57 | healing hurts more than the wound

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 56: yul_nda & Rfty97 masing-masing 3k.

Sebelum lanjut ke chapter 57, bisa baca additional chapter 56 dulu di Karyakarsa.




57 | healing hurts more than the wound



GUSTI kembali kedatangan tamu regular-nya, kali ini bahkan sebelum jam makan siang tiba.

"Laki gue makan ama bos-bos. Jadi kita berdua aja siang ini." Sabrina melapor.

Gusti menaikkan kacamatanya ke atas kepala. Mengalihkan pandangan dari screen PC ke arah juniornya itu sambil mengucek jembatan hidung yang terasa pegal. "I'm still working, Sab," desahnya pelan.

"Udah mau jam maksi juga."

"Gue nggak laper."

"Jahatnya."

"Delivery aja, sih."

"Voucher-nya dine in, Mas. Dan terakhir hari ini, sayang kalau nggak dipake."

"Lo ngomong lembut gitu ke gue kalo ada maunya aja."

Sabrina meringis. Kemudian duduk cantik di seberang meja Gusti, menunggu dengan tenang sampai seniornya itu menghentikan pekerjaannya dan bangkit berdiri.

Dan tidak lama kemudian, keduanya sudah duduk berhadap-hadapan di salah satu meja di Taliwang Bali PP, setelah sebelumnya Gusti memastikan makan siang yang dia kirim untuk istrinya telah tiba di Relevent dengan selamat.

"Sehat banget menu buat bini. Lagi program, ya?" Sabrina bertanya sambil melirik layar ponsel temannya.

"Doain aja." Gusti menjawab malas, tidak mau memperpanjang, karena bukan hanya Iis saja yang kehilangan selera makan dan malas melakukan apapun akhir-akhir ini. Bahkan kalau biasanya tiap weekend mereka berdua akan cari-cari kesibukan biar nggak bosan, sepertinya sudah sebulan belakangan kerjaan mereka cuma luntang-lantung di apartemen. Tidur berlama-lama. Cuddling sambil nonton series dalam negeri yang kayaknya udah mulai meningkat kualitasnya beberapa tahun belakangan.

Bahkan saking nggak berminat ngapa-ngapainnya, mereka mulai rutin menggunakan jasa home cleaning seminggu sekali.

Secara, ngapain banting tulang segitunya kalau setiba di rumah masih harus lembur buat nyapu ngepel? Biarlah kerjaan yang satu itu jadi pintu rezeki buat yang lain.

"Lo oke kan, Mas?" Sabrina tiba-tiba bertanya di tengah-tengah waktu makan.

Gusti memandangi piringnya sejenak sebelum mengangkat wajah, merasa tidak terlihat sedang 'tidak oke'. Bahkan dia hampir menandaskan semua yang dia pesan—nasi, ayam bakar, plecing, dan sambal—biarpun aslinya sedang malas mengunyah dan lebih memilih menyedot bubur sumsum saja seandainya ada.

"Kenapa emang?"

"Hmm ... biar kelihatannya nggak peka gini, gue bisa baca gestur orang, kali. Dan udah sebulan lo kelihatan kayak orang anemia gini." Sabrina mendadak menjulurkan tangan untuk menjitak pelan dahi temannya. "Kalau lagi capek sendirian, bilang, nanti gue sama Jerry temenin."

"Temenin ke dokter?"

"Lawak, lo?"

Gusti mendengus pelan. Menyingkirkan piringnya dan mulai minum.

Selain dirinya yang merasa begitu mengenal Iis, Gusti juga sadar Sabrina dan Jerry terlalu mengenalnya—dan kadang hal itu bukanlah sebuah keuntungan.

"Emang sejelas itu, ya?" Pria itu kemudian bertanya. Menyandarkan punggung ke kursi dengan wajah lelah.

"Banget."

"Udah waktunya sauna kali, ya?"

"Taik."

Dan kemudian Gusti hanya diam menunggu temannya selesai makanan, karena memang tidak merasa ada yang bisa dia katakan lagi.

Tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia memang sedang merasa sangat lelah dan kacau—dan nggak tahu harus bagaimana lagi.

Merasa bersalah setiap kali melihat istrinya bersikap seolah-olah sedang baik-baik saja di hadapannya—padahal Gusti jelas tahu bahwa Iis tidak baik-baik saja, memendam sesuatu darinya, dan bahkan mungkin masih sering menangis di belakangnya.

"Gimana cara lo move on dulu-dulu, Sab?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Gusti saat mendadak ingat betapa Sabrina sepertinya cukup akrab dengan situasi yang satu itu, berhubung daftar mantannya lumayan panjang.

Sabrina meletakkan gelas yang sudah terminum isinya setengah. "Move on dari mantan?"

Gusti mengangguk.

Dia memang tidak menyebutkan secara spesifik, tapi Sabrina jelas paham hubungan antara pertanyaannya itu dengan situasi Gusti sekarang.

Sabrina dan Linggar dulu sama-sama masuk di Kementerian Mail di BEM. Mereka kenal baik satu sama lain. Dan Sabrina juga jelas tahu bagaimana hubungan Linggar dan Iis terjalin, bagaimana kemudian Iis justru berakhir menikah dengan Gusti.

Mungkin Sabrina memang tidak tahu asal muasal pernikahan Gusti sebanyak Jerry. Tapi soal sejarah Iis, dia jelas yang paling paham, selain Gusti dan Zane.

"Let's make it clear. Kalau yang lo maksud move on itu lupa, then gue nggak pernah move on. Tapi kalau maksud lo adalah 'berdamai', time will heal, sih, Mas."

Gusti masih diam. Berharap mendapat jawaban lebih lanjut.

Sabrina mengembuskan napas panjang. "I did everything, selayaknya cewek lain kalau lagi broken heart. Nangis kejer, nyari pelampiasan ke kesibukan atau bahkan orang lain—tapi seiring berjalannya waktu, gue sadar nggak ada gunanya. Pelampiasan cuma bikin kita lupa sesaat. Padahal sakitnya harus disembuhin, bukan dilupain. Dan sialnya, orang lain nggak bisa bantu, paling cuma bisa ngasih dukungan moril. That's why, tadi gue bilang, kalau lo capek nemenin Mbak Iis sendiri, izinin gue sama Jerry ikut nemenin juga."

Gusti hanya menggumam pelan. Karena kalau jawabannya cuma gitu doang sih, semua orang juga tau.

Kemudian, mendadak dia jadi sadar, mungkin seperti ini rasanya jadi Iis dulu, setiap kali Gusti mendatanginya dan sok-sokan memberi petuah saat wanita itu sebenarnya hanya menatapnya sendu tanpa mengatakan apa-apa. Karena jelas isi petuah Gusti juga cuma gitu-gitu aja. Yang sebenarnya bisa dinalar sendiri.

"Eh, tapi itu tadi dalam kasus gue, ya, Mas." Sabrina mendadak menambahkan. "Di mana gue sadar betul, bukan gue atau mantan gue yang jadi bad guy-nya—tau sendiri kan lo sejarah putus gue karena apa aja. Dan jelas nggak bisa disamain sama healing-nya orang yang merasa bersalah. Kata orang sih, yang paling susah itu berdamai sama diri sendiri. Maafin diri sendiri. And you clearly know whose story I am referring to."

Gusti merenung sesaat. Menghabiskan air minumnya sebelum kembali bertanya. "Karena tadi lo bilang 'nggak lupa', apa maksudnya sampai sekarang lo masih kepikiran yang lalu-lalu biarpun udah bahagia sama yang lain?"

"Bukan kepikiran dengan sengaja juga kali, Mas." Sabrina mendengus pelan, rada tersinggung, tapi maklum karena Gusti memang nggak pernah punya pengalaman putus cinta. "You know, pacaran terlama gue selain sama Jerry itu cuma Bimo. Dan hari gue sembuh dari sakit karena gagalnya gue sama dia dulu adalah hari ketika dia balik ke Indo dan nawarin untuk temenan lagi."

"Dan Zane—since you two weren't seeming to be friends after breaking up?"

"You must be kidding." Sabrina berdecak pelan, kemudian ikut menyandarkan punggung di kursi. Memandang Gusti dengan kesal.

"What's the matter?" Gusti masih saja nggak tahu diri, mengorek-orek luka lama orang.

Sabrina mendesah panjang. "The matter is, I don't know how to fix what I've broken. Okay, kami berdua sepakat pisah, dan gue sadar betul, bukan gue atau dia yang bisa disalahin di sini. Tapi gue juga tau, sometimes healing hurts more than the wound. Dan karena ternyata gue lebih beruntung—lebih dulu nemu yang lain, yang nggak kalah baik dan sayang sama gue dibanding dia—maybe gue baru akan bisa berdamai di hari gue yakin dia udah sembuh juga." Sabrina menjauhkan piringnya yang memang sudah kosong dari tadi. "Menurut lo itu unfair buat Jerry, ya?"

"Dia tahu?"

"Of course he knew. Cinta gue ke Jerry dan proses gue healing dari patah hati itu beda departemen. Nggak lantas karena gue lagi sakit, gue nggak bisa cinta seratus persen ke dia. Lo lupa betapa kompleks dan multi tasking-nya badan yang dikasih sama Tuhan kita ini?"

Gusti cuma bisa mengangkat bahu. Melirik arlojinya sekilas, memberi kode keras agar temannya itu segera bangkit dari kursi.

"Btw, Mas. Nggak perlu ngerasain putus cinta sendiri baru bisa paham, kali. Elo kecewa sama orang, tapi masih tetep cinta di saat yang bersamaan ke dia, itu kan sama aja. Duh, Mas gue kok bego banget sih perkara cinta-cinta ginian doang."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top