikah. Karena memang apartemennya yang cuma sepetak ini tidak memiliki space untuk menyendiri sama sekali.
Yeah, di satu sisi memang bisa merekatkan pengantin baru saking sempitnya. Tapi di sisi lain, jadi kurang sehat juga untuk kesehatan mental masing-masing.
"Jadi jam berapa ke sini?" Rachel menanyai Iis lewat telepon, sekitar jam sembilan pagi setelah Iis sendiri sudah kelar yoga, sarapan, dan mandi pagi.
Jam tangan peninggalan Linggar sudah terjual dan mereka berdua akhirnya sepakat mau pergi jalan-jalan hari Sabtu ini. Iis sudah mengirimkan pemberitahuan ke suaminya juga—yang biarpun sampai sekarang masih belum terbaca, mungkin karena Gusti belum bangun.
"Sebelum maksi?" Iis coba membuat penawaran.
Rachel setuju-setuju saja. "Okay, kalau gitu gue mandi sekarang."
Dan berjam-jam kemudian, setelah makan siang, dilanjut keliling mall sampai capek, dengan belasan tas belanja di tangan masing-masing, kedua wanita itu lalu duduk di Paul, untuk recharge energi sebelum pulang.
"You look much better than yesterday." Rachel berkomentar setelah menelan segigit croissantnya.
Iis menjawab sombong. "Gue abis belanja lingerie selemari, Rach. Udah berasa jadi istri paling murah hati sedunia. Masa iya, masih harus bermuram durja?"
"Ya berdoa aja semoga masih sempet dicoba semuanya."
"Oh santuy, bunting pun nggak akan menghalangi gue buat pakai lingerie!"
Rachel ngakak. Nggak sanggup membayangkan Iis bunting dan masih sok-sokan mau kelihatan seksi. "So, you two okay?"
"So far, okay."
"Glad to hear that. Akhirnya gue nggak perlu lagi sok baik ngasih lo cokelat gratis tiap kali duduk di emperan gue sambil pasang tampang mendung."
"Oh, shit." Muka Iis langsung kayak habis ditabok. "Gue pernah lupa bayar, ya? Pantes anak buah lo nggak pernah enak tampangnya tiap kali ngelihat gue. Bagi mereka, gue pasti udah kayak Mbak Angel, tetangga nggak tahu diri."
"Tenang, bon lo semuanya aman, siap dikirim ke Relevent. Atau mau dikirim ke rumah, biar nggak malu? Atas nama Ibu Iis Jamilah Prawirodiprodjo?" Rachel puas ngakak, karena memang Iis adalah Mbak Angel bagi para karyawan coffee shop-nya. Dan bahkan mungkin bagi beberapa karyawan Relevent sendiri. "By the way, udah ke Obgyn?"
"Belum. Minggu depan, coba lihat Gusti luangnya kapan."
"Mau bareng gue dulu, nggak?"
Iis auto menyipitkan mata. Heran sendiri. "Apa cuma gue, cewek di Jakarta ini yang nggak pernah ke Obgyn, dan nggak pernah kepikiran buat ke sana sebelum married?"
Tapi wajar, sih. Iis memang rada masa bodo orangnya.
Dan bagus malah, kalau ternyata teman-temannya lebih peduli terhadap kesehatan diri, terutama Rachel yang memang setahun lebih tua darinya—sudah masuk kepala tiga beberapa bulan lalu—dan sudah sewajarnya mulai concern ke arah sana demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan di masa depan.
"Apa ini berarti udah mulai ada pencerahan?" Iis bertanya lagi, merujuk pada hubungan Rachel dengan kekasihnya.
"Tentang?"
"Tanggal penting, maybe."
"Hahaha. No."
"Okay, gue nggak akan ikut-ikutan nanya 'nunggu apa lagi?' biarpun aslinya penasaran."
"Nunggu jalan tengah."
"Tengah-tengahnya CGK-JFK? Gimana kalau DXB?"
Mendengar guyonan yang sama sekali tidak seperti guyonan saking garingnya itu, Rachel mangap. Speechless. Ilfil. "Oh, c'mon. Jangan ketularan jokes-nya si Agus."
"Okay, sorry." Dan sudah seharusnya Iis malu karena guyonan Agus memang nggak pernah lucu. Ditambah template muka yang tidak mendukung pula. "Gue tahu Bimo nggak mungkin balik ke Jakarta dalam waktu dekat, dan elo juga pasti susah mutusin ikut ke NYC berhubung anak bokap-nyokap lo tinggal elo doang di sini, dan LDM juga pastinya nggak gampang karena gue aja nih sekarang susah tidur kalau nggak ada yang meluk."
"Hahaha, taik." Hampir saja Rachel menabok muka temannya pakai piring. Asli, udah terkontaminasi Agus bangeeet. "Jijik banget gue bayangin elo pelukan sama Agus. Semoga nggak melibatkan iler dan ngorok, ya."
"Ngomong-ngomong soal ngorok, siapa bilang laki lo nggak ngorok?" Iis masih saja pasang muka tembok.
"Ngoroknya Bimo layak diampuni karena dia cakep."
Okay, okay, Iis ngaku kalah. Tampang Agus emang nggak bakal menang kalau harus dibanding-bandingin sama yang lain. Tapi, bodo amat. Kalau harus punya suami seganteng Bimo, yang ada Iis bakal pusing berurusan sama cewek-cewek centil. Mending juga Agus ke mana-mana, walau muka ngepres. Track record-nya bersih. Nggak ada mantan pacar. Nggak ada mantan gebetan. Iis the one and only.
"Yuk ah, jadi ke Obgyn dulu nggak, nih?" Rachel hampir saja bangkit berdiri.
Tapi tentu saja, Ibu Iis punya alasan untuk membuat mereka berdua duduk di situ sedikit lebih lama. "Cari tau dulu, mana yang nggak ngantre."
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top